Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan formal (Sekolah) merupakan agen sosialisasi setelah keluarga, dimana
seorang anak mulai mempelajari nilai-nilai baru yang tidak diperolehnya dalam keluarga.
Sekolah merupakan sarana untuk mempersiapkan seorang anak untuk menghadapi peranannya
dalam masyarakat. Robert Dreeben (1968) berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah,
selain membaca, menulis dan berhitung, adalah aturan-aturan mengenai kemandirian
(independence), prestasi (achievement), universalisme (universlism), dan spesifisitas.
Pada sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan awal seperti Taman KanakKanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, peranan guru sangat besar bahkan
dominan. Pada taraf pendidikan formal tersebut, guru mempunyai peranan yang cenderung
mutlak di dalam membentuk dan mengubah pola perilaku anak didik. Keadaan berubah setelah
anak ( yang sudah menjadi remaja) memasuki Sekolah Menengah Atas. Peran guru dalam
membentuk dan mengubah perilaku anak didik dibatasi dengan peran anak didik itu sendiri
dalam membentuk dan mengubah perilakunya. Sudah tentu bahwa guru masih tetap berperan di
dalam hal membimbing anak didiknya agar mempunyai motivasi yang besar untuk
menyelesaikan studinya dengan baik dan benar. Setidaknya itulah yang menjadi peranan yang
sangat diharapkan dari guru di tingkat Sekolah Menengah Atas.
Para siswa yang terdiri dari para remaja sudah mulai mempunyai sikap tertentu,
kepribadiannya mulai terbentuk dan menuju kemandirian. Oleh karena itu, para remaja mulai
mengkritik keadaan sekolah yang kadang-kadang tidak memuaskan baginya. pada tingkat
pendidikan ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat
kuat. Hal ini karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami mereka,
sehingga hanya dengan seusianya ada kedekatan fisik ataupun psikis. Mereka kadang-kadang
bergurau melampaui batas kewajaran sehingga tidak disadari membuat orang lain sekitarnya
menderita, dan bila diperingatkan biasanya tidak mau menerima dan bahkan berbuat lebih
dahsyat lagi. Hal yang demikian itu membuat remaja bangga dengan perbuatan yang dianggap
tidak wajar.
Memang masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.
Remaja juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati dengan berbagai kesulitan.
Dalam tugas perkembangannya, remaja akan melewati beberapa fase dengan berbagai tingkat
kesulitan permasalahannya sehingga dengan mengetahui tugas-tugas perkembangan remaja dapat
mencegah konflik yang ditimbulkan oleh remaja dalam keseharian yang sangat menyulitkan
masyarakat, agar tidak salah persepsi dalam menangani permasalahan tersebut. Pada masa ini

juga kondisi psikis remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian jati diri.
Biasanya mereka selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru dilihat atau diketahuinya dari
lingkungan sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman sepermainan dan masyarakat.
Semua pengetahuan yang baru diketahuinya baik yang bersifat positif maupun negatif akan
diterima dan ditanggapi oleh remaja sesuai dengan kepribadian masing-masing. Remaja dituntut
untuk menentukan dan membedakan yang terbaik dan yang buruk dalam kehidupannya.
Disinilah peran lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membentuk kepribadian seorang
remaja. Tanpa peran lingkungan serta lemahnya emosi seseorang akan berdampak pada
terjadinya masalah dikalangan remaja, misalnya bullying yang sekarang kembali mencuat di
media. Kekerasan di sekolah ibarat fenomena gunung es yang nampak ke permukaan hanya
bagian kecilnya saja. Akan terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat dan
berkesinambungan dari akar persoalannya.
Budaya bullying (kekerasan) atas nama senioritas masih terus terjadi di kalangan peserta
didik. Karena meresahkan, pemerintah didesak segera menangani masalah ini secara serius.
Bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang dilakukan teman sebaya kepada
seseorang (anak) yang lebih rendah atau lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau
kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara
sistematis. Secara umum, sekitar 5 persen dari peserta didik SMA dilaporkan terancam dan 6,6
persen secara fisik diintimidasi seperti didorong, disandung, atau diludahi. Kebanyakan bullying
terjadi di lorong sekolah, tangga, atau di dalam kelas. Dan beberapa kasus, peserta didik
diintimidasi di kamar mandi, ruang ganti, kantin sekolah, atau bus sekolah. Peserta didik yang
lebih muda lebih mungkin diganggu oleh seniornya.

1.2 Identifikasi Masalah


Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang, antara lain:
1) Defenisi Bullying
2) Bentuk-Bentuk Perilaku School Bullying
3) Penyebab Terjadinya Tindakan School Bullying
4) Upaya Penanganan atau Pencegahan School Bullying

1.3 Batasan Masalah


Penulis membatasi ruang lingkup pembahasan tentang makalah ini. Makalah ini hanya
akan membahas tentang perilaku kekerasan atau bullying di lingkungan sekolah. Penulis tidak

akan membahas perilaku kekerasan di lingkungan luar sekolah seperti lingkungan kerja atau
masyarakat sosial.

1.4Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata pelajaran Budi
Pekerti Semester V atau Semester 1 di kelas XII IPA-2. Selain itu tujuan penulisan ini adalah
untuk lebih memahami:

Pengertian Bullying atau Kekerasan di Sekolah

Bentuk-Bentuk Bullying

Penyebab Terjadinya Bullying

Upaya Penanganan atau Pencegahan Bullying

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bullying
Bullying (arti harfiahnya: penindasan) adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang
secara berulang yang memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti
targetnya (korban) secara mental atau secara fisik.
Bullying bisa terjadi dalam berbagai format dan bentuk tingkah laku yang berbeda-beda. Di
antara format dan bentuk tersebut adalah; nama panggilan yang tidak disukai, terasing,
penyebaran isu yang tidak benar, pengucilan, kekerasan fisik, dan penyerangan (mendorong,
memukul, dan menendang), intimidasi, pencurian uang atau barang lainnya, bisa berbasis suku,
agama, gender, dan lain-lain.Bullying merupakan suatu bentuk ekspresi, aksi bahkan perilaku
kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi pengertian bullying sebagai
"kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok
terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat
untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan tidak

berdaya."Bullying biasanya dilakukan berulang sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari
seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Bila dilakukan terus menerus
akan menimbulkan trauma, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Kejadian tersebut sangat
mungkin berlangsung pada pihak yang setara, namun, sering terjadi pada pihak yang tidak
berimbang secara kekuatan maupun kekuasaan. Salah satu pihak dalam situasi tidak mampu
mempertahankan diri atau tidak berdaya. Korban bullying biasanya memang telah diposisikan
sebagai target. Bullying sering kita temui pada hubungan sosial yang bersifat subordinat antara
senior dan junior.
Berdasarkan beberapa pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan
tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak
nyaman.
Bullying ini sendiri banyak terjadi di sekolah-sekolah, sekolah umum maupun swasta,
bahkan di pesantren sekalipun. Dan bila pada tatanan nilai masyarakat yang agresif seperti di
negara barat, maka akan timbul kasus bullying yang cukup parah dari pembunuhan sampai pada
kasus cedera. Biasanya di sekolah pertama-tama dilakukan oleh kakak senior kepada adik
kelasnya yang dinamakan ospek. Setelah kegiatan ospek usai, maka praktek bullying terjadi juga
pada keseharian anak di kelas, dimana anak-anak yang merasa badannya lebih besar, lebih punya
power mem-bully anak yang tampaknya lebih lemah.

2.2 Bentuk-Bentuk Perilaku School Bullying


A. Kontak fisik langsung
Kontak fisik langsung adalah serangan fisik yang dilakukan secara langsung, dapat berupa
memukul, mendorong, menendang, dan lainnya yang merupakan tindakan kekerasan. Tindakan
kekerasan adalah salah satu bentuk manifestasi rasa marah yang bersifat agresif malignant
(berat) yang menyebabkan kesakitan atau kerusakan pada obyek sasarannya. Menurut
Susilaningsih, ada dua faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya sifat bertindak kekerasan
ini, pertama, rasa marah yang tidak memperoleh pembinaan untuk menjadi perilaku positif dan
produktif. Kedua, lingkungan (keluarga, masyarakat, dan media) yang sering memberi contoh
bentuk tindak kekerasan sebagai ekspresi dari rasa amarah, sehingga tidak sadar meniru tindakan
itu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu contoh tindak kekerasan adalah tawur antar remaja.
Faktor primer yang menjadi pemicu terjadinya tawur antar sekolah adalah adanya, (1)
mitos sekolah sebagai ahli tawur, (2) ideologi tawur yang disosialisasikan oleh siswa senior, pada
sekolah tertentu, (3) individu-individu potensial penyulut tawur, (4) dibentuknya sikap loyalitas
sukarela dan terpaksa mendukung tawur, (5) lemahnya sanksi terhadap tindakan tawur.
Sedangkan faktor sekunder adalah suasana sekolah yang tidak mendukung berkembangnya aspek

positif. Hal ini terjadi karena, (1) tiadanya kurikulum yang memberi tempat secara spesifik bagi
kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Bentuk-bentuk perilaku semacam ini bisa jadi
karena masa pubertas.
B. Perilaku Non-verbal langsung
Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh secara langsung oleh pelaku
bullying. Contoh yang sering terjadi di sekolah adalah pandangan sinis, menampilkan ekspresi
wajah yang merendahkan dan lainnya. Ada hal yang nampaknya sederhana tetapi sesungguhnya
menyakitkan orang lain, perilaku ini misalnya mengabaikan lawan bicara, mengalihkan
pandangan, dan gerkan-gerakan tubuh yang menghina orang lain.
C. Perilaku Non-verbal tidak Langsung
Yaitu perilaku yang diwujudkan dengan mendiamkan seseorang, berbuat curang pada orang
lain atau sahabat yang menyebabkan keretakan persahabatan, sengaja mengucilkan teman,
mengirim sms ancaman atau surat kaleng tanpa ada nama pengirim. Perilaku ini dilakukan agar
lawannya atau sahabatnya menjadi gelisah, terancam dan ketakutan.
D. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan.
Pelecehan seksual dilakukan ssecara fisik atau lisan menggunakan ejekan atau kata-kata yang
tidak sopan untuk menunjuk pada sekitar hal yang sensitif pada seksual. Secara fisik pelecehan
seksual bisa dilakukan dengan sengaja memegang wilayah-wilayah seksual lawan jenis.
Pada tindak kekerasan seksual bisa juga terjadi dalam bentuk penghinaan-penghinaan
terhadap lawan jenis atau sejanis seperti halnya mengatakan teman laki-laki banci bagi lakilaki yang feminim. Terjadinya tindak kekerasan ini bisa terjadi di dalam kelas ataupun di luar
kelas, baik dalam situasi yang serius atau saat bersenda gurau.

2.3 Penyebab Terjadinya Tindakan School Bullying


Beberapa faktor diyakini menjadi penyebab terjadinya bullying, keluarga, individual, dan
sekolah adalah beberapa hal di antaranya. Pertama, faktor keluarga; pelaku bullying bisa jadi
menerima perlakuan bullying pada dirinya, yang mungkin dilakukan oleh seseorang di dalam
keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan meniru
kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan orangtua
kepada anak akan menjadi contoh perilaku. Hal ini akan diperparah dengan kurangnya
kehangatan kasih sayang dan tiadanya dukungan dan pengarahan membuat anak memiliki
kesempatan untuk menjadi seorang pelaku bullying. Sebuah studi membuktikan bahwa perilaku
agresif meningkat pada anak yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan sang ayah terhadap
ibunya.

Kedua, faktor kepribadian; salah satu faktor terbesar penyebab anak melakukan bullying
adalah tempramen. Tempramen adalah karakterisktik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon
emosional. Hal ini mengarah pada perkembangan tingkah laku personalitas dan sosial anak.
Seseorang yang aktif dan impulsif lebih mungkin untuk berlaku bullying dibandingkan orang
yang pasif atau pemalu.
Beberapa anak pelaku bullying sebagai jalan untuk mendapatkan popularitas, perhatian,
atau memperoleh barang-barang yang diinginkannya. Biasanya mereka takut jika tindakan
bullying menimpa diri mereka sehingga mereka mendahului berlaku bullying pada orang lain
untuk membentuk citra sebagai pemberani. Meskipun beberapa pelaku bullying merasa tidak
suka dengan perbuatan mereka, mereka tidak sungguh-sungguh menyadari akibat perbuatan
mereka terhadap orang lain.
Ketiga, faktor sekolah; tingkat pengawasan di sekolah menentukan seberapa banyak dan
seringnya terjadi peristiwa bullying. Sebagaimana rendahnya tingkat pengawasan di rumah,
rendahnya pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan berkembangnya perlaku bullying di
kalangan siswa. Pentingnya pengawasan dilakukan terutama di tempat bermain dan lapangan,
karena biasanya di kedua tempat tersebut perilaku bullying kerap dilakukan. Penanganan yang
tepat dari guru atau pengawas terhadap peristiwa bullying adalah hal yang penting karena
perilaku bullying yang tidak ditangani dengan baik akan meyebabkan kemungkinan perilaku itu
terulang.

2.4 Upaya Penanganan atau Pencegahan School Bullying


Beberapa strategi penting yang dilakukan sekolah untuk menghentikan bullying adalah sebagai
berikut:

Menyediakan pengawasan yang baik untuk anak/siswa.


Memberikan konsekuensi yang efektif/tegas untuk pelaku.
Adanya komunikasi yang baik antara orangtua dan guru.
Memberi kesempatan pada semua siswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal
serta potensi akademis dan non akademisnya yang baik.
Menciptakan konteks sosial yang mendukung dan menyeluruh yang tidak mentolerir perilaku
agresif dan kekerasan.
Guru memberikan contoh perilaku positif dalam mengajar, melatih, membina, berdoa, dan
berbagai bentuk lainnya.
Sekolah hendaknya proaktif dengan membuat program pengajaran keterampilan sosial,
problem solving, manajemen konflik, dan pendidikan karakter.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bullying adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang secara berulang yang
memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya (korban) secara
mental atau secara fisik.
School Bullying termasuk dalam tindakan kekerasan yang merugikan orang lain. Selama ini
upaya mengidentifikasi tindakan bullying siswa mengalami hambatan, karena Perilaku ini
terselubung dan para korban yang enggan atau takut melaporkan tindakan bullying yang
dialaminya. Tidak hanya itu, selama ini kampanye anti-bullying di sekolah dan masyarakat juga
masih sedikit dan terbatas.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang siswa melakukan tindakan bullying antara
lain: pertama faktor keluarga, seorang anak yang melakukan tindakan bullying terhadap
temannya bisa jadi karena ia mendapatkan perlakuan yang sama dalam keluarganya, atau di
karenakan kurangnya kontrol dari orang tua, faktor ke dua adalah dari individu anak itu sendiri,
keadaan psikologi yang tempramen membuat seorang anak dapat melakukan tindakan kekerasan
terhadap teman-temannya di sekolah, yang ketiga adalah faktor sekolah, faktor ini di karenakan
kurangnya perhatian sekolah dan kurangnya sanksi yang tegas yang diberikan oleh pihak
sekolah.

3.2 Saran
Semoga dengan adanya Karya Ilmiah ini atau makalah ini kita bias lebih sadar akan
tindakan bullying di sekolah dengan mencegah dan menyelesaikan masalahnya langsung ke
akar permasalahan agar tidak berlarut-larut masalah kekerasan di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Marwan, Muhamad Perilaku School Bullying 16 Oktober 2014

http://muhamadmarwans.blogspot.com/2011/08/perilaku-school-bullying-masalah.html

Azzhara
Pemahaman
Moral
16
Oktober
http://lastriazzahra.wordpress.com/2012/11/23/makalah-perilaku-bullying-ditinjau-daripemahaman-moral-remaja/

2014

Anda mungkin juga menyukai