Anda di halaman 1dari 12

Rifapentin Dosis Tinggi dengan Moxifloxacin untuk Tuberkulosis

Paru
ABSTRAK
Latar Belakang
Regimen tuberkulosis yang lebih singkat dan lebih sederhana dibandingkan regimen
harian selama 6 bulan diperlukan.
Metode
Kami secara acak menerapkan pasien dengan TB yang terdiagnosis baru, smear
positif, sensitif obat terhadap salah satu dari 3 regimen: regimen kontrol yang terdiri
dari ethambutol, isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide selama 2 bulan yang
diberikan harian diikuti dengan isoniazid dan rifampicin harian selama 4 bulan;
regimen 4 bulan dimana isoniazid pada regimen kontrol diganti dengan moxifloxacin
yang diberikan harian selama 2 bulan diikuti dengan moxifloxacin dan 900 mg
rifapentin yang diberikan 2 kali seminggu selama 2 bulan; atau regimen 6 bulan
dimana isoniazid diganti dengan moxifloxacin harian selama 2 bulan diikuti dengan
dosis mingguan moxifloxacin dan 1200 mg rifapentin selama 4 bulan. Spesimen
sputum diperiksa pada mikroskop dan setelah kultur pada interval reguler. End point
primernya berupa kegagalan dan kekambuhan terapi, dengan non-inferioritas
berdasarkan margin 6 poin persentase dan 90% CI.
Hasil
Kami mendaftarkan total 827 pasien dari Afrika Selatan, Zimbabwe, Botswana, dan
Zambia; 28% pasien terkoinfeksi dengan HIV. Pada analisis per-protokol, jumlah
pasien dengan respon tidak memuaskan ialah 4.9% pada kelompok kontrol, 3.2%
pada kelompok 6 bulanan (perbedaan dari kontrol, sebesar -1.8 poin persentase; 90%
CI, -6.1 s/d 2.4), dan 18.2% pada kelompok 4 bulanan (perbedaan dari kontrol,
sebesar 13.6 poin persentase; 90% CI, 8.1 19.1). Pada analisis intention-to-treat
dimodifikasi, jumlah tersebut ialah sebesar 14.4% pada kelompok kontrol, 13.7%

pada kelompok 6 bulanan (perbedaan dari kontrol, sebesar 0.4 poin persentase; 90%
CI, -4.7 s/d 5.6), dan 26.9% pada kelompok 4 bulanan (perbedaan dari kontrol,
sebesar 13.1 poin persentase; 90% CI, 6.8 19.4).
Kesimpulan
Regimen 6 bulan yang terdiri dari pemberian mingguan rifapentin dosis tinggi dan
moxifloxacin sama efektifnya dengan regimen kontrol. Regimen 4 bulan tidak lebih
unggul dari regimen kontrol.
Regimen khemoterapi 6 bulan yang efektif untuk terapi TB paru telah
dievaluasi pada sejumlah percobaan terkontrol. Saat pemberiaannya adekuat, mereka
mampu mencapai angka kesembuhan bebas kekambuhan sebesar 95% atau lebih pada
pasien yang terinfeksi oleh organisme sensitif obat. Namun, terdapat kebutuhan untuk
meneliti regimen yang dapat meningkatkan angka kesembuhan operasional dengan
memperpendek atau menyederhanakan terapi. Upaya sebelumnya dimana dosis
intermiten rifapentin yang digunakan telah menghasilkan angka kekambuhan yang
tak dapat diterima dan, pada pasien yang terkoinfeksi dengan HIV, resistensi didapat
terhadap rifamycin. Studi pada mencit menunjukkan bahwa kombinasi rifapentin
dosis tinggi dengan moxifloxacin dapat meningkatkan angka kesembuhan. Tujuan
dari percobaan ini ialah untuk menilai apakah regimen durasi 6 bulan atau 4 bulan
yang terdiri dari fase kontinu terapi intermiten dengan rifapentin dan moxifloxacin
lebih unggul dari regimen 6 bulan standar berdasarkan dosis harian isoniazid dan
rifampicin dan mampu mencegah resistensi didapat terhadap rifamycin pada pasien
kambuh yang terkoinfeksi dengan HIV.
METODE
Percobaan terkontrol, acak, multisenter, internasional ini dilakukan dalam
framework The International Consortium for Trials of Chemotherapeutic Agents in
Tuberculosis (INTERTB). Percobaan ini disponsori dan diimplementasi oleh St.

Georges, University of London, bersama dengan Medical Research Council Clinical


Trials Unit (MRC CTU) di University College London dan 6 institusi di Afrika
Selatan. Protokol studi ditinjau dan disetujui oleh komite tinjauan etik yang mewakili
setiap negara yang berpartisipasi, dan oleh badan tinjauan institusional di The Centers
of Disease Control and Prevention yang beroperasi di Botswana. Komite pemantauan
keamanan dan data independen meninjau data studi pada interval sekitar 6 bulan
sepanjang studi.
Pasien
Untuk berpartisipasi dalam percobaan, pasien harus memberikan informed
consent tertulis, berusia > 18 tahun, berat badan 35 kg atau lebih, memberikan 2
sampel sputum yang positif untuk basil tuberkel pada mikroskop smear direk, telah
menjalani khemoterapi antituberkulosis sebelumnya kurang dari sebulan, dan
memiliki alamat rumah yang mudah untuk dikunjungi. Peserta juga diperkirakan
bertahan terhadap terapi mingguan inisial. Pasien yang terkoinfeksi dengan HIV yang
memerlukan terapi antiretroviral (ART) pada saat diagnosis tidak layak awalnya;
karena percobaan terus berjalan, orang-orang yang memulai ART saat skrining
dianggap layak. Orang-orang dengan hitung sel CD4 < 200 per mm 3 tidak layak
awalnya, tetapi jumlah ini selanjutnya diubah menjadi 150 per mm3.
Untuk meminimalkan resiko resistensi multi-obat atau poli-obat dan
kekambuhan yang disebabkan oleh resistensi didapat terhadap rifamycin, pasien yang
memiliki resistensi terhadap isoniazid, rifampicin, atau moxifloxacin dieksklusi. Pada
sebagian besar instansi, determinasi ini tidak dapat dibuat hingga setelah randomisasi.
Daftar lengkap kriteria eligibilitas dicantumkan pada Supplementary Appendix,
tersedia di NEJM.org.
Setelah konseling, pasien diuji untuk HIV. Hasil diberitahukan pada pasien
kecuali bila diminta, kecuali di Botswana, dimana pemberitahuan adalah perintah.
Konseling post-test diberikan pada seluruh orang yang diuji, dan mereka yang

terinfeksi dengan HIV diberi perawatan klinis dalam pelayanan kesehatan mereka,
sesuai dengan praktek lokal. Radiografi thorax diperoleh di awal dan dievaluasi oleh
penilai ahli untuk menentukan luas radiografi penyakit dan ada atau tidaknya kavitasi.
Desain Studi
Sekuens alokasi acak dibentuk untuk setiap senter studi dengan penggunaan
blok beragam ukuran oleh ahli statistik independen di MRC CTU. Selain ahli statistik
yang melaporkan komite pemantauan keamanan dan data, staf di St. Georges dan di
MRC CTU tidak mengetahui penerapan terapi kecuali saat ketidaktahuan menjadi
tidak etis (misal, pada beberapa pembahasan efek merugikan yang serius).
Laboratorium yang berpartisipasi tidak mengetahui penerapan terapi sepanjang studi.
Pasien yang layak yang telah memberi informed consent secara acak
diterapkan dalam rasio 1:1:1 terhadap salah satu dari 3 regimen: regimen kontrol,
yang terdiri dari 6 bulan isoniazid dan rifampicin yang diberikan harian, dilengkapi
dengan ethambutol dan pyrazinamide dalam 2 bulan pertama; regimen 4 bulan, yang
terdiri dari 2 bulan ethambutol, moxifloxacin (400 mg), rifampicin, dan pyrazinamide
yang diberikan 2 kali seminggu; dan regimen 6 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
ethambutol, moxifloxain (400 mg), rifampicin, dan pyrazinamide yang diberikan
harian, diikuti dengan 4 bulan moxifloxain dan rifapentin (1200 mg) yang diberikan
mingguan. Seluruh obat diberikan pada dosis standar kecuali bila diminta; detail lebih
lanjut diberikan pada Supplementary Appendix. Beberapa obat percobaan didonasi
oleh Sanofi, Genus Pharmaceuticals, dan Sandoz, dan perwakilan Sanofi adalah
peneliti yang tidak ikut angkat suara pada pertemuan komite acara, tetapi tidak ada
satupun dari perusahaan tersebut yang berperan dalam desain studi, akumulasi data,
analisis data, atau persiapan manuskrip. Karena absorpsi rifapentin ditingkatkan
dengan pemberian makanan, setiap dosis rifapentin didahului dengan makanan
berupa 2 telur rebus dan roti. Terapi secara langsung diteliti di fasilitas kesehatan

kecuali selama fase kontinu harian regimen kontrol, selama terapi diawasi oleh orang
lain.
Di bawah kondisi percobaan, regimen 6 bulan standar memiliki > 95% angka
keberhasilan. Untuk alasan ini, studi didesain untuk menentukan apakah salah satu
regimen eksperimen lebih unggul dari regimen kontrol dimana margin noninferioritas 6 poin persentase digunakan. Besar sampel target ialah 1095; dihitung
dengan menggunakan 90% CI dua sisi untuk mencapai kekuatan 80%. Detail
perhitungan tercantum pada Supplementary Appendix.
Efikasi dan Keamanan
Dua sampel sputum dikumpulkan untuk apusan dan kultur sebelum terapi, dan
1 sampel dikumpulkan tiap bulan selama 12 bulan dan kemudian lagi pada 15 bulan
dan 18 bulan. Sampel dari senter di Zimbabwe yang dikultur pada medium padat
Lwenstein-Jensen dan sampel dari senter di Afrika Selatan dan Botswana dikultur
pada medium cair pada Mycobacteria Growth Indicator Tube. Kultur di Zambia
dilakukan pada kedua media. Efek samping diberi derajat untuk keparahan dengan
penggunaan kriteria dari The National Institute of Allergy and Infectious Disease,
Division of AIDS, setelah modifikasi minor. Sebagian besar pasien (86%) diamati
selama 18 bulan dari randomisasi. Namun, pasien di Afrika Selatan dan Botswana
yang menjalani randomisasi di periode pendaftaran 6 bulan terakhir mengalami
penurunan periode follow-up (12 bulan atau 15 bulan) untuk memungkinkan
pemanjangan periode pendaftaran.
End point efikasi primernya berupa jumlah pasien dengan outcome yang tidak
memuaskan, yang dimaksud sebagai outcome berikut: pengulangan kembali atau atau
perubahan terapi untuk sebab apapun selain mengganti dosis yang hilang atau hamil,
kultur positif dari sampel yang diperoleh pada kunjungan follow up terbaru, kematian
sebelum akhir terapi yang dijadwalkan untuk alasan selain kekerasan atau trauma,
kematian setelah akhir terapi dengan bukti bahwa kemungkinan kegagalan atau

kekambuhan terapi tuberkulosis mereka yang terkonfirmasi atau belum, dan gagal
menyelesaikan terapi tanpa hasil kultur negatif di akhir periode follow up terjadwal.
Kekambuhan setelah menyelesaikan terapi dimaksud sebagai 2 kultur positif dalam
periode 4 bulan tanpa kultur negatif intervensi (pada percobaan TB yang lebih awal)
dan tanpa bukti genotip reinfeksi. Outcome yang memuaskan dimaksud sebagai
memiliki kultur negatif pada akhir follow up terjadwal dan tidak memiliki outcome
yang telah diklasifikasikan sebagai tidak memuaskan. Definisi ini sesuai dengan
definisi yang digunakan pada berbagai percobaan TB fase 3 lain. Detail yang lebih
lanjut disediakan pada Supplementary Appendix.
Untuk seluruh kegagalan dan kekambuhan terapi, satu kultur sampel sputum
yang diperoleh sebelum terapi dan satu kultur sampel sputum yang diperoleh setelah
kegagalan atau kekambuhan terapi disimpan pada suhu -20C dan sampel dikirim ke
Departemen Mikrobiologi Kedokteran di St. Georges untuk kultur dan uji
kerentanan. Organisme tidak tahan panas dikirim ke Senter Mikrobiologi Klinis,
University College London, untuk ekstraksi dan genotip DNA dengan rata-rata
MIRU-VNTR (Mycobacterial Interspersed Repetitive Unit-Variable-Number Tandem
Repeats). Pasien-pasien dengan reinfeksi yang dimaksud

dengan perbedaan

setidaknya 2 loci MIRU dieksklusi dari analisis.


Pada setiap senter studi, 2 orang yang didesain memasukkan data
memasukkan form laporan kasus ke bespoke database yang dibentuk oleh MRC
CTU. File data ditransmisi secara elektronik, pada interval reguler, ke MRC CTU.
Analisis Statistik
Sesuai dengan pendekatan standar terhadap analisis percobaan noninferioritas, analisis dilakukan dengan populasi per-protokol dan intention-to-treat
modifikasi. Non-inferioritas harus ditunjukkan pada kedua analisis untuk menyatakan
bahwa regimen lebih unggul. Perbedaan absolut dalam jumlah outcome yang tidak
memuaskan dihitung dengan rata-rata model linear umum dengan fungsi hubungan

identitas. Non-inferioritas dinilai dengan penggunaan batas atas 90% Wald CI dua sisi
(yang ekuivalen terhadap signifikansi satu sisi sebesar 5%), dan hasilnya disesuaikan
untuk senter studi. Uji satu sisi tepat untuk percobaan non-inferioritas, dan tingkat
signifikansi satu sisi 5% telah digunakan pada percobaan non-inferioritas sebelumnya
mengenai TB. Tidak ada penyesuaian dibuat untuk perbandingan multipel karena
setiap regimen didesain untuk menjawab pertanyaan yang berbeda. Pendekatan ini
sesuai dengan pendapat ahli.
Analisis subgrup pre-specified dilakukan sesuai dengan status HIV dan senter
studi, tetapi hasil dilaporkan hanya untuk analisis yang dibuat sesuai status HIV
karena tidak terdapat heterogenitas yang ditemukan pada analisis yang dilakukan
sesuai senter. Analisis hasil kultur pada bulan ke-2 terbatas pada peserta yang sampel
sputumnya dikumpulkan antara 6 dan 10 minggu setelah randomisasi. Jika lebih dari
satu kontrol yang tersedia selama periode waktu

ini, hasil positif didahulukan

daripada hasil negatif. Seluruh analisis dilakukan dengan penggunaan software


STATA, versi 12.1 (Stata). Detail lengkap strategi analisis terdapat di Supplementary
Appendix.
HASIL
Populasi Studi
Antara 15 Agustus 2008 dan 1 Agustus 2011, total 827 subyek didaftarkan di
senter di Worcester (209) dan Johannesburg (255), Afrika Selatan, di Harare (203)
dan Marondera (89), Zimbabwe, di Francistown, Botswana (56), dan di Macha,
Zambia (15). Total 97 kegagalan skrining yang terlambat dieksklusi dari analisis
efikasi primer; pada mayoritas kasus tersebut, kultur yang diperoleh di awal samasama tidak positif atau menunjukkan adanya strain resisten obat. Total 593 dan 514
pasien diinklusi dalam analisis intention-to-treat modifikasi dan per protokol,
masing-masing. Karakteristik awal peserta serupa pada ketiga regimen (Tabel 1).

Efikasi
Jumlah pasien dengan outcome yang tidak memuaskan di antara yang
menerima regimen kontrol, regimen 4 bulan, dan regimen 6 bulan ialah 4.9%, 18.2%,
dan 3.2%, masing-masing, dalam analisis per-protokol, dan 14.4%, 26.9%, dan
13.7%, masing-masing, dalam analisis intention-to-treat modifikasi (Tabel 2).
Perbedaan yang disesuaikan dengan lokasi dalam jumlah outcome tidak memuaskan
antara pasien yang menerima regimen 4 bulan dan yang menerima regimen kontrol
ialah 13.1 poin persentase (90% CI, 6.8 19.4) pada analisis intention-to-treat
modifikasi dan 13.6% (90% CI, 8.1 19.1) pada analisis per-protokol. Pada kedua
analisis, regimen 4 bulan kurang unggul dibandingkan regimen kontrol, karena batas
bawah 90% CI lebih dari 6 poin persentase, meskipun identifikasi regimen sebagai
kurang unggul bukan merupakan tujuan prespecified dari percobaan.
Perbedaan yang disesuaikan dengan lokasi dalam jumlah outcome tidak
memuaskan antara regimen 6 bulan dan regimen kontrol ialah 0.4 poin persentase
(90% CI, -4.7 s/d 5.6) pada analisis intention-to-treat modifikasi dan -1.8 poin
persentase (90% CI, -6.1 s/d 2.4) pada analisis per-protokol. Pada kedua analisis,
batas atas 90% CI primer prespecified kurang dari margin non-inferioritas sebesar 6
poin persentase, menunjukkan bahwa regimen 6 bulan lebih unggul dari regimen
kontrol saat tingkat signifikansi satu sisi 5% digunakan. Meskipun 95% CI yang lebih
ketat untuk analisis per-protokol memberi interpretasi yang konsisten, 95% CI untuk
analisis intention-to-treat modifikasi tidak menunjukkan non-inferioritas (Tabel 2).
Menguji hipotesis nul satu sisi bahwa perbedaan ini > 6 poin persentase
menghasilkan nilai P 0.04 untuk analisis intention-to-treat modifikasi dan nilai P
0.001 untuk analisis per-protokol. Hasilnya dirangkum pada Gambar 2. Estimasi
Kaplan-Meier waktu analisis outcome tidak memuaskan untuk populasi per-protokol
ditunjukkan pada Gambar 3. Dengan regimen 4 bulan, 24 dari 30 outcome tidak
memuaskan (80.0%) terjadi kurang dari 6 bulan setelah akhir terapi, temuan yang
konsisten dengan percobaan lain.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara status HIV dan
regimen terapi pada analisis per-protokol atau analisis intention-to-treat modifikasi.
Perbedaan antar regimen

konsisten jika seluruh kematian atau seluruh reinfeksi

diklasifikasikan sebagai tidak memuaskan. Analisis intention-to-treat modifikasi yang


ketat terdiri dari seluruh eksklusi pasca randomisasi kecuali untuk yang ditentukan
terlambat dalam skrining menunjukkan peningkatan manfaat untuk pasien yang
menerima regimen 6 bulan. Namun, temuan ini harus diinterpretasi dengan hati-hati,
karena peserta potensial yang lebih sedikit dieksklusi dari kelompok ini,
kemungkinan karena kesempatan. Di antara 219 pasien yang dinilai pada bulan ke-2
yang menerima isoniazid selama 2 bulan pertama, 187 (85.3%) memiliki kultur
negatif dibandingkan dengan 394 dari 436 pasien (90.4%) yang menerima
moxifloxacin selama 2 bulan pertama (P = 0.06).
Kepatuhan terhadap ketiga regimen serupa selama 2 bulan pertama terapi.
Setelah itu, jumlah pasien dengan angka kepatuhan > 89% yang serupa pada ketiga
kelompok (75.3% pasien menerima regimen kontrol, 81.4% pasien menerima
regimen 4 bulan, dan 80.9% yang menerima regimen 6 bulan), tetapi lebih sedikit
jumlah pasien yang menerima regimen kontrol memiliki angka kepatuhan > 95%
(48.7% dibandingkan dengan 76.7% yang menerima regimen 4 bulan dan 76.9%
yang menerima regimen 6 bulan). Satu-satunya kejadian resistensi didapat terhadap
rifampicin terjadi pada pasien di kelompok kontrol yang terkoinfeksi dengan HIV dan
tidak patuh terhadap regimen kontrol.
Keamanan
Total 45 efek samping diberi derajat berat atau mengancam nyawa terjadi
pada 38 pasien selama terapi, tidak ada yang dianggap memiliki hubungan yang
berarti dengan terapi studi. Namun, 6 kejadian pada kelompok kontrol, 6 kejadian
pada kelompok 4 bulan, dan 4 kejadian pada kelompok 6 bulan dianggap
kemungkinan berhubungan dengan terapi studi. Di antara 827 pasien yang menjalani

randomisasi, 25 pasien meninggal: 6 pada kelompok kontrol, 12 pada kelompok yang


menerima regimen 4 bulan, dan 7 pada kelompok yang menerima regimen 6 bulan.
Di antara 25 kematian tersebut, 4 diklasifikasikan sebagai kemungkinan berhubungan
dengan tuberkulosis. Di antara 8 pasien dimana penyebab kematian tidak dapat
dipastikan, semuanya memberi hasil negatif spesimen sputum terakhir yang dikultur.
Namun, 6 dari pasien-pasien tersebut terkoinfeksi dengan HIV, dan kematian mereka
dapat terkait dengan HIV.
PEMBAHASAN
Percobaan ini menunjukkan bahwa regimen 6 bulan dengan dosis sekali
seminggu selama 4 bulan terakhir lebih unggul dari regimen kontrol; tidak terdapat
masalah terkait keamanan yang ditemukan. Sebaliknya, regimen 4 bulan, dimana
moxifloxacin dan 900 mg rifapentin diberikan dua kali seminggu selama fase
kontinu, memiliki angka kekambuhan yang secara signifikan lebih tinggi dari
regimen kontrol. Pemilihan dosis 900 mg rifapentin untuk regimen ini berdasarkan
pada asumsi farmakokinetik-farmakodinamik bahwa efek bakterisidal proporsional
terhadap area di bawah kurva konsentrasi (AUC), yang menunjukkan bahwa regimen
900 mg rifapentin dua kali sehari lebih efektif dari regimen 1200 mg rifapentin sekali
sehari, dan bahwa dosis yang lebih rendah dapat mengurangi toksisitas. Sementara
studi pada mencit menunjukkan bahwa regimen yang lebih singkat dari random
standar efektif, ini bukan kasus pada studi kami. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
adanya subpopulasi bacilli yang berada pada status dorman di lesi TB paru.
Subpopulasi bacilli tersebut diduga menyebabkan kekambuhan pada manusia, tetapi
sebagian besar tidak ada pada tikus dengan TB yang diinduksi secara eksperimental.
Karena subpopulasi tersebut, efikasi bakterisidal dapat terkait dengan konsentrasi
puncak rifapentin pada lesi manusia tetapi berhubungan dengan AUC pada mencit.
Selanjutnya, pemberian 900 mg rifapentin dua kali seminggu tidak lebih efektif dari

pemberian 1200 mg sekali seminggu saat menangani TB pada manusia, bahkan saat
regimen tersebut dalam durasi yang sama.
Tambahan moxifloxacin terhadap isoniazid diusulkan setelah laporan
mengenai akselerasi pada eliminasi basiler setelah tambahan tersebut dibuat dalam
studi pada mencit. Pada percobaan kami, tambahan ini mengurangi jumlah pasien
dengan kultur positif pada bulan ke-2 dari 14.6% menjadi 9.6%. Pengurangan ini
dibandingkan dengan penurunan dari 45% menjadi 40% pada percobaan fase 2 yang
mengevaluasi tambahan moxifloxacin yang sama, walaupun dengan definisi end
point

yang sedikit berbeda. Namun, peran pasti mixifloxacin dalam membantu

mencegah kekambuhan masih belum jelas. Pada studi farmakokinetik nested, hasil
menunjukkan bahwa meskipun rifapentin meningkatkan klirens moxifloxacin sebesar
8% selama terapi dibandingkan dengan klirens setelah menyelesaikan terapi tanpa
rifapentin, hal ini tidak menyebabkan perubahan paparan moxifloxacin yang
signifikan secara klinis. Lebih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk menentukan
apakah tambahan moxifloxacin terhadap isoniazid merupakan komponen penting
keberhasilan regimen sekali seminggu fase kontinu.
Tidak terdapat resistensi obat didapat yang teridentifikasi di antara pasien
yang menerima regimen intermiten, tetapi jumlahnya terlalu kecil untuk memberikan
kesimpulan yang definitif. Meskipun demikian, angka kekambuhan rendah yang
berhubungan dengan regimen 6 bulan menunjukkan bahwa resistensi didapat tidak
akan membatasi penggunaan dosis tinggi intermiten dengan rifapentin.
Percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan. Jumlah peserta yang menjalani
randomisasi (827) kurang dari ekspektasi besar sampel target (1095) akibat terlambat
mulai dan pendaftaran yang lebih lambat dari yang diduga. Namun, 827 peserta
cukup untuk menginterpretasi hasil kedua regimen eksperimen. Hanya 27% pasien
yang diinklusi dalam analisis intention-to-treat modifikasi yang terkoinfeksi dengan
HIV; median hitung sel CD4 mereka ialah 314 per mm 3. Pasien yang terkoinfeksi
dengan HIV oleh karena itu terwakili, terutama yang dengan hitung sel CD4 rendah.

Meskipun masuknya obat selama fase kontinu pada kelompok kontrol diawasi oleh
orang selain staf klinis, kebutuhan predefined untuk kepatuhan yang adekuat terhadap
terapi tidak berbeda sesuai dengan regimen terapi.
Memperluas penerapan rapid test seperti Xpert MTB/RIF untuk mengeksklusi
penyakit resisten rifampicin akan mempermudah penggunaan aman regimen 6 bulan
pada tempat dengan keterbatasan sumber daya, membuatnya mungkin untuk
memberikan regimen terhadap pasien dengan TB yang sensitif atau resisten monoisoniazid. Regimen juga relevan untuk program yang berdasarkan pada observasi
langsung terapi harian di senter kesehatan, karena observasi langsung hanya akan
diperlukan sekali seminggu selama fase kontinu dan oleh karena itu dapat dikirim di
lokasi yang dekat. Mengganti observasi terapi harian saat ini diperlukan oleh regimen
kontrol dengan regimen dimana intensitas observasi terapi yang dikurangi dapat
menurunkan biaya sistem kesehatan, meskipun biaya obat yang digunakan dalam
regimen saat ini memerlukan lebih sedikit observasi tetapi lebih besar. Tidak terdapat
analisis efektivitas biaya yang dilakukan. Namun, Bayer telah membuat komitmen
untuk membuat moxifloxacin tersedia dalam harga yang terjangkau, dan Sanofi
menurunkan harga rifapentin di AS. Makanan berupa 2 telur rebus dan beberapa
lembar roti diberikan untuk meningkatkan absorpsi rifapentin dapat menjadi barrier
untuk implementasi; penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menentukan seberapa
penting makanan ini.
Regimen 6 bulan dimana rifapentin dan moxifloxacin diberikan sekali sehari
selama fase kontinu lebih unggul dari regimen standar, yang memerlukan pemberian
terapi harian selama 6 bulan. Regimen baru dapat mempermudah strategi terapi yang
diobservasi secara langsung dan dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada
tempat tertentu, seperti yang dengan angka koinfeksi HIV rendah atau angka
resistensi isoniazid yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai