Anda di halaman 1dari 12

SISTEM BINER DAN TERNER DALAM SISTEM CAMPURAN

Yeni Fitriana Jayanti, Mega Bunga Persada


Lab. Kimia Fisika Jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang
Gedung D8 Lt 2 Sekaran Gunungpati Semarang, Indonesia
yenifitriana44@gmail.com, 085743951412

Abstrak
Tujuan praktikum sistem biner dan terner dalam sistem campuran adalah untuk menguji
ketergantungan suhu pada pencampuran dua macam cairan yang tidak dapat bercampur
sempurna, (fenol dan air) dan untuk menentukan diagram fasa antara komposisi dan suhu, serta
untuk menguji komposisi atau jumlah perilaku fasa sistem 3-komponen (toluene-etanol-air) pada
suhu konstan dan untuk menggambarkan diagram fasa sistem pada suhu itu. Metode yang
digunakan pada percobaan sistem biner yaitu pencampuran antara berbagai variasi fenol dan
aquadest yang kemudian dilarutkan dan didinginkan hingga terjadi kekeruhan. Variasi massa dari
fenol yang digunakan yaitu 3.5000 gram, 1.5000 gram, 1.0000 gram, 0.7500 gram, dan 0.5500
gram. Sedangkan aquadest yang digunakan masing-masing sebanyak 1.50 mL, 2.00 mL, 2.75
mL, 3.50 mL, 4.00 mL, 4.25 mL, dan 4.45 mL. Sedangkan untuk sistem terner digunakan
metode titrasi antara campuran toluena-etanol yang dititrasi dengan aquadest. Berdasarkan
percobaaan diperoleh hasil bahwa titik kiritis pada sistem biner ditunjukkan pada suhu
65 0C. Gambar segitiga pada diagram terner tersebut menunjukkan daerah kesetimbangan fasa
dari etanol, air, dan toluene. Pada daerah kesetimbangan, fraksi mol dari air yaitu 5.1367, fraksi
mol toluene 12.6483, sedangkan fraksi mol etanol 25.1572.
Kata kunci: sistem biner, sistem terner, kompsisi, titik kritis
Abstract
Practical purposes binary and ternary systems in a mixed system is to test the temperature
dependence on mixing two kinds of liquids that can not be mixed perfectly, (phenol and water)
and to determine the phase diagram between the composition and temperature, as well as to test
the composition or number of the phase behavior of the system 3 -component (toluene-ethanolwater) at a constant temperature and to describe the phase diagram of the system at that
temperature. The method used in the trial of a binary system that is mixing between different
variations of phenol and distilled water were then dissolved and cooled until turbidity occurs.
Variations mass of phenol used is 3.5000 grams, 1.5000 gram, 1.0000 gram, 0.7500 grams and
0.5500 grams. While the distilled water used each as much as 1:50 mL, 2:00 mL, 2.75 mL, 3:50
mL, 4:00 mL, 4:25 mL, and 4:45 mL. As for the ternary system used titration method between a
mixture of toluene-ethanol is titrated with distilled water. Based on the obtained results that the
experiment is critical now point to the binary system is shown at 65 0C. Picture a triangle on the
ternary diagram showing the equilibrium phase area of ethanol, water, and toluene. In the area of

equilibrium, the mole fraction of the water that is 5.1367, 12.6483 toluene mole fraction, while
the mole fraction of ethanol 25.1572.
Keywords: binary systems, ternary systems, kompsisi, critical point

Pendahuluan (800-1000)
Sistem biner fenol-air merupakan suatu sistem yang memperlihatkan sifat kelarutan
timbal balik antara fenol dan air pada suhu tertentu dan tekanan tetap. Disebut biner karena
jumlah komponen campuran terdiri atas dua zat yaitu fenol dan air. Fenol dan air kelarutannya
akan berubah apabila dalam campuran itu ditambahkan salah satu komponen penyusunnya yaitu
fenol dan air. Sedangkan sistem tiga komponen, varian adalah F = 3 P + 2 = 5 P. Jika sistem
hanya mengandung satu fase, dibutuhkan empat variabel untuk menyatakan keadaan sistem
yaitu T, p, x1, x2 (Castellan, 1983).
Sistem dua komponen mempunyai derajat kebebasan F = 4 P. Jika sistem dalam satu
fasa, maka F = 3. Dengan harga F = 3, maka sistem mempunyai tiga varian atau taiga derajat
kebebasan. Keadaan sistem digambarkan dengan tiga koordinan atau tiga dimensi (diagram
ruang). Diagram ruang sulit untuk dipelajari dan dibuat, untuk menyederhanakannya maka salah
satu variabel dibuat konstan sehingga masih ada dua variabel bebas. Oleh karena itu, menurut
Retug (2002) ada tiga kemungkinan bentuk diagram, antara lain
1. Diagram P-konsentrasi pada T tetap
2. Diagram T-konsentrasi pada P tetap
3. Diagram P-T pada konsentrasi tetap
Komposisi fenol-air terhadap suhu ditunjukkan pada Gambar 1 (Tony, 1993)
Gambar 1. Diagram Fasa Sistem Biner Fenol Air
Dimana L1 = fasa fenol dalam air
L2 = fasa air dalam fenol
xA = fraksi mol air
xF = fraksi mol fenol
xC = fraksi mol komponen pada titik kritis (Tc)
Pada daerah di dalam kurva terdapat dua fasa. Titik-titik pasangan komposisi temperature di
dalam kurva selalu menggambarkan dua fasa. Komposisi tiap fasa terletak pada kurva. Di luar
kurva hanya terdapat satu fasa (Suardana, 2005). Titik kritis merupakan titik maksimum kurva
atau temperature konsulat atas. Sistem ini mempunyai suhu kritis (Tc) pada tekanan tetap, yaitu
suhu minimum pada saat dua zat bercampur secara homogen dengan komposisi C c. Pada T1
dengan komposisi antara A2 dan B2, sistem berada pada dua fasa (keruh). Sedangkan saat sistem
berada dalam satu fasa, campuran berubah dari keruh menjadi jernih. Jika percobaan dilakukan
pada suhu tinggi akan diperoleh batas kelarutan yang berbeda. Semakin tinggi suhu, kelarutan

masing-masing komponen meningkat sehingga daerah dua fasa semakin menyempit (Sienko,
1985).
Pada kelarutan fenol-air, apabila temperature dinaikkan di atas 50 0C maka komposisi
larutan dari sistem larutan tersebut akan berubah. Kandungan fenol dalam air untuk lapisan atas
akan semakin bertambah (lebih dari 11,8 %), sedangkan kandungan fenol dari lapisan bawah
akan berkurang (kurang dari 62,6 %). Pada saat suhu dinaikkan menjadi 66 0C maka komposisi
sistem larutan tersebut menjadi seimbang dan keduanya dapat bercampur dengan sempurna
(Karyadi, 2002). Sistem biner fenol-air merupakan kelarutan sistem timbal balik. Kelarutan
sistem timbal balik adalah kelarutan dari suatu larutan yang bercampur sebagian bila
temperaturnya di bawah temperature kritis. Jika mencapai temperature kritis, maka larutan
tersebut dapat bercampur sempurna (homogen) dan jika temperaturnya telah melewati
temperature kritis maka sistem larutan tersebut akan kembali dalam kondisi bercampur sebagian
lagi. Salah satu contoh dari temperatur timbal balik adalah kelarutan fenol dalam air yang
membentuk kurva parabola yang berdasarkan pada bertambahnya % fenol dalam setiap
perubahan temperature baik di bawah temperature kritis (Sukardjo, 2003).
Sistem tiga komponen, varian adalah F = 3 P + 2 = 5 P. Jika sistem hanya
mengandung satu fase, dibutuhkan empat variabel untuk menyatakan keadaan sistem yaitu T, p,
x1, x2 (Castellan, 1983). Dalam ungkapan diatas, kesetimbangan dipengaruhi oleh temperatur,
tekanan, dan komposisi sistem. Jumlah derajat kebebasan untuk sistem tiga komponen pada
temperature dan tekanan tetap dinyatakan sebagai
F=3P
Satu fasa membutuhkan dua derajat kebebasan untuk menggambarkan sistem secara sempurna,
dan untuk dua fasa dalam kesetimbangan, satu derajat kebebasan. Cara terbaik untuk
menggambarkan sistem tiga komponen adalah dengan mendapatkan suatu kertas grafik segitiga
(Dogra, 2009). Pada sistem tiga komponen, jumlah presentase A, B, dan C adalah 100 %, dan
biasanya digunakan koordinat triangular, suatu segitiga sama sisi yang ditunjukkan oleh Gambar
2 (Atkins, 2006).
Gambar 2. Diagram Fasa Sistem Tiga Komponen
Berbagai sifat dapat digambarkan pada diagram ini, misalnya terbentukanya padatan pada suhu
tertentu. Prinsip ini dijelaskan dengan baik melalui terbentuknya dua fasa cairan dalam sistem
fasa1
etanol-toluena-air. Komposisi dua lapisan dalam kesetimbangan ditunjukkan oleh fasa2 . Bila
suhu dinaikkan, maka komposisi kedua lapisan mendekati satu dengan yang lain dan pada suhu
kritik, Tc atau suhu consolute akan identic dan berada pada satu fasa. Di atas Tc, kedua cairan
tidak akan bercampur dalam semua proporsi. Jika campuran cairan dengan komposisi y
dipanaskan di atas suhu Tx, satu fasa akan diperoleh pada pendinginan akan terbentuk dua fasa
pada suhu Tx. Biasanya ditunjukkan dengan terjasinya kekeruhan (Fisika, 2015).
Pada praktikum ini sistem dua komponen atau sistem biner akan menguji bagaimana
ketergantungan suhu pada pencampuran dua macam cairan yang tidak dapat bercampur
sempurna yaitu fenol dan air dan bagaimana menentukan diagram fasa antara komposisi dan
suhu. Sedangkan untuk parktikum sistem tiga komponen atau sistem terner akan menguji
bagaimana komposisi atau jumlah perilaku fasa sistem tiga komponen, yaitu etanol-toluena-air

pada suhu konstan dan bagaimana menggambarkan diagram fasa sistem pada suhu tersebut.
Tujuan praktikum ini adalah menguji ketergantungan suhu pada pencampuran dua macam cairan
yang tidak dapat bercampur sempurna, yaitu fenol dan air dan untuk menentukan diagram fasa
antara komposisi dan suhu pada sistem dua komponen. Sedangkan untuk sistem tiga komponen
bertujuan untuk menguji komposisi atau jumlah perilaku fasa sistem tiga komponen, yaitu
etanol-toluena-air pada suhu konstan dan untuk menentukan diagram fasa sistem pada suhu
tersebut.

Metode
Praktikum sistem biner dan terner dalam sistem dilaksanakan pada Rabu, 13 Mei 2015. Subjek
praktikum ini yaitu kelarutan fenol-air dalam sistem biner dan kelarutan etanol-toluena-air dalam
sistem terner.
Praktikum sistem biner dan terner digunakan beberapa alat antara lain tabung reaksi pyrex, gelas
kimia 100 mL pyrex, erlenmeyer 100 mL pyrex, alat titrasi (klem, buret, dan statif), gelas ukur 10
mL pyrex, dan pipet tetes, termometer 100 0C, penangas air, penjepit tabung reaksi, dan pipet
ukur 5 mL. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain fenol Merck pro analysis, toluene 9.39
M Merck pro analysis, etanol 11.99 M Bratachem foor analysis, dan aquadest.
Pada percobaan dua komponen digunakan variasi massa dari fenol dan aquadest. Variasi massa
dari fenol yang digunakan yaitu 3.5000 gram, 1.5000 gram, 1.0000 gram, 0.7500 gram, dan
0.5500 gram. Sedangkan aquadest yang digunakan masing-masing sebanyak 1.50 mL, 2.00 mL,
2.75 mL, 3.50 mL, 4.00 mL, 4.25 mL, dan 4.45 mL. Sebanyak 3,5000 gram fenol dimasukkan ke
dalam tabung 1 dan ditambahkan dengan 1,50 mL aquadest. Termometer 100 0C dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Percobaan ini menggunakan sistem tertutup sehingga tabung reaksi harus
diberi plastisin. Tabung reaksi yang telah berisi campuran fenol dan aquadest dimasukkan ke
dalam penangas air pada suhu 70 0C. Ketika larutan menjadi satu fasa dicatat suhunya sebagai T 1
pada tabel pengamatan. Setelah larutan menjadi satu fasa, tabung reaksi didinginkan. Ketika
larutan pertama kali terjadi kekeruhan, dicatat suhunya sebagai T 2 pada tabel pengamatan.
Diagram alir percobaan sistem dua komponen antara fenol dan air dapat dilihat pada Gambar 3
(a). Selanjutnya percobaan diulangi dengan perbandingan massa fenol dan volume aquadest.
Sebagai pembanding, pada percobaan ini juga digunakan pelarut KCl 0.1 M. Sistem 2
Komponen dengan pelarut larutan KCl 0,1 M prinsipnya sama dengan pelarut aquadest, hanya
saja yang membedakan pelarutnya yang dapat dilihat pada Gambar 3 (b). Sebanyak 1,5000 gram
fenol dimasukkan ke dalam tabung reaksi 8. Pada tabung reaksi tersebut selanjutnya
ditambahkan 3,50 mL larutan KCl 0,1 M. Termometer 100 0C dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dan ditutup dengan plastisin. Campuran fenol dan larutan KCl tersebut dimasukkan ke
dalam penangas air pada suhu 70 0C dan ditunggu sampai semua padatan fenol larut. Ketika
larutan menjadi satu fasa, dicatat suhunya sebagai T 1. Setelah larutan menjadi satu fasa, tabung
reaksi didinginkan. Ketika larutan pertama kali terjadi kekeruhan, dicatat suhunya sebagai T 2
pada tabel pengamatan. Data yang digunakan yaitu suhu pada T 2, yaitu suhu saat pertama kali
terjadi kekeruhan. Dari massa fenol dan aquadest kemudian dapat dicari fraksi mol dari masingmasing senyawa tersebut. Fraksi mol dan suhu saat pertama kali terjadi kekeruhan selanjutnya
dibuat grafik hubungan antara fraksi mol fenol-air dan T. Berdasarkan diagram fasa tersebut,

ditentukan titik kritis dari campuran tersebut yang ditunjukkan pada grafik dengan suhu yang
tinggi. Pada percobaan sistem tiga komponen, digunakan beberapa variasi volume dari toluene
dan etanol. Variasi volume dari etanol yang digunakan yaitu 2.00 mL, 3.00 mL, 4.00 mL, 5.00
mL, 6.00 mL, dan 7.00 mL. Sedangkan variasi volume toluene yang digunakan antara lain 8.00
mL, 7.00 mL, 6.00 mL, 5.00 mL, 6.00 mL, dan 7.00 mL. Toluena sebanyak 8.00 mL dan etanol
2.00 mL ke dalam erlenmeyer. Larutan yang terbentuk tersebut selanjutnya diukur suhunya
hingga mencapai 27 0C. Percobaan dulangi untuk variasi volume dari toluene dan etanol yang
telah ditentukan perbandingannya. Larutan-larutan yang telah terbentuk kemudian dititrasi
dengan aquadest hingga muncul kekeruhan saat pertama kali seperti Gambar 3 (c). Dari volume
etanol, toluene, dan aquadest yang diperoleh dari praktikum digunakan untuk menentukan
persentase komponen masing-masing senyawa tersebut. Pada sistem tiga komponen, jumlah
persentase etanol, air, toluene adalah 100 %. Persentase komponen yang diperoleh kemudian
digunakan untuk membuat diagram fasa dalam koordinat triangular.
Hasil dan Pembahasan
Percobaan sistem dua komponen dilakukan untuk membuktikan adanya kelarutan sistem
biner pada campuran biner dan air. Percobaan sistem dua komponen atau biner dilakukan
dengan variasi pencampuran antara fenol dan air. Pada percobaaan ini digunakan delapan
buah tabung reaksi yang diisi dengan padatan fenol dengan massa yang berbeda-beda
untuk setiap tabung reaksinya. Setelah itu, ke dalam tabung reaksi ke-1 sampai dengan
tabung reaksi ke-7 ditambahkan dengan aquadest dengan volume tertentu, sedangkan
pada tabung reaksi ke-8 ditambahkan dengan 3.50 mL larutan KCl 0.1 M. Tabung reaksi
yang berisi campuran fenol dan air dengan komposisi yang berbeda dipanaskan di atas
penangas air sampai larutan menjadi bening atau tidak berwarna. Larutan tidak
berwarna tersebut menunjukkan bahwa fenol larut dalam air pada suhu tertentu.
Selanjutnya larutan tersebut didinginkan sampai terjadi kekeruhan dalam tabung reaksi.
Perubahan warna larutan dari keruh menjadi jernih dan perubahan larutan dari jerih
menjadi tidak jernih menandakan bahwa campuran fenol dan air dalam tabung reaksi
mengalami perubahan kelarutan yang dipengaruhi oleh perubahan seru.
Sistem biner fenol-air merupakan suatu sistem yang memperlihatkan sifat kelarutan timbal balik
antara fenol dan air pada suhu tertentu dan tekanan tetap. Kelarutan sistem timbal balik adalah
kelarutan dari suatu larutan yang bercampur sebagian bila temperaturnya di bawah temperature
kritis. Jika mencapai temperature kritis, maka larutan tersebut dapat bercampur sempurna
(homogen) dan jika temperaturnya telah melewati temperature kritis maka sistem larutan tersebut
akan kembali dalam kondisi bercampur sebagian lagi (Sukardjo, 2003). Campuran antara fenol
dan air ini akan membentuk dua fase atau lapisan, atau sering disebut tidak homogen pada suhu
kamar. Terbentuknya dua fasa ini disebabkan karena fenol memiliki massa jenis yang lebih tinggi
dibandingkan massa jnis fenol. Campuran antara fenol dan air ini mengalami proses pemanasan
dan pendinginan pada temperature atau suhu tertentu. Apabila larutan tersebut dipanaskan pada
suhu tertentu, maka larutan tersebut akan berubah menjadi satu fase atau homogeny. Pada
temperature tertentu, campuran fenol dan air ini akan bercampur dan akan membentuk dua fasa
kembali yang ditandai larutan menjadi keruh. Kelarutan air dan fenol akan berubah apabila ke
dalam campuran tersebut ditambahkan dengan salah satu komponen penyusunnya. Campuran
antara fenol dan air disebut mengalami perubahan kelarutan yang dipengaruhi oleh perubahan
temperature ditandai dengan terjadinya perubahan warna larutan dari yang keruh menjadi jernih,

dan sebaliknya larutan yang awalnya jernih menjadi keruh. Pada praktikum ini massa dari fenol
dan volume dari air yang akan dicampur memiliki variasi massa dan volume yang berbeda.
Perubahan temperatur pada percobaan sistem dua komponen ini bergantung pada komposisi atau
fraksi mol kedua zat penyusun. Pada percobaan ini, perubahan larutan jernih menjadi keruh
atau sebaliknya terjadi pada suhu yang berbeda-beda tergantung pada komposisi atau
fraksi mol kedua zat. Hasil pengamatan percobaan sistem dua komponen dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel
% Massa
Tabung

1
2
3
4
5
6
7
8

70

%
% KCl
Air 0,1
M
30
-

60

40

45

55

30

70

20

80

15

85

11

89

70

%
Feno
l

30

Suhu (0C)

Massa
Fenol
(gr)
3,5000
3,0000
2,2500
1,5000
1,0000
0,7500
0,5500
1,5000

Air
(gr)
1,500
0
2,000
0
2,750
0
3,500
0
4,000
0
4,250
0
4,450
0
-

KCl
0,1
M
(mL)
3,50

T1

T2

Pana
s

Dingin

67

65

67

64

67

65

66

63

66

65

62

60

60

56

67

66

Fraksi Mol
Fenol
0,30882
4
0,22314
1
0,13545
2
0,07584
2
0,04568
5
0,03268
8
0,02312
0
0,97853
7

Air

0,691176
0,776859
0,864548
0,924158
0,954315
0,967312
0,976880
-

KCl
0,021463

Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa T 1 dan
T2 mengalamikenaikan dan penurunan atau fluktuasi pada setiap komposisi fenol dan air.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa data yang diperoleh naik turun. Pada campuran yang pertama
suhu saat terbentuk kristal tercapai pada suhu 65 0C. Campuran kedua suhu saat terbentuk kristal
tercapai pada suhu 64 0C. Sedangkan pada campuran ketiga, keempat, kelima, keenam, dan
ketujuh suhu saat terbentuk kristal tercapai masing-masing pada suhu 65 0C, 63 0C, 65 0C, 60 0C,
56 0C. Pada campuran 3.5000 gram fenol dan 1.50 mL air diperoleh temperature kritisnya pada
suhu 65 0C dengan komposisi fraksi mol fenol 0.308824 dan fraksi mol air 0.691176. Hal ini
menunjukkan bahwa pada temperature 65 0C, campuran tersebut berada dalam satu fasa. Apabila
temperature dinaikkan kembali, maka kelarutan air dalam fenol akan bertambah. Kelarutan fenol
dalam air pun akan bertambah apabila temperature dinaikkan. Teori ini sesuai dengan hukum
tuas. Komponen akan berada pada satu fase yaitu disaat campuran dari kedua komponen menjadi
larut atau dalam hal ini menjadi homogen (jernih), sedangkan komponen akan mengalami dua

fase ketika dilakukan penambahan air yang menghasilkan dua lapisan atau menjadi heterogen
(keruh). Pada teori dikatakan bahwa terjadinya kelarutan timbal balik fenol air akan terjadi jika
grafiknya membentuk parabola. Grafik hubungan fraksi mol fenol-air dan suhu terdapat pada
Gambar 3 dan Gambar 4.
66

65

64

65

64

65
63

62
60

T (0C)

60

58
56

56

54
52
50
0

X air

66

65

64

65

64

65
63

62
60

T (0C)

60

58
56

56

54
52
50
0

X fenol

Gambar

Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4 diperoleh titik kritis campuran terjadi pada suhu 65 0C.
Selain itu dapat dilihat pula bahwa bila suhu dinaikkan melewati kurva kesetimbangan sistem
fenol-air maka sistem akan berada pada keadaan satu fase. Sebaliknya jika suhu diturunkan,
maka sistem akan berada pada keadaan dua fase.Pada sistem biner fenol-air, suhu memegang
peranan yang penting karena kedua komponen yaitu fenol dan air dapat bercampur secara
sempurna apabila suhu campuran dinaikkan dari temperatur mula-mula.
Suhu kritis pada grafik (kurva) merupakan suatu titik pada puncak kurva. Jadi, suhu kritis
bukanlah suhu tertinggi yang didapatkan pada percobaan, melainkan suhu yang berada pada
puncak kurva. Komponen di dalam kurva merupakan sistem dua fase dan komponen di luar
kurva atau di luar titik kritis komponen merupakan sistem satu fase. Komponen yang berada
pada satu fase pada saat campuran larut atau homogen yang ditandai dengan larutan berwarna
jernih, sedangkan komponen berada pada dua fase ketika dilakukan penambahan air yang
menghasilkan dua lapisan yang ditandai dengan larutan berwarna keruh.Suhu kritis pada
percobaan ini merupakan suhu saat terbentuk kekeruhan pertama kali (T2) pada campuran antara
1,0070 gram fenol dengan 4 mL aquades. Sistem fenol-air pada komposisi tertentu dapat
berada pada dua fasa bila komposisi campuran antara fenol dan air berada di bawah
kurva, sedangkan pada daerah di atas kurva maka system fenol-air berada pada satu fasa.
Apabila suatu system campuran fenol-air berada pada suatu titik di daerah dua fasa
tersebut dipanaskan maka pada saat tertentu temperaturnya sama dengan temperature
minimal agar system fenol-air dapat homogen dan system campuran tersebut berubah
menjadi satu fasa. Menurut Hukum Tuas ketika temperature dinaikkan maka kelarutan
fenol dalam air akan bertambah, demikian pula kelarutan air dalam fenol.
Bentuk kurva yang didapatkan pada percobaan ini tidak berbentuk parabola
sempurna, tetapi merupakan kurva yang naik turun (fluktuatif). Hal ini menandakan
bahwa hasil yang didapatkan tidak terlalu sesuai dengan teori, karena berdasarkan teori
seharusnya grafik yang didapatkan berbentuk parabola sempurna, dimana puncak kurva
yang dibentuk oleh titik kritis membelah kurva secara simetris. Hal ini kemungkinan besar
terjadi karena kurang telitinya praktikan dalam mengamati temperature saat terjadi
kekeruhan pada larutan dalam tabung reaksi. Selain itu juga dimungkinkan karena waktu
pemanasan campuran yang berbeda-beda sedangkan waktu saat dicampurkannya fenol
dan aquades pada setiap komposisi hampir sama, sehingga pada tabung reaksi dengan

komposisi fenol yang lebih sedikit fenol yang dimasukkan sudah bercampur terlebih
dahulu sebelum dipanaskan. Hal ini terjadi pada tabung ke 6 dan ke 7 yang berisi 0,7585
gram dan 0,5035 gram fenol. Pada kedua tabung ini fenol dan air sudah bercampur
terlebih dahulu bahkan sebelum dilakukan pemanasan di atas penangas. Hal inilah yang
menyebabkan data pengamatan yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Faktor lain yang kemungkinan besar mempengaruhi hasil percobaan ini adalah
temperatur penangas yang tidak konstan. Saat dilakukan percobaan, temperature pada
penangas selalu naik turun (tidak konstan) sehingga dapat mempengaruhi temperatur
( suhu) saat larutan menjadi jernih dan saat terbentuk kekeruhan pada larutan.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan oleh Khotimah dan Marceliana
(2013) diperoleh bahwa semakin banyak komposisi aquades (air) dalam campuran maka
temperatur minimal yang diperlukan mengalami kenaikan hingga pada suatu titik
mencapai temperature tertinggi yang disebut titik balik. Setelah mencapai suhu tertinggi,
seiring dengan semakin bertambahnya komposisi air pada campuran, temperature
minimal yang diperlukan mengalami penurunan. Temperatu kritis yang diperoleh pada
percobaan adalah sebesar 79,5 C dengan komposisi fraksi mol air sebesar 0,8176 dan
fraksi mol fenol sebesar 0,1824. Pada kelarutan fenol-air, apabila temperature dinaikkan di atas
50 0C maka komposisi larutan dari sistem larutan tersebut akan berubah. Kandungan fenol dalam
air untuk lapisan atas akan semakin bertambah (lebih dari 11,8 %), sedangkan kandungan fenol
dari lapisan bawah akan berkurang (kurang dari 62,6 %). Pada saat suhu dinaikkan menjadi 66
0
C maka komposisi sistem larutan tersebut menjadi seimbang dan keduanya dapat bercampur
dengan sempurna (Karyadi, 2002). Sistem biner fenol-air merupakan kelarutan sistem timbal
balik. Kelarutan sistem timbal balik adalah kelarutan dari suatu larutan yang bercampur sebagian
bila temperaturnya di bawah temperature kritis. Jika mencapai temperature kritis, maka larutan
tersebut dapat bercampur sempurna (homogen) dan jika temperaturnya telah melewati
temperature kritis maka sistem larutan tersebut akan kembali dalam kondisi bercampur sebagian
lagi. Salah satu contoh dari temperatur timbal balik adalah kelarutan fenol dalam air yang
membentuk kurva parabola yang berdasarkan pada bertambahnya % fenol dalam setiap
perubahan temperature baik di bawah temperature kritis (Sukardjo, 2003).

Pada sistem terner atau sistem tiga komponen, dilakukan percobaan dengan mencampurkan
etanol dan toluene kemudian dititrasi dengan aquadest sampai terjadi kekeruhan, dimana titik
akhir titrasi tercapai. Ketiga zat tersebut memiliki volume yang berbeda-beda sehingga
pencappaian titik akhir dari masing-masing zat tersebut juga berbeda. Berdasarkan percobaan
diperoleh hasil yang ditunjukkann pada Tabel 2.
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada campuran 2 mL etanol dan 8 mL toluene, volume
aquadest yang dibutuhkan untuk terjadi kekeruhan saat pertama kali yaitu 0.10 mL. Pada

campuran yang kedua, yaitu 3 mL etanol dan 7 mL toluene, kekeruhan terjadi ketika volume
aquadest 0.20 mL, sedangkan campuran 4 mL etanol dan 6 mL toluene terjadi ketika volum
aquadest 0.50 mL. Pada campuran 5 mL etanol dan 5 mL toluene, volume aquadest yang
dibutuhkan untuk terjadi kekeruhan saat pertama kali yaitu 1.10 mL. Pada campuran yang kedua,
yaitu 6 mL etanol dan 4 mL toluene, kekeruhan terjadi ketika volume aquadest 1.50 mL,
sedangkan campuran 7 mL etanol dan 3 mL toluene terjadi ketika volum aquadest 1.80 mL. Pada
percobaan ini jelas bahwa volume etanol yang dicampurkan bertambah sedangkan volume
toluene yang ditambahkan dalam pencampuran semaki berkurang. Hal ini disebabkan karena
semakin bertambahnya volume etanol yang dicampurkan, maka semakin banyak pula aquadest
yang dibutuhkan untuk melarutkan larutan tersebut. Kekeruhan pada akhir titrasi terjadi karena
air dapat campur seluruhnya dengan etanol , sedangkan toluena dan air hanya campur sebagian.
Campur sebagian antara air dan toluena ini akan membentuk suatu lapisan yang menyebabkan
timbulnya kekeruhan.
Dari perhitungan yang diperoleh dari data hasil pengamatan diperoleh komposisi
masing-masing zat pada campuran tiap perlakuan. Komposisi masing-masing zat dapat dilihat
pada Tabel 3.
Dari Tabel menunjukkan bahwa komponen masing-masing zat berbeda antara satu
dengan yang lain. Hal ini terjadi karena volume yang masing-masing zat yang digunakan
berbeda dan massa jenis dari masing-masing zat tersebut berbeda pula. Massa jenis air, toluena
dan etanol berturut turut 1.00g/ml, 0,8669 gr/cm3, dan 0,789 gr/cm3.
Dari hasil perhitungan enam titik pada diagram terner, dimana masingmasing titik
menggambarkan komposisikomposisi masingmasing zat pada tiap campuran, seperti Gambar
6. Perbedaan persentase pada setiap zat ( larutan ) disebabkan oleh volum dari masing-masing
komponen berbeda, sehingga terjadi perubahan daya saling larut antara komponen-komponen
larutan tersebut. Setiap penambahan aquadest pada campuran tersebut menyebabkan perubahan
daya larut antar larutan, hal ini kemudian digambarkan dalam diagram terner. Dari setiap
perlakuan berarti diperoleh enam diagram terner yang berarti ada tiga titik dalam diagram terner
tersebut. Dengan menggabungkan ketiga titik tersebut, diperoleh sebuah gambar segitiga. Pada
diagram dapat dilihat bahwa petemuan garis antara zat tercampur dan penitrasian terdapat pada
pertemuan garis dimana terbentuk segitiga di mana masingmasing titik menggambarkan

komposisikomposisi masingmasing zat pada tiap campuran. Gambar segitiga pada diagram
terner tersebut menunjukkan daerah kesetimbangan fasa dari etanol, air, dan toluene. Pada daerah
kesetimbangan, fraksi mol dari air yaitu 5.1367, fraksi mol toluene 12.6483, sedangkan fraksi
mol etanol 25.1572. Perbedaan persentase pada setiap zat disebabkan oleh volum komponen
berbeda, sehingga terjadi perubahan daya saling larut antara komponen-komponen larutan
tersebut. Setiap penambahan aquadest pada campuran tersebut menyebabkan perubahan daya
larut antara larutan, hal ini kemudian digambarkan dalam diagram terner.

Simpulan
Berdasarkan hasil percobaan sistem biner dan terner dalam komponen dapat disimpulkan bahwa
sistem biner merupakan sistem yang mengandung jumlah komponen campuran yang terdiri atas
dua zat, misalnya fenol dan air. Sistem biner fenol-air merupakan suatu sistem yang
memperlihatkan sifat kelarutan timbal balik antara fenol dan air pada suhu tertentu dan tekanan
tetap. Titik kritis pada sistem biner ditunjukkan pada suhu 65 0C pada diagram fasa sistem biner.
Sedangkan sistem terner merupakan sistem yang mengandung jumlah komponen campuran yang
terdiri atas tiga zat, misalnya etanol-toluena-air. Pada sistem tiga komponen, jumlah persentase
komponen dari etanol, air, toluene adalah 100 %. Persentase komponen yang diperoleh
ditunjukkan pada diagram fasa dalam koordinat triangular. Gambar segitiga pada diagram terner
tersebut menunjukkan daerah kesetimbangan fasa dari etanol, air, dan toluene. Pada daerah
kesetimbangan, fraksi mol dari air yaitu 5.1367, fraksi mol toluene 12.6483, sedangkan fraksi
mol etanol 25.1572.
Daftar Pustaka
Atkins, P. W., 2006. Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.
Castellan, G. W., 1983. Physical Chemistry. Third ed. s.l.:Addison-Wesley Publishing company.
Dogra, S. K., 2009. Kimia Fisika dan Soal-Soal. Jakarta: UI Press.
Fisika, T. D. K., 2015. Petunjuk Praktikum Kimia Fisika. Semarang: Laboratorium Kimia Fisik
FMIPA UNNES.
Karyadi, B., 2002. Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.
Retug, I. N., 2002. penuntun praktikum kimia fisika II. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Sienko, M. J., 1985. Eksperimental Chemistry. United States: Mc Graw-Hill.


Suardana, I. N., 2005. Penuntun Parktikum Kimia Fisika. Singaraja: Jurusan Pendidikan Kimia
FMIPA IKIP Negeri Singaraja.
Sukardjo, 2003. Dasa-Dasar Kimia Fisika. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Tony, B., 1993. Kimia Fisika untuk Universitas. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai