PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26
juta orang dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal
kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya,
outcome yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien
dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik,
salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak
awal pasien terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas
hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek
samping yang terjadi, termasuk komplikasi dan kematian karena penyakit
kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010).
Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada
sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang
kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal
kronik, insiden ini meningkat karena penurunan Glomerular Filtration Rate
(GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey
dengan transfusi darah. Dengan berkurangnya lama rawat inap, diharapkan biaya
medis langsung pasien juga akan lebih rendah. Selain itu, untuk meningkatkan
outcome klinik maupun ekonomik, maka penggunaan sumber daya (biaya) harus
dapat dioptimalkan dan pengeluaran harus dikendalikan. Hal tersebut yang
mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian guna mengetahui besarnya
rata-rata biaya medik langsung terapi penggunaan transfusi darah pasien anemia
pada gagal ginjal kronik. Serta dapat pula diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya biaya terapi tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam pengambilan keputusan klinik dengan memperhatikan
kondisi ekonomi pasien.
Banyaknya jumlah pasien gagal ginjal kronik memungkinkan semakin
banyak pula angka kejadian anemia di rumah sakit-rumah sakit, sehingga perlu
untuk mengetahui adanya evaluasi pengobatan anemia pada gagal ginjal kronik.
Pada anemia digunakan parameter hemoglobin untuk mengontrol keparahan
anemia. Kadar hemoglobin ini sebisa mungkin dijaga dalam rentang normal untuk
menghindarkan pasien dari gejala-gejala anemia, yaitu dengan memberikan terapi
antianemia yang sesuai dengan kondisi pasien. Oleh karena itu, mengetahui
outcome terapi suatu pengobatan sangat penting dalam penentuan terapi suatu
penyakit. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi dipilih sebagai tempat
penelitian karena merupakan rumah sakit pendidikan yang menyediakan sarana
sebagai tempat belajar demi peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit,
sekaligus menjadi rumah sakit rujukan terpercaya terutama masyarakat kota
Surakarta dengan pemberian pelayanan cepat, tepat, nyaman, dan mudah diakses.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah pada
penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr.
Moewardi periode tahun 2012?
2. Bagaimana outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012
dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi transfusi darah
pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah
sakit di RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah
pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD
Dr. Moewardi periode tahun 2012.
2. Mengetahui outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012
dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien.
3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya biaya total yang
dikeluarkan oleh pasien untuk terapi dengan transfusi darah pada penderita
anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah sakit di RSUD
Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi tentang analisis biaya pengobatan anemia, terutama
penggunaan transfusi darah pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat
inap RSUD Dr. Moewardi.
2. Sebagai bahan pertimbangan pengobatan anemia yang akan dilakukan
berikutnya guna meningkatkan mutu pelayanan pasien di RSUD Dr.
Moewardi.
3. Mendukung
kemajuan
ilmu
kesehatan
terutama
dalam
bidang
farmakoekonomi.
4. Sebagai sumber informasi mengenai outcome terapi penggunaan transfusi
darah pada penatalaksanaan terapi anemia dengan gagal ginjal kronik di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron)
atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan internalnya dari perkembangan gagal ginjal yang
progresif, irreversibel dan lambat yang berlangsung dalam jangka waktu lama
dan menetap sehingga mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik
uremik) dimana hal tersebut berakibat ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan
dan pemulihan fungsi lagi yang menimbulkan respon sakit (Hudson, 2008).
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau GFR <
60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan. Kerusakan ginjal ditandai dengan
abnormalitas patologi ginjal atau adanya marker kerusakan ginjal, yang
meliputi abnormalitas test darah atau urin atau gambaran struktur kerusakan
ginjal (NKF-K/DOQI, 2002). Penderita gagal ginjal kronik biasanya memiliki
penyebab yang berbeda, onset yang tersembunyi, diikuti perkembangan
penyakit yang progresif dan lambat, dan bersifat irreversibel.
Gagal ginjal kronik dikategorikan dalam tingkat fungsi ginjal,
berdasarkan Glomerular Filtration Rate (GFR), dari stadium 1 sampai 5,
dengan setiap peningkatan stadium menunjukkan tahap yang lebih parah dari
penyakit, sebagaimana digambarkan dengan penurunan GFR. Gagal Ginjal
Kronik stadium 5 atau disebut juga sebagai gagal ginjal stadium akhir atau End
Stage Renal Disease (ESRD), terjadi jika GFR turun di bawah 15
mL/menit/1,73 m2 (Hudson, 2008).
b. Etiologi
Sulit diperkirakan secara pasti penyebab dari gagal ginjal kronik,
karena kebanyakan pasien datang dengan kondisi ginjal yang sudah memburuk.
Pada tabel I memberikan estimasi distribusi penyebab gagal ginjal kronik di
Eropa.
Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes
Penyakit multisistem, tumor, haemolyticuraemic syndrome, gout
Pyelonefritis
Hipertensi / renovascular
Kongenital (polycystic)
Drug nephrotoxicity
Interstitial nephritis
Tidak diketahui penyebabnya
Rata-rata Frekuensi
terjadinya (%)
20-25
15-20
10-15
10
10
10
5-10
5
10-15
10
eksaserbasi atau kondisi akut pada gagal ginjal kronik krisis yang mungkin
indikasi awal pada penyakit ginjal stadium berat (Greene dan Harris, 2000).
e. Patofisiologi dan Manifestasi Klinik
Tabel II memberikan ringkasan masalah klinik pada penyakit gagal
ginjal
kronik
dengan
patogenesis
dan
pengukuran
biokimia
yang
Penyebab
Retensi
Natrium / Air
Kalium
Nitrogen :
1) Urea
2) Asam urat
3) Kreatinin
4) Lain-lain
Molekul dengan BM
500-5000 Da
Fosfat
Melanin, dan lain-lain
Asam
Endokrin
Vitamin D dan
defisiensi kalsium
Defisiensi
eritropoietin
Lain-lain
Toleransi glukosa
Metabolisme insulin
Manifestasi Klinik
Manajemen Terapi
Hipertensi
Udem, sistemik maupun
paru-paru
Gagal jantung
Hiperkalemia, aritmia
Pembatasan Na / Air,
diuretik, antihipertensi
Pembatasan diet
Perhatian pada
konsumsi protein
Pembatasan diet
Bikarbonat oral
Osteodistrofi ginjal
Miopati
Neuropati perifer, kram
Pruritis
Anemia
Analog vitamin D,
kalsium
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Antidiabetika
Glukosa
Biosintesis
eritropoietin
11
Lipoprotein lipase
Imunodefisiensi
Platelet defect
Stress ulceration
Beberapa masalah
dengan terapi obat
Hiperlipidemia,
aterosklerosis, penyakit
jantung iskemik (IHD)
Infeksi
Perikarditis
Koagulasi
1)
menyebabkan poliuria dengan urin yang encer dan risiko dehidrasi serta
pengurangan elektrolit, ini terjadi pada fase poliuri gagal ginjal akut. Hal ini
dapat terjadi sebagai hasil dari induksi diuretik osmotik dengan peningkatan
kadar urea pada filtrasi tubulus. Pada stadium selanjutnya, volume urin
berkurang dan terjadi retensi natrium dan air yang dapat menyebabkan
hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. Komplikasi lain yang dapat terjadi
karena hipervolemia adalah udem, termasuk udem paru dan gagal jantung.
Pada onset gagal ginjal akhir pasien dapat mengalami anuria (Greene dan
Harris, 2000).
2)
Uremia
Problem mayor hasil akumulasi biokimia tidak hanya urea saja,
12
bobot molekul 500-5000 Da dan nitrogen juga berkontribusi pada simptomsimptom non spesifik. Peritoneal dialysis merupakan metode yang efisien
untuk membersihkan substansi ini, yang akan memicu peningkatan kualitas
hidup pasien gagal ginjal. Gejala uremia seperti cepat lelah, lemah, sesak nafas,
bingung, mual, muntah, perdarahan, dan hilang nafsu makan (Greene dan
Harris, 2000).
3)
progresifitas penyakit hingga gagal ginjal tahap akhir. Sebelum itu, pasien
gagal ginjal akan toleran pada hiperkalemia dan kondisi asidosis ringan, atau
bisa beradaptasi pada kedua kondisi tersebut. Bagaimanapun juga retensi air
dalam waktu yang lama merupakan masalah serius pada gagal ginjal akhir
(Greene dan Harris, 2000).
4)
Gejala metabolik
Terdapat perubahan besar pada kadar lipid dan metabolisme
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi adalah yang paling umum terjadi dan juga peningkatan
13
Gejala lain-lain
Sebagian besar penderita tidak merasakan gejala-gejala yang berat
sampai gagal ginjal mereka menjadi parah. Tetapi beberapa gejala yang
mungkin akan muncul selain gejala di atas antara lain sulit tidur, kram otot di
malam hari, bengkak (pada kaki, pergelangan kaki, dan di sekitar mata
terutama di pagi hari), gatal, sering buang air kecil pada malam hari, adanya
14
Stadium
Deskripsi
1
2
3
4
5
GFR
(mL/min/1,73 m2)
90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis
(NKF-K/DOQI, 2006)
15
stadium
penyakitnya
oleh
NKF/K-DOQI,
aksi
klinik
diklasifikasikan menjadi :
Tabel IV. Stages of Chronic Kidney Disease: A Clinical Action Plan
Stadium
Penyakit
Ginjal Kronik
GFR
(mL/min/1,73 m2)
90
2
3
4
5
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis
Aksi Klinik
(NKF-K/DOQI, 2006)
16
2. Anemia
a. Definisi Anemia
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di
rumah sakit di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab
debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial
dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat
bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta
keadaan fisiologis tertentu seperti kehamilan (Bakta, 2006).
Anemia
bukanlah
suatu
kesatuan
penyakit
tersendiri,
tetapi
17
tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi,
sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah
penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting
dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia
tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih,
menganalisis
serta
merangkum
hasil
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
18
b. Epidemiologi
Insiden anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik meningkat
dengan berkurangnya kecepatan filtrasi glomerolus. Studi populasi dari
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari National
Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency
(PAERI) bahwa insidensi anemia kurang dari 10 % pada gagal ginjal kronik
stadium 1 dan 2, 20-40 % pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60 % pada
gagal ginjal kronik stadium 4, dan lebih dari 70 % pada gagal ginjal kronik
stadium 5. Sebelum adanya terapi dengan eritropoietin, konsentrasi
hemoglobin yang normal hanya terjadi pada 3% pasien gagal ginjal kronik
dengan dialisis, sebagian besar pasien memiliki nilai hemoglobin 6-8 g/dL.
Pada tahun 1980-an, 10% pasien dialisis memerlukan terapi transfusi darah
(Macdougall, 2011).
c. Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh
bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena : 1)
Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah
keluar tubuh (perdarahan), dan; 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh
sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia
dapat dilihat pada tabel V. Anemia pada gagal ginjal kronik terutama terjadi
karena penurunan produksi eritropoietin. Sel progenitor ginjal memproduksi
90% eritropoietin, yang akan menstimulasi produksi sel darah merah. Adanya
penurunan massa nefron ginjal pada pasien gagal ginjal kronik menyebabkan
19
A.
20
I.
21
22
dengan menurunkan ketersediaan besi untuk menjadi eritroblas. Hal ini dapat
mengurangi produksi sel darah merah. Berikut ini merupakan gambaran dari
pembentukan sel darah merah pada gagal ginjal kronik (Lankhorst dan Wish,
2010).
Gambar 1. Eritropoiesis Pada Gagal Ginjal Kronik (Lankhorst dan Wish, 2010)
Sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki
waktu hidup yang pendek. Pada normalnya waktu hidup sel darah merah
adalah 120 hari, pada gagal ginjal kronik menjadi 60-90 hari. Pada pasien tanpa
gagal ginjal, sumsum tulang belakang memiliki kapasitas untuk meningkatkan
produksi sel darah merah dan mengoreksi waktu hidup sel yang pendek, tetapi
respon ini berkurang pada pasien gagal ginjal karena defisiensi EPO. Toksin
uremia juga berkontribusi pada apoptosis sehingga insiden anemia akan
meningkat
setelah
dialisis.
Terdapat
beberapa
studi
prospektif
dan
23
24
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin
yang berat (Hb <10 g/dL) (Bakta, 2006).
2) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, seperti anemia
defisiensi besi, dengan gejala : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychia) (Bakta, 2006).
3) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Pada kasus
tertentu sering gajala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada
anemia akibat gagal ginjal kronik, gejala yang sering muncul adalah kelelahan,
kehilangan libido, dizziness, nafas pendek, dan penurunan status kesehatan
(Bakta, 2006).
Gejala yang lebih berat yang dapat terjadi karena anemia pada gagal
ginjal kronik adalah penyakit kardiovaskuler dengan Left Ventriculer
Hyperthropy (LVH) dan gagal jantung kongestif yang berakibat pada
morbiditas dan mortalitas. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner,
penurunan oksigen yang dibawa oleh darah merah ke otot jantung akan
menyebabkan perburukan gejala angina. Penurunan oksigen perifer selama
anemia memicu vasodilatasi perifer, yang dapat meningkatkan aktivitas sistem
syaraf simpatik, meningkatkan kecepatan denyut jantung, stroke, dan LVH.
LVH merupakan outcome tak diinginkan dari pasien gagal ginjal kronik.
25
26
27
anemia, tetapi sedapat mungkin harus dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap dalam diagnosis anemia adalah :
menentukan adanya anemia, menentukan jenis anemia, menentukan etiologi
atau penyakit dasar anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit
penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan (Bakta, 2006).
f. Tatalaksana Terapi Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik diterapi menggunakan agen
eritropoiesis eksogen bagi pasien yang mengalami penurunan level
eritropoietin. Sesuai guideline dari NKF-K/DOQI merekomendasikan bahwa
secara umum target hemoglobin yaitu pada rentang 11 hingga 12 g/dL . Saat ini
agen yang diakui seperti epoetin alfa dan darbepoetin alfa, yaitu merupakan
agen tambahan yang memiliki interval dosis yang panjang menerima
pengakuan dari Food And Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada
bulan Oktober 2007 dan diakui oleh European Medicines Agency pada bulan
Juli 2007. Penyebab anemia selain defisiensi eritropoietin juga harus diketahui,
khususnya jika anemia yang terjadi tidak proporsional dengan kerusakan fungsi
ginjal, defisiensi besi, leukositopenia, atau trombositopenia, penyebab tersebut
yaitu penurunan waktu hidup sel darah merah dengan adanya uremia, defisiensi
besi, kehilangan darah secara reguler, dan kehilangan darah pada pasien
hemodialisis. Pasien dengan kadar transferrin saturation (TSAT) < 20% atau
serum feritin <100 ng/mL harus menerima terapi penggantian besi sebelum
dan/atau selama terapi dengan eritropoietin (NKF-K/DOQI, 2006).
28
11g/dL dan
29
atralgia, dan
artritis.
Beberapa
reaksi
ini
dapat
30
3. Transfusi Darah
Transfusi darah ialah proses pemindahan darah atau komponen darah
dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien) (Bakta, 2006). Pasien gagal
ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis kronik secara substansial
31
Deskripsi
Risiko Infeksi
Penyimpanan
Indikasi
Pemberian
(WHO/BTS, 2002)
32
Anemia pada gagal ginjal kronik bersifat kronik dan pasien melakukan
kompensasi terhadap kondisi anemia melalui sejumlah mekanisme, oleh karena
itu pemberian sel darah merah penting untuk mengevaluasi status kompensasi
pasien. Transfusi darah diindikasikan pada :
a.
Kadar Hb < 7 g/dL dengan atau tanpa gejala anemia (PERNEFRI, 2012).
Pada kadar Hb 6 g/dL, pasien akan mengalami gejala kelelahan dan
dengan penurunan Hb secara progresif menyebabkan gejala dispneu,
congestive heart failure (CHF), dan peningkatan hipoksia jaringan pada
penyakit vaskuler (NKF/K-DOQI, 2006).
b.
c.
d.
e.
Transfusi darah ini bukannya tanpa risiko, risiko ini berupa terjadinya
penularan penyakit (hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV), potensi
terjadinya kelebihan cairan (overload), pembentukan antibodi terhadap antigen
HLA, dan dapat menekan eritropoiesis (Prodjosudjadi dan Lydia, 2001). Di
samping itu, transfusi yang dilakukan berulang kali menyebabkan penimbunan
33
besi pada organ tubuh. Target terapi pada transfusi darah, yaitu tercapainya
kadar Hb 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi ESA)
(PERNEFRI, 2012).
4. Analisis Farmakoekonomi
a. Pengertian Farmakoekonomi
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya
terapi obat dalam suatu sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Penelitian
farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya
(penggunaan sumber daya) dengan outcome (klinik, ekonomik, dan
humanistik) produk dan pelayanan kefarmasian (Bootman dkk., 2005). Tujuan
farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan
pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang
berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa
dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam
menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi
farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat
dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan
digunakan.
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang
terbatas, dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang
efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia
34
secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah
biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan
sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka
sudah seyogyanya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat
keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.
b. Kategori Biaya
Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi lima
kategori, sebagai berikut :
1) Biaya medis langsung (dirrect medical cost), merupakan biaya yang
melibatkan proses pertukaran uang untuk sumber daya yang digunakan
yang berkaitan langsung dengan biaya kesehatan; misalnya biaya
perawatan, obat-obatan, biaya rumah sakit, dan biaya pemeriksaan
laboratorium (Wilson, 2001; Walley, 2004).
2) Biaya non medis langsung (dirrect non medical cost), merupakan biaya
yang dikeluarkan oleh pasien yang tidak berkaitan langsung dengan biaya
kesehatan; misalnya biaya hidup di rumah sakit bagi keluarga, dan
transportasi ke rumah sakit (Wilson, 2001).
3) Biaya tidak langsung (indirrect cost), merupakan biaya yang tidak
melibatkan proses pertukaran uang untuk sumber daya yang digunakan;
berupa hilangnya produktivitas kerja dan pengeluaran untuk keluarga
(Wilson, 2001).
35
4) Biaya tak terwujud (intangible cost), merupakan biaya yang tidak dapat
diukur dalam mata uang, berupa perubahan kualitas hidup, misalnya rasa
nyeri dan tekanan emosi (Wilson, 2001; Walley, 2004).
c. Perspektif Analisis
Pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang
(perspektif), meliputi :
1) Perspektif pasien
Yaitu pasien memperoleh pelayanan kesehatan dengan biaya minimal,
dapat berupa biaya langsung maupun tidak langsung (Walley, 2004).
2) Perspektif penyedia layanan kesehatan (provider)
Yaitu biaya untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan
masyarakat, misalnya rumah sakit (Walley, 2004).
3) Perspektif pembayar (payer)
Sebagai contoh yaitu pemerintah atau perusahaan asuransi, yang
diperhatikan adalah biaya langsung (Sanchez, 2005)
4) Perspektif masyarakat (social)
Yaitu
dihitung
biaya
penggunaan
semua
sumber
daya
oleh
36
1) Cost-Analysis (CA)
Metode ini membandingkan biaya total penggunaan obat dan metode ini
tidak membandingkan kemanjuran / efficacy dari terapi atau obat-obatan
yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian metode ini
menunjukkan berapa biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi
biaya-biaya tersembunyi (hidden cost) (Plumridge, 2000).
2) Cost-Minimization Analysis (CMA)
Metode ini membandingkan biaya total penggunaan dua obat (terapi) atau
lebih obat yang efikasi dan efek samping obatnya ekivalen. Karena obatobat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka cara CMA
memfokuskan pada penentuan obat mana yang biaya per harinya paling
rendah (Plumridge, 2000).
3) Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Analisis cost-effectiveness membandingkan harga dari semua sumber yang
dikonsumsi (biaya) dengan nilai outcome suatu program atau intervensi.
Nilai efektivitas diukur dalam natural unit, misalnya penurunan tekanan
darah diukur dengan satuan mmHg, jumlah hari bebas gejala, dan lain-lain.
Kelebihan dari metode ini adalah tidak harus merubah outcome klinik
dalam unit mata uang dan membandingkan terapi yang berbeda yang
mempunyai tujuan yang sama, sedangkan kekurangannya adalah hanya
satu outcome yang diukur pada waktu yang sama. CEA dapat diukur
dengan ACER atau ICER. ACER merupakan rasio biaya terapi dengan
37
38
Metode
Definisi
Unit Biaya
Unit
Outcome
Cost analysis
(CoI/CoT)
Mata uang
Biaya
Mata Uang
Outcome
identik /
ekuivalen
Mata uang
Unit
natural
Mata uang
Mata
uang
Mata uang
Kualitas
hidup
CMA
CEA
CBA
CUA
(Walley, 2004)
39
40
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya rata-rata biaya
medik langsung terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui efektivitas terapi
transfusi darah pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronik dengan melihat
41
42
G. Kerangka Konsep
Pasien Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
Gambaran Pengobatan
Dipengaruhi oleh :
1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Stadium GGK
4. Cara Pembayaran
5. Kelas Rawat Inap
6. Lama Rawat Inap
7. Kadar Hb saat
Masuk Rumah
Sakit
Biaya Terapi
Outcome Terapi
Pencapaian
Target Hb
Biaya Medik
Langsung