Rinitis Atrofi
PEMBIMBING:
dr. Arroyan Wardhana, SpTHT
Disusun Oleh:
Kirana
112015086
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/ Tanggal Ujian/ Presentasi Kasus : 9 November 2015
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
Nama : Kirana
Tanda Tangan
Nim
..........................
: 11 2015 086
..........................
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn.DR
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 27 th
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pramuniaga
Pendidikan
: SMA
Alamat
: Sunter
Status Menikah
: Lajang
ANAMNESA
Diambil secara
: Auto anamnesis
Pada tanggal
: 02 November 2015
Keluhan utama
Keluhan tambahan
Jam
: 12.09
Pasien mengaku sudah menjalani pengobatan selama satu tahun ini di dokter umum.
Namun pasien juga suka menebus resep dokter sendiri tanpa konsultasi ke dokter terlebih
dahulu. setiap pasien minum obat, pasien tidak mengalami pilek, namun setiap berhenti
minum obat, pasien pilek kembali sehingga pasien dianjurkan untuk ke spesialis THT.
PEMERIKSAAN FISIK
HIDUNG
Bentuk
Tanda peradangan
kehijauan.
Daerah sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis : tidak terdapat nyeri tekan
Vestibulum
: normal
Cavum nasi
: lapang
Konka inferior kanan dan kiri
: hipotrofi/ atrofi
Meatus nasi inferior kiri dan kanan : hipotrofi/ atrofi
Konka medius kiri dan kanan
: hipotrofi/ atrofi
Meatus medius kanan dan kiri
: hipotrofi/ atrofi
Septum nasi
: normal, tidak deviasi
RESUME
Dari anamnesa didapat keluhan
Pasien mengalami pilek yang hilang tombul sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga
merasa hidung sering tersumbat dan nyeri kepala. Pasien mengaku mengalami penurunan
daya penciuman. Pasien mengaku selama 1 tahun ini sudah menjalani terapi namun tidak
kunjung sembuh sehingga pasien dianjurkan untuk datang ke spesialis THT.
Dari pemeriksaan didapatkan pada
Hidung : cavum nasi sangat lapang. Terlihat adanya sekret kuning kehijauan yang
kental dan cukup banyak.
DIAGNOSIS BANDING
Sinusitis
Rinitis kronik TBC
Rinoskleroma
DIAGNOSIS KERJA
Rinitis Atrofi
PENATALAKSANAAN
ANJURAN
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena, terutama pada usia muda.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi
lingkungan yang buruk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa
menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.1
Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi primer (ozaena)
dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma operasi hidung, efek samping radiasi, atau penyakit
infeksi hidung kronik yang spesifik. Beberapa teori sebagai penyebab rinitis atrofi primer
adalah teori infeksi, endokrin, defisiensi vitamin A dan D, serta gangguan pertumbuhan
kavum nasi. Patogenesis terjadinya rinitis artropi adalah adanya metaplasia epitel dan fibrosis
pada tunika propria. Patogenesis lain yang dicurigai penyebab penyakit ini adalah adanya
endarteritis pada arteriol terminal dan terjadinya absorbsi pada tulang.2
Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
dorsum nasi,
puncak hidung,
ala nasi,
kolumela dan
beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.3
konka inferior
konka media
konka superior
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3
Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan a.oftalmikus berasal dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksila interna.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.3
Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; fungsi penghidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu;
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu membantu proses bicara, dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; fungsi statik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung napas; serta refleks
nasal.3
Fungsi respirasi
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena, terutama pada usia muda.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi
lingkungan yang buruk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa
menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.1
Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
2.
3.
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.9
Etiologi
1. Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella,
terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan adalah
2.
3.
4.
5.
6.
Epidemiologi
Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada
usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi
kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.9
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit
ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan
ekonomi rendah dengan status higiene buruk.9
Patogenesis
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami
metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, endarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).9
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.9
Gejala Klinis
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada
kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat. Pada
pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung yang lapang, konka inferior dan media
menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan histopatologik yang
berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan
tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.1
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen
foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test
serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. Diagnosis Banding:
Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) dapat kita temukan :
atrofi
Sekret. Sekret purulen dan berwarna hijau
Krusta. Berwarna hijau.10
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) yang dapat kita lakukan
antara lain :
Transiluminasi
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis
Pemeriksaan mikroorganisme
Uji resistensi kuman
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan Fe serum
Pemeriksaan histopatologi
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : mukosa
hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung.
Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng
berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau
jumlahnya berkurang.10
Diagnosis Banding
1. Rinitis TB
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner.
Seiring dengan peningkatkan kasus tuberkulosis yang berhubungan dengan kasus
HIV/ AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung
berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat
mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan
krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan
dengan ditemukannya basil tahan asam pada sekret hidung. Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sel datia langhans dan limfositosis. Pengobatan diberikan anti
tuberkulosis dan obat cuci hidung.1
2. Rinitis Sifilis
Pada rinitis primer dan sekunder gejalanya berupa rinitis akut lainnya, hanya mungkin
dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Rinitis sifilis tersier dapat
ditemukan gumma/ ulkus, terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan
perforasi. Didapatkan juga sekret mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi. Sebagai pengobatan
diberikan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau
sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang. Untuk menghilangkan bau busuk dan membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret diberikan obat cuci hidung. Digunakan larutan betadin satu sendok makan dalam
100cc air hangat, atau larutan NaCl, NH4Cl, NaHCO3 aaa9, Aqua ad 300 cc 1 sendok makan
dicampur 9 sendok makan air hangat.1
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Setelah itu diberikan vitamin A 3x 50.000 unit selama dua minggu dan preparat Fe.
Bila ada sinusitis, sinusitisnya diobati sampai tuntas.1
Jika dengan pengobatan konservatif yang adekuat untuk jangka waktu yang cukup lama
tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung atau implantasi untuk
penyempitan
rongga
hidung.
Prinsip
operasi
penutupan
lubang
hidung
adalah
mengistirahatkan mukosa hidung. Dengan demikian mukosa akan menjadi normal kembali .
Penutupan ini dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana dan ditutup selama dua
tahun. Untuk menutup koana dipakai jabir palatum.1
Komplikasi
Komplikasi dari rinitis athrofi dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis
hidung, hidung pelana.10
Prognosis
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien
yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.10
Kesimpulan
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Penyakit ini paling sering menyerang wanita
usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status
estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian
wanita : pria adalah 3:1.
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi primer adalah
rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi
sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Rinitis atrofi primer
adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun
pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala, dan merasa hidung
tersumbat. Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior
dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna hijau, dan krusta berwarna hijau.
Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau
sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang.
Daftar Pustaka
Efiaty, Nurbaiti, Janny, Ratna. Infeksi Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga.
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
3
4
diunduh
7
8
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Majalah Kedokteran Nusantara. 2006: 39: 2.