TEMPE
A. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara II Tempe ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui tahap tahapan pembuatan tempe
2. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi ragi tempe, jenis
pengemasan tempe dan jenis kedelai yang digunakan
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Teori
Mutu tempe ditentukan oleh tiga faktor, yaitu organoleptic, kandungan gizi,
serta cemaran logam dan bakteri. Keadaanorganoleptik terdiri dari keadaan bau,
warna dan rasa. Kandungan gizi meliputi kadar air, protein, lemak dan serat kasar.
Cemaran logam yang harus diperhatikan adalah cadmium, timbal, merkuri, dan
arsen. Adapun cemaran bakteri meliputi bakteri coliform dan salmonella. Bau
normal pada tempe adalah tidak berbau benda asing, tetapi berbau khas tempe.
Jika terdapat bau asing, dapat dikatakan tempe tersebut tidak normal. Warna
normal pada tempe adalah putih keabu abuan. Jadi selain warna putih keabua
abuan maka warna tempe dikatakan tidak normal. Adapun untuk rasa tempe yang
normal adalah tidak terdapat rasa selain tempe (Susianto dkk, 2014).
Tempe (atau tempe) adalah produk kacang kedelai difermentasi padat yang
dikonsumsi secara luas di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada
minat yang besar di Barat, terutama Amerika Serikat, dalam mengembangkan
tempe sebagai sumber protein alternatif. Hesseltine adalah salah satu orang yang
pertama untuk membuat sebuah keterangan dari fermentasi dalam tinjauan
otoritatif dari makanan terfermentasi oriental. Hanya satu mikro-organisme,
Rhizopus oligosporus (jamur: Zygomycotina) diperlukan untuk proses dan
persiapan yang sangat cepat, mengambil hanya dua hari, paling-paling, selesai.
Dalam hal ini ini berbeda dari fermentasi kedelai lainnya, seperti miso dan shoyu,
yang melibatkan bakteri, ragi, dan jamur dalam multi-tahap proses fermentasi,
yang mungkin butuh bulan atau tahun untuk penyelesaian. Tidak seperti ini
fermentations tempe adalah padat "kue", yang tahan lama dan dikonsumsi sebagai
pengganti daging, bukan sebagai bumbu. Kecepatan dan kesederhanaan membuat
persiapan tempe ideal untuk mendemonstrasikan prinsip makanan fermentations,
dan, dengan perawatan wajar, produk dapat dijamin untuk menjadi bebas dari
mencemari cetakan dan mycotoxins (Hedger, 2005)
Daun pisang telah sejak lama digunakan sebagai bahan pembungkus
tempe. Masalah dalam penggunaan daun ini adalah karena tidak dapat
membiarkan difusi udara yang merata ke dalam kacang kedelai selama proses
fermentasi, yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang serta mempercepat proses
fermentasi dan menghasilkan tempe yang bermutu baik. Difusi udara yang merata
ke dalam kedelai akan diperoleh apabila digunakan kantung plastik berlubang
luabnag selama proses fermentasi. Kecepatan difusi udara ini dapat diatur dengan
memilih kantung ketebalan plastik yang digunakan serta jarak lubang pada
kantung plastik tersebut (Muchtadi, 2010).
Fermentasi tempe merupakan fermentasi dua tahap yaitu fermentasi oleh
aktivitas bakteri yang berlangsung selama proses perendaman kedelai, dan
fermentasi oleh kapang yang berlangsung setelah diinokulasi dengan kapang.
Komposisi dan pertumbuhan mikroflora tempe selama fermentasi sangat menarik
untuk dicermati karena ternyata tidak hanya R. oligosporus yang berperan.
Mulyowidarso dkk., (1989) yang telah mempelajari secara mendalam tentang
teknologi mikrobia selama perendaman kedelai untuk pembuatan tempe
menemukan bahwa bakteri merupakan mikroflora yang secara signifikan selalu
tumbuh selama pembuatan tempe dan mempunyai peran yang penting. Walaupun
R. oligosporus berperan utama dalam pembuatan tempe, yeast kemungkinan juga
dapat tumbuh selama fermentasi tempe. Sehingga analisis mikrobiologis sangat
perlu diungkapkan lebih mendetil agar keterlibatan setiap jenis mikroorganisme
dalam pembuatan tempe dapat diketahui dengan jelas (Kusyawati,2009).
2. Tinjauan Bahan
Tempe bukan saja sebagai sumber protein tetapi juga mengandung mineral
makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Kapang tempe dapat menghasilkan
enzim fitase yang akan menguraikan asam fitrat (yang mengikat beberapa mineral)
menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitrat, maka mineral-mineral
tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, seng) menjadi lebih tersedia untuk
dimanfaatkan tubuh. Jumlah mineral zat besi, tembaga dan seng berturut turut
adalah 9,39, 2,87 dan 8,05 mg setiap 100 gr tempe. Oleh karena itu maka
konsumsi tempe secara teratur akan menghindarkan seseorang dari anemia akibat
kekurangan zat gizi besi (Astawan, 2009).
Kualitas (tingkat kekuatan) ragi menentukan jumlah kedelai yang mampu
difermentasikan dalam dosis tertentu. Apabila kekuatan ragi tidak diketahui, akan
sulit untuk menentukan dosis ragi secara tepat dan pasti, akibatnya, kualitas tempe
yang dihasilkan tidak stabil dan berbeda dari satu proses ke proses yang lain. Hal
tersebut sering dialami oleh pengusaha tempe tradisional skala kecil, lebih lebih
yang tidak memiliki sarana pendukung berupa alat-alat ukur (timbangan dan
takaran). Dengan demikian, penyiapan bahan-bahan dilakukan hanya berdasarkan
perkiraan semata. Bagian tempe yang berperan dalam pembuatan ragi adalah
bagian berwarna putih menyerupai kapas, yang disebut mycelium jamur atau
kapang yang mengandung spora (sumber spora). Bila bahan ragi yang digunakan
banyak mengandung biji kedelai, maka sudah pasti akan mengurasi konsentrasi
spora, sehingga kekuatannya dalam meragi kedelai pada periode berikutnya akan
menurun (Suprapti, 2003).
Tempe kedelai adalah bahan makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh
kapang yang berupa padatan dan berbau khas serta berwarna putih keabu abuan.
Seiring perkembangan pengetahuan dan kemajuan teknologi, maka kini tempe
tidak hanya dibuat dari kedelai, tetapi juga dari bahan bahan lain. Adapun bahanbahan lain itu seperti kecipir maka dikenal tempe kecipir, kemudian lamtoro
(tempe lamtoro), kara benguk (tempe benguk), ampas kacang tanah (tempe
bungkil), ampas tahu (tempe gembus), turi (tempe turi) dan sebagainya. Dengan
demikian diperkirakan posisi tempe kedelai adalah tempe terua diantara sederet
pertempean tadi. Sehingga penyebutan kata tempe saja memberikan kesan tempe
yang berbahan baku kedelai (Santoso, 1993).
Tempe merupakan produk olahan kedelai yang nilai gizinya menjadi
meningkat terutama protein, lemak, karbohidrat dan vitamin. Kandungan gizi
tempe juga menjadi mudah larut dalam air sehingga mudah dicerna bila dibanding
dengan kedelai, keuntungan yang lain terjadinya kerusakan zat-zat anti nutrisi
pada kedelai. Tahap pengolahan kedelai menjadi tempe meliputi perebusan tahap
ke 1 (satu), penghilangan kulit ari, perebusan tahap ke 2 (dua), pematusan kadar
air, Inokulasi ragi tempe (peragian), pembungkusan, fermentasi dan penjualan.
Adapun beberapa bahan penolong yang memberi pengaruh sangat signifikan
terhadap kualitas tempe yang dihasilkan antara lain air proses, ragi tempe,
fermentasi, sarana dan prasarana proses serta tenaga kerja (Mujianto, 2013).
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah lama dikenal di
Indonesia. Makanan tersebut dibuat dengan cara fermentasi atau peragian.
Pembuatannya merupakan industri rakyat sehingga hampir setiap orang dapat
dikatakan mampu untuk membuat tempe sendiri. Tempe merupakan sumber
protein yang nilainya setara dengan daging. Dalam 100 g tempe segar
mengandung 18,3 g protein. Sedangkan dalam 100 g daging mengandung 18,8 g
dan dalam 100 g telur mengandung 12,2 g protein (Kusnanto dkk, 2013).
Tempe adalah makanan hasil fermentasi tradisional Indonesia yang banyak
dikonsumsi, yang terutama dibuat dengan kedelai, tapi juga bisa dibuat dari
berbagai kacang-kacangan dan biji-bijian. Ada empat langkah dalam proses
manufaktur tempe, perendaman, perebusan, inokulasi dengan mikroba dan
inkubasi pada suhu kamar. Tempe di Indonesia difermentasi dengan Rhizopus sp.
mould, terutama Rhizopus oligosporus, R. oryzae, R. arhizus, R. stolonifer dan R.
Microspores. Terlepas dari berbasis kedelai tempe, ada banyak jenis lainnya tempe
di Indonesia dan nama mereka berasal dari baku materi dalam tempe. Mereka
Kedelai 200 gr
Pencucian
Perendaman 24 jam
(semalaman)
Penghilangan kulit ari
Perebusan
Penirisan
Inokulasi dengan ragi
tempe
Pembungkusan
Tempe
Gambar
b. Plastik
0,2
++
++
Lokal
a. Daun
0,08
++
+++
b. Plastik
0,08
++
++
+++
++
Lokal
a.Daun
0,1
+++
Inkubasi suhu kamar (2hari)
b.Plastik
0,1
++
++
Import
a.Daun
0,2
+++
++++
++
+++
b.Plastik
0,2
+++
+++
+++
++
Import
a.Daun
0,08
+++
+++
++
++
b.Plastik
0,08
+++
+++
++
+++
Import
a.Daun
0,1
+++
++++
++
+++
b.Plastik
0,1
++
++
Perlakuan
Shift
Kel
Kedelai
%
Ragi
Pengamatan
Sebara
nkapan
g
Warna
Tekstur Aroma
Gambar
II
Lokal
a. Daun
0,2
+++
+++
b. Plastik
0,2
++
Lokal
a. Daun
0,08
+++
++++
++
+++
b. Plastik
0,08
++
++
Lokal
a. Daun
0,1
++
+++
b. Plastik
0,1
++
++
Import
a. Daun
0,2
+++
++++
+++
+++
b. Plastik
0,2
++++
+++
Import
a. Daun
0,08
+++
++++
+++
++++
b. Plastik
0,08
++
++
Import
a. Daun
0,1
+++
++++
+++
+++
++++ ++++
b. Plastik
0,1
++
++
hewani dan tempe menjadi satu satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan
pangan nabati. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri
kontaminan seperti Klebsiella pneumonia dan Citrobacter freundii. Menurut
Astawan (2009) didalam tempe ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk
isoflavon. Seperti halnya vitamin C, vitamin E, dan karotenoid, isoflavon juga
merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menghentikan
reaksi pembentukan radikal bebas. Tempe bukan saja sebagai sumber protein
tetapi juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup.
Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam
fitrat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan
terurainya asam fitrat, maka mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium,
magnesium, seng) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh. Jumlah
mineral zat besi, tembaga dan seng berturut turut adalah 9,39, 2,87 dan 8,05 mg
setiap 100 gr tempe. Oleh karena itu maka konsumsi tempe secara teratur akan
menghindarkan seseorang dari anemia akibat kekurangan zat gizi besi.
Selain zat gizi, kacang-kacangan juga mengandung senyawa anti gizi seperti
trypsin inhibitor (TI), asam fitat dan tanin. TI dapat menurunkan ketersediaan
protein makanan pada sistem pencernaan, sedangkan asam fitat berikatan dengan
mineral penting dan protein membentuk komplek. Akibatnya kemampuan
menyerap mineral menjadi turun. Tanin membentuk komplek dengan protein dan
karbohidrat. Senyawa anti gizi dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses
pengolahan
antara
lain,
proses
fermentasi,
germinasi
(perkecambahan),
kulit ari pada kedelai mudah dilepas (proses hidrasi agar biji kedelai menyerap air
sebanyak mungkin). Setelah direndam kedelai ditiriskan, dicuci dan dibuang kulit
arinya sampai bersih. Tujuan pembuangan kulit ari ini yaitu untuk menghilangkan
tanin. Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa
pahit dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan protein, atau berbagai
senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid. Tahapan selanjutnya
adalah perebusan yang berlangsung sekitar 30 menit. Caranya, biji kedelai
dimasukkan ke dalam panci, lalu direbus diatas kompor gas sampai biji kedelai
tersebut mendekati setengah matang.
Tujuan perebusan adalah untuk memudahkan hidrasi air ke dalam biji kedelai
dan membuat beberapa senyawa kompleks berantai panjang seperti protein dan
karbohidrat berubah menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan
rantai yang lebih pendek sehingga menjadi nutrisi yang mudah larut (soluble
nutrients) serta menginaktifkan mikroorganisme yang tidak dikehendaki selama
proses
fermentasi.
senyawa
trypsin
inhibitor
terdenaturasi, senyawa ini dalam keadaaan aktif bisa menjadi faktor anti nutrisi
(anti-nutritional factor)
Tahapan selanjutnya adalah penirisan dan pendinginan, kedelai diambil dari
panci, diletakkan diatas nampan dan diratakan tipis- tipis. Biarkanlah dingin
sampai permukaan keping kedelai kering dan airnya habis. Setelah airnya habis
tahapan selanjutnya yaitu peragian, tahap peragian ini memegang kunci berhasil
tidaknya membuat tempe kedelai. Sebab tempe ini dihasilkan dari kedelai yang
diolah secara fermentasi dengan menggunakan cendawan jenis Rhizopus sp,
Cendawan atau kapang ini diperoleh dari laru, baik berupa laru daun maupun laru
tempe atau tepung ragi. Cara peragian, laru diusap usapkan atau dicampur dan
diaduk bersama kedelai hingga merata benar. Setelah itu, diangin anginkan
sebentar. Tahapan terakhir adalah pembungkusan, kedelai yang sudah bercampur
merata dengan laru lalu dibungkus. Ada yang membungkus dengan daun pisang,
dan ada yang dibungkus dengan menggunakan plastik.
banyak akan tetapi tidak merata, warna putih kekuningan, tekstur lunak dan aroma
tidak enak dan busuk. Kedelai lokal dengan penambahan ragi 0,2% dengan
bungkus plastik kapang tidak tumbuh, warna putih kehitaman, tekstur lunak dan
aroma yang tidak enak dan busuk. Pada praktikum shift 2 kelompok 2 dengan
kedelai lokal dengan penambahan ragi 0,08% dengan bungkus daun setelah
diamati didapatkan sebaran kapang yang banyak akan tetapi tidak merata, warna
putih kekuningan, tekstur lunak dan aroma tidak enak dan busuk. Kedelai lokal
dengan penambahan ragi 0,08% dengan bungkus plastik kapang seikit, warna
putih kecoklatan, tekstur cukup padat dan aroma yang enak. Pada praktikum shift
2 dengan kedelai lokal kelompok 3 dengan penambahan ragi 0,1% dengan
bungkus daun setelah diamati didapatkan sebaran kapang yang sedikit, warna
putih kekuningan, tekstur lunak dan aroma tidak enak dan busuk. Kedelai lokal
dengan penambahan ragi 0,1% dengan bungkus plastik kapang tidak tumbuh,
warna putih kecoklatan, tekstur lunak dan aroma yang tidak enak dan busuk.
Pada praktikum shift 2 kelompok 4 dengan kedelai import dengan
penambahan ragi 0,2% dengan bungkus daun setelah diamati didapatkan sebaran
kapang yang banyak akan tetapi tidak merata, warna putih cerah, tekstur padat dan
aroma enak. Kedelai import dengan penambahan ragi 0,2% dengan bungkus
plastik kapang sangat banyak, warna putih kekuningan, tekstur sangat padat dan
aroma yang sangat enak. Pada praktikum shift 2 kelompok 5 dengan kedelai
import dengan penambahan ragi 0,08% dengan bungkus daun setelah diamati
didapatkan sebaran kapang yang banyak akan tetapi tidak merata, warna putih
cerah, tekstur padat dan aroma sangat enak. Kedelai import dengan penambahan
ragi 0,08% dengan bungkus plastik kapang sedikit, warna putih kecoklatan, tekstur
lunak dan aroma tidak enak dan busuk. Pada praktikum shift 2 kelompok 6 dengan
kedelai import dengan penambahan ragi 0,1% dengan bungkus daun setelah
diamati didapatkan sebaran kapang banyak tetapi tidak merata, warna putih cerah,
tekstur cukup padat dan aroma enak. Kedelai import dengan penambahan ragi
0,1% dengan bungkus plastik kapang sedikit, warna putih kecoklatan, tekstur
lunak dan aroma yang tidak enak dan busuk.
Berdasarkan teori diatas tempe yang terbaik dari hasil pengamatan yaitu tempe
dari kedelai import yang dibungkus dengan plastik yang ditambah 0,2% ragi yang
menghasilkan sebaran kapang yang banyak akan tetapi tidak merata, warna putih
cerah, menurut Astuti, 2009 Warna khas tempe adalah putih. Warna putih ini
disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada permukaan biji
kedelai.tekstur padat dan beraroma enak. Hal ini tidak sesuai dengan teori, karena
seharusnya tempe yang terbaik yaitu tempe yang dibungkus dengan daun pisang.
Karena
menyimpannya dalam ruang gelap (salah satu syarat ruang fermentasi), mengingat
sifat daun yang tidak tembus pandang. Di samping itu, aerasi (sirkulasi udara)
tetap dapat berlangsung melalui celahcelah Di samping itu, aerasi (sirkulasi
udara) tetap dapat berlangsung melalui celah celah pembungkus yang ada
(Suprapti, 2003). Hal ini dapat disebabkan karena daun pisang pecah atau terdapat
rongga yang terlalu besar pada perlakuan daun pisang atau dapat disebabkan jga
karena tempat penyimpanan yang tidak sesuai. Hasil tempe kedelai import dengan
penambahan ragi 0.2% ini memperoleh hasil yang terbaik karena pembungkusan
tempe tidak terlalu rapat dan lubang yang diberikan sesuai sehingga aerasi
(sirkulasi udara) lancar.
Beberapa faktor dalam
proses
pengolahan
diperkirakan mempunyai
(1979), suhu
inkubasi
selama
proses
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, Prof Dr Ir Made. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji Bijian.
Penebar Swadaya. Jakarta
Astuty, Mari. 2000. Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pacific
J Clin Nutr. Vol. 9. No. 4.
Haliza, Winda, Endang Y. Purwani dan Ridwan Thahir. 2007. Pemanfaatan KacangKacangan Lokal sebagai Substitusi Bahan Baku Tempe dan Tahu. Buletin
Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 3.
Hedger. 2005. Production of Tempe, an Indonesian Fermented Food. Food
Microbiology Journal. No. 8. Vol. 7.
Kusnanto, Febri. Sutanto, Agus. Mulyani, HRA. 2013. Pengaruh Waktu Fermentasi
Terhadap Kadar Protein dan Daya Terima Tempe Dari Biji Karet (Hevea
Brasiliensis) Sebagai Sumber Belajar Biologi SMA Pada Materi Bioteknologi
Pangan. Bioedukasi, Vol.4 No.1 Hal.1
Kusyawati, Maria Erna. 2009. Kajian Peran Yeast Dalam Pembuatan Tempe.
Agritech, Vol. 29, No.2 Hal.1
Muchtadi, Prof dr Ir Deddy. 2010. Kedelai Komponen Bioaktif Untuk Kesehatan.
Alfabeta. Bandung
Mujianto, 2013. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Proses Produksi Tempe Produk
UMKM di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Reka Agroindustri Vol.I No.1.
Mujianto. 2013. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Proses Produksi Tempe
Produksi UMKM di Kabupaten Sukoharjo. Reka Agroindustri, Vol.I No.1 Hal 1.
Santoso, Ir Hieronymus Budi. 1993 Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai Bahan
Makanan Bergizi Tinggi. Kanisius. Yogyakarta.
Suprapti, M Lies. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta.
Surya, Regie. Rahayu, Winniati P. 2012. Production and characteristics of canned
tempe extract. Asian Journal of Food and Agro-Industry. Vol. 5. No. 4.
Susianto, Dr Drs. Ramayulis, Rita, DCN, M.Kes. 2014. Fakta Ajaib Khasiat Tempe.
Penebar Plus. Jakarta.