Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

Rinitis Atrofi

PEMBIMBING:
dr. Arroyan Wardhana, SpTHT
Disusun Oleh:
Kirana
112015086

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
FAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/ Tanggal Ujian/ Presentasi Kasus : 9 November 2015
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
Nama : Kirana

Tanda Tangan

Nim

..........................

: 11 2015 086

Dr. Pembimbing/ Penguji

: dr. Arroyan Wardhana, SpTHT

..........................

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Nn.DR

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 27 th

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pramuniaga

Pendidikan

: SMA

Alamat

: Sunter

Status Menikah

: Lajang

ANAMNESA
Diambil secara

: Auto anamnesis

Pada tanggal

: 02 November 2015

Keluhan utama

: Pilek sejak 1 tahun yang lalu

Keluhan tambahan

: Hidung tersumbat dan nyeri kepala

Jam

: 12.09

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :


Pasien wanita 27 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan pilek yang tidak
kunjung sembuh sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien mengaku awalnya hanya mengalami pilek yang selalu kambuh setiap berhenti
minum obat, namun akhir akhir ini pasien merasa nyeri kepala di daerah kedua mata dan
hidung. Pasien juga merasa hidungnya sering tersumbat, sehingga pasien memaksakan untuk
membuang sekret nya dan kadang sampai mengeluarkan darah. Sekret yang dikeluarkan
berwarna kuning kehijauan. Pasien mengaku daya penciuman pasien mulai menurun. Pasien
hanya bisa mencium bau yang sangat menyengat, namun tidak bisa mencium bau yang biasa
saja.
Pasien mengaku setiap kali terpapar debu, pasien menjadi pilek, namun tidak pernah
menggunakan masker setiap berpergian keluar rumah. Pasien tinggal di sebuaah kompleks
perumahan, rumahnya sederhana, namun kamarnya memiliki banyak boneka. Pasien juga
tinggal serumah dengan hewan peliharaannya.

Pasien mengaku sudah menjalani pengobatan selama satu tahun ini di dokter umum.
Namun pasien juga suka menebus resep dokter sendiri tanpa konsultasi ke dokter terlebih
dahulu. setiap pasien minum obat, pasien tidak mengalami pilek, namun setiap berhenti
minum obat, pasien pilek kembali sehingga pasien dianjurkan untuk ke spesialis THT.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, jantung,
paru, ginjal, hepatitis, dll.

PEMERIKSAAN FISIK
HIDUNG

Bentuk
Tanda peradangan

kehijauan.
Daerah sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis : tidak terdapat nyeri tekan
Vestibulum
: normal
Cavum nasi
: lapang
Konka inferior kanan dan kiri
: hipotrofi/ atrofi
Meatus nasi inferior kiri dan kanan : hipotrofi/ atrofi
Konka medius kiri dan kanan
: hipotrofi/ atrofi
Meatus medius kanan dan kiri
: hipotrofi/ atrofi
Septum nasi
: normal, tidak deviasi

: normal, tidak deviasi ke kiri ataupun kanan


: pada hidung luar tidak terlihat adanya tanda peradangan,
namun pada hidung bagian dalam terlihat krusta berwarna

RESUME
Dari anamnesa didapat keluhan

Pasien mengalami pilek yang hilang tombul sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga
merasa hidung sering tersumbat dan nyeri kepala. Pasien mengaku mengalami penurunan
daya penciuman. Pasien mengaku selama 1 tahun ini sudah menjalani terapi namun tidak
kunjung sembuh sehingga pasien dianjurkan untuk datang ke spesialis THT.
Dari pemeriksaan didapatkan pada

Hidung : cavum nasi sangat lapang. Terlihat adanya sekret kuning kehijauan yang
kental dan cukup banyak.

DIAGNOSIS BANDING

Sinusitis
Rinitis kronik TBC
Rinoskleroma

DIAGNOSIS KERJA

Rinitis Atrofi

PENATALAKSANAAN

NaCl 0,9% Kolf No.I - S u e


Cefixime tab No.X - S 1 dd tab 1
Metilprednisolone tab 4 mg No.X - S 3 dd tab 1
Fe tab No.X - S 1 dd tab 1
Rhinos SR tab No.V - S 1 dd tab 1

ANJURAN

Memakai masker setiap keluar rumah


Jangan teralu dekat dengan hewan peliharaan
Cuci hidung setiap hari dengan Nacl 0,9%

TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena, terutama pada usia muda.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi

lingkungan yang buruk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa
menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.1
Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi primer (ozaena)
dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma operasi hidung, efek samping radiasi, atau penyakit
infeksi hidung kronik yang spesifik. Beberapa teori sebagai penyebab rinitis atrofi primer
adalah teori infeksi, endokrin, defisiensi vitamin A dan D, serta gangguan pertumbuhan
kavum nasi. Patogenesis terjadinya rinitis artropi adalah adanya metaplasia epitel dan fibrosis
pada tunika propria. Patogenesis lain yang dicurigai penyebab penyakit ini adalah adanya
endarteritis pada arteriol terminal dan terjadinya absorbsi pada tulang.2

Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

pangkal hidung (bridge),

dorsum nasi,

puncak hidung,

ala nasi,

kolumela dan

lubang hidung (nares anterior).3

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar4,5


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.3
Kerangka tulang terdiri dari:

tulang hidung (os nasalis),

prosesus frontalis os maksila dan

prosesus nasalis os frontal


Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu:

sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.3

Pada dinding lateral terdapat:


4 buah konka

konka inferior

konka media

konka superior

konka suprema (rudimenter)

kartilago nasalis lateralis superior


sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
beberapa pasang kartilago alar minor
tepi anterior kartilago septum.3

Gambar 2. Lateral Hidung6


Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.

Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3

Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan a.oftalmikus berasal dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksila interna.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.3

Gambar 2 . Perdarahan Hidung7


Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-I).
Rongga hidung lainnya sebahagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum.3

Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; fungsi penghidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu;
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu membantu proses bicara, dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; fungsi statik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung napas; serta refleks
nasal.3

Fungsi respirasi

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares


anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.3
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat
Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, dan palut
lendir. Debu dan partikel akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel

yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.3


Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk
membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal
dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis stroberi, jeruk,
pisang, atau coklat, juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka

dan asam jawa.3


Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung

terbuka serta palatum mole turun untuk aliran udara.3


Reflek nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.3
Definisi

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena, terutama pada usia muda.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi
lingkungan yang buruk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa
menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.1

Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan sebagai berikut:
1.

Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah

2.
3.

ditangani dengan irigasi.


Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh
rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.9
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma,
serta penyakit granuloma dan infeksi.9
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya

endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.9

Etiologi

1. Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella,
terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan adalah
2.
3.
4.
5.
6.

Staphilococcus, Streptococcus, dan Pseudomonas aeruginosa.


Defisiensi FE
Defisiensi vitamin A
Sinusitis kronik
Kelainan hormonal
Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.1

Epidemiologi

Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada
usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi
kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.9
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit
ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan
ekonomi rendah dengan status higiene buruk.9
Patogenesis
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami
metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, endarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).9
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan

adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.9
Gejala Klinis
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada
kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat. Pada
pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung yang lapang, konka inferior dan media
menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan histopatologik yang
berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan
tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.1
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen
foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test
serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. Diagnosis Banding:
Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) dapat kita temukan :

Rongga hidung. Rongga hidung sangat lapang


Konka hidung. Konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau

atrofi
Sekret. Sekret purulen dan berwarna hijau
Krusta. Berwarna hijau.10

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) yang dapat kita lakukan
antara lain :

Transiluminasi
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis
Pemeriksaan mikroorganisme
Uji resistensi kuman
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan Fe serum
Pemeriksaan histopatologi
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : mukosa

hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung.
Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng
berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau
jumlahnya berkurang.10

Diagnosis Banding
1. Rinitis TB
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner.
Seiring dengan peningkatkan kasus tuberkulosis yang berhubungan dengan kasus
HIV/ AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung
berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat
mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan
krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan
dengan ditemukannya basil tahan asam pada sekret hidung. Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sel datia langhans dan limfositosis. Pengobatan diberikan anti
tuberkulosis dan obat cuci hidung.1
2. Rinitis Sifilis
Pada rinitis primer dan sekunder gejalanya berupa rinitis akut lainnya, hanya mungkin
dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Rinitis sifilis tersier dapat
ditemukan gumma/ ulkus, terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan
perforasi. Didapatkan juga sekret mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi. Sebagai pengobatan
diberikan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.1

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau
sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang. Untuk menghilangkan bau busuk dan membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret diberikan obat cuci hidung. Digunakan larutan betadin satu sendok makan dalam
100cc air hangat, atau larutan NaCl, NH4Cl, NaHCO3 aaa9, Aqua ad 300 cc 1 sendok makan
dicampur 9 sendok makan air hangat.1
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Setelah itu diberikan vitamin A 3x 50.000 unit selama dua minggu dan preparat Fe.
Bila ada sinusitis, sinusitisnya diobati sampai tuntas.1
Jika dengan pengobatan konservatif yang adekuat untuk jangka waktu yang cukup lama
tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung atau implantasi untuk
penyempitan

rongga

hidung.

Prinsip

operasi

penutupan

lubang

hidung

adalah

mengistirahatkan mukosa hidung. Dengan demikian mukosa akan menjadi normal kembali .
Penutupan ini dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana dan ditutup selama dua
tahun. Untuk menutup koana dipakai jabir palatum.1

Komplikasi
Komplikasi dari rinitis athrofi dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis
hidung, hidung pelana.10
Prognosis

Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien
yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.10

Kesimpulan
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Penyakit ini paling sering menyerang wanita
usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status

estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian
wanita : pria adalah 3:1.
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi primer adalah
rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi
sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Rinitis atrofi primer
adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun
pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala, dan merasa hidung
tersumbat. Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior
dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna hijau, dan krusta berwarna hijau.
Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau
sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang.

Daftar Pustaka

Efiaty, Nurbaiti, Janny, Ratna. Infeksi Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga.
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2010.h.140.


Thiagarajan, Balasubramanian. Atrophic Rhinitis. A Literature Review. WebmedCentral:

3
4

ENT Scholar Review articles 2012;3(4):WMC003261.


Wibowo DS. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta : Garsindo, 2010.h.172-6.
http://1.bp.blogspot.com/h7DzqFgzTxo/UkLemO7rpNI/AAAAAAAAAB0/CUC5aMO5

pGQ/s1600/hidung.png diunduh pada 30 Oktober 2015.


http://3.bp.blogspot.com/_IcgmlP6cuk/VQtHrQSkyMI/AAAAAAAAAk8/xdBXBoktcg/s1600/2.png

diunduh

pada 30 Oktober 2015.


http://4.bp.blogspot.com/SDDm3n0eOMY/TySIcPReSFI/AAAAAAAADf8/xNK9OeEZ

7
8

558/s1600/New+Picture+%25281%2529.png diunduh pada 31 Oktober 2015.


http://idai.or.id/wp-content/uploads/2015/04/antm-hdg-1.jpg
Adams GL, RB Lawrence, HH Peter. Boies : Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.

Jakarta : EGC, 1997.h.221-2.


Irawan, Engki. Rinitis Atrofi. FK- RSU Dr. Pirngadi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III FKUI. 2010. Medan.

10 Munir, Delfitri. Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif. Departemen

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Majalah Kedokteran Nusantara. 2006: 39: 2.

Anda mungkin juga menyukai