Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PEMBAHASAN

A; Pendahuluan

Bagian terpenting tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung


dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di hadirat Tuhan.
Keberadaan di hadirat Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan
kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra Miraj,
misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Ini adalah
pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang Nabi. Kaum
sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi itu dalam
dimensi, skala, dan format yang sepadan dengan kemampuannya. Pertemuan
dengan Tuhan merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah
hadis sebagai sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata1.
Tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil dari kebudayaan
Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya. Di samping itu tasawuf
juga sebagai bagian dari ajaran Islam, karena ia hasil perwujudan dari Ihsan
yang merupakan salah satu dari tiga ajaran Islam. Tasawuf yang
merupakan implementasi dari ajaran Islam pada saat sekarang dituntut
untuk lebih menyentuh kebutuhan hidup riil manusia dan mampu
emecahkan segala persoalan yang terjadi pada masyarakat sekarang.
Tasawuf tidak hanya mengandalkan cinta sang sufi kepada Tuhannya, tetapi
menjadi khalifah Allah sekaligus abdullah di muka bumi ini.
Tasawuf dan zaman modern adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan
dan harus dimiliki oleh manusia karena keduanya memiliki peran
masing-masing dalam diri manusia yakni dalam mengemban amanat-Nya
sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Oleh karena itu, usaha
mengembangkan keduanya menjadi sesuatu yang harus kita optimalkan.
Bagaimana bertasawuf tanpa meninggalkan aktifitas di zaman modern
tanpa meninggalkan konsep-konsep tasawuf.
Dalam pembehasan pembahasan ilmu tasawuf Tasawuf akhlaqi adalah
tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti
atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah
1Nurcholish Madjid, Pengalaman Mistik Kaum Sufi dalam Tabloid Tekad, Nomor 18/Tahun II,
6-12 Maret 2000, hlm. 11

dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq


mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini
dikembangkan oleh ulama lama sufi, dibawah akan lebih lanjud dibahas
tentang Konsep tasawuf akhlaki: Implikasinya ditemgah masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN

A; Konsep Tasawuf Akhlaki

Para

ulama

tasawuf, meskipun

berbeda-beda

demikian

mereka

pendapat
sepakat

dalam
bahwa

mendefinisikan
tasawuf

adalah

moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu sufi adalah mereka yang
bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa)
jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf
adalah semangat (spirit) Islam. Sebab ketentuan hukum Islam berdasarkan
landasan moral islami. Sebabnya, hukum Islam tanpa tasawuf (moral)
adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi.
Sebenarnya dalam wacana intelektual pun ada satu konsep paham
tasawuf yang

tetap mempertahankan

esensi awal dari

tasawuf, yaitu

moralitas atau akhlak. Itu sebabnya dapat disebut tasawuf akhlaki. Perlu
ditegaskan di sini, mengapa akhlak disebut esensi awal dari tasawuf,
karena arahnya adalah melaksanakan hidup sederhana dan sikap hidup
ini pada akhirnya membuahkan tindakan akhlak.
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat
mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa.
Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari Dzat Allah Yang
Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci, sekalipun tingkat
kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari
sumber aslinya2.
Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa
memerlukan pendidikan dan pelatihan mental yang panjang. Oleh karena itu,
pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk
pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan
kata lain, untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat
kebahagiaan yang optimum, manusia lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi
dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula
dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia.
Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan
utama dilakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya
yaitu hawa nafsu. Menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang
ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari
kerusakan akhlak. Seandainya, bukan karena rasa ketergantungan manusia
2Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.55
3

kepada kenikmatan dan kemewahan harta benda, pasti tidak akan terjadi
kerusakan akhlak3.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang
tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah
sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat.
Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ke titik
terendah, dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali.
Dalam paham tasawuf akhlaki ini orang yang menjalankan hidup
kesufiannya berhenti sebatas tujuan

:akhlak,

yaitu

meluruskan

jiwa,

mengendalikan kehendak dan usaha-usaha yang dapat membuat manusia


konsisten melakukan keluhuran moral atau akhlak. Jadi tasawuf jenis ini lebih
bersifat mendidik sehingga coraknya cenderung praktis.
Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap
mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guana mencapai kebahagiaan
yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi
dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah) melalui penyucian
jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna,
dan berahlaqul karimah melaui pola penyifatan sifat-sifat Allah.4 Dan dalam
ilmu tasawuf dikenal dengan tiga fase pendidikan jiwa dan seni menata hati,
yaitu dikenalai dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela),
tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya Nur
Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya
ketuhanan).5

B; Fase Pendidikan Jiwa


a; Takhalli

3Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 57


4Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), hlm. 30
5Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
45

Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi.


Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela.
Salah satu akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya
akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi. Hal
ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam
segala bentuknya dan merusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.6
Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta
mematikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi yang
moderat berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi, yaitu
sekadar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan
duniawi sama sekali. Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu, cukup
sekadar dikuasai melalui pengaturan disiplin kehidupan. Aliran ini tidak
meminta agar manusia secara total melarikan diri dari problema dunia tidak
pula memerintahkan untuk menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini tetap
memanfaatkan dunia

sekadar kebutuhannya

dengan

menekan

dan

mengontrol dorongan hawa nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal


dan perasaan.
Sementara itu, kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa
kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh kelangsungan cita-cita
sufi. Persoalan duniawi penghalang perjalanan. Karena itu, nafsu yang
bertendesi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju
tujuan, yaitu memperoleh kebahagian spiritual yang hakiki. Bagi mereka,
cara memperoleh keridaan Tuhan tidak sama dengan cara memperoleh
kenikmatan material. Pengingkatan ego dengan cara meresapkan diri pada
kemauan Tuhan merupakan perbuatan utama.
Menurut penulis, di era modern ini pendapat kelompok sufi lebih tepat
untuk diimplementasikan, sikap kelompok sufi yang ekstrim mungkin lebih
cocok pada konteks zaman itu, namun di masa ini agama telah di tuntut
untuk menjadi gerbong perubahan sosial. Dengan sikap moderat dalam
menyingkapi kehidupan duniawi, dapat membuat seseorang untuk tidak
antipati terhadap dunianya, terutama dengan dunia sekitarnya atau
6Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 58
5

lingkungan sosialnya. Tahapan-tahapan pelatihan spiritual yang telah dilalui


hendaknya menjadikan seseorang

terproteksi dari godaan dunia dan

terdorong untuk melakukan perubahan positif di lingkungannya.


Pengertian lainnya, Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat
yang tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama
yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya
sifat-sifat tercela, dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk
memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan
sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan7. Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(Q.S 91: 9-10)
Adapun sifat-sifat tercela yang harus dihilangkan ialah antara lain alsyirik (penyekutuan Tuhan), al-hasad (keinginan yang berlabih-lebihan), alghadlab (marah), al-riya dan al-sumah (pamer), al-ujub (bangga diri), dan
sebagainnya. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu
dilakukan dengan cara:
1; Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah, sehingga pelaksanaannya

tidak sekedar apa yang terlihat secara lahir, tetapi lebih dari itu, yakni
memahami makna hakikinya, sehingga semua bentuk akidah dan ibadah
itu tidak hanya dilakukan sekedar formalitas, namun terhayati makna
tersiratnya.
2; Muhasabah (korelasi) terhadap diri sendiri, dan apabila telah menemukan
sifat-sifat yang tidak atau kurang baik, maka segera meninggalkannya.
3; Riyadlah (latihan) dan mujahadah (Perjuangan), yakni berlatih dan
berjuang membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu, dan
mengendalikan serta tidak memperturutkan keinginannya. Menurut AlGhazali riyadlah dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan
dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (syahwat) yang negatif
dengan mengganti sifat-sifat lawannya yang positif.

7Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 68
6

4; Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat terhadap

kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan kebiasaankebiasaan yang baik.


5; Memohon pertolongan kepada Allah SWT dari golongan setan (Q.S anNahl:89-100), sebab timbulnya sifat-sifat tercela itu dikarenakan
dorongan hawa nafsu, dan hawa nafsu itu karena desakan setan (Q.S
al-Araf: 20-22, dan al-Baqarah: 268).8
b; Tahalli
Tahap selanjutnya ialah Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.
Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan
agama, baik kewajiban yang bersifat luar atau ketaatan lahir maupun yang
bersifat dalam atau kekuatan batin. Yang dimaksud dengan ketaatan
lahir/luar, dalam hal ini, adalah kewajiban yang bersifat formal seperti salat,
puasa, zakat, haji dan sebagainnya. Sedangkan yang dimaksut dengan
ketaatan batin/dalam adalah seperti iman, ikhlas, dan lain sebagainnya.9
Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan
pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersiahan diri dari
segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dapat dilalui (takhalli), usaha
itu harus berlanjut terus ke tahap berikutnya yang disebut tahalli. Sebab,
apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya,
maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Prakteknya, pengisian
jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongkan dari sifat-sifat yang
buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan lebih dahulu, baru
kemudian diisi. Akan tetapi harus dengan cara, ketiaka menghilangkan
kebiasaan yang buruk bersamaan dengan itu diisi dengan kebiasaan yang
baik atau seperti mengobati suatu penyakit, bahwa hilangnya suatu penyakit
pada seseorangn karena adanya atau masuknya obat kedalam tubuhnya.10
Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari
hati dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah), dan sifat-sifat ketuhanan (altakhalluq bi akhlaqillah), antara lain al-tauhid (pengesaan Tuhan secara
8Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 46
9Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 71
10Asmaran As, hlm. 72
7

mutlak), al-taubah (kembali ke jalan yang baik), al-Zuhdu (sikap hati


mengambil jarak dengan dunia materi), al-Hub al-llah (cinta Tuhan), alWara (memelihara diri dari barang-barang yang haram dan syubhat), alSyabru (tabah dan tahan dalam menhadapi segala situasi dan kondisi), alFaqr (merasa butuh kepada Tuahan), al-Sukru (sikap terima kasih dengan
menggunakan nikmat dan rahamat Allah SWT secara fungsional dan
proporsionala), al-Ridha (rela terhadap apa yang telah diterimannya), altawakal (pasrah diri kepada Allah SWT setelah berusaha maksimal), alQanaah

(menerima

pemberian

Allah

SWT

secara

Ikhlas),

dan

sebagainnya.11
Al-Ghazali menerangkan bahwa bersifat baik atau berakhlak terpuji
itu artinya menghilangkan semua kebiasaan yang tercela yang telah
dijelaskan oleh ajaran agama, dan bersamaaan dengan itu membiasakan sifat
yang baik, mencintai dan melakukannya. Dalam rumusan lain, sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Qasimi, Al-Ghazali mengatakan bahwa yang
dikatakan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk,
baik dalam keadaan lapang maupun susah. Di dalam kitabnya Al-Arbain,
al-Ghazali mengatakan bahawa yang dimaksud dengan budi pekerti baik
ialah bersifat tidak kikir dan tidak boros, tetapi diantara keduannya. Atau
dengan kata lain, sifat yang baik itu ialah sikap moderat diantara dua yang
ekstrem.12
Sebenarnya dari beberapa penjelasan yang ada, pada dasarnya
perbuatan baik, budi pekerti baik atau akhlak terpuji itu adalah sifat-sifat
atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran agama
(Islam).
Untuk merehabilitis sikap mental yang tidak baik, menurut orang sufi
tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah
sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang
murit diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup
berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, menekannya sampai
ke titik terendah; atau bila mungkin mematikannya sama sekali.
11Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 47
12Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 72
8

Jiwa manusia, kata al-Gazali, dapat dilatih, dikuasai, diubah dan dapat
di bentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan
akan

menjadi

kebiasaan

dan

dari

kebiasaan

akan

menghasilkan

kepribadia.sikap mental dan perbuatan luhur yang sangat penting diisikan


kedalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan
manusia paripurna, antara lain adalah taubah, sabar, kefakiran, zuhud,
tawakal, cinta, makrifah dan kerelaan.
Apabila manusia mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari
sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan
terang, sehingga dapat lagi menerima cahaya Ilahi. Jadi hati yang belum
dibersihkan tidak akan dapat menerima cahaya tersebut.
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela
(takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala
tindakan dan perbuatannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas.
Ia ikhlas melakukan ibadah kepada Allah, ikhlas mengapdi kepada
kepentingan agamanya, ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan
masyarakat dan negarannya. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan
dan bantuan kepada semua. Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau
embel-embel lain seperti kata pribahasa: ada udang dibalik batu. Seluruh
hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari kerelaan Allah
semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan diri
kepadaNya.13
c; Tajalli

Setelah seseorang melalui dua tahab tersebut, maka tahab ketiga,


yakni tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum
sufi mendasarkan pendapatnnya pada firman Allah SWT: Allah adalah nur
(cahaya) langit dan bumi,(Q.S 24:35). Selanjutnya Mustafa Zahri dalam
bukunya Kunci Memehami Ilmu Tasawuf merumuskan arti tajalli sebagai
berikut:

Tajalli

ialah

lenyapnya/hilangnya

13 Asmaran As, hlm. 73


9

hijab

dari

sifat-sifat

kebasyariahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang selama itu gaib,


fananya/lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.14
Berdasarkan ayat Al-Quran di atas, kaum sufi yakin bahwa
seseorang dapat memperoleh pancaran nur Ilahi. Demikianlah Allah tampak
dengan afal, amsa, sifat dan zatNya. Mustahil orang dapat menutupi
cahaya, sedang cahaya itu terpancar dalam segala yang tertutup. Apalagi
Allah adalah cahaya langit dan bumi. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda: sesungguhnya Allah itu tampak bagi manusia umumnya dan bagi
Abu Bakar Khususnya.
Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa tersingkapnya hal-hal
yang gaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki karena nur yang
dipancarkan Allah de dalam dada (hati) seseorang. Tegasnya beliau
berkata: hal itu tidaklah didapat dengan menyusun dalil dengan menata
argumentasi, tetapi karena nur yang dipancarkan Allah ke dalam hati; dan
nur ini merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Maka barang
siapa mengira bahwa tersingkapnya itu tergantung pada dalil-dalil semata
maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang luas.
Krtika Rasulullah SAW ditanya tentang arti melapangkan dada dalam
firman Allah SWT: barang siapa yang hendak diberi Allah prtunjuk, maka
dilapangkanNya dadanya untuk Islam (Q.S 6:125), beliau berkata: itu
adalah nur yang dimasukkan Allah kedalam hati. Kemudian ketika ditanya
tentang tanda-tandanya beliau menjawab: menjauhi dunia yang menipu dan
menghadap dengan sepenuh hati ka alam abadi. Dalam hubungan ini beliau
berkata pula: Allah SWT telah menciptakan seluruh makhluk dalam
kegelapan lalu dipercikanNya mereka sebagian dari nurNya. Dengan nur
inilah seharusnya dicari kasyf. Nur ini memancar dari kemurahan Ilahi pada
wakti-waktu tertentu, diman orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya.
Rasulullah SAW bersabda: ada saat-saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka
siapkanlah dirimu untuk itu.15
Karena itulah setiap calon sufi mengadakan latihan-latihan jiwa
(riyadah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela,
14 Musthafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), hlm. 245
15Asmaran As,Pengantar Studi Tasawuf , hlm. 75
10

mengosongkan hati dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut


paut dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, segala
tindakannya

selalu

dalam

rangka

ibadah,

memperbamyak

zikr,

menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik
lahir maupun batin. Seluruh jiwa (hati) hanya semata-mata untuk
memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran nur Ilahi. Apabila tuhan telah
menembus hati hambanNya dengan nurNya, maka berlimpah ruahlah
rahmat dan karunianNya. Pada tingkat ini hati hamba Allah itu bercahaya
terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir
rahasia alam malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah
segala hakikat ketuhanan yang selam ini terdinding oleh kotoran jiwanya.16
Jalan kepada Allah itu, kata kaum sufi, terdiri dari dua usaha.
Pertama, mulazamah, yaitu terus-menerus berada dalam zikr kepada Allah;
kerdua, mukhalafah, yaitu terus menerus menghindarkan diri dari segala
sesuatu yang dapat melupakanNya. Keadaan ini dimamakan safar kepada
tuhan. Ia tidaklah merupakan suatu gerak dari satu pihak, tidak dari pihak
yang datang (hamba) dan tidak pula dari pihak yang didatangi (Tuhan),
tetapi pendekatan dari keduanya, sebagaimana firman Allah SWT: kami ini
lebih dekat kepadannya dari pada urat lehernya sendiri. (Q.S 50:56).
Perumpamaan lain dikemukakan antara yang mencari (manusia)
dengan yang dicari (Tuhan) adalah seperti seseorang dengan cermin muka.
Orang akan tergambar dalam cermin muka itu, tajalli, tidak usah
melenyapkan diri kedalam cermin itu tetapi cukup dengan menghadapinya,
tidak dengan membawa gambar kemuka cermin atau memindahkan cermin
kemuka gambar tetapi dengan menghilangkan noda, kotoran atau tabir yang
menjadi penghalang antara orang itu dengan cermin.
Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat yang mulia dan organorgan tubuh sudah terbiasa melakukan amal-amal saleh dan perbuatanperbuatan luhur, maka untuk selanjutnya agar hasil yang sudah diperoleh itu
tidak berkurang, perlu penghayatan rasa ketuhanan. Satu kebiasaan yang
biasa dilakuakn dengan kesadaran yang optimal dan rasa kecintaan yang
16Asmaran As, hlm. 75
11

mendalam, akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Orang-orang sufi


berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu
hanya dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa
kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini maka akan terbuka jalan untuk
mancapai Tuhan. Tampa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya
tujuan itu dan perbuatan yang dilakukan tidak dianggap perbuatan baik atau
amal saleh.17
Al-Jili membagi tajalli menjadi empat tingkatan. Pertama Tajalli alAfal, yakni tajalli-Nya pada perbuatan seseorang, artinya segala aktifitas
itu disertai Kudrat dan Iradat-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya. Hal ini
bisa berarti bahwa gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kodrat dan
iradat-Nya.
Kedua, Tajalli al-Asma, yakni lenyapnya seseorang dari dirinya dan
bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaharuan, dan lepasnya dari ikatan
tubuh kasarnya. Pada lingkungan ini tiada yang dilihat kecuali dzat alSyirfah (hakikat gerak), bukan melihat asma.
Ketiga, Tajalli Sifat, yakni seseorang hamba menerima sifat-sifat
ketuhanan, artinya tuhan mengambil tempat padannya tanpa hulu dzat-Nya.
Keempat, Tajalli Dzat, yakni apabila Allah SWT mwnghendaki adanya
tajalli atas hamba-Nya yang memfanakan dirinya, maka bertempatlah Dia
padanya, yang bisa berupa sifat dan bisa berupa dzat. Apabila berupa dzat,
maka disitu terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fananya seorang
hamba, maka yang baqa hanyalah Dia. Dalam pada itu, hamba telah berada
dalam situasi Ma Suwailah, yakni dalam wujud Allah semata.18
Berbeda dengan al-Jilli, maka al-kalabadzi membagi tajalli menjadi
tiga macam. Pertama, Tajalli Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung
yang menutupi kerahasiaan-Nya). Kedua, Tajalli Sifatidz Dzat, yakni
nampaknya sifat-sifat dzat-Nya sebagai sumber atau tempat cahaya. Ketiga,
Tajalli Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum dzat, atau hal-hal
yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.19
17Asmaran As, hlm. 76
18Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 48
19Amin Syukur dan Masyharuddin , hlm. 49
12

Pencapaian tajalli tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq


dengan alat al-qalb. Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih bila
dibandingkan dengan kemampuan akal. Yang kedua ini tidak bisa
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah SWT. Sedang alqalb mengetahui-Nya. Apabila Dia telah memneri atau menembus qalb
dengan nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang karunia dan
rahmat-Nya. Ketika itu qalb menjadi terang benderang, terangkatlah tabir
rahasia dengan karuniannya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat
ketuhanan yang selama ini terhijab (tertutub) dan terahasiakan.
Apabila seseorang telah mencapai

tajalli, maka dia akan

memperoleh marifat, yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan


peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa diartikan
lenyapnya segala sesuatu dengan/ketika menyaksikan Tuhan.
Marifat merupakan pemberian tuhan, bukan usaha manusia. Ia
merupakan ahwal tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan
ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim
Basyuni, marifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir
dari segala pemberian setelah melakuakan mujahadah dan riyadlah, dan
bisa dicapai ketika telah terpenuhinya qalb dengan Nur Ilahi.20
Nur Ilahi itu akan diberikan kepada seseorang yang telah
terkendalikan

hawa

nafsunya,

bahkan

bisa

dilenyapkan

sifat-sifat

kemanusiaan (basyariyah)-Nya yang cenderung berbuat mashiat, dan


terlepaskannya dari kecenderungan kepada masalah duniawi. Karena dosa
dan cinta kepadannya akan menjadi penghalang qalb untuk melihat
(marifat) kepada-Nya.21

C; Implikasi Tasawuf Akhlaki Dalam Masyarakat Modern

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengatakan


bahwa masyarakat modern adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama
disuatu tempat dengan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.22 Kita sekarang
20Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 49..
21Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 50
22W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm.
636

13

berada di abad modern (ada juga yang menyebutnya postmodern) yang


dicirikan dengan melimpahnya infomasi. Indonesia juga telah menuju era
informasi di abad modern. Dalam menyikapi era informasi, masyarakat
indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu masyarakat yang optomis, pesimis dan
mengambil jalan tengah. Masyarakat yang optimis biasanya tertantang untuk
lebih maju, sementara itu masyarakat yang pesimis akan menerima dampak
buruk karena mereka tidak siap dalam iklim persaingan, bahkan mungkin akan
tersingkir, sedangkan masyarakat yang mengambil jalan tengah mencoba
mempertimbangkan dampak baik dan buruk era informasi dan kemoderenan.
Karena masyrakat modern menghadapi problematika yang komplek,
carut marut dan berbahaya, maka perlu dicari solusi yang sangat tepat.
Masyarakat moderen harus menumbuhkan (lagi) spiritualitas diri. Menurut
para ahli inilah satu-satunya obat yang sangat tepat dan ampuh.
Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik,
empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada
Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap
hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi,
teknologi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi pelarian dari dunia
yang kasat mata menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan
tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespon
terhadap masalah-masalah sosial23.
Kajian tasawuf berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika
kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi,
namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri
dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem
kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang mengikuti gerak
dinamikanya, karena tasawuf adalah jantung dari ajaran Islam, tanpa tasawuf
Islam akan kehilangan ruh ajaran aslinya.
Sebagai salah satu contohnya ialah tarekat sanusiyah di Afrika Utara
atau sekarang menjadi Libya. Secara umum sanusiyah dikenal sebagai tarekat
kebangkitan, tetapi doktrinnya tidak jauh berbeda dengan sufisme
tradisional. Sanusiyah menentang ekses-ekses dalam ritual, seperti menari atau
23Mohammad Toriqqudin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 226

14

menyanyi. Pendirinya sangat menekankan peran Nabi dan mengikuti teladan


beliau. Selain membina dan mengajarkan para pengikutnya sanusiyah juga
memiliki etika kerja yang kuat, khususnya berkaitan dengan pembangunan dan
pemeliharaan pondok-pondok baru dan pembangunan melalui pertanian.
Tarekat ini menjadi faktor penting dalam perkembangan niaga di seluruh
Sahara. Pondok-pondok menyediakan keamanan sekaligus jaringan tempat
istirahat dan kontak bagi para pedagang, dan banyak pedagang yang bergabung
dengan tarekat ini.
Sayyed Hossein Nasr adalah salah satu penganjur spiritualitas yang
gigih. Menurutnya, paham sufisme mulai mendapat tempat di kalangan
masyarakat (termasuk masyarakat Barat) karena mereka merasa kering
batinnya. Masyarakat modern yang terdera problematika hidup yang komplek
dan carut marut mencoba lari ke spiritualitas dan sufisme. Mereka mencoba
membangun akhlak tasawuf.24
Sayyed Hossein Nasr menegaskan bahwa tasawuf, sufisme, dan tharikat
atau jalan ruhani merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric)
dari islam itu sendiri yang menjadi jiwa dari risalah Islam, sementara
jantungnya berakar pada Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk itu tasawuf, sufisme
dan tharikat mampu mengintegrasiakan seluruh ilmu pengetahuan yang
tampaknya berserakan.25
Nasib agama Islam di zaman modern ini juga sangat ditentukan
oleh sejauh mana kemampuan umat Islam merespons secara tepat tuntutan dan
perubahan sejarah yang terjadi di era modern. Sebagaimana pendapat Dadang
Kahmad, bahwa fenomena munculnya tasawuf pada zaman modern ini
merupakan salah satu usaha reinterpretasi dan reaktualisasi tertentu kepada
ajaran agama Islam, dengan tujuan agar tidak saja menjadi relevan bagi
kehidupan modern, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai
sumber makna hidup bagi pemeluknya.26
Pada masa sekarang makin lama makin disadari orang bahwa betapa
besar pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam memberi
wujud dan arti kehidupan manusia. Pengaruh tersebut tidak an-sich
berupa kebaikan saja, tetapi juga berupa keburukan yakni dapat membawa
24Abudin Natta, Akhlak Tasawuf, cet. Ke-4, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.293
25Husein Nasr, living Sufisme, diterjemahkanoleh Abdul Hadi. Sebagai tasawuf dulu dan
sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm 181
26Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), hlm. 70.

15

manusia ke arah malapetaka. Betapapun lengkap fasilitas modern yang


disediakan tanpa pemuasan terhadap batin, maka terasa ada something
missing dalam diri manusia. Di sinilah maka peranan tasawuf sangat
dibutuhkan,
melalui
tasawuf
kiranya
akan
mampu melahirkan
keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan batiniah. Dan melalui
kehidupan yang seimbang inilah maka akan menjanjikan kehidupan yang lebih
harmonis.
Di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah
kepada dekadensi moral seperti yang gejala-gejalanya mulai nampak saat ini
dan akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan, masalah tasawuf mulai
mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif
mengatasi masalah-masalah tersebut. Terjadinya kebakaran hutan dengan
segala akibatnya yang merugikan, praktek pengguguran kandungan (aborsi),
pemerkosaan, pembunuhan, penipuan, penyalahgunaan obat-obat terlarang,
pergaulan bebas yang mengarah pada perilaku peyimpangan seksual,
penimbunan harta kekayaan dengan dampaknya yang
menjurus pada
kesenjangan sosial, disia-siakannya masalah keadilan dan lain sebagainya
adalah bermula dari kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari
bimbingan Tuhan, yang disebabkan ia tidak pernah mencoba mendekati-Nya.
Untuk mengatasi masalah ini tasawuflah yang paling memiliki potensi dan
otoritas, karena di dalam tasawuf dibina secara intensif tentang cara-cara
agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Dengan
cara demikian. Ia akan malu berbuat menyimpang, karena merasa diperhatikan
oleh Tuhan.27
Dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran tasawuf, maka manusia
akan sadar bahwa semua yang ada di dunia ini (termasuk eksistensi ilmu
pengetahuan dan teknologi modern) tidak lain adalah milik Allah. Dengan
demikian, maka eksistensi modernisasi harus dimanfaatkan dalam batas-batas
kepentingan Ilahiyah yakni digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan
manusia, bukan justru sebaliknya, membuat kerusakan di dunia.
Fungsi tasawuf secara substansial adalah membentengi diri dari segala
macam penyakit hati, yang berupa keinginan untuk segala aspek keduniaan.
Hal ini tidak berarti bahwa manusia harus antipati terhadap dunia, bahkan
harus menjauhi dunia sejauh mungkin. Akan tetapi, Islam memberikan
kebebasan kepada para pemeluknya untuk mengambil segala aspek keduniaan
27 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 279
16

secara proporsional, sebatas yang dibutuhkan, tidak melampaui batas-batas


kewajaran28.
Hal ini dimaksudkan untuk menepis adanya kesan dari sebagian
kalangan yang menganggap tasawuf mengajak untuk hidup pasif dan
eskapisme (pelarian diri dari kenyataan kehidupan). Akan tetapi, justru
sebaliknya, tasawuf berfungsi sebagai dorongan hidup bermoral, dan
pengalaman mistis yang ditunjukkan kaum sufi sebenarnya merupakan suatu
kedahsyatan, karena ketinggian nilai-nilai moralitas yang ditampilkan29.
Sebagaimana yang dikutip oleh Syamsu Niam dari kitab Madkhal, AtTaftazani menolak kesan pasif dan eskapisme tersebut, justru tasawuf bersikap
aktif dan positif. At-Taftazani mengatakan:
Tasawuf tidak berarti suatu tindakan pelarian diri dari kenyataan
hidup, sebagaimana telah dituduhkan mereka yang anti. Tetapi, ia adalah usaha
mempersenjatai diri (manusia) dengan nilai-nilai ruhaniah yang baru, yang
akan menegakkannya saat menghadapi kehidupan materialtis, dan juga untuk
merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika
menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah hidupnya. Dengan pengertian
seperti ini justru tasawuf, sepanjang dapat mengaitkan kehidupan individu
dengan masyarakatnya, bermakna positif dan tidak negatif. Dalam tasawuf,
terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan perkembangan
masa depan masyarakat, yang antara lain hendaklah manusia selalu introspeksi
untuk meluruskan kesalah-kesalahannya, dan senantiasa menyempurnakan
keutamaan-keutamaannya. Bahkan tasawuf mendorong wawasan hidup
menjadi moderat. Juga membuat manusia tidak terjerat hawa nafsunya ataupun
lupa terhadap diri dan Tuhan-nya, yang akan membuatnya terjerumus ke dalam
penderitaan yang berat.30
Selain itu, dalam kitab al-Hikam, Syekh Ibnu Athaillah mengatakan
bahwa uzlah bukan berarti secara total menjauhi kehidupan bermasyarakat,

28Syamsun Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 82
29Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000) Cet. IV, hlm. 266.
30Syamsu Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 83.

17

karena pada dasarnya manusia bersifat sosial. Sebagaimana yang dikatakan


dalam syarah al-hikam yang ditulis oleh syekh DR. Said Ramadhan Al-Buthi,




:
).( , )(

)(
)( .. ) :
(
, : ,
: .


,


.
,
31.

31 Said Ramadhan Al-Buthi, Syarah wa Tahlil Kitabul Hikam, Juz 1, (Damsyik: Darul Fikr,
2003), hlm. 168.

18

Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis


keruhanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya sehingga ia
tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti, dan tujuan dari hidupnya.
Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin.
Maka, lewat spiritualitas Islam ladang kering jadi tersirami air sejuk dan
memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah
tujuannya. Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai keruhanian
atau lebih dekat pada Allah semata, melainkan juga bermanfaat dalam berbagai
bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan
yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan interdisipliner32.
Dalam kaitannya dengan problematika masyarakat modern, maka
secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu
menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya
sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawabanjawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka
terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.33Oleh karena itu,
peranan tasawuf dalam zaman modern sekarang ini, sangatlah dibutuhkan
bagi setiap muslim, karena tasawuf dalam kehidupan modern adalah untuk
memaknai arti ilmu pengetahuan dan teknologi modern sehingga tidak
bersifat destruktif terhadap tatanan yang ada. Sementara itu IPTEK berperan dalam memberikan kemudahan-kemudahan hidup bagi manusia. Kemudahan yang dimaksud di sini adalah kemudahan dalam beribadah serta
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Modernisasi dapat mengantarkan manusia ke tingkat religiusitas yang agung, yakni pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran.
Kreatifitas tersebut menganjurkan manusia untuk memikirkan masalah
modernisasi dan terus meningkatkannya.
Ahklak tasawuf adalah ilmu yang sangt berguna untuk membentuk
manusia yang humanis dengan moral yang luhur, ada beberapa metode dan
pembinaan ahlkak tasawuf modern yang telah dikenal masyarakat luas, yaitu:
1; Metode Manajemen Qalbu

32Syamsu Niam, hlm. 83.


33M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 179
19

Manajemen qalbu atau manajemen menata hati bertujuan membentuk


manusia berhati ikhlas, berpandangan positif dan selalu menata hati
berdasarkan keimana kepada Allah.
2; Metode Zikir
Metode zikir dikembangkan oleh K.H. Arifin Ilham, seorang kiai
muda yang memiliki suara serak yang khas melalui majelis zikirnya di
Jakarta.
3; Metode Nasyid
Manusia modern, khususnya kaum muda sangat gemar dengan dunu
hiburan, terutama musik. Untuk itu, diperlukan musik alternatif yang
bermutu untuk membina keimanan dan akhlak kaum muda. Nasyid adalah
musik alternatif modern yang sehat. Biasanya para penikmat musik nasyid
jauh lebih islami dan berakhlak luhur.34
Menurut penulir, Selain ketiga metode di atas, pesantren juga dapat
menjadi tempat perkembangan tasawuf akhlaki di zaman modern ini.
Pesantren sebagai sub kultur memiliki posisi strategis untuk membentengi
umat dari proses desakralisasi dan despiritualisasi. Upaya yang dilakukan
pesantren adalah dengan memelihara dan menumbuhkembangkan nilai-nilai
spiritual menurut ajaran Islam, yaitu melalui tasawuf. Meskipun tidak semua
pesantren mengajarkan nilai-nilai tasawuf kepada santrinya, hampir dapat
dipastikan bahwa seluruh kyai pengasuh pesantren mengamalkan ajaran
tasawuf tertentu. Biasanya ajaran-ajaran tasawuf tersebut, walaupun tidak
diajarkan secara resmi dan langsung, tetapi bisa dilihat dari perilaku dan sikap
para santrinya. Kyai sebagi figur utama di kalangan pesantren adalah panutan
sehingga sikap hidup dan perilaku kyai yang bersumber dari ajaran tasawuf,
biasanya juga memengaruhi perilaku dan sikap para santrinya35.

34Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 258-162
35Syamsu Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 209.
20

BAB IV
ANALISIS

A; Analisis Materi

Dalam analisis ini, penulis akan menambahkan satu metode baru yang
menurut penulis adalah perwujudan nilai-nilai tasawuf dalam bentuk baru di
zaman modern ini. Selain itu penulis juga mengungkapkan betapa pentingnya
tasawuf akhlaki di era modern ini.
Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab
ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi keilahian. Hal
inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia,
akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Wujud dari kemampuan manusia,
umumnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar

21

sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan
martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan
kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang
ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat
Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.
Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika
insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan
nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka
hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya
yakni masyarakat sekitarnya. Sebagai muslim yang beritikad shaleh untuk
agama, berkeyakinan baik dengan adanya perkembangan zaman, hendaknya
menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti bahkan terpengaruh
perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan untuk
menyeimbangi perkembangan zaman. Sejauh ini, kita memahami bahwa
tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT
melalui segala jenis ritme ibadah seperti taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll.
Disinilah letak pentingnya tasawuf menurut penulis, dimana tasawuf
dicari orang lebih untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan
kebahagian sejati manusia, ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak
memiliki arah dan tujuan pasti. Tasawuf menjadi sangat penting, karena
menjadi fundasi dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam harus dapat
menyesuaikan diri di dunia modern ini, karena kebanyakan manusia
didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan dan budaya Barat
yang materialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat
materialisme-sekularisme ini terbukti lebih bersifat destruktif ke timbang
konstruktif bagi kemanusiaan. Sudah disebutkan di atas tiga bentuk baru dari
tasawuf akhlaki di zaman modern, seperti metode manajemen qolbu, metode
zikir dan metode nasyid.

22

Menurut penulis, selain beberapa metode di atas yang telah


direformulasikan dari konsep tasawuf akhlaki oleh para ulama di masa ini. Kita
juga tidak bisa melupakan peran institusi keagamaan yang telah lama tumbuh
dan berkembang, yaitu pesantren. Pesantren sudah lama menjadi tempat
dimana tasawuf di pelajari dan diajarkan. Tetapi penulis melihat perlunya
membentuk ulang konsep tasawuf akhlaki ini agar sesuai dengan konteks
zaman modern ini. Hal ini dikarenakan agar tidak muncul lagi stigma negatif
dari masyarakat terhadap ilmu tasawuf, karena kadang kita jumpai masyarakat
yang menganggap ilmu tasawuf sebagai ilmu yang sesat.
Selain tiga bentuk baru tasawuf di zaman modern yang telah dipaparkan
di atas. Menurut penulis ada satu lagi bentuk baru dari tasawuf yang memang
berbeda secara zahir apabila dilihat dari bentuk kegiatannya. Tetapi secara
substansi memiliki nilai-nilai yang sama dengan konsep tasawuf, yaitu adalah
ESQ. ESQ (Emotional spiritual quostient ) adalah sebuah metode pebangunan
jiwa yang menggabungkan antara dua unsur kecerdasan, yaitu kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan memanfaatkan kekuatan
kekuatan pikiran bawah sadar atau yang dikenal dengan suara hati ( God Spot).
ESQ ini bisa muncul karena kesalahan kehidupan masyarakat modern
yang hanya menekankan aspek IQ ini terjadi sejak dari sistem pendidikan
mereka selama ini yang terlalu menekankan pentingnya nilai akademik atau
kecerdasan otak (IQ) saja. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke bangku
kuliah, jarang dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi (EQ) yang
mengajarkan: intregitas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan
mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau
sinergi. Hal ini dapat dilihat pada materi-materi pelajaran sekolah, dan materi
ujian tes evaluasi belajarnya, semuanya bertujuan untuk mengembangkan IQ
saja.
Pendidikan dalam masyarakat modern semacam ini bukanlah hal yang
baik untuk kelangsungan kehidupan manusia. Dikatakan oleh Ary Ginanjar
Agustian, bahwa hasil survei di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang IQ,
menunjukkan bahwa semakin tinggi skor IQ pada anak-anak, kecerdasan emosi
(EQ) mereka justru turun. Hasil survei yang lain, yang dilakukan besar-besaran

23

tahun 1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru, mayoritas mereka
mengatakan bahwa anak-anak sekarang (saat itu) lebih sering mengalami
masalah emosi dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu. Mereka
tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih
gugup dan cenderung cemas; impulsif dan agresif. Survei tersebut berlanjut
dengan penelitian terhadap ratusan ribu pekerja, dari juru tulis hingga eksekutif
puncak, dari perusahaan besar, hingga perusahaan kecil dan wirausahawan.
Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa kemampuan pribadi dan sosial
menjadi inti utama keberhasilan (kecerdasan emosi). Mereka yang hanya
mengedepankan IQ saja, hanya mengakui eksistensi dari hal-hal yang bersifat
materiil yang dapat diraba, dirasa, dan diteliti secara ilmiah saja, namun dalam
hidup mereka akan mengalami kebuntuan dan terasa gersang36.
Untuk menjawab permasalahan masyarakat modern, yang hingga
sekarang cenderung hanya menekankan IQ saja, maka sebagai penyeimbang,
muncullah usaha-usaha untuk meningkatkan EQ dan SQ pada mereka. Salah
satu usaha tersebut di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian dengan sebuah konsep
yang diberi nama The ESQ Way 165. Dalam konsep tersebut kita diarahkan
pada sebuah keseimbangan antara body (fisik), mind (psikis) dan soul
(spiritual).
Meskipun konsep ESQ yang digagas oleh Ary Ginanjar Agustian ini
tidak menyebutkan diri sebagai aliran sufi, diantara materi besarnya sejalan
dengan tasawuf, dimana kita diarahkan pada kesadaran yang mendalam
mengenai hakikat diri kita, juga mengarahkan kita secara khusyu mendekatkan
diri pada Tuhan dengan kesadaran cinta yang mendalam. Hal ini pada akhirnya
mengantarkan kita pada kesadaran bahwa kita mengemban tanggung jawab
dari Tuhan untuk membangun kehidupan secara benar. Pengalaman ini
sebagaimana dirasakan oleh penulis selama mengikuti beberapa training yang
diadakan The ESQ Way 165. Pengalaman kekhusyuan sedemikian ini
sebagaimana dirasakan penulis pada waktu mengikuti jamaah tarekat
Syadziliyah di Jombang, dan jamaah tarekat Naqsabandiyah di daerah Subra,
36Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ
(Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
(Jakarta: Arga, 2007), hlm. 39.

24

Mesir.
Disamping adanya kesamaan, juga terdapat perbedaan antara materi dalam
The ESQ Way 165 ini dengan aliran sufi secara umum. Adapun perbedaan
tersebut bahwa The ESQ Way 165 ini menyatukan antara kesadaran keilahian
dengan aspek ilmu pengethuan (science) yang dibahas secara rasional, dan
dikemas secara modern, sementara aliran sufi pada umumnya lebih
memfokuskan pada pendekatan diri pada Tuhan dengan ritual yang jauh dari
kesan modern. Disamping itu penekanan dalam berzikir yang dipakai dalam
The ESQ Way 165, diantaranya yaitu Asmaul Husnah, lebih pada perenungan
makna yang terkandung di dalamnya, sementara pada tarekat-tarekat kelompok
sufi pada umumnya penekanan zikir lebih pada meresapi aura zikir itu sendiri,
dan biasanya masing-masing aliran sufi tersebut memiliki model zikir secara
khusus.
Dengan demikian berbagai macam bentuk implemetasi tasawuf akhlaki
di masyarakat modern, seperti, thariqat, Pesantren, maupun metode-metode
yang dilahirkan kembali dengan bentuk yang sesuai zamannya dari para ulama.
Dapat memiliki efek terpadu dalam mengarahkan seorang muslim untuk
berakhlak mulia dan melakukan perubahan yang positif di lingkungannya
sehingga dapat mencapai tingkat keshalehan yang utuh.
Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena
Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah
sekaligus. Ttasawuf juga menghendaki pelaksanaan syariat, sebab tasawuf dan
syariat tidak bisa di pisahkan satu sama lain, apalagi di pertentangkan. Tasawuf
merupakan aspek esoteris (batiniyah) sedangkan syariat adalah aspek eksoteris
(lahiriyah) Islam. Kedua aspek itu saling terintregasi.

25

TASAWUF AKHLAKI

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.

BAB IV
Skematika Pembahasan
Takhalli

Tahalli

Tajalli

Untuk melestarikan dan meperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
Munajat
Muraqabah dan Muhasabah
Memperbanyak wird dan zikr
Mengingat Mati
Tafajur

Metode pembinaan Ahklak tasawuf di zaman Modern


Metode manajemen qalbu
Metode Zikir
Metode Nasyid
Metode ESQ
26

BAB V
Kesimpulan

Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang


kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap
mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guana mencapai
kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan
eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah)
melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang
bermoral paripurna, dan berahlaqul karimah melaui pola penyifatan sifatsifat Allah.
Dan dalam ilmu tasawuf dikenal dengan tiga fase pendidikan jiwa dan
seni menata hati, yaitu dikenalai dengan takhalli (pengosongan diri dari sifatsifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli
(terungkapnya Nur Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan).
Di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah
kepada dekadensi moral seperti yang gejala-gejalanya mulai nampak saat ini
dan akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan, masalah tasawuf mulai

27

mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif


mengatasi masalah-masalah tersebut.
Dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran tasawuf, maka manusia
akan sadar bahwa semua yang ada di dunia ini (termasuk eksistensi ilmu
pengetahuan dan teknologi modern) tidak lain adalah milik Allah.
Dalam kaitannya dengan problematika masyarakat modern, maka
secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu
menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya
sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawabanjawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka
terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.
Ahklak tasawuf adalah ilmu yang sangt berguna untuk membentuk
manusia yang humanis dengan moral yang luhur, ada beberapa metode dan
pembinaan ahlkak tasawuf modern yang telah dikenal masyarakat luas, yaitu:
Metode manajemen qalbu, Metode Zikir, Metode Nasyid, Metode Harakah
serta metode ESQ.

28

DAFTAR PUSTAKA
Al-Buthi, Said Ramadhan. Syarah wa Tahlil Kitabul Hika., Juz 1. Damsyik: Darul
Fikr. 2003.
Anwar, Rosihon dan Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
2006
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2002.
Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan
spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1
Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga. 2007.
Kahmad, Dadang. Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern.
Bandung: Pustaka Setia. 2002.
Madjid, Nurcholish. Pengalaman Mistik Kaum Sufi , Tabloid Tekad, Nomor
18/Tahun II, 6-12 Maret 2000.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000.
Natta, Abudin. Akhlak Tasawuf, cet. Ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2002.
Nasr, Husein. Living Sufisme, diterjemahkanoleh Abdul Hadi. Sebagai tasawuf
dulu dan sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1985.
Niam, Syamsu. Tasawuf Studies, Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: ArRuzz Media. 2014.
Syukur, M. Amin. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Solihin dan Rosyid Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Penerbit Nuansa. 2005.

29

Sholikhin, Muhammad. Tradisi Sufi dari Nabi. Yogyakarta: Cakrawala. 2009.


Siregar, Rivai. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawali
Pers. 2002.
Syukur, Amin & Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002.
Toriqqudin, Mohammad. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam
Dunia Modern, Malang: UIN-Malang Press. 2008.
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
1991.
Zahri, Musthafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu. 1991.

30

Anda mungkin juga menyukai