Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26
juta orang dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal
kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya,
outcome yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien
dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik,
salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak
awal pasien terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas
hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek
samping yang terjadi, termasuk komplikasi dan kematian karena penyakit
kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010).
Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada
sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang
kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal
kronik, insiden ini meningkat karena penurunan Glomerular Filtration Rate
(GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early


Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya anemia
adalah kurang dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40% pada
gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4, dan
lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium 5 (Lankhorst dan Wish, 2010).
Penyebab terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik yaitu
multifaktor, tetapi ketidakcukupan produksi eritropoietin karena penyakit ginjal
merupakan penyebab yang utama. Anemia pada umumnya menjadi lebih berat
pada penurunan fungsi ginjal. Semakin menurunnya fungsi ginjal (ditandai
dengan stadium yang bertambah dan GFR yang menurun), maka prevalensi
anemia semakin tinggi (Isnenia, 2008). Transfusi sel darah merah merupakan
salah satu pilihan terapi anemia pada gagal ginjal kronik dimana dibutuhkan
ketika terjadi perdarahan akut, resistensi ESAs, maupun ketika kadar hemoglobin
pasien di bawah 7 g/dL. Transfusi sel darah merah dapat mencegah
ketidakcukupan oksigenasi jaringan dan gagal jantung. Anemia pada gagal ginjal
kronik yang tidak diterapi berhubungan dengan peningkatan rawat inap dan biaya
kesehatan pasien. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar konsekuensi
anemia adalah penyakit kardiovaskuler, dimana morbiditasnya menjadi penyebab
pasien dirawat di rumah sakit dan tingginya biaya kesehatan. Biaya dalam
penanganan gagal ginjal kronik di Indonesia cukup tinggi terutama biaya dalam
penanganan penyakit komplikasi dan komorbid, hal ini dapat membebani pasien.
Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik adalah anemia.
Oleh karena itu, diperlukan perhitungan biaya terapi anemia dalam kaitannya

dengan transfusi darah. Dengan berkurangnya lama rawat inap, diharapkan biaya
medis langsung pasien juga akan lebih rendah. Selain itu, untuk meningkatkan
outcome klinik maupun ekonomik, maka penggunaan sumber daya (biaya) harus
dapat dioptimalkan dan pengeluaran harus dikendalikan. Hal tersebut yang
mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian guna mengetahui besarnya
rata-rata biaya medik langsung terapi penggunaan transfusi darah pasien anemia
pada gagal ginjal kronik. Serta dapat pula diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya biaya terapi tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam pengambilan keputusan klinik dengan memperhatikan
kondisi ekonomi pasien.
Banyaknya jumlah pasien gagal ginjal kronik memungkinkan semakin
banyak pula angka kejadian anemia di rumah sakit-rumah sakit, sehingga perlu
untuk mengetahui adanya evaluasi pengobatan anemia pada gagal ginjal kronik.
Pada anemia digunakan parameter hemoglobin untuk mengontrol keparahan
anemia. Kadar hemoglobin ini sebisa mungkin dijaga dalam rentang normal untuk
menghindarkan pasien dari gejala-gejala anemia, yaitu dengan memberikan terapi
antianemia yang sesuai dengan kondisi pasien. Oleh karena itu, mengetahui
outcome terapi suatu pengobatan sangat penting dalam penentuan terapi suatu
penyakit. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi dipilih sebagai tempat
penelitian karena merupakan rumah sakit pendidikan yang menyediakan sarana
sebagai tempat belajar demi peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit,
sekaligus menjadi rumah sakit rujukan terpercaya terutama masyarakat kota
Surakarta dengan pemberian pelayanan cepat, tepat, nyaman, dan mudah diakses.

B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah pada
penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr.
Moewardi periode tahun 2012?
2. Bagaimana outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012
dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi transfusi darah
pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah
sakit di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah
pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD
Dr. Moewardi periode tahun 2012.
2. Mengetahui outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012
dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien.
3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya biaya total yang
dikeluarkan oleh pasien untuk terapi dengan transfusi darah pada penderita
anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah sakit di RSUD
Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi tentang analisis biaya pengobatan anemia, terutama
penggunaan transfusi darah pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat
inap RSUD Dr. Moewardi.
2. Sebagai bahan pertimbangan pengobatan anemia yang akan dilakukan
berikutnya guna meningkatkan mutu pelayanan pasien di RSUD Dr.
Moewardi.
3. Mendukung

kemajuan

ilmu

kesehatan

terutama

dalam

bidang

farmakoekonomi.
4. Sebagai sumber informasi mengenai outcome terapi penggunaan transfusi
darah pada penatalaksanaan terapi anemia dengan gagal ginjal kronik di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi.

E. Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron)
atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan internalnya dari perkembangan gagal ginjal yang
progresif, irreversibel dan lambat yang berlangsung dalam jangka waktu lama
dan menetap sehingga mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik
uremik) dimana hal tersebut berakibat ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan
dan pemulihan fungsi lagi yang menimbulkan respon sakit (Hudson, 2008).

Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau GFR <
60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan. Kerusakan ginjal ditandai dengan
abnormalitas patologi ginjal atau adanya marker kerusakan ginjal, yang
meliputi abnormalitas test darah atau urin atau gambaran struktur kerusakan
ginjal (NKF-K/DOQI, 2002). Penderita gagal ginjal kronik biasanya memiliki
penyebab yang berbeda, onset yang tersembunyi, diikuti perkembangan
penyakit yang progresif dan lambat, dan bersifat irreversibel.
Gagal ginjal kronik dikategorikan dalam tingkat fungsi ginjal,
berdasarkan Glomerular Filtration Rate (GFR), dari stadium 1 sampai 5,
dengan setiap peningkatan stadium menunjukkan tahap yang lebih parah dari
penyakit, sebagaimana digambarkan dengan penurunan GFR. Gagal Ginjal
Kronik stadium 5 atau disebut juga sebagai gagal ginjal stadium akhir atau End
Stage Renal Disease (ESRD), terjadi jika GFR turun di bawah 15
mL/menit/1,73 m2 (Hudson, 2008).
b. Etiologi
Sulit diperkirakan secara pasti penyebab dari gagal ginjal kronik,
karena kebanyakan pasien datang dengan kondisi ginjal yang sudah memburuk.
Pada tabel I memberikan estimasi distribusi penyebab gagal ginjal kronik di
Eropa.

Tabel I. Distribusi Penyebab Gagal Ginjal Kronik Di Eropa

Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes
Penyakit multisistem, tumor, haemolyticuraemic syndrome, gout
Pyelonefritis
Hipertensi / renovascular
Kongenital (polycystic)
Drug nephrotoxicity
Interstitial nephritis
Tidak diketahui penyebabnya

Rata-rata Frekuensi
terjadinya (%)
20-25
15-20
10-15
10
10
10
5-10
5
10-15

(Greene dan Harris, 2000)

Secara umum, penyebab gagal ginjal kronik adalah karena penyakit


ginjal instrinsik, yaitu adanya kerusakan pada glomeruler. Gagal ginjal
iatrogenik meningkat dengan meningkatnya prevalensi diabetes dan gangguan
multisistem yang bervariasi yang membutuhkan terapi jangka panjang.
Hipertensi sekarang diketahui sebagai penyebab awal gagal ginjal kronik.
Diabetes dan hipertensi ini bertanggung jawab sampai dua pertiga kasus
terjadinya gagal ginjal kronik. Beberapa kondisi lain juga dapat mempengaruhi
ginjal, antara lain penyakit ginjal polikistik, penyakit lupus dan penyakit
lainnya yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sumbatan yang
disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar
prostat, dan infeksi saluran kencing berulang (NKF-K/DOQI, 2006).
Tidak ada pencegahan khusus yang bisa direkomendasikan, karena
faktor etiologi yang heterogen, seperti glomerulonefritis dan pyelonefritis.
Namun demikian, tidak ada alasan untuk mengurangi kewaspadaan pada
sebagian besar penyakit ginjal iatrogenik yang terjadi khususnya pada geriatri,

misalnya pada diabetes. Pada pasien diabetes, diharapkan dapat mengontrol


kadar gula darahnya agar tidak terjadi glikosuria yang dapat memperberat kerja
ginjal, sedangkan pada pasien hipertensi penggunaan ACE-Inhibitor dapat
memperlambat kecepatan perkembangan gagal ginjal kronik. Kabar baiknya,
manajemen terapi gagal ginjal relatif sama, tanpa memperhatikan etiologinya
(Greene dan Harris, 2000).
c. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik
Faktor risiko terjadinya gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu :
1) Faktor yang tidak langsung menyebabkan gagal ginjal kronik, seperti
umur, pendapatan dan pendidikan yang rendah, ras, penurunan massa
ginjal, berat badan lahir rendah, riwayat keluarga gagal ginjal kronik,
inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
2) Faktor inisiasi gagal ginjal kronik, meliputi diabetes, hipertensi, dan
glomerulonefritis.
3) Faktor progresivitas, meliputi glikemia, hipertensi, proteinuria, merokok,
dan obesitas (Joy dkk., 2009).
d. Patologi
Pada gagal ginjal kronik terdapat peningkatan kerusakan jumlah
nefron yang bersifat permanen. Hal ini berkebalikan dengan gagal ginjal akut
yang mengalami perburukan sebagian pada nefron dan bersifat reversibel.
Konsekuensi pada gagal ginjal kronik, penurunan jumlah nefron yang masih
berfungsi ini akan terus meningkat. Perubahan hemodinamik intrarenal terjadi

sebagai kompensasi hipertensi glomeruler dan peningkatan kecepatan filtrasi


(hiperfiltrasi). Hal ini menyebabkan atau meningkatkan kecepatan sklerosis
glomeruler dan atrofi tubuler, serta memperburuk ginjal secara gradual. Satu
pengecualian penting adalah penyakit polisistik dimana terjadi pembesaran,
walaupun jaringan yang masih berfungsi berkurang dengan cara yang sama
(Greene dan Harris, 2000).
Cadangan ginjal terdiri dari lebih banyak nefron yang dibutuhkan
untuk bertahan hidup, tetapi dibutuhkan adaptasi dan kompensasi yang tinggi
ketika jumlahnya berkurang karena mengancam fungsi organ. Adaptasi untuk
menjaga air, asam, natrium dan kalium dalam rentang yang normal, sehingga
hipervolemi, asidosis, dan perubahan kadar elektrolit plasma hanya terjadi
ketika GFR kurang dari 5-10 mL/min, dimana hal itu terjadi onset gagal ginjal
akhir. Bagaimanapun asam urat dan fosfat akan terakumulasi sebelum
terjadinya gagal ginjal akhir. Kadar urea dan kreatinin juga akan meningkat
proporsional dengan penurunan GFR, karena tidak ada mekanisme kompensasi
untuk molekul ini (Greene dan Harris, 2000).
Sebelum gagal ginjal akhir, pengurangan cadangan ginjal pasien
membuat mereka cenderung mudah untuk dekompensasi jika terdapat
penambahan kondisi yang memperburuk ginjal. Infeksi, pembedahan,
kehilangan banyak cairan seperti diare atau muntah berat, trauma, obat-obatan
tertentu seperti tetrasiklin, kelebihan kalium seperti penggunaan diuretik hemat
kalium, konsumsi makanan tinggi kalium, dan lain-lain dapat menyebabkan

10

eksaserbasi atau kondisi akut pada gagal ginjal kronik krisis yang mungkin
indikasi awal pada penyakit ginjal stadium berat (Greene dan Harris, 2000).
e. Patofisiologi dan Manifestasi Klinik
Tabel II memberikan ringkasan masalah klinik pada penyakit gagal
ginjal

kronik

dengan

patogenesis

dan

pengukuran

biokimia

yang

memperlambat perkembangan penyakit atau gejalanya. Pada gagal ginjal tahap


akhir terapi lebih ditujukan pada pengurangan gejala / keluhan pasien (Greene
dan Harris, 2000).
Tabel II. Manifestasi Klinik Pada Gagal Ginjal Kronik

Penyebab
Retensi
Natrium / Air

Kalium
Nitrogen :
1) Urea
2) Asam urat
3) Kreatinin
4) Lain-lain
Molekul dengan BM
500-5000 Da
Fosfat
Melanin, dan lain-lain
Asam
Endokrin
Vitamin D dan
defisiensi kalsium

Defisiensi
eritropoietin
Lain-lain
Toleransi glukosa
Metabolisme insulin

Manifestasi Klinik

Manajemen Terapi

Hipertensi
Udem, sistemik maupun
paru-paru
Gagal jantung
Hiperkalemia, aritmia

Pembatasan Na / Air,
diuretik, antihipertensi

Mual, muntah, purpura


Hiperurisemia, gout
Uncertain
Letargi, anorexia, dan lainlain
Letargi, anorexia, dan lainlain
Osteodistrofi ginjal
Pigmentasi kulit
Asidosis metabolik, dyspnea

Pembatasan diet
Perhatian pada
konsumsi protein

Pembatasan diet
Bikarbonat oral

Osteodistrofi ginjal
Miopati
Neuropati perifer, kram
Pruritis
Anemia

Analog vitamin D,
kalsium

Hiperglikemia
Hipoglikemia

Antidiabetika
Glukosa

Biosintesis
eritropoietin

11

Tabel II. Lanjutan...

Lipoprotein lipase

Imunodefisiensi
Platelet defect
Stress ulceration
Beberapa masalah
dengan terapi obat

Hiperlipidemia,
aterosklerosis, penyakit
jantung iskemik (IHD)
Infeksi
Perikarditis
Koagulasi

Diet lemak; agen


antihiperlipidemia (statin)
Antibiotik

Antagonis histamin (H2)

(Greene dan Harris, 2000)

1)

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


Konsentrasi urin sering berkurang pada stadium awal penyakit,

menyebabkan poliuria dengan urin yang encer dan risiko dehidrasi serta
pengurangan elektrolit, ini terjadi pada fase poliuri gagal ginjal akut. Hal ini
dapat terjadi sebagai hasil dari induksi diuretik osmotik dengan peningkatan
kadar urea pada filtrasi tubulus. Pada stadium selanjutnya, volume urin
berkurang dan terjadi retensi natrium dan air yang dapat menyebabkan
hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. Komplikasi lain yang dapat terjadi
karena hipervolemia adalah udem, termasuk udem paru dan gagal jantung.
Pada onset gagal ginjal akhir pasien dapat mengalami anuria (Greene dan
Harris, 2000).
2)

Uremia
Problem mayor hasil akumulasi biokimia tidak hanya urea saja,

tetapi bermacam-macam elektrolit dan zat lainnya, terutama nitrogen. Urea


dapat menyebabkan masalah pada saluran pencernaan dan bertanggung jawab
pada kerapuhan pembuluh kapiler, serta menyebabkan purpura (lebam) pada
pasien gagal ginjal. Walaupun terjadi peningkatan kadar asam urat, tetapi
gejala klinik gout jarang terjadi. Selain itu, terjadi akumulasi molekul dengan

12

bobot molekul 500-5000 Da dan nitrogen juga berkontribusi pada simptomsimptom non spesifik. Peritoneal dialysis merupakan metode yang efisien
untuk membersihkan substansi ini, yang akan memicu peningkatan kualitas
hidup pasien gagal ginjal. Gejala uremia seperti cepat lelah, lemah, sesak nafas,
bingung, mual, muntah, perdarahan, dan hilang nafsu makan (Greene dan
Harris, 2000).
3)

Asam dan Kalium


Perbaikan kadar kalium dan kondisi asam ini tidak menghambat

progresifitas penyakit hingga gagal ginjal tahap akhir. Sebelum itu, pasien
gagal ginjal akan toleran pada hiperkalemia dan kondisi asidosis ringan, atau
bisa beradaptasi pada kedua kondisi tersebut. Bagaimanapun juga retensi air
dalam waktu yang lama merupakan masalah serius pada gagal ginjal akhir
(Greene dan Harris, 2000).
4)

Gejala metabolik
Terdapat perubahan besar pada kadar lipid dan metabolisme

karbohidrat. Ginjal secara normal akan mengkatabolisme beberapa hormon


seperti insulin, tetapi pada pasien dengan gagal ginjal mekanisme ini
mengalami penurunan. Sebaliknya terjadi peningkatan toleransi glukosa yang
berakibat diabetes. Dislipidemia terjadi karena peningkatan fraksi lipid
aterogenik (Greene dan Harris, 2000).
5)

Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi adalah yang paling umum terjadi dan juga peningkatan

insidensi terjadinya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung. Hipertensi

13

terjadi karena adanya retensi cairan dan gangguan sistem renin-angiotensin.


Dislipidemia dan hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis, yang
merupakan manifestasi gagal ginjal kronik yang sering terjadi. Sedangkan
gagal jantung dapat terjadi karena hipervolemi, hipertensi, iskemia, dan
anemia; serta kardiomiopati yang dapat disebabkan karena ketidakseimbangan
kadar kalsium dan fosfat (Greene dan Harris, 2000).
6) Anemia
Penyebab utama anemia pada pasien gagal ginjal adalah hipoplasia
sumsum tulang karena pengurangan atau ketiadaan eritropoietin. Gambaran
anemianya merupakan anemia normositik normokromik seperti kebanyakan
pada penyakit kronis; kemudian kadar hemoglobinnya jarang yang lebih dari
80 g/L (normal = 120-180 g/L). Defisiensi besi dan folat pada anemia dapat
terjadi karena pembatasan diet, kecenderungan perdarahan, dan kehilangan
darah saat hemodialisis dan uji laboratorium. Anemia pada penyakit ginjal
secara signifikan mengurangi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik,
membatasi aktivitas pasien, dan risiko terjadi gagal jantung (Greene dan Harris,
2000).
7)

Gejala lain-lain
Sebagian besar penderita tidak merasakan gejala-gejala yang berat

sampai gagal ginjal mereka menjadi parah. Tetapi beberapa gejala yang
mungkin akan muncul selain gejala di atas antara lain sulit tidur, kram otot di
malam hari, bengkak (pada kaki, pergelangan kaki, dan di sekitar mata
terutama di pagi hari), gatal, sering buang air kecil pada malam hari, adanya

14

busa pada urin (proteinuria), dan neuropati perifer (NKF-K/DOQI, 2006;


Hudson, 2008).
f. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Outcome merugikan pada gagal ginjal kronik sering dapat dicegah
atau ditunda kemunculannya melalui deteksi dan terapi secara dini. Stadium
awal pada gagal ginjal kronik dapat dideteksi melalui test laboratorium rutin.
Adanya gagal ginjal kronik harus ditetapkan berdasarkan pada tingkat
kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal (Glomerular Filtration Rate /
GFR). Stadium penyakit didasarkan pada tingkat fungsi ginjal, dan sebagai
diagnosis, berdasarkan klasifikasi dari Kidney Disease Outcome Quality
Initiative: Clinical Guideline for Chronic Kidney Disease (NKF/K-DOQI),
sebagai berikut :
Tabel III. Stadium Penyakit Ginjal Kronik

Stadium

Deskripsi

1
2
3
4
5

Kerusakan ginjal dengan GFR normal or GFR


Kerusakan ginjal dengan GFR ringan (mild)
Penurunan GFR sedang (moderat)
Penurunan GFR berat (severe)
Gagal ginjal (Kidney Failure)

GFR
(mL/min/1,73 m2)
90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis

(NKF-K/DOQI, 2006)

g. Evaluasi dan Terapi


Evaluasi dan terapi pasien gagal ginjal kronik dikategorikan
berdasarkan konsep diagnosis, kondisi komorbid, keparahan penyakit,
komplikasi penyakit, dan risiko kehilangan fungsi ginjal dan penyakit
kardiovaskuler. Terapi gagal ginjal kronik meliputi :

15

1) Terapi spesifik berdasarkan diagnosis


2) Evaluasi dan manajemen kondisi komorbid
3) Penurunan fungsi ginjal
4) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler
5) Pencegahan dan terapi komplikasi penurunan fungsi ginjal
6) Persiapan jika gagal ginjal terminal dan terapi dengan dialisis
7) Terapi sulih fungsi ginjal dengan dialisis dan transplantasi, jika terdapat
gejala uremia
Aksi klinik harus dikembangkan untuk masing-masing pasien,
berdasarkan

stadium

penyakitnya

oleh

NKF/K-DOQI,

aksi

klinik

diklasifikasikan menjadi :
Tabel IV. Stages of Chronic Kidney Disease: A Clinical Action Plan

Stadium
Penyakit
Ginjal Kronik

GFR
(mL/min/1,73 m2)
90

2
3
4
5

60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis

Aksi Klinik

Diagnosis dan terapi,


Terapi kondisi komorbid,
Progresivitas lambat,
Penurunan risiko kardiovaskuler
Estimasi progresivitas
Estimasi dan terapi komplikasi
Persiapan terapi sulih fungsi ginjal
Terapi sulih fungsi ginjal (jika
terdapat uremia)

(NKF-K/DOQI, 2006)

Terapi gagal ginjal kronik meliputi terapi non farmakologi dan


farmakologi. Terapi non farmakologi yaitu berupa diet rendah protein (0,6-0,75
g/kg BB/hari), sehingga dapat mencegah progesivitas gagal ginjal kronik, baik
pada pasien dengan diabetes maupun tanpa diabetes, meskipun demikian

16

keuntungannya relatif kecil. Sedangkan terapi farmakologi gagal ginjal kronik,


yaitu bila disertai diabetes melitus, dengan terapi insulin intensif 3 kali atau
lebih sehari dengan target glukosa darah prepandrial 70-120 mg/dL dan
postpandrial < 180 mg/dL, jika disertai hipertensi, kontrol hipertensi dengan
optimal, JNC-7 merekomendasikan target tekanan darah < 130/85 mmHg
(Hudson, 2009).

2. Anemia
a. Definisi Anemia
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di
rumah sakit di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab
debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial
dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat
bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta
keadaan fisiologis tertentu seperti kehamilan (Bakta, 2006).
Anemia

bukanlah

suatu

kesatuan

penyakit

tersendiri,

tetapi

merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh


karena itu, dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label
anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia

17

tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi,
sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah
penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting
dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia
tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih,
menganalisis

serta

merangkum

hasil

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bakta, 2006).


Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi
hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang
dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia merupakan temuan yang hampir
selalu ada pada pasien penyakit ginjal lanjut, dengan hematokrit 18% hingga
20% lazim terjadi. Anemia pada gagal ginjal kronik merupakan anemia jenis
normokromik normositik, yaitu anemia karena terjadi defisiensi eritropoietin.
Penelitian retrospektif observasional pada pasien hemodialisis dan gagal
jantung menunjukkan bahwa anemia merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya mortalitas. Selain itu, anemia mempengaruhi morbiditas pada pasien
gagal ginjal tahap akhir (ESRD), gagal ginjal kronik, dan gagal jantung (Mason
dkk., 2008).

18

b. Epidemiologi
Insiden anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik meningkat
dengan berkurangnya kecepatan filtrasi glomerolus. Studi populasi dari
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari National
Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency
(PAERI) bahwa insidensi anemia kurang dari 10 % pada gagal ginjal kronik
stadium 1 dan 2, 20-40 % pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60 % pada
gagal ginjal kronik stadium 4, dan lebih dari 70 % pada gagal ginjal kronik
stadium 5. Sebelum adanya terapi dengan eritropoietin, konsentrasi
hemoglobin yang normal hanya terjadi pada 3% pasien gagal ginjal kronik
dengan dialisis, sebagian besar pasien memiliki nilai hemoglobin 6-8 g/dL.
Pada tahun 1980-an, 10% pasien dialisis memerlukan terapi transfusi darah
(Macdougall, 2011).
c. Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh
bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena : 1)
Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah
keluar tubuh (perdarahan), dan; 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh
sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia
dapat dilihat pada tabel V. Anemia pada gagal ginjal kronik terutama terjadi
karena penurunan produksi eritropoietin. Sel progenitor ginjal memproduksi
90% eritropoietin, yang akan menstimulasi produksi sel darah merah. Adanya
penurunan massa nefron ginjal pada pasien gagal ginjal kronik menyebabkan

19

menurunnya produksi eritropoietin, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya


anemia. Anemia menurunkan suplai oksigen ke jaringan tubuh, menyebabkan
peningkatan cardiac output dan left ventricular hypertrophy (LVH) (Schonder,
2008).
Tabel V. Klasifikasi Anemia Menurut Etipatogenesis

A.

Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal
kronik
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskuler
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi
G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
(Greene dan Harris, 2000)

20

Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat


indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Berikut merupakan klasifikasi anemia
berdasarkan morfologi dan etiologi.
Tabel VI. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

I.

Anemia hipokromik mikrositik, bila MCV <80 fL dan MCH <27 pg


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositik, bila MCV 80-95 fL dan MCH 27-34 pg
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositik, bila MCV >95 fL
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi vitamin B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
(Greene dan Harris, 2000)

d. Patofisiologi dan Gejala Anemia


Terdapat berbagai faktor penyebab anemia pada gagal ginjal kronik,
namun penyebab utama adalah ketidakcukupan produksi eritropoietin (EPO),
yang sering diikuti dengan defisiensi besi. Kegagalan ginjal yang progresif
berkontribusi pada peningkatan insiden anemia karena defisiensi EPO.
Mekanisme penurunan produksi EPO ini belum diketahui secara pasti. Hal ini
dapat terjadi sebagai bagian dari respon fisiologi untuk mencapai konsentrasi
Hb yang turun secara kronik (Lankhorst dan Wish, 2010).

21

Secara tipikal, produksi EPO di sel endotelial kapiler tubulus ginjal


bergantung pada mekanisme feed-back untuk mengukur kapasitas pembawa
oksigen total. Faktor penginduksi hipoksia (Hypoxia inducible factor/ HIF),
yang diproduksi di ginjal dan jaringan lain, merupakan substansi pendegradasi
spontan yang dihambat adanya penurunan pembawa oksigen selama anemia
atau hipoksemia. Selanjutnya, HIF memicu transduksi sinyal dan sintesis EPO.
Oleh karena itu, respon yang muncul adalah ditingkatkannya produksi EPO
pada anemia. EPO kemudian berikatan dengan reseptor pada sel progenitor
eritroid di sumsum tulang belakang, secara spesifik Burst-Forming Units
(BFU-E) dan Colony Forming Units (CFU-E). Adanya EPO, progenitor
eritroid ini berdiferensiasi menjadi retikulosit dan sel darah merah (Red Blood
Cells/ RBCs). Ketiadaan EPO memicu program apoptosis, hal ini dimediasi
oleh antigen Fas. Penurunan produksi sel darah merah dan berkelanjutan pada
kehilangan darah karena kematian sel darah merah akan mendorong
perburukan anemia (Lankhorst dan Wish, 2010).
Terdapat faktor lain pada gagal ginjal kronik yang juga berkontribusi
pada anemia, yaitu kondisi inflamasi kronik dan akut yang memiliki pengaruh
kuat pada anemia gagal ginjal kronik, oleh agen inflamasi sitokin yang
menurunkan produksi EPO dan menginduksi apoptosis pada Colony Forming
Units-Erythroid Cells (CFU-E). Pada induksi awal apoptosis sel CFU-E
menghentikan proses perkembangan menjadi sel darah merah. Agen inflamasi
sitokin juga ditemukan dapat menginduksi produksi hepcidin, suatu peptida
yang dihasilkan di hati, yang mengganggu dalam produksi sel darah merah,

22

dengan menurunkan ketersediaan besi untuk menjadi eritroblas. Hal ini dapat
mengurangi produksi sel darah merah. Berikut ini merupakan gambaran dari
pembentukan sel darah merah pada gagal ginjal kronik (Lankhorst dan Wish,
2010).

Gambar 1. Eritropoiesis Pada Gagal Ginjal Kronik (Lankhorst dan Wish, 2010)

Sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki
waktu hidup yang pendek. Pada normalnya waktu hidup sel darah merah
adalah 120 hari, pada gagal ginjal kronik menjadi 60-90 hari. Pada pasien tanpa
gagal ginjal, sumsum tulang belakang memiliki kapasitas untuk meningkatkan
produksi sel darah merah dan mengoreksi waktu hidup sel yang pendek, tetapi
respon ini berkurang pada pasien gagal ginjal karena defisiensi EPO. Toksin
uremia juga berkontribusi pada apoptosis sehingga insiden anemia akan
meningkat

setelah

dialisis.

Terdapat

beberapa

studi

prospektif

dan

23

observasional yang menyebutkan bahwa uremia berperan dalam supresi


sumsum tulang belakang (Lankhorst dan Wish, 2010).
Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul
pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin
turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : 1)
Anoksia organ dan; 2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya
daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simptomatik)
apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dL (Bakta, 2006). Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada :
1) Derajat penurunan hemoglobin
2) Kecepatan penurunan hemoglobin
3) Usia
4) Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus
anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <10 g/dL).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku.

24

Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin
yang berat (Hb <10 g/dL) (Bakta, 2006).
2) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, seperti anemia
defisiensi besi, dengan gejala : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychia) (Bakta, 2006).
3) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Pada kasus
tertentu sering gajala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada
anemia akibat gagal ginjal kronik, gejala yang sering muncul adalah kelelahan,
kehilangan libido, dizziness, nafas pendek, dan penurunan status kesehatan
(Bakta, 2006).
Gejala yang lebih berat yang dapat terjadi karena anemia pada gagal
ginjal kronik adalah penyakit kardiovaskuler dengan Left Ventriculer
Hyperthropy (LVH) dan gagal jantung kongestif yang berakibat pada
morbiditas dan mortalitas. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner,
penurunan oksigen yang dibawa oleh darah merah ke otot jantung akan
menyebabkan perburukan gejala angina. Penurunan oksigen perifer selama
anemia memicu vasodilatasi perifer, yang dapat meningkatkan aktivitas sistem
syaraf simpatik, meningkatkan kecepatan denyut jantung, stroke, dan LVH.
LVH merupakan outcome tak diinginkan dari pasien gagal ginjal kronik.

25

Penurunan 0,5 g/dL dari Hb normal, berkorelasi dengan peningkatan 32%


risiko LVH, sedangkan peningkatan 5 mmHg dari tekanan darah sistolik
meningkatkan 11% risiko LVH (Lankhorst dan Wish, 2010).
Selain gejala di atas, penurunan oksigen di jaringan yang disebabkan
karena anemia, menstimulasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone (RAA)
ginjal dan menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal. Faktor inilah yang dapat
memperburuk kondisi proteinuria sehingga memperburuk gagal ginjalnya.
Komplikasi lain berkaitan dengan anemia adalah berkurangnya fungsi kognitif
dan mental, melemahnya kualitas hidup, dan memerlukan transfusi darah
(Lankhorst dan Wish, 2010). Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan
pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan
diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium (Bakta, 2006).
e. Diagnosis
1) Pemeriksaan untuk diagnosis Anemia
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok
dalam diagnosis anemia. Selain itu, pemeriksaan non-hematologik tertentu
seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau faal tiroid juga penting
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium ini terdiri dari :
a) Screening Test
Screening Test untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat

26

dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang


sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
b) Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit, dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai
automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang
lebih baik.
c) Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat menekan
sistem eritroid.
d) Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada
anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity),
saturasi transferin, feritin serum, reseptor transferin, dan pengecatan besi
pada sumsum tulang (Perls stain).
2) Pendekatan diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar. Hal ini penting diperhatikan
dalam diagnosis anemia. Tidak cukup jika hanya sampai pada diagnosis

27

anemia, tetapi sedapat mungkin harus dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap dalam diagnosis anemia adalah :
menentukan adanya anemia, menentukan jenis anemia, menentukan etiologi
atau penyakit dasar anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit
penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan (Bakta, 2006).
f. Tatalaksana Terapi Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik diterapi menggunakan agen
eritropoiesis eksogen bagi pasien yang mengalami penurunan level
eritropoietin. Sesuai guideline dari NKF-K/DOQI merekomendasikan bahwa
secara umum target hemoglobin yaitu pada rentang 11 hingga 12 g/dL . Saat ini
agen yang diakui seperti epoetin alfa dan darbepoetin alfa, yaitu merupakan
agen tambahan yang memiliki interval dosis yang panjang menerima
pengakuan dari Food And Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada
bulan Oktober 2007 dan diakui oleh European Medicines Agency pada bulan
Juli 2007. Penyebab anemia selain defisiensi eritropoietin juga harus diketahui,
khususnya jika anemia yang terjadi tidak proporsional dengan kerusakan fungsi
ginjal, defisiensi besi, leukositopenia, atau trombositopenia, penyebab tersebut
yaitu penurunan waktu hidup sel darah merah dengan adanya uremia, defisiensi
besi, kehilangan darah secara reguler, dan kehilangan darah pada pasien
hemodialisis. Pasien dengan kadar transferrin saturation (TSAT) < 20% atau
serum feritin <100 ng/mL harus menerima terapi penggantian besi sebelum
dan/atau selama terapi dengan eritropoietin (NKF-K/DOQI, 2006).

28

Terapi anemia pada gagal ginjal kronik dengan agen eritropoiesis


dapat mencegah hipertropi ventrikel kiri dan dapat memotong siklus anemia
kardiorenal. Terapi eritropoietin pada anemia pada gagal ginjal kronik
berhubungan dengan pengurangan rawat inap di rumah sakit, penghematan
biaya kesehatan, dan penurunan mortalitas, karena terapi eritropoietin dapat
meningkatkan fungsi kognitif dan fisik serta kualitas hidup pasien. Berdasarkan
jurnal Diagnosis And Treatment of Anemia of Chronic Kidney Disease in the
Primary Care Setting tahun 2008 merekomendasikan target kadar hemoglobin
pada terapi dengan eritropoietin adalah 10-12 g/dL. Injeksi subkutan dengan
interval dosis kecil lebih dipilih pada terapi eritropoietin untuk pasien rawat
jalan gagal ginjal kronik non-dialisis. Tujuan koreksi awal anemia adalah
peningkatan kadar Hb sebesar 1-2 g/dL per bulan hingga mencapai rentang
target Hb

11g/dL dan

12g/dL, kemudian tujuan dari terapi pemeliharaan

adalah menjaga kadar Hb pada rentang target dengan menurunkan atau


menaikkan dosis inkremental (Dalton dan Schmidt, 2008).
Selama terapi awal dan selama 2 sampai 6 minggu setelah adjustments
dose, nilai Hb harus dimonitoring setiap satu minggu sekali hingga stabil.
Kemudian, nilai Hb dapat dimonitoring setiap satu bulan sekali dan status besi
setiap 1 sampai 3 bulan (lebih sering pada perdarahan atau operasi). Jika nilai
Hb > 12g/dL, dosis agen eritropoiesis harus dikurangi atau bahkan dihentikan.
Penghentian pemberian yang lama menjadi tepat ketika terjadi peningkatan
kadar Hb dengan cepat dan/atau signifikan. Pada guideline KDOQI dan FDA
menegaskan bahwa target nilai Hb > 13g/dL lebih berisiko dibandingkan

29

dengan keuntungannya. Variabilitas masing-masing individu dalam respon


peningkatan nilai Hb juga harus dipertimbangkan dan penentuan dosis
disesuaikan dengan individu pasien. Tekanan darah harus dikontrol sebelum
pemberian Erythropoiesis Stimulating Agents (ESAs) dan dimonitoring selama
pemberian, beberapa pasien mungkin membutuhkan antihipertensi pada terapi
dengan ESAs (Dalton dan Schmidt, 2008).
Regimen dosis untuk terapi menggunakan ESAs didasarkan pada berat
badan pasien atau menggunakan dosis tetap. Direkomendasikan bahwa dosis
awal berdasarkan berat badan adalah 50-100 unit/kg BB 3 kali seminggu untuk
terapi dengan epoetin alfa atau 0,45 g/kg BB/minggu untuk darbepoetin alfa.
Sedangkan algoritma penggunaan dosis tetap untuk pasien yang tidak
memerlukan dialisis yaitu dosis awal secara subkutan 4000 unit per minggu
untuk epoetin alfa atau 40 g setiap 2 minggu untuk darbepoetin alfa, dosis
diturunkan atau ditingkatkan 25% disesuaikan dengan kadar Hb pasien. Pada
terapi pemeliharaan dosis harus dititrasi sesuai individu pasien untuk menjaga
kadar Hb

12g/dL (Dalton dan Schmidt, 2008).

Suplemen besi oral (FeSO4, Niferex, Proferrin, dan lain-lain)


dibutuhkan dalam penyimpanan besi, namun adanya absorbsi yang buruk pada
saluran pencernaan dan sering tidak cukup kuat dalam peningkatan respon
eritropoietin menyebabkan pemberian besi intravena lebih dipilih. Efek tak
diinginkan yang dapat muncul dari pemberian besi secara intravena seperti
reaksi alergi, hipotensi, dizziness, gangguan pernafasan, sakit kepala, nyeri
bagian punggung,

atralgia, dan

artritis.

Beberapa

reaksi

ini

dapat

30

diminimalisasi dengan penurunan dosis atau kecepatan infusi. Suplemen dalam


bentuk kompleks besi-glukonat atau besi-sukrosa lebih baik dan lebih aman
daripada bentuk kompleks besi-dekstran. Kompleks besi dekstran perlu
penyesuaian dosis untuk mengurangi risiko reaksi anafilaksis (Hudson, 2009).
Suplemen nutrisi yang dapat diberikan pada pasien anemia pada gagal
ginjal kronik adalah asam folat, piridoksin, dan vitamin B12 (dan vitamin lain).
Asam Folat dan vitamin B12 merupakan dua komponen adjuvant yang berperan
dalam pembentukan sel darah merah. Defisiensi asam folat dan vitamin B12
merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target terapi eritropoietin
(Drueke, 2001; Teschner dkk., 2002). Hal ini disebabkan karena defisiensi
asam folat dan vitamin B12 mengakibatkan gangguan/terhentinya sintesis asam
nukleat DNA (Teschner dkk., 2002), sehingga terbentuk sel darah merah yang
besar (megaloblastik) dengan selaput sel darah merah yang tipis serta umur sel
darah merah yang pendek (Guyton dan Hall, 1997). Defisiensi asam folat dan
vitamin B12 umumnya tidak terjadi pada pasien gagal ginjal tahap awal, tapi
banyak terjadi pada pasien yang menjalani dialisis, karena asam folat dan
vitamin B12 hilang/tercuci pada saat dialisis (Teschner dkk., 2002; Hudson,
2008). Multivitamin dan asam folat ini biasanya diberikan setiap hari untuk
mencegah defisiensi karena dialisis (Wilson dan Price, 2002).

3. Transfusi Darah
Transfusi darah ialah proses pemindahan darah atau komponen darah
dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien) (Bakta, 2006). Pasien gagal
ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis kronik secara substansial

31

membutuhkan terapi transfusi darah (Hollenbeak dkk., 2012). Sebelum


perkembangan terapi farmakologi untuk anemia pada gagal ginjal kronik,
transfusi sel darah merah masih menjadi terapi utama dan kurang lebih 55%
sampai 60% pasien dialisis menerima transfusi sel darah merah untuk
mencegah anemia (Gitlin dkk., 2012). Komponen sel darah merah yang
ditransfusikan pada anemia karena gagal ginjal kronik adalah packed red cells.
Berdasarkan guideline The Clinical Use of Blood tahun 2002, komponen
packed red cells secara lebih jelas disajikan dalam tabel VII.
Tabel VII. Komponen Konsentrat Sel Darah Merah (Packed Red Cells)

Deskripsi

Risiko Infeksi

Penyimpanan

Indikasi
Pemberian

100-200 mL sel darah merah dengan sebagian besar


plasma telah dihilangkan
- Rata-rata hemoglobin 20 g/100 mL
- Hematokrit 55%-75%
Tidak steril, sehingga memungkinkan beberapa agen
dapat masuk dalam sel atau plasma yang tidak terdeteksi
dengan skrining rutin Transfusion-transmissible
Infections, meliputi HIV-1 dan HIV-2, virus hepatitis B
dan C atau hepatitis lain, malaria, dan sifilis.
- Suhu antara +2C dan +6C dalam refrigerator bank
darah
- Selama penyimpanan pada suhu +2C dan +6C,
perubahan komposisi terjadi sebagai hasil dari
metabolisme sel darah merah
- Transfusi harus dimulai 30 menit setelah dikeluarkan
dari refrigerator
Penggantian sel darah merah pada pasien anemia
- ABO dan RhD harus kompatibel/sesuai dengan
resipien
- Tidak boleh menambahkan pengobatan pada unit
darah

(WHO/BTS, 2002)

Transfusi darah diberikan jika terapi tersebut dapat bermanfaat dalam


menyelamatkan jiwa dan mencegah morbiditas penyakit (WHO/BTS, 2002).

32

Anemia pada gagal ginjal kronik bersifat kronik dan pasien melakukan
kompensasi terhadap kondisi anemia melalui sejumlah mekanisme, oleh karena
itu pemberian sel darah merah penting untuk mengevaluasi status kompensasi
pasien. Transfusi darah diindikasikan pada :
a.

Kadar Hb < 7 g/dL dengan atau tanpa gejala anemia (PERNEFRI, 2012).
Pada kadar Hb 6 g/dL, pasien akan mengalami gejala kelelahan dan
dengan penurunan Hb secara progresif menyebabkan gejala dispneu,
congestive heart failure (CHF), dan peningkatan hipoksia jaringan pada
penyakit vaskuler (NKF/K-DOQI, 2006).

b.

Kadar Hb < 8 g/dL dengan gangguan kardiovaskuler yang nyata


(PERNEFRI, 2012).

c.

Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik (PERNEFRI,


2012).

d.

Pasien yang menjalani operasi (PERNEFRI, 2012).

e.

Transfusi darah diberikan ketika terjadi resistensi eritropoietin dan terapi


eritropoietin memiliki kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya
(KDIGO, 2012).
Transfusi darah sangat efektif dalam menaikkan nilai hemoglobin.

Transfusi darah ini bukannya tanpa risiko, risiko ini berupa terjadinya
penularan penyakit (hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV), potensi
terjadinya kelebihan cairan (overload), pembentukan antibodi terhadap antigen
HLA, dan dapat menekan eritropoiesis (Prodjosudjadi dan Lydia, 2001). Di
samping itu, transfusi yang dilakukan berulang kali menyebabkan penimbunan

33

besi pada organ tubuh. Target terapi pada transfusi darah, yaitu tercapainya
kadar Hb 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi ESA)
(PERNEFRI, 2012).

4. Analisis Farmakoekonomi
a. Pengertian Farmakoekonomi
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya
terapi obat dalam suatu sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Penelitian
farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya
(penggunaan sumber daya) dengan outcome (klinik, ekonomik, dan
humanistik) produk dan pelayanan kefarmasian (Bootman dkk., 2005). Tujuan
farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan
pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang
berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa
dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam
menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi
farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat
dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan
digunakan.
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang
terbatas, dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang
efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia

34

secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah
biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan
sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka
sudah seyogyanya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat
keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.
b. Kategori Biaya
Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi lima
kategori, sebagai berikut :
1) Biaya medis langsung (dirrect medical cost), merupakan biaya yang
melibatkan proses pertukaran uang untuk sumber daya yang digunakan
yang berkaitan langsung dengan biaya kesehatan; misalnya biaya
perawatan, obat-obatan, biaya rumah sakit, dan biaya pemeriksaan
laboratorium (Wilson, 2001; Walley, 2004).
2) Biaya non medis langsung (dirrect non medical cost), merupakan biaya
yang dikeluarkan oleh pasien yang tidak berkaitan langsung dengan biaya
kesehatan; misalnya biaya hidup di rumah sakit bagi keluarga, dan
transportasi ke rumah sakit (Wilson, 2001).
3) Biaya tidak langsung (indirrect cost), merupakan biaya yang tidak
melibatkan proses pertukaran uang untuk sumber daya yang digunakan;
berupa hilangnya produktivitas kerja dan pengeluaran untuk keluarga
(Wilson, 2001).

35

4) Biaya tak terwujud (intangible cost), merupakan biaya yang tidak dapat
diukur dalam mata uang, berupa perubahan kualitas hidup, misalnya rasa
nyeri dan tekanan emosi (Wilson, 2001; Walley, 2004).
c. Perspektif Analisis
Pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang
(perspektif), meliputi :
1) Perspektif pasien
Yaitu pasien memperoleh pelayanan kesehatan dengan biaya minimal,
dapat berupa biaya langsung maupun tidak langsung (Walley, 2004).
2) Perspektif penyedia layanan kesehatan (provider)
Yaitu biaya untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan
masyarakat, misalnya rumah sakit (Walley, 2004).
3) Perspektif pembayar (payer)
Sebagai contoh yaitu pemerintah atau perusahaan asuransi, yang
diperhatikan adalah biaya langsung (Sanchez, 2005)
4) Perspektif masyarakat (social)
Yaitu

dihitung

biaya

penggunaan

semua

sumber

daya

oleh

masyarakat/negara (Walley, 2004).


d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi
Terdapat lima jenis metode evaluasi farmakoekonomi yang sering digunakan,
yaitu :

36

1) Cost-Analysis (CA)
Metode ini membandingkan biaya total penggunaan obat dan metode ini
tidak membandingkan kemanjuran / efficacy dari terapi atau obat-obatan
yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian metode ini
menunjukkan berapa biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi
biaya-biaya tersembunyi (hidden cost) (Plumridge, 2000).
2) Cost-Minimization Analysis (CMA)
Metode ini membandingkan biaya total penggunaan dua obat (terapi) atau
lebih obat yang efikasi dan efek samping obatnya ekivalen. Karena obatobat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka cara CMA
memfokuskan pada penentuan obat mana yang biaya per harinya paling
rendah (Plumridge, 2000).
3) Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Analisis cost-effectiveness membandingkan harga dari semua sumber yang
dikonsumsi (biaya) dengan nilai outcome suatu program atau intervensi.
Nilai efektivitas diukur dalam natural unit, misalnya penurunan tekanan
darah diukur dengan satuan mmHg, jumlah hari bebas gejala, dan lain-lain.
Kelebihan dari metode ini adalah tidak harus merubah outcome klinik
dalam unit mata uang dan membandingkan terapi yang berbeda yang
mempunyai tujuan yang sama, sedangkan kekurangannya adalah hanya
satu outcome yang diukur pada waktu yang sama. CEA dapat diukur
dengan ACER atau ICER. ACER merupakan rasio biaya terapi dengan

37

efektivitas, sedangkan ICER merupakan rasio perbedaan biaya beberapa


terapi dengan perbedaan efektivitas (Wilson, 2001).
4) Cost-Benefit Analysis (CBA)
Metode ini mengukur biaya penyelenggaraan program kesehatan di mana
hasil dari program tersebut berbeda. Pengukuran dapat dilakukan dengan
menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian
dibandingkan biaya kalau program kesehatan yang dipilih tersebut
dilakukan. Makin tinggi rasio benefit to cost, maka program semakin
menguntungkan. Metode ini juga digunakan untuk meneliti pengobatan
tunggal. Jika rasionya lebih dari satu, maka pengobatan dianggap
bermanfaat karena benefit-nya lebih besar dari cost-nya. Jenis analisis ini
merupakan analisis yang paling komprehensif dan paling sulit untuk
dilakukan, terutama pada saat mengkonversi benefit ke dalam nilai mata
uang (Plumridge, 2000).
5) Cost-Utility Analysis (CUA)
Pada konteks pelayanan kesehatan utilitas dipakai untuk menunjukkan
tingkat kesejahteraan subyektif yang dialami oleh orang dalam berbagai
keadaan kesehatan. Quality Adjusted Life Years (QALYs) adalah metode
pengukuran yang paling banyak digunakan, pengukuran ini menggunakan
rasio cost effectiveness dan menyesuaikan dengan nilai kualitas hidup
(Vogenberg, 2001). Oleh karena itu, CUA ini pada prinsipnya sama
dengan CEA, tetapi memasukkan komponen kualitas hidup. Metode CUA
ini sesuai jika digunakan untuk manajemen penyakit kronis. Tabel berikut

38

merupakan ringkasan dari perbedaan masing-masing metode evaluasi


farmakoekonomi.
Tabel VIII. Perbedaan Metode Evaluasi Farmakoekonomi

Metode

Definisi

Unit Biaya

Unit
Outcome

Cost analysis
(CoI/CoT)

Menilai semua biaya dalam


pengobatan/perlakuan
terhadap suatu penyakit/terapi
Membandingkan dua
perlakuan atau lebih yang
mempunyai outcome klinik
yang sama/identik
Membandingkan dua
perlakuan atau lebih yang
efikasinya tidak sama,
pengukuran outcome dalam
unit natural yang sama
Membandingkan dua
perlakuan atau lebih dimana
outcome diukur dalam unit
mata uang
Membandingkan dua
perlakuan atau lebih dimana
outcome diukur dalam nilai
yang mencerminkan kualitas
hidup

Mata uang

Biaya

Mata Uang

Outcome
identik /
ekuivalen

Mata uang

Unit
natural

Mata uang

Mata
uang

Mata uang

Kualitas
hidup

CMA

CEA

CBA

CUA

(Walley, 2004)

Studi farmakoekonomi menggunakan tiga model analitik untuk mengumpulkan


data, antara lain :
1) Prospektif, yaitu sebagai bagian dari suatu percobaan klinis.
2) Retrospektif, yaitu data diambil dari suatu database atau tabel medis.
3) Prediktif, yaitu berupa modeling, menggunakan suatu alur keputusan atau
suatu percobaan dikendalikan oleh data acak (Isnenia, 2008).

39

5. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi


Menurut PERMENKES RI No. 159b/MENKES/PER/II/1988, rumah
sakit merupakan sarana kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan
serta dimanfaatkan untuk pendidikan kesehatan dan penelitian, sedangkan
menurut WHO, rumah sakit merupakan suatu organisasi sosial terintegrasi
yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan lengkap bagi masyarakat.
Pelayanan tersebut dapat bersifat : penyembuhan (kuratif), peningkatan
(promotif), perbaikan (rehabilitatif), maupun pencegahan (preventif) (Anonima,
2013).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi adalah rumah
sakit yang memberikan pelayanan kesehatan dengan mutu yang setinggitingginya dan melaksanakan fungsi pendidikan kesehatan di rumah sakit
dengan sebaik-baiknya yang diabdikan bagi kepentingan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. RSUD Dr. Moewardi merupakan rumah sakit milik
pemerintah provinsi Jawa Tengah yang memiliki berbagai pelayanan medis,
diantaranya : IGD, Rawat Inap I, Rawat Inap II, Paviliun Cendana, dan lainlain. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1011/Menkes/SK/IX/2007 tanggal 6 September 2007 maka ditetapkan tentang
organisasi dan tata kerja RSUD Dr. Moewardi dengan klasifikasi Rumah Sakit
Umum kelas A pendidikan. Visi dari rumah sakit ini adalah menjadi rumah
sakit terkemuka berkelas dunia. Sedangkan misinya, yaitu menyediakan
pelayanan kesehatan berbasis pada keunggulan sumber daya manusia,
kecanggihan dan kecukupan alat serta profesionalisme manajemen pelayanan,

40

dan menyediakan wahana pendidikan dan penelitian kesehatan yang unggul


berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang
bersinergi dengan mutu layanan. Oleh karena itu, RSUD Dr. Moewardi
menjadi rumah sakit pilihan utama sekaligus rujukan terpercaya bagi
masyarakat Jawa Tengah karena pelayanannya yang cepat, tepat, nyaman, dan
mudah, sehingga hal itulah yang menjadi motto dari rumah sakit ini (Anonimb,
2013).
Sejak tanggal 1 Januari 2009 RSUD Dr. Moewardi ditetapkan sebagai
Badan Layanan Umum (BLU), yang berarti RSUD Dr. Moewardi sudah
memenuhi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.02/2006 tentang
Persyaratan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk menetapkan pola
pengelolaan keuangan badan layanan umum, dengan perubahan status tersebut,
maka RSUD memiliki kewenangan untuk mengelola keuangan sendiri, sesuai
Permendagri No. 61 tahun 2007. Peralihan status tersebut membawa dampak
positif, yaitu rumah sakit dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
baik pelayanan kesehatan masyarakat maupun perbaikan fasilitas sarana rumah
sakit (Armen dan Azwar, 2013).

F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya rata-rata biaya
medik langsung terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui efektivitas terapi
transfusi darah pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronik dengan melihat

41

persentase pasien mencapai target kadar hemoglobin setelah pasien melakukan


transfusi darah, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
biaya terapi transfusi darah pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronik di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012. Oleh karena itu,
hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan
keputusan terapi anemia dengan gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap
RSUD Dr. Moewardi.

42

G. Kerangka Konsep
Pasien Anemia pada Gagal Ginjal Kronik

Terapi Transfusi Darah

Gambaran Pengobatan
Dipengaruhi oleh :
1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Stadium GGK
4. Cara Pembayaran
5. Kelas Rawat Inap
6. Lama Rawat Inap
7. Kadar Hb saat
Masuk Rumah
Sakit

Biaya Terapi

Outcome Terapi

Pencapaian
Target Hb

Biaya Medik
Langsung

1. Biaya Transfusi Darah


2. Biaya Pengobatan Anemia
Tambahan
3. Biaya Obat Penyakit Lain
4. Biaya Alat Kesehatan
5. Biaya Administrasi
6. Biaya Rawat Inap
7. Biaya Dokter
8. Biaya Perawat
9. Biaya Pemeriksaan
Laboratorium
10. Biaya IGD
11. Biaya Poliklinik Jantung
12. Biaya Poliklinik Penyakit
Dalam
13. Biaya Oksigen
14. Biaya Anestesi
15. Biaya Lain-Lain
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Rata-Rata Biaya Medik Langsung

Anda mungkin juga menyukai