Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap K ualitas Kultur

Chaetoceros gracilis (Schtt) pada Sistem Batch


Gede Suantika1), Pingkan Adityawati2), Dea Indriani Astuti2), dan Yusup Sofyan 1)
Kelompok Keilmuan Ekologi dan Biosistematika, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,
Institut Teknologi Bandung, Bandung
2)
Kelompok Keilmuan Mikrobiologi, Genetika, dan Biologi Molekuler, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,
Institut Teknologi Bandung, Bandung
email: gsuantika@sith.itb.ac.id
1)

Diterima 16 Desember 2008, disetujui untuk dipublikasikan 18 Februari 2009


Abstrak
Mikroalga Chaetoceros gracilis (Schtt) merupakan pakan alami dalam larvikultur udang putih Litopenaeus vanamei
dan umumnya dikultur dalam sistem kultur batch statik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan
awal inokulum terhadap kuantitas kultur C. gracilis pada sistem statik. Penelitian tahap I menunjukkan bahwa
kepadatan sel tertinggi kultur C. gracilis (9,85 x 106 5,00 x 105 sel/mL) didapatkan pada kultur dengan kepadatan
awal sel 1,0x105 sel/mL. Pada tahap II, kepadatan sel tertinggi kultur C. gracilis (9,87 x 106 2,00 x 105 sel/mL)
didapatkan pada kultur dengan kepadatan awal sel 1,0x105 sel/mL. Hasil ini berbeda signifikan (p<0,05) dengan
kepadatan awal 1,0x102, 1,0x103, 1,0x104 sel/mL, tetapi tidak berbeda signifikan dengan kepadatan awal 1,0x106
sel/mL. Berdasarkan kepadatan jumlah sel, periode kultur, faktor fisika kimia kultur, dan keberadaan kontaminan, maka
kepadatan awal inokulum 1,0 x 105 sel/mL memberikan kualitas kultur C. gracilis yang paling optimum.
Kata kunci: Chaetoceros gracilis, Sistem kultur statik, Kepadatan awal
Abstract
Chaetoceros gracilis (Schtt) is a common live food used in white shrimp Litopenaeus vanamei larviculture that is
commonly produced by using batch culture system. The aim of this study was to evaluate the effect of different initial
densities inoculums to obtain the optimum quality of C. gracilis culture in batch culture system. Based on the result from
step 1, the highest cell density of 9,85x106 5,00x105 cells/mL was obtained in the culture with inoculum initial density
of 1,0x105 cells/mL. At step 2, the highest cell density of 9,87 x 106 2,00 x 105 cells/mL was obtained in the culture
with inoculum initial density of 1,0x105 cells/mL and it was significantly (p<0,05) different compared with others. Based
on overall culture performance parameters (cell density, culture period, water quality, and presence of contaminant), C.
gracilis culture starting with the inoculum initial density of 1,0x105 cell/mL contributed to the optimum quality of C.
gracilis culture.
Keywords: Chaetoceros gracilis, Batch culture system, Initial cell density
1. Pendahuluan

karena sangat bergantung kepada kualitas air dan


tersedianya pakan alami selama pemeliharaan. Salah
satu jenis pakan alami yang dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi larva udang adalah Chaetoceros gracilis.
Chatoceros gracilis merupakan diatom sentrik yang
soliter, organisme uniseluler dengan ukuran mulai dari
0,5 m hingga 2,0 m (Gambar 1). Kandungan nutrisi
jenis ini dibutuhkan oleh larva udang, moluska, dan
Cladocera dengan kandungan rata-rata klorofil a 0,34
pg/sel (1,04%), protein 9,0 pg/sel (12%), karbohidrat
2,0 pg/sel (4,7%), dan lemak 5,2 pg/sel (7,2%) (Lavens
dan Sorgeloos, 1996).
Upaya meningkatkan produksi pakan alami
melalui pendekatan peningkatan produksi dapat
dilakukan melalui beberapa cara. Salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pakan hidup
adalah dengan melakukan optimisasi kepadatan awal
inokulum (KAI) kultur mikroalga C. gracilis. Oleh

Akuakultur merupakan salah satu industri


yang berkembang pesat di dunia. Pada tahun 2004
produksi akuakultur Indonesia mencapai 914,066 ton
atau setara dengan 2,3% total produksi akuakultur
dunia (FishStat, 2004). Di Indonesia, salah satu hasil
produksi akuakultur air laut yang permintaan dan nilai
ekonomisnya tinggi adalah udang. Hal ini ditunjukkan
dengan semakin meningkatnya permintaan udang untuk
konsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor.
Untuk memenuhi permintaan komoditi udang,
maka diperlukan intensifikasi produksi udang dalam
jumlah besar dan berkelanjutan. Salah satu faktor
penting dalam usaha intensifikasi produksi udang
adalah proses larvikultur. Permasalahan utama yang
dihadapi dalam proses larvikultur adalah masih
rendahnya tingkat kesintasan (survival rate) larva
1

2 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1

karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui


pengaruh perbedaan kepadatan awal inokulum C.
gracilis terhadap pertumbuhan kultur dengan
menggunakan sistem kultur statis sehingga memberikan
pertumbuhan kultur paling maksimum. Diharapkan
hasil penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan
untuk meningkatkan produksi pakan alami C. gracilis
dalam proses larvikultur udang.

inokulum, yaitu 1,5x104, 3x104, 1,5x105, 3x105, dan


1,5x106 sel/mL. Pada penelitian selanjutnya C. gracilis
dikultur dalam labu Erlenmeyer berukuran 1 L dengan
kepadatan awal inokulum, 1x102, 1x103, 1x104, 1x105,
dan 1x106 sel/mL. Medium yang digunakan adalah
medium Walne dengan pH awal medium 7,5 dan
salinitas 35 ppt. Selama penelitian kultur diberi
intensitas cahaya sebesar 2000 Lux, aerasi dengan laju
80-100 L/jam dan diukur jumlah sel C. gracilis, pH,
salinitas, DO, konsentrasi amonium, nitrit, nitrat,
silikat, dan ortofosfat. Berikut merupakan skematis
sistem kultur yang digunakan (Gambar 2).

Gambar 1. Chaetoceros gracilis: Round (a), Crawfod


(b), dan Mann (c) 1990.
2. Metode
2.1 Pemurnian dan aktivasi C. gracilis
Kultur murni C. gracilis yang diperoleh dari
Laboratorium Analisis Ekosistem Akuatik, Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati ITB dimurnikan kembali
pada medium Walne dengan menggunakan metoda
pipet kapiler. Mikroalga C. gracilis yang berhasil
diambil dengan menggunakan pipet kapiler selanjutnya
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi
medium Walne dan diinkubasi pada suhu 27-28 oC
dengan intensitas cahaya 2000-2500 Lux selama 4-7
hari.
Mikroalga C. gracilis yang berhasil
berkembang biak di dalam tabung reaksi selanjutnya
dikultur di dalam Erlenmeyer 100 mL. Aktivasi kedua
dilakukan dengan cara memindahkan sel aktif dari
aktivasi pertama ke Erlenmeyer 500 mL yang telah
berisi medium Walne baru. Hasil aktivasi kedua ini
selanjutnya digunakan sebagai inokulum pada
penelitian selanjutnya. Selama aktivasi, kultur
diinkubasi pada suhu 27-28 oC, dengan intensitas
cahaya 2000-2500 Lux dan dilakukan homogenisasi
kultur secara manual.
2.2 Pembuatan kurva pertumbuhan dan uji perlakuan
C. gracilis
Untuk membuat kurva pertumbuhan awal, sel
C. gracilis dikultur menggunakan labu Erlenmeyer
berukuran 500 mL dengan 5 jenis kepadatan awal

Gambar 2. Skema sistem statis (Batch) kultur C.


gracilis.
2.3 Analisis Data
Laju
pertumbuhan
eksponensial
atau
exponential growth rate (m) C. gracilis dihitung dengan
menggunakan rumus :

ln( N n ) - ln( Ni )
(tn - ti )

di mana: = laju pertumbuhan, Nn = kepadatan kultur


pada awal fase eksponensial, Nt = kepadatan kultur
pada akhir fase eksponensial, ti, tn = waktu awal dan
akhir fase eksponensial (Nahdiah, 2004).
Data hasil penelitian dialisis dengan One-way
ANOVA untuk mengetahui derajat signifikansi
perbedaan dari setiap perlakuan selama penelitian, dan
untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata
dengan tingkat kepercayaan 95% digunakan Duncan.
Untuk mengetahui korelasi antara faktor biotik (jumlah
sel C. gracilis) dan faktor abiotik dilakukan uji korelasi
Pearson.

Gede Suantika dkk, Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur 3

3.1 Pertumbuhan populasi C. gracilis tahap I


Kurva tumbuh awal kultur C. gracilis dibuat
untuk mengetahui umur inokulum aktif yang akan
digunakan pada penelitian selanjutnya. Kurva tumbuh
C. gracilis berdasarkan peningkatan jumlah sel
(Gambar 3.1). Pada setiap perlakuan dengan kepadatan
awal yang berbeda, periode terjadinya masing-masing
fase tidak sama. Perlakuan dengan KAI 1,5x104 dan
3,0x104 sel/mL selama dua hari pertama mengalami
fase lag terlebih dahulu, kemudian mengalami fase
eksponensial hingga hari ke 4, dan selanjutnya
memasuki fase stasioner yang ditandai dengan jumlah
sel relatif konstan. Namun, pada perlakuan dengan KAI
1,5x104 sel/mL setelah mengalami fase stasioner,
terjadi peningkatan jumlah sel yang cukup signifikan
hingga mencapai 8,4x106 sel/mL. Hal ini dapat terjadi
karena sel-sel C. gracilis memasuki periode kriptik di
mana sel-sel C. gracilis yang masih hidup
memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel C. gracilis
yang lisis untuk pertumbuhannya. Pada perlakuan
dengan KAI 1,5x105 sel/mL, fase lag kultur terjadi
selama 24 jam pertama pertumbuhan, dilanjutkan
dengan fase eksponensial hingga hari ke 4, dan fase
stasioner hingga hari ke 6. Berbeda dengan perlakuan
yang sebelumnya, kultur C. gracilis dengan KAI
3,5x105 dan 1,5x106 sel/mL tidak mengalami fase lag
terlebih dahulu karena diperkirakan inokulum telah
mengalami aktivasi dan adaptasi sebelumnya. Pada
kultur dengan KAI 3,5x105 sel/mL, pertumbuhan
secara eksponensial terjadi hingga hari ke 6 dengan
kepadatan sel mencapai 1,12x107 sel/mL, akan tetapi
pada hari ke 7 kultur mengalami fase kematian. Hal ini
bisa disebabkan karena berkurangnya kandungan
nutrisi dalam medium sehingga tidak bisa menunjang
pertumbuhan sel-sel C. gracilis. Selain itu, akumulasi
berbagai senyawa toksik hasil metabolisme mikroalga
dapat menghambat pertumbuhan C. gracilis. Pada
kultur dengan KAI 1,5x106 sel/mL, fase eksponensial
berlangsung hingga hari ke 3, selanjutnya kultur C.
gracilis mengalami fase stasioner hingga hari ke 5, dan
pada akhir pengamatan, kultur telah berada pada fase
kematian.
Hasil analisis t-test untuk kultur dengan KAI
1,5x104 dan 3,5x104 sel/mL menunjukkan bahwa kedua
jenis KAI tidak berbeda nyata. Hasil analisis t-test
untuk kultur dengan KAI 1,5x104 dan 1,5x106 sel/mL
menunjukkan bahwa kedua jenis KAI berbeda nyata.
Hasil uji statistik mengunakan ANOVA menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan
(p<0,05) pada nilai rata-rata pertumbuhan C. gracilis
yang ditumbuhkan dengan KAI 1,5x104-1,5x106
sel/mL. Berdasarkan hasil uji statistik tersebut, pada
penelitian selanjutnya digunakan 5 jenis kepadatan

awal inokulum (KAI) yang memiliki rentang yang lebih


luas, yaitu KAI 1,0x102 hinga 1,0x106 sel/mL.
Kurv a Tumbuh Pe ndahuluan
1.40E+07
1.20E+07
1.00E+07

Jumlah sel / ml

3. Hasil dan Diskusi

8.00E+06
6.00E+06
4.00E+06
2.00E+06
0.00E+00
0

Hari

Kepadatan Awal I (1.50E+04 sel/ml)

Kepadatan Awal II (3.00E+04 sel/ml)

Kepadatan Awal III (1.50E+05 sel/ml)

Kepadatan Awal IV (3.020E+05 sel/ml)

Kepadatan Awal V (1.50E+06 sel/ml)

Gambar 3.1. Pertumbuhan populasi C. gracilis dengan


jumlah inokulum 1,5x104-106 sel/mL.
3.2 Pertumbuhan populasi C. gracilis tahap II
Pertumbuhan populasi sel C. gracilis dengan
kepadatan awal inokulum (KAI) 1,00x102, 1,00x103,
1,00x104, 1,00x105 dan 1,00x106 sel/mL selama 10 hari
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.2. Pada kultur
dengan KAI 1,00x102 hingga 1,00x105 sel/mL terdapat
kecenderungan yang sama, yaitu setiap kultur memiliki
fase lag antara 2 hingga 5 hari. Laju pertumbuhan
populasi dipengaruhi oleh kepadatan awal populasi,
pada populasi dengan kepadatan lebih tinggi memiliki
fase lag lebih singkat dan mencapai fase eksponensial
yang lebih cepat. Pada kultur dengan KAI 1,00x102 dan
1,00x103 sel/mL, fase lag terjadi selama 5 hari,
kemudian kultur mengalami fase eksponensial pada
hari ke 6 hingga hari ke 10. Pada kultur dengan KAI
1,00x104 sel/mL, fase lag terjadi selama 3 hari,
kemudian kultur mengalami fase eksponensial hingga
hari ke 6, selanjutnya mengalami fase stasioner hingga
hari ke 8. Pada hari ke 9 terjadi fase eksponensial
kembali hingga hari terakhir pengamatan. Hal ini dapat
terjadi karena sel-sel C. gracilis memasuki periode
kriptik. Pada kultur dengan KAI 1,00x105 sel/mL, fase
lag terjadi selama 2 hari, selanjutnya kultur mengalami
fase eksponensial hingga hari ke 7. Kultur tidak
mengalami fase stasioner terlebih dahulu, karena pada
hari ke 8 hingga hari ke 10 terjadi penurunan jumlah sel
C. gracilis. Hal ini dapat terjadi karena nutrisi kultur
telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH4 dalam
konsentrasi tinggi sehingga dapat meningkatkan
mortalitas C. gracilis. Kultur dengan KAI 1,00x106
sel/mL memasuki fase eksponensial sejak hari pertama
kultur hingga hari ke 5. Selanjutnya kultur ini
mengalami fase stasioner hingga hari ke 7, dan fase
kematian terjadi hingga pengamatan berakhir di hari ke
10. Jumlah sel terbanyak, yaitu sebesar 8,50x106
sel/mL terjadi pada hari ke 7.

4 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1

merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan kultur C.


gracilis.

Kurva Tumbu h Kultur C.gracilis


1.00E+07

Model Pertumbuhan Populasi Kultur C.gracilis

8.00E+06
6.00E+06
3.50E+07

4.00E+06
Jumlah Sel/mL
Jumlah
sel/mL

Jumlah sel/ml
Jumlah
sel/mL

1.20E+07

2.00E+06
0.00E+00
0

10

11

Hari
Hari

y = 32081e

3.00E+07
2.50E+07

0.4529x

2.00E+07

y = 204391e

1.50E+07

y = 2526.6e

0.8626x
0.1474x

1.00E+07

y = 2E+06e

0.9886x

y = 442e

Kepadatan Awal I (1.00E+02 sel/ml)

Kepadatan Awal II (1.00E+03 sel/ml)

Kepadatan Awal III (1.00E+04 sel/ml)

Kepadatan Awal IV (1.00E+05 sel/ml)

5.00E+06
0.00E+00

Kepadatan Awal V (1.00E+06 sel/ml)

Pada umumnya, populasi sel C. gracilis pada


semua perlakuan mengalami peningkatan jumlah sel.
Namun selama 10 hari pengamatan, kelima jenis KAI
memiliki model pertumbuhan populasi yang berbedabeda (Tabel 1). Perbedaan tersebut menunjukkan
adanya pengaruh perbedaan kepadatan awal inokulum
terhadap pertumbuhan C. gracilis. Model pertumbuhan
C. gracilis dapat diamati pada Gambar 3.3.
Perbedaan kepadatan kultur C. gracilis antara
lain disebabkan munculnya individu baru serta
terjadinya kematian sel. Laju pertumbuhan spesifik
menggambarkan banyaknya individu baru yang muncul
per satuan waktu tertentu. Laju pertumbuhan spesifik
kultur C. gracilis umumnya akan meningkat hingga
mencapai laju pertumbuhan maksimum, kemudian
menurun karena terjadi penurunan kualitas dan
kuantitas nutrisi, serta berbagai faktor abiotik lainnya.
Selain itu laju pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis
dipengaruhi oleh kepadatan awal inokulum. Hal ini
berkaitan dengan carrying capacity medium yang

10

12

Hari
Hari

Gambar 3.2. Pertumbuhan populasi sel C. gracilis


Tahap I dengan KAI 1,00x102, 1,00x103, 1,00x104,
1,00x105 dan 1,00x106 sel/mL selama 10 hari.

Expon. (kepadatan awal I(1.0E+02sel/ml))


Expon. (kepadatan awal III(1.0E+04sel/ml))
Expon. (kepadatan awal V(1.0E+06sel/ml))

Expon. (kepadatan awal II(1.0E+03sel/ml))


Expon. (kepadatan awal IV(1.0E+05sel/ml))

Gambar 3.3. Model pertumbuhan populasi C. gracilis


dengan 5 jenis kepadatan awal inokulum (1,00x1021,00x106 sel/mL).
Pada Gambar 3.4 dapat dilihat laju
pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis berturut-turut
untuk KAI 1,00x102, 1,00x103, 1,00x104, 1,00x105,
1,00x106 adalah 0,989-1,972, 0,402-1,319, 0,4401,266, 0,421-0,852, 0,141-0,441.
3.3 Hubungan pertumbuhan populasi C. gracilis
dengan kualitas air kultur
Hasil pengamatan (Tabel 2) menunjukkan
bahwa parameter konsentrasi amonia, ortofosfat, dan
silikat dalam kultur menunjukkan korelasi positif
dengan pertumbuhan populasi kultur C. gracilis. Nitrat
menunjukkan korelasi negatif pada semua jenis kultur.
Nitrit hanya menunjukkan korelasi negatif pada kultur
dengan KAI 1x102 dan 1x103 sel/mL. Sedangkan
intensitas cahaya dan temperatur tidak menunjukkan
korelasi dengan pertumbuhan populasi kultur C.
gracilis.

Tabel 1. Persamaan laju pertumbuhan populasi


Kepadatan awal
inokulum

0.684x

1,00x102 sel/mL

Persamaan laju
pertumbuhan populasi
eksponensial
y = 442,99e0,9886x

Persamaan laju
pertumbuhan populasi

Jumlah sel tertinggi (pada


hari Ke-)

y = e5,102+0,989x

2,65x106 sel/mL (hari ke-10)

1,00x103 sel/mL

y = 2526,9e0,8626x

y = e6,972+0863x

4,45 x106 sel/mL (hari ke-9)

1,00x104 sel/mL

y = 32081e0,684x

y = e9,692+0,684x

7,90x106 sel/mL (hari-8)

1,00x105 sel/mL

y = 20438e0,4529x

y = e11,774+0,453x

9,87x106 sel/mL (hari ke-8)

1,00x106 sel/mL

y = 2E+06e0,1474x

y = e14,337+0,147x

8,01x106 sel/mL (hari ke-7)

*Keterangan: Jika y adalah jumlah populasi C. gracilis dalam kultur dan x adalah umur kultur (hari)

Gede Suantika dkk, Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur 5

Laju Pertumbuhan Spesifik Kultur C.gracilis

LajuPertumbuhan
Pertumbuhan
Laju

2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
1

10

Hari
Hari
kepadatan awal I(1.0E+02sel/ml)

kepadatan awal II(1.0E+03sel/ml)

kepadatan awal IV(1.0E+05sel/ml)

kepadatan awal V(1.0E+06sel/ml)

kepadatan awal III(1.0E+04sel/ml)

Gambar 3.4. Laju pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis dengan sistem batch.
Tabel 2. Korelasi Pearson antara pertumbuhan populasi C. gracilis dan parameter fisika kimia kultur
Kepadatan awal
inokulum

Parameter Fisika-Kimia
NH4

NO3

1,00E+02
0,665
-0,817
sel/mL
(**)
(**)
1,00E+03
0,801
-0,668
sel/mL
(**)
(**)
1,00E+04
0,800
-0,779
sel/mL
(**)
(**)
1,00E+05
0,827
-0,789
sel/mL
(**)
(**)
1,00E+06
0,607
-0,276
sel/mL
(**)
(**)
(*) korelasi signifikan pada level 0,05

NO2

-0,500
(**)
-0,348
(*)
0,433
(*)
0,381
(*)
0,585
(**)

PO43-

SiO3

0,937
(**)
0,800
(**)
0,906
(**)
0,961
(**)
0,739
(**)

0,924
(**)
0,880
(**)
0,895
(**)
0,964
(**)
0,726
(**)

pH

DO

Intensitas
cahaya

Suhu

-0,052

-0,035

0,139

0,224

-0,288
0,414
(*)
0,558
(**)

-0,069
0,393
(*)

0,147

0,26

-0,137

0,042

0,261

0,229

0,278

0,067

-0,024

0,059

0,13

(**) korelasi signifikan pada level 0,01


Hasil pengukuran kualitas air secara umum
dapat dilihat pada Gambar 3.5. Konsentrasi amonium
dalam kultur cenderung meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah populasi C. gracilis dalam kultur.
Perubahan konsentrasi amonium pada kultur C. gracilis
dapat diamati pada Gambar 3.5(a). Peningkatan
konsentrasi amonium tersebut kemungkinan berasal
dari sel yang mengalami lisis. Amonium merupakan
hasil dekomposisi tumbuhan. Berdasarkan analisis
menurut korelasi Pearson, amonium menunjukkan
korelasi positif terhadap pertumbuhan kultur C.
gracilis, yang berarti bahwa pertumbuhan sel C.
gracilis memiliki hubungan berbanding lurus dengan
konsentrasi amonium dalam kultur. Mikroalga dapat
menggunakan senyawa NH4+ sebagai sumber N untuk
pertumbuhannya. Amonium akan diserap secara aktif
dalam sel sebagai senyawa yang dibutuhkan pada saat
pembentukan gugus amida (Salisbury dan Ross, 1995).

Senyawa NH4 di dalam sel akan diubah menjadi


senyawa organik utama seperti glutamat, asam aspartat,
dan asparagin.
Pada umumnya konsentrasi nitrat pada kultur
C. gracilis mengalami penurunan seiring dengan
peningkatan jumlah populasi C. gracilis dalam kultur
(Gambar 3.5 (b)). Berdasarkan analisis menurut
korelasi Pearson, nitrat menunjukkan korelasi negatif
terhadap pertumbuhan kultur C. gracilis. Nitrat
merupakan salah satu sumber N yang digunakan oleh
mikroalga untuk pertumbuhannya, ketika peningkatan
jumlah populasi kultur akan diikuti oleh penurunan
konsentrasi nitrat dalam kultur.
Dalam kultur C. gracilis, konsentrasi nitrit
pada umumnya berfluktuasi dan cenderung rendah
(Gambar 3.5 (c)). Konsentrasi nitrit berkisar antara
0,01-0,26 mg/L. Fluktuasi dan rendahnya konsentrasi
nitrit dapat terjadi karena nitrit merupakan senyawa

6 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1

pengamatan, perubahan pH kultur C. gracilis tidak


berbeda secara signifikan, karena adanya keseimbangan
ion-ion yang terdapat dalam medium akibat adanya
proses aerasi pada medium. Pada hari kedua terdapat
penurunan pH kultur. Hal ini disebabkan karena terjadi
peningkatan kadar CO2 di dalam medium yang dapat
menyebabkan penurunan pH. Karbon dioksida yang
terlarut dalam air akan melepaskan ion H+ dan
bikarbonat.
Perubahan kandungan oksigen terlarut dapat
diamati pada Gambar 3.5 (g). Kandungan oksigen
terlarut berbanding terbalik dengan pertumbuhan
jumlah sel. Hal ini dapat terjadi karena oksigen terlarut
di dalam kultur digunakan C. gracilis untuk berespirasi,
dan
digunakan
juga
oleh
mikroba
yang
mendekomposisi sel-sel C. gracilis yang telah mati.
Kadar oksigen terlarut yang rendah, laju respirasi
dibatasi dengan difusi oksigen terlarut ke dalam sel
(Straskaba dan Gnauck, 1983; Annisa, 2005).
Fluktuasi intensitas cahaya dan temperatur
kultur dapat diamati pada Gambar 3.5 (h-i).
Berdasarkan analisis menurut korelasi Pearson,
fluktuasi intensitas cahaya dan temperatur tidak
menunjukkan adanya korelasi dengan pertumbuhan
jumlah populasi kultur C. gracilis. Pada beberapa
mikroalga, temperatur kultur di atas 32 oC dapat
menyebabkan letal, akan tetapi genus Chaetoceros sp.
masih dapat bertahan hidup pada suhu 40 oC. Gen yang
bertanggung jawab terhadap stress panas pada genus
Chaetoceros sp. adalah gen HI-5 yang akan
ditranskripsi menjadi mRNA HI-5 a dan HI-5 b
(Kinoshita, 2001).

antara pada proses reduksi nitrat menjadi amonium.


Selain itu menurut Jones (1993), nitrit merupakan
senyawa
yang dilepaskan alga dalam proses
pertumbuhannya, sehingga konsentrasi nitrit dalam
kultur bergantung kepada laju reduksi nitrat menjadi
amonium dan laju metabolisme C. gracilis.
Berdasarkan hasil pengamatan, konsentrasi
ortofosfat di dalam kultur C. gracilis cenderung
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi
kultur C. gracilis. Perubahan konsentrasi ortofosfat
dalam kultur C. gracilis dapat diamati pada Gambar 3.5
(d). Peningkatan konsentrasi fosfat dalam medium
terjadi akibat selama pertumbuhannya, mikroalga
melepaskan fosfat organik dan ester organik yang cepat
didaur ulang, selain itu mikroalga yang mati akan
mengalami lisis, kemudian mengalami degradasi oleh
bakteri (Kraus, 1964; Wetzel, 2001; Annisa, 2005).
Konsentrasi silikat di dalam kultur C. gracilis
cenderung meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah populasi kultur C. gracilis. Perubahan
konsentrasi silikat dalam kultur C. gracilis dapat
diamati pada Gambar 3.5 (e). Peningkatan konsentrasi
silikat di dalam medium terjadi akibat C. gracilis yang
mati mengalami lisis, kemudian cangkang luar C.
gracilis yang terbuat dari silikat mengalami
dekomposisi.
Perubahan derajat keasaman (pH) kultur C.
gracilis selama 10 hari pengamatan cenderung
fluktuatif. Kisaran fluktuasi dan perubahan pH dapat
diamati pada Gambar 3.5 (f). Perubahan pH dalam
kultur C. gracilis disebabkan karena adanya perubahan
kelarutan CO2 dan mineral di dalam medium
pertumbuhan
C.
gracilis. Berdasarkan
hasil
Perubahan Konsentrasi Amonium Kultur

Perubahan Konsentrasi Nitrat Kultur


0.3

5
4

3
2
1

NO3
(mg/L)
NO3 (mg/L)

Amonium(mg/L)
Amonium (mg/L)

0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0

0
0

10

12

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

12

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

Perubahan Konsentrasi Nitrit Kultur

Perubahan Konsentrasi Orthofosfat Kultur


12

0.3

10

0.2
0.15

0.1
0.05

PO3 PO4
(mg/L)
(mg/L)

0.25

(mg/L)
NO2NO2(mg/L)

10

Hari

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

Hari

Hari
Hari

8
6
4
2
0

0
0

10

Hari
Har i

10

Hari

Hari

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

12

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)


kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)


kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

12

Gede Suantika dkk, Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur 7

Perubahan Derajat Keasaman (pH) Kultur

Perubahan Konsentrasi Silikat Kultur


60

9.5

9
40

8.5

30

pH
pH

Silikat
Silikat(mg/L
(mg/L)

50

20

7.5

10

0
0

10

12

Hari

kepadatan awal I (1.00E+ 02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

Perubahan Oksigen Terlarut (DO) Kultur

12

Perubahan Intensitas Cahaya Kultur


2250

7.5
7
6.5

6
5.5
5

(lux) (lux)
In. Int.Cahaya
Cahaya

DO
(mg/L
DO (mg/L)

10

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

8.5

Hari
Hari

Hari

4.5

2200
2150
2100
2050
2000
1950
1900

4
0

10

12

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

10

12

har i
Hari

Hari
Hari

kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

Perubahan Temperatur Kultur


29

Suhu (oC)
Suhu
(C)

28.8
28.6
28.4
28.2
28
27.8
27.6
0

10

12

Hari
Hari
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)

kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)

kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)

kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)

kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)

Gambar 3.5. Hasil pengukuran berbagai faktor fisika kimia kultur: amonium (a), nitrat (b), nitrit (c), orthofosfat (d),
silikat (e), pH (f), DO (g), intensitas cahaya (h), dan temperatur kultur (i).
3.4 Jumlah kontaminan

3. Kesimpulan

Selama penelitian berlangsung, dilakukan


penghitungan jumlah kontaminan untuk mengetahui
signifikansi pertumbuhan populasi mikroba terhadap
pertumbuhan populasi kultur C. gracilis. Berdasarkan
hasil pengamatan, kontaminan kultur C. gracilis yang
diamati berasal dari kelas Cilliata, ordo Hypotrichida.
Kontaminasi cilliata pertama kali ditemukan pada
kultur dengan KAI 1x106 sel/mL pada hari ke 6,
kemudian pada kultur dengan KAI 1x105 sel/mL pada
hari ke 7. Pada kultur dengan KAI 1x102-1x104 sel/mL
kontaminasi cilliata terjadi pada hari ke 8. Kontaminasi
cilliata terjadi ketika populasi kultur C. gracilis telah
mencapai 1x106 sel/mL, dan ketika populasi kultur C.
gracilis mulai berkurang, maka populasi kontaminan
ikut berkurang. Diperkirakan sumber kontaminasi
berasal dari alat pengukur faktor fisik kultur dan
saluran aerasi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat


disimpulkan bahwa kepadatan awal inokulum (KAI) C.
gracilis yang dikultur menggunakan metoda batch,
dengan medium pertumbuhan Walne, salinitas awal 35
ppt, pH awal 7,5, aerasi 80-100 L/jam, suhu 27-29 oC
berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi kultur C.
gracilis yang ditunjukkan dengan kepadatan populasi
kultur C. gracilis tertinggi pada kultur dengan
kepadatan awal inokulum 1,0x105 sel/mL, yaitu sebesar
9,87x106 sel/mL pada hari ke 8 periode kultur.
Persamaan laju pertumbuhan populasi eksponensial
tertinggi terdapat pada kultur C. gracilis dengan
kepadatan awal inokulum 1,0x104 sel/mL, yaitu dengan
persamaan y = 32081e0,684x dengan y adalah jumlah
populasi C. gracilis dalam kultur, dan x adalah periode
kultur. Selain itu, laju pertumbuhan spesifik C. gracilis
terbesar terdapat pada kultur dengan KAI 1,0x102

8 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1

sel/mL, yaitu sebesar 1,972 sel/hari, dan laju


pertumbuhan spesifik C. gracilis terkecil terdapat pada
kultur dengan KAI 1,0x106 sel/mL, yaitu sebesar 1,41
sel/mL.
Daftar Pustaka
Annisa, L., 2005, Respon Chlorella pyrenoidosa
terhadap Senyawa Klorporifos, Tesis Magister
Biologi ITB, Bandung.
FishStat, 2004, The State of World Fisheries And
Aquaculture
2004,
FAO
Fisheries
Departement, Rome.
Jones, A. B., 1993, Macroalgal Nutrient Relationships,
Department of Botany, University of
Queensland.
Kinoshita, S., 2001, A Novel Heat Stress-responsive
Gene in the Marine Diatom Chaetoceros
Compressum Encoding Two Types of

Transcripts, a Trypsin-like Protease and its


Related Protein, by Alternative RNA Splicing.
Eur. J. Biochem., 268, 4599-4609.
Nahdiah, R., 2004, Pengaruh Penambahan Inokulum
Azotobacter
Chroococcum
Beijerinck
terhadap Pertumbuhan Chlorella pyrenoidosa
Chick, Tesis Magister Biologi ITB, Bandung.
Round, F. E., R. M Crawfod, and D. G Mann, 1990,
The Diatoms, Cambridge University Press,
Cambridge.
Salisbury, F. dan C. W. Ross, 1995, Fisiologi
Tumbuhan, Penerbit ITB, Bandung.
Sorgeloos, P. and P. Lavens, 1996, Manual on the
Production and Use of live Food for
Aquaculture, Fisheries technical paper, Food
& Agriculture Organization of The United
Nation, Rome.

Anda mungkin juga menyukai