PEMBAHASAN
A; Pendahuluan
BAB II
PEMBAHASAN
Para
ulama
tasawuf, meskipun
berbeda-beda
demikian
mereka
pendapat
sepakat
dalam
bahwa
mendefinisikan
tasawuf
adalah
moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu sufi adalah mereka yang
bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa)
jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf
adalah semangat (spirit) Islam. Sebab ketentuan hukum Islam berdasarkan
landasan moral islami. Sebabnya, hukum Islam tanpa tasawuf (moral)
adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi.
Sebenarnya dalam wacana intelektual pun ada satu konsep paham
tasawuf yang
tetap mempertahankan
tasawuf, yaitu
moralitas atau akhlak. Itu sebabnya dapat disebut tasawuf akhlaki. Perlu
ditegaskan di sini, mengapa akhlak disebut esensi awal dari tasawuf,
karena arahnya adalah melaksanakan hidup sederhana dan sikap hidup
ini pada akhirnya membuahkan tindakan akhlak.
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat
mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa.
Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari Dzat Allah Yang
Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci, sekalipun tingkat
kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari
sumber aslinya2.
Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa
memerlukan pendidikan dan pelatihan mental yang panjang. Oleh karena itu,
pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk
pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan
kata lain, untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat
kebahagiaan yang optimum, manusia lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi
dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula
dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia.
Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan
utama dilakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya
yaitu hawa nafsu. Menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang
ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari
kerusakan akhlak. Seandainya, bukan karena rasa ketergantungan manusia
2Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.55
3
kepada kenikmatan dan kemewahan harta benda, pasti tidak akan terjadi
kerusakan akhlak3.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang
tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah
sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat.
Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ke titik
terendah, dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali.
Dalam paham tasawuf akhlaki ini orang yang menjalankan hidup
kesufiannya berhenti sebatas tujuan
:akhlak,
yaitu
meluruskan
jiwa,
sekadar kebutuhannya
dengan
menekan
dan
tidak sekedar apa yang terlihat secara lahir, tetapi lebih dari itu, yakni
memahami makna hakikinya, sehingga semua bentuk akidah dan ibadah
itu tidak hanya dilakukan sekedar formalitas, namun terhayati makna
tersiratnya.
2; Muhasabah (korelasi) terhadap diri sendiri, dan apabila telah menemukan
sifat-sifat yang tidak atau kurang baik, maka segera meninggalkannya.
3; Riyadlah (latihan) dan mujahadah (Perjuangan), yakni berlatih dan
berjuang membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu, dan
mengendalikan serta tidak memperturutkan keinginannya. Menurut AlGhazali riyadlah dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan
dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (syahwat) yang negatif
dengan mengganti sifat-sifat lawannya yang positif.
7Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 68
6
(menerima
pemberian
Allah
SWT
secara
Ikhlas),
dan
sebagainnya.11
Al-Ghazali menerangkan bahwa bersifat baik atau berakhlak terpuji
itu artinya menghilangkan semua kebiasaan yang tercela yang telah
dijelaskan oleh ajaran agama, dan bersamaaan dengan itu membiasakan sifat
yang baik, mencintai dan melakukannya. Dalam rumusan lain, sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Qasimi, Al-Ghazali mengatakan bahwa yang
dikatakan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk,
baik dalam keadaan lapang maupun susah. Di dalam kitabnya Al-Arbain,
al-Ghazali mengatakan bahawa yang dimaksud dengan budi pekerti baik
ialah bersifat tidak kikir dan tidak boros, tetapi diantara keduannya. Atau
dengan kata lain, sifat yang baik itu ialah sikap moderat diantara dua yang
ekstrem.12
Sebenarnya dari beberapa penjelasan yang ada, pada dasarnya
perbuatan baik, budi pekerti baik atau akhlak terpuji itu adalah sifat-sifat
atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran agama
(Islam).
Untuk merehabilitis sikap mental yang tidak baik, menurut orang sufi
tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah
sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang
murit diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup
berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, menekannya sampai
ke titik terendah; atau bila mungkin mematikannya sama sekali.
11Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 47
12Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 72
8
Jiwa manusia, kata al-Gazali, dapat dilatih, dikuasai, diubah dan dapat
di bentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan
akan
menjadi
kebiasaan
dan
dari
kebiasaan
akan
menghasilkan
Tajalli
ialah
lenyapnya/hilangnya
hijab
dari
sifat-sifat
selalu
dalam
rangka
ibadah,
memperbamyak
zikr,
menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik
lahir maupun batin. Seluruh jiwa (hati) hanya semata-mata untuk
memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran nur Ilahi. Apabila tuhan telah
menembus hati hambanNya dengan nurNya, maka berlimpah ruahlah
rahmat dan karunianNya. Pada tingkat ini hati hamba Allah itu bercahaya
terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir
rahasia alam malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah
segala hakikat ketuhanan yang selam ini terdinding oleh kotoran jiwanya.16
Jalan kepada Allah itu, kata kaum sufi, terdiri dari dua usaha.
Pertama, mulazamah, yaitu terus-menerus berada dalam zikr kepada Allah;
kerdua, mukhalafah, yaitu terus menerus menghindarkan diri dari segala
sesuatu yang dapat melupakanNya. Keadaan ini dimamakan safar kepada
tuhan. Ia tidaklah merupakan suatu gerak dari satu pihak, tidak dari pihak
yang datang (hamba) dan tidak pula dari pihak yang didatangi (Tuhan),
tetapi pendekatan dari keduanya, sebagaimana firman Allah SWT: kami ini
lebih dekat kepadannya dari pada urat lehernya sendiri. (Q.S 50:56).
Perumpamaan lain dikemukakan antara yang mencari (manusia)
dengan yang dicari (Tuhan) adalah seperti seseorang dengan cermin muka.
Orang akan tergambar dalam cermin muka itu, tajalli, tidak usah
melenyapkan diri kedalam cermin itu tetapi cukup dengan menghadapinya,
tidak dengan membawa gambar kemuka cermin atau memindahkan cermin
kemuka gambar tetapi dengan menghilangkan noda, kotoran atau tabir yang
menjadi penghalang antara orang itu dengan cermin.
Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat yang mulia dan organorgan tubuh sudah terbiasa melakukan amal-amal saleh dan perbuatanperbuatan luhur, maka untuk selanjutnya agar hasil yang sudah diperoleh itu
tidak berkurang, perlu penghayatan rasa ketuhanan. Satu kebiasaan yang
biasa dilakuakn dengan kesadaran yang optimal dan rasa kecintaan yang
16Asmaran As, hlm. 75
11
hawa
nafsunya,
bahkan
bisa
dilenyapkan
sifat-sifat
13
14
15
28Syamsun Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 82
29Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000) Cet. IV, hlm. 266.
30Syamsu Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 83.
17
:
).( , )(
)(
)( .. ) :
(
, : ,
: .
,
.
,
31.
31 Said Ramadhan Al-Buthi, Syarah wa Tahlil Kitabul Hikam, Juz 1, (Damsyik: Darul Fikr,
2003), hlm. 168.
18
34Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 258-162
35Syamsu Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 209.
20
BAB IV
ANALISIS
A; Analisis Materi
Dalam analisis ini, penulis akan menambahkan satu metode baru yang
menurut penulis adalah perwujudan nilai-nilai tasawuf dalam bentuk baru di
zaman modern ini. Selain itu penulis juga mengungkapkan betapa pentingnya
tasawuf akhlaki di era modern ini.
Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab
ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi keilahian. Hal
inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia,
akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Wujud dari kemampuan manusia,
umumnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar
21
sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan
martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan
kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang
ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat
Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.
Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika
insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan
nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka
hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya
yakni masyarakat sekitarnya. Sebagai muslim yang beritikad shaleh untuk
agama, berkeyakinan baik dengan adanya perkembangan zaman, hendaknya
menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti bahkan terpengaruh
perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan untuk
menyeimbangi perkembangan zaman. Sejauh ini, kita memahami bahwa
tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT
melalui segala jenis ritme ibadah seperti taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll.
Disinilah letak pentingnya tasawuf menurut penulis, dimana tasawuf
dicari orang lebih untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan
kebahagian sejati manusia, ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak
memiliki arah dan tujuan pasti. Tasawuf menjadi sangat penting, karena
menjadi fundasi dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam harus dapat
menyesuaikan diri di dunia modern ini, karena kebanyakan manusia
didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan dan budaya Barat
yang materialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat
materialisme-sekularisme ini terbukti lebih bersifat destruktif ke timbang
konstruktif bagi kemanusiaan. Sudah disebutkan di atas tiga bentuk baru dari
tasawuf akhlaki di zaman modern, seperti metode manajemen qolbu, metode
zikir dan metode nasyid.
22
23
tahun 1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru, mayoritas mereka
mengatakan bahwa anak-anak sekarang (saat itu) lebih sering mengalami
masalah emosi dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu. Mereka
tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih
gugup dan cenderung cemas; impulsif dan agresif. Survei tersebut berlanjut
dengan penelitian terhadap ratusan ribu pekerja, dari juru tulis hingga eksekutif
puncak, dari perusahaan besar, hingga perusahaan kecil dan wirausahawan.
Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa kemampuan pribadi dan sosial
menjadi inti utama keberhasilan (kecerdasan emosi). Mereka yang hanya
mengedepankan IQ saja, hanya mengakui eksistensi dari hal-hal yang bersifat
materiil yang dapat diraba, dirasa, dan diteliti secara ilmiah saja, namun dalam
hidup mereka akan mengalami kebuntuan dan terasa gersang36.
Untuk menjawab permasalahan masyarakat modern, yang hingga
sekarang cenderung hanya menekankan IQ saja, maka sebagai penyeimbang,
muncullah usaha-usaha untuk meningkatkan EQ dan SQ pada mereka. Salah
satu usaha tersebut di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian dengan sebuah konsep
yang diberi nama The ESQ Way 165. Dalam konsep tersebut kita diarahkan
pada sebuah keseimbangan antara body (fisik), mind (psikis) dan soul
(spiritual).
Meskipun konsep ESQ yang digagas oleh Ary Ginanjar Agustian ini
tidak menyebutkan diri sebagai aliran sufi, diantara materi besarnya sejalan
dengan tasawuf, dimana kita diarahkan pada kesadaran yang mendalam
mengenai hakikat diri kita, juga mengarahkan kita secara khusyu mendekatkan
diri pada Tuhan dengan kesadaran cinta yang mendalam. Hal ini pada akhirnya
mengantarkan kita pada kesadaran bahwa kita mengemban tanggung jawab
dari Tuhan untuk membangun kehidupan secara benar. Pengalaman ini
sebagaimana dirasakan oleh penulis selama mengikuti beberapa training yang
diadakan The ESQ Way 165. Pengalaman kekhusyuan sedemikian ini
sebagaimana dirasakan penulis pada waktu mengikuti jamaah tarekat
Syadziliyah di Jombang, dan jamaah tarekat Naqsabandiyah di daerah Subra,
36Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ
(Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
(Jakarta: Arga, 2007), hlm. 39.
24
Mesir.
Disamping adanya kesamaan, juga terdapat perbedaan antara materi dalam
The ESQ Way 165 ini dengan aliran sufi secara umum. Adapun perbedaan
tersebut bahwa The ESQ Way 165 ini menyatukan antara kesadaran keilahian
dengan aspek ilmu pengethuan (science) yang dibahas secara rasional, dan
dikemas secara modern, sementara aliran sufi pada umumnya lebih
memfokuskan pada pendekatan diri pada Tuhan dengan ritual yang jauh dari
kesan modern. Disamping itu penekanan dalam berzikir yang dipakai dalam
The ESQ Way 165, diantaranya yaitu Asmaul Husnah, lebih pada perenungan
makna yang terkandung di dalamnya, sementara pada tarekat-tarekat kelompok
sufi pada umumnya penekanan zikir lebih pada meresapi aura zikir itu sendiri,
dan biasanya masing-masing aliran sufi tersebut memiliki model zikir secara
khusus.
Dengan demikian berbagai macam bentuk implemetasi tasawuf akhlaki
di masyarakat modern, seperti, thariqat, Pesantren, maupun metode-metode
yang dilahirkan kembali dengan bentuk yang sesuai zamannya dari para ulama.
Dapat memiliki efek terpadu dalam mengarahkan seorang muslim untuk
berakhlak mulia dan melakukan perubahan yang positif di lingkungannya
sehingga dapat mencapai tingkat keshalehan yang utuh.
Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena
Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah
sekaligus. Ttasawuf juga menghendaki pelaksanaan syariat, sebab tasawuf dan
syariat tidak bisa di pisahkan satu sama lain, apalagi di pertentangkan. Tasawuf
merupakan aspek esoteris (batiniyah) sedangkan syariat adalah aspek eksoteris
(lahiriyah) Islam. Kedua aspek itu saling terintregasi.
25
TASAWUF AKHLAKI
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.
BAB IV
Skematika Pembahasan
Takhalli
Tahalli
Tajalli
Untuk melestarikan dan meperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
Munajat
Muraqabah dan Muhasabah
Memperbanyak wird dan zikr
Mengingat Mati
Tafajur
BAB V
Kesimpulan
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Al-Buthi, Said Ramadhan. Syarah wa Tahlil Kitabul Hika., Juz 1. Damsyik: Darul
Fikr. 2003.
Anwar, Rosihon dan Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
2006
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2002.
Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan
spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1
Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga. 2007.
Kahmad, Dadang. Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern.
Bandung: Pustaka Setia. 2002.
Madjid, Nurcholish. Pengalaman Mistik Kaum Sufi , Tabloid Tekad, Nomor
18/Tahun II, 6-12 Maret 2000.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000.
Natta, Abudin. Akhlak Tasawuf, cet. Ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2002.
Nasr, Husein. Living Sufisme, diterjemahkanoleh Abdul Hadi. Sebagai tasawuf
dulu dan sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1985.
Niam, Syamsu. Tasawuf Studies, Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: ArRuzz Media. 2014.
Syukur, M. Amin. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Solihin dan Rosyid Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Penerbit Nuansa. 2005.
29
30