USLE Depok
USLE Depok
pendekatan USLE. Aplikasi dari pendugaan erosi dengan metode USLE ini telah
banyak dilakukan untuk perencanaan penggunaan lahan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pendugaan erosi yang dilakukan di Situ
Bojongsari, maka diperoleh hasil laju erosi rata-rata yang terjadi di Situ
Bojongsari dibagi dalam lima wilayah erosi berdasarkan perbedaan faktor
vegetasi
serta konservasi (CP). Laju erosi di lokasi 1 sebesar 300.111
ton/ha/tahun, lokasi 2 dengan laju erosi 0.806 ton/ha/tahun, lokasi 3 sebesar
118.303 ton/ha/tahun, lokasi 4 sebesar 10.315 ton/ha/tahun, di lokasi 5 nilai
laju erosinya 1.612 ton/ha/tahun.
Berdasarkan perhitungan cakupan daerah tangkapan pada masing-masing
zona maka dapat diketahui bahwa nilai erosi terbesar yang tergolong kelas
erosi berat terdapat pada lokasi 1 sebesar 4969.84 ton/ha. Sedangkan nilai
erosi terkecil terdapat pada lokasi 5 yang tergolong kategori erosi sangat
ringan sebesar 22.66 ton/ha.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi pada
kelas kelerengan 0-5 % dan sedang pada kelas kelerengan 15-35 %, sedangkan
kelas erosi berat terjadi pada kelas kelerengan 35-50 %. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari masih dalam kondisi
relatif aman terhadap bahaya erosi dan sedimentasi. Hal ini juga diperkuat
dengan perhitungan kemungkinan umur Situ Bojongsari.
Umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan merupakan
nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada hakekatnya umur situ
juga tergantung dari aktivitas manusia di sekelilingnya dan kemauan manusia
untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ lebih
pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang
peduli terhadap lingkungan.
Faktor penyebab erosi terbesar pada Situ Bojongsari adalah karena tanah yang
terbawa aliran permukaan akibat vegetasi di sekitar situ tidak dapat menahan
aliran permukaan serta vegetasi yang jarang. Untuk mencegah terjadinya erosi
maka perlu dilakukan reboisasi di sekitar situ dan pembuatan bangunan
penangkal erosi.
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah sebagai sumber daya alam telah mengalami berbagai tekanan seiring
dengan peningkatan jumlah manusia. Tekanan tersebut telah menyebabkan
penurunan mutu tanah yang berujung pada pengurangan kemampuan tanah
untuk berproduksi. Penurunan mutu tanah tersebut disebabkan oleh proses
pencucian hara dan proses erosi tanah terutama pada lahan-lahan yang tidak
memiliki penutupan vegetasi. Erosi merupakan peristiwa hilangnya lapisan
tanah atau bagian-bagian tanah di permukaan. Di Indonesia erosi yang sering
dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh air.
Erosi dapat menimbulkan kerusakan baik pada tanah tempat terjadi erosi
maupun pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan.
Kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi berupa penurunan sifat-sifat kimia
dan fisik tanah yang pada akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan
tanaman dan rendahnya produktivitas. Sedangkan pada tempat tujuan akhir
hasil erosi akan menyebabkan pendangkalan sungai, aduk, situ/danau, dan
saluran irigasi. Dengan peningkatan jumlah aliran air di permukaan dan
mendangkalnya sungai menyebabkan makin seringnya terjadi banjir (Murdis,
1999).
Situ-situ yang ada di wilayah Jabodetabek merupakan bagian dari sumber daya
air lintas provinsi di wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, wilayah Ciujung-Ciliman,
dan wilayah Sungai Citarum. Sebagian besar situ-situ tersebut, saat ini
kondisinya sangat memprihatinkan karena telah mengalami penurunan baik
kuantitas maupun kualitasnya, sehingga banyak yang tidak dapat difungsikan
dan dimanfaatkan dengan optimal, yang diakibatkan oleh berbagai faktor yaitu
faktor fisik dan faktor non fisik. Faktor fisik antara lain: pengurangan luasan situ
karena alih fungsi, sedimentasi, kurangnya pemeliharaan sehingga dipenuhi
gulma air dan rerumputan, juga kerusakan pada bangunan prasarana situ.
Faktor non fisik berupa penyalahgunaan wewenang pemberian izin
pemanfaatan situ, pemberian hak atas tanah pada kawasan situ,
penyerobotan/pemanfaatan
secara
ilegal,
keterbatasan
kemampuan
pengelolaan situ oleh pemerintah dan pemerintah daerah, kurangnya
partisipasi masyarakat serta kurangnya kesamaan persepsi terhadap
perundang-undangan.
Kota Depok merupakan daerah yang tergolong memiliki banyak situ. Tercatat
26 situ tersebar di wilayah selatan Jakarta ini. Namun, dari 26 situ yang
tersebar di enam kecamatan, kira-kira 80 persen diantaranya dalam kondisi
mengkhawatirkan. Sebagian sudah banyak yang beralih fungsi, yang semula
dimanfaatkan sebagai daerah resapan air atau penampung hujan kini menjadi
permukiman penduduk, lapangan bola, dan pembuangan limbah atau sampah.
Bahkan erosi yang terjadi di daerah situ semakin parah dari waktu ke waktu.
Padahal situ-situ tersebut itu cukup potensial menjaga wilayah Jakarta dan
Depok dari banjir.
Situ atau danau merupakan bentuk mikro daerah tangkapan air. Dengan
mengetahui karakteristik biofisik situ beserta tingkat bahaya erosi dan
sedimentasinya maka dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang diperlukan
berupa pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan. Salah satu situ
yang di Kota Depok yang termasuk dalam kategori situ kritis adalah Situ
Bojongsari. Situ Bojongsari merupakan situ terluas di Kota Depok. Luas Situ
Bojongsari mencapai 28.25 Ha. Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas
pembangunan di Kota Depok menyebabkan peningkatan jumlah buangan
limbah domestik, limbah industri, dan limbahlimbah lainnya serta kurangnya
pemeliharaan kawasan Situ Bojongsari menimbulkan pencemaran dan erosi
pada situ dan daerah di sekitarnya.
air baku bagi berbagai kepentingan dalam kehidupan manusia. Sumber air
yang ditampung di perairan ini pada umumnya berasal dari air hujan (run off),
sungai atau saluran pembuangan, dan mata air. Air tersebut dipasok dari
Daerah Tangkapan Air (DTA) di sekitar situ. Daerah tangkapan air adalah
wilayah di atas danau atau situ memasok air ke danau atau situ tersebut.
Situ merupakan tipe perairan tergenang yang memiliki fungsi sangat penting
bagi kehidupan manusia, diantaranya sebagai resapan air, pengendali banjir,
pengendali iklim mikro, habitat bagi biota, sumber air, pemasok air ke
lingkungan sekitarnya (akuifer), pengendap lumpur serta pencegah intrusi air
laut pada daerah pesisir. Bahkan dari segi estetika yang dimiliki, situ dapat
berperan sebagai obyek wisata (Hotib dan Suryadiputra, 1998).
Situ merupakan tipe ekosistem perairan tawar yang tergenang (lentic) dan
dangkal. Zona kedalaman situ ditunjukan pada Gambar 1. Situ juga merupakan
kesatuan sistem drainase dan tata aliran air setempat (ekodrainase). Bentuk
badan air situ seperti bentuk tampungan air permukaan dan air tanah dangkal
yang menggenang (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek, 2007).
alat pemenuhan irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai
tangkapan air untuk pengendaliuan banjir, serta penyuplai air tanah.
Secara alamiah Situ mempunyai kawasan tandon air yang dibatasi oleh
tanggul yang merupakan daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem perairan
dan daratan. Secara fisik komponen pembentuk tipologinya dibagi dalam tiga
(3) bagian, yaitu:
a) Medium tampungan sumber daya air.
b) Daerah peralihan (ekoton)/penyangga (buffer zone).
c) Daerah tangkapan air (catchment area).
Suplai air ke dalam Situ dipengaruhi oleh aliran air baik dari air hujan,
permukaan dan air tanah. Bentuk perairannya merupakan perairan daratan
sistem terbuka (open system). Bila dilihat dari morfologi bentukan, suplai air
dan sistem tata airnya, maka arus alirannya adalah relatif tenang. Asal-usul
situ di wilayah Jabodetabek terdiri dari situ alami dan buatan. Beberapa situ
alami mempunyai mata air, sehingga tidak kering di musim kemarau. Situ
alami terbentuk secara alami dapat terbentuk dari sisa rawa/lahan basah,
dimana sumber air utamanya berasal dari rembesan air tanah (seepage). Situ
buatan dapat berasal dari dam pengendali pada sistem irigasi sawah, bekas
galian lio-bata (pembuatan batu-bata), bekas galian pasir, atau waduk buatan
yang dibuat sebagai pengendali banjir (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek,
2007).
B. EROSI
1. Pengertian Erosi
Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached ) dan
kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, dan gravitasi
(Hardjowigeno, 1995). Secara deskriptif, Arsyad (2000) menyatakan erosi
merupakan akibat interaksi dari faktor iklim, tanah, topografi, vegetasi, dan
aktifitas manusia terhadap sumber daya alam.
Erosi dibagi menjadi dua macam, yaitu erosi geologi dan erosi dipercepat
(Hardjowigeno, 1995). Erosi geologi merupakan erosi yang berjalan lambat
dengan jumlah tanah yang tererosi sama dengan jumlah tanah yang terbentuk.
Erosi ini tidak berbahaya karena terjadi dalam keseimbangan alami. Erosi
dipercepat (accelerated erosion) adalah erosi yang diakibatkan oleh kegiatan
manusia yang mengganggu keseimbangan alam dan jumlah tanahnya yang
tererosi lebih banyak daripada tanah yang terbentuk. Erosi ini berjalan sangat
cepat sehingga tanah di permukaan (top soil) menjadi hilang.
Laju pelapukan tanah memang susah diukur secara tepat, namun dengan
beberapa pendekatan, para pakar geologi telah sepakat bahwa
untuk
membentuk lapisan tanah setebal 25 mm pada lahan-lahan alami dibutuhkan
waktu kurang lebih 300 tahun (Bennet, 1939). Waktu yang diperlukan menjadi
berkurang sangat drastis dengan adanya campur tangan manusia, untuk
membentuk lapisan tanah setebal 25 mm hanya memerlukan waktu kurang
lebih 30 tahun (Hudson, 1971). Berdasarkan laju pembentukan tanah ini, maka
batas laju yang dapat diterima adalah 1.1 kg/m2/tahun. Namun demikian
penentuan batas laju erosi untuk berbagai macam kondisi tanah akan berbeda,
sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau sulit dihilangkan sama
sekali atau tingkat erosinya nol, khusunya untuk lahanlahan yang diusahakan
untuk pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengusahakan supaya
erosi yang terjadi masih di bawah ambang batas yang maksimum (soil loss
tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah
(Suripin, 2001)
Menurut Suripin (2001) erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan
partikel tunggal dari masa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang
erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia
tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang
ketiga yaitu pengendapan.
Proses terjadinya erosi di suatu lereng dapat digambarkan dengan suatu
diagram pada Gambar 2 (Mayer dan Wishmeier, 1969) dalam Hardjowigeno
(1995). Untuk dapat terjadi erosi, tanah harus dihancurkan oleh curah hujan
dan aliran permukaan, kemudian diangkut ke tempat lain oleh curah hujan dan
aliran permukaan.
Gambar 2. Diagram Proses Terjadinya Erosi Air (Meyer dan Wiscmeier, 1969 di
dalam Hardjowigeno 1995)
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada suatu bagian lereng terdapat input
bahan-bahan tanah yang dapat dierosikan yang berasal dari lereng atas serta
penghancuran tanah di tempat tersebut oleh pukulan curah
hujan dan
pengikisan aliran permukaan. Kecuali itu terdapat output akibat pengangkutan
tanah oleh curahan air hujan dan aliran permukaan (run off). Bila total daya
angkut dari air tersebut (curahan air hujan + aliran permukaan), lebih besar
dari tanah yang tersedia, maka akan terjadi erosi. Sebaliknya bila total daya
angkut lebih kecil dari total tanah yang dihancurkan akan terjadi pengendapan
di bagian lereng tersebut.
Hujan yang turun sampai ke permukaan tanah memiliki energi kinetik yang
dapat menghancurkan tanah (butir-butir tanah), sehingga bagian-bagian tanah
terhempas, hilang, dan hanyut oleh aliran permukaan. Hilang atau terkikisnya
lapisan tanah inilah yang disebut erosi.
b. Tanah
Sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi. Kepekaan tanah
terhadap erosi disebut erodibilitas. Semakin besar nilai erodibilitas suatu tanah
maka semakin peka tanah tersebut terhadap erosi (Hardjoamidjojo dan
Sukartaatmadja, 1992).
Hardjowigeno (1995) menyebutkan sifat-sifat tanah yang
berpengaruh
terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah,
daya infiltrasi atau permeabilitas tanah, dan kandungan bahan organik. Nilwan
(1987) menyebutkan sifat fisik tanah yang mudah mengalami erosi adalah
tanah dengan tekstur kasar
(pasir kasar), bentuk struktur tanah yang
membulat, kapasitas infiltrasi yang rendah, dan kandungan bahan organik
kurang dari 2%. Sedangkan sifat fisik tanah yang dapat menahan erosi adalah
tanah
dengan tekstur halus (liat, debu, pasir, pasir halus, kapasitas
infiltrasinya besar, dan kandungan bahan organik yang besar untuk menambah
kemantapan struktur tanah).
c. Lereng
Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (1995) mengemukakan unsur topografi yang
paling berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan kemiringan lereng.
Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang.
Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat
sehingga kekuatan mengangkut
semakin meningkat pula. Lereng yang
semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin
besar.
d. Vegetasi
Menurut Hardjowigeno (1995) Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah :
Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga
kekuatan tanah untuk menghancurkan dapat dikurangi ;
Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi ;
Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh tranpirasi (penguapan air)
melalui vegetasi.
e. Manusia
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik
atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam
merupakan pengaruh baik dari manusia karena dapat mengurangi erosi.
Sebaliknya penggundulan hutan di daerahdaerah
pegunungan merupakan
pengaruh manusia
(Hardjowigeno,1995).
yang
buruk
karena
dapat
menyebabkan
erosi
4. Pendugaan Erosi
Praktek-praktek bercocok tanam dapat merubah keadaan penutupan lahan dan
oleh karena itu dapat mengakibatkan terjadinya erosi permukaan pada tingkat
atau besaran yang bervariasi. Oleh karena besaran erosi yang berlangsung
ditentukan oleh intensitas dan bentuk aktifitas pengelolaan lahan, maka
perkiraan besarnya erosi yang terjadi akibat
aktifitas pengelolaan lahan
tersebut perlu dilakukan. Dari beberapa metode
untuk memperkirakan
besarnya erosi permukaan, metode Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah
metode yang paling umum digunakan (Asdak, 1995).
Wischmeier dan Smith (1978) juga menyatakan bahwa metode yang umum
digunakan untuk menghitung laju erosi adalah metode Universal Soil Loss
Equation (USLE). Adapun persamaan ini adalah:
A = R . K . L . S . C . P ..(1)
dimana :
A
dimana :
EI30
R12
R
D
M
dimana :
R : Indeks erosivitas
P : Curah Hujan Bulanan (cm)
Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang terakhir ini lebih
sederhana karena hanya memanfaatkan data curah hujan bulanan.
b. Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah merupakan jumlah tanah yang hilang ratarata setiap tahun
per satuan indeks daya erosi curah hujan pada sebidang tanah tanpa tanaman
(gundul), tanpa usaha pencegahan erosi, lereng 9% (5), dan panjang lereng
22 meter (Hardjowigeno, 1995). Faktor erodibilitas tanah menunjukan kekuatan
partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah
oleh adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas tanah ditentukan
oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah,
kapasitas infiltrasi, dan kandungan bahan organik serta bahan kimia tanah.
Metode penetapan nilai faktor K secara cepat dapat dilihat pada Tabel 2
dengan terlebih dahulu mengetahui informasi jenis tanah. Nilai faktor K juga
dapat diperoleh dengan menggunakan nomograf erodibilitas tanah seperti
yang ditunjukan pada Gambar 3. Nomograf ini disusun oleh lima parameter
yaitu % fraksi debu dan pasir sangat halus, % fraksi pasir, % bahan organik,
struktur tanah, dan permeabilitas tanah (Purwowidodo,1999).
dimana :
l = Panjang lereng (meter)
S = Kemiringan lahan (%)
m = Nilai eksponensial yang tergantung dari kemiringan
S < 1% maka nilai m = 0.2
S = 1 3 % maka nilai m = 0.3
S = 3 5 % maka nilai m = 0.4
S > 5% maka nilai m = 0.5
Selain menggunakan rumus di atas, nilai LS dapat juga ditentukan menurut
kemiringan lerengnya seperti ditunjukan pada Tabel 2 berikut .
Keterangan :
0 SR = Sangat Ringan
I R = Ringan
II S = Sedang
III B = Berat
IV SB = Sangat Berat
C. KEADAAN UMUM SITU BOJONGSARI
Situ Bojongsari merupakan situ terluas di Kota Depok. Secara administratif Situ
Bojongsari terletak di Kelurahan Sawangan (Sawangan Lama), Kecamatan
Sawangan, dengan letak geografisnya pada 62315 LS dan 1064513 BT.
Situ ini termasuk dalam lingkup administratif DAS Angke yang memiliki tujuh
muara (teluk), yang masing-masing teluknya terletak di dukuh yang berbeda
dalam Wilayah Kecamatan Sawangan. Situ Bojongsari memiliki luas perairan
28.25 ha dengan kedalaman 3 4 meter, terletak 70 meter dari permukaan
laut. Perairan situ dikelilingi oleh areal perkebunan pada sebelah selatan,
permukiman di sebelah barat, areal perkebunan di sebelah utara, dan terdapat
sarana rekreasi di sebelah timurnya. Selain itu terdapat padang golf (Club Golf
Sawangan) pada bagian tenggara Situ Bojongsari.
Permukiman yang terdapat pada barat situ merupakan milik penduduk sekitar
dan usaha-usaha rumah makan dengan bangunan non permanen. Beberapa
bangunan diantaranya terletak sangat dekat dengan danau, sehingga sering
mendapat peringatan dari pemerintah daerah setempat untuk memindahakan
bangunannya karena dikhawatirkan dapat mengganggu ekosistem situ/danau.
Kolam-kolam ikan milik penduduk juga banyak dijumpai di bagian utara dan
barat Situ Bojongsari. Bahkan perairan pada bagian barat dan utara ini kurang
lebih 35 persen dipakai untuk tambak ikan yang diusahakan oleh pihak swasta.
Salvinia sp. merupakan petunjuk arus dalam suatu perairan relatif tenang .
Secara umum lokasi Situ Bojongsari sangat kotor dan tak terawat.
Di bantaran-bantaran situ terdapat banyak sampah, baik sampah plastik
maupun seresah daun-daunan yang gugur. Maka tak heran kendati Situ
Bojongsari yang merupakan tempat wisata yang relatif murah dan mudah
terjangkau ini kurang menarik minat wisatawan lokal maupun asing. Bahkan
tanggul-tanggul yang dibuatpun sudah banyak yang rusak dan tidak berfungsi
lagi guna mencegah erosi dan sedimentasi. Selain itu, akses jalan menuju Situ
Bojongsari juga masih berupa tanah tanpa penutup, sehingga dengan situasi
curah hujan Kota Depok yang tinggi, maka jalan-jalan tanah tersebut secara
otomatis sering basah, becek, dan menyulitkan pengguna jalan yang ingin
melewatinya.
Selain itu, luas situ juga mulai menyusut dengan banyaknya permukiman
penduduk dan kolam pemancingan ikan atau empang. Situ
mengalami
pendangkalan antara tiga dan lima meter sehingga harus dikeruk dengan
kedalaman yang sama.
3. Erosi Longsor
Selanjutnya pada tepi / bantaran situ juga ditemui peristiwa erosi longsor.
Walaupun tidak semua tepi situ terjangkit erosi, namun apabila
hal ini
dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan bantaran-bantaran lainnya akan
tertular erosi serupa.
II. METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Situ Bojongsari, Kecamatan Sawangan, Kota
Depok. Waku penelitian dimulai Bulan November 2007 sampai dengan Bulan
Pebruari 2008.
B. ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan berupa komputer dengan program Microsoft Office Excel
dan program (software) ArcView 3.2 yang dibuat oleh ESRI (Environmental
Systems Research Institute) untuk perhitungan.
Bahan yang digunakan berupa data sekunder dan peta-peta sebagai berikut :
Data Curah Hujan DAS Ciliwung Tengah Tahun 1992 2001
Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung Skala 1 : 20000000
Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 25000
C. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder hasil pengukuran
yang berhubungan dengan erosi di Situ Bojongsari. Data dikumpulkan melalui
salinan atau turunan data/copy dari instansi yang terkait melalui pengadaan
dan pembelian data atau peta. Selain itu datadata juga diperoleh dari akses
internet. Sumber data yang akan digunakan untuk penelitian dapat dilihat
pada Tabel 8. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Januari sampai Februari
2008. Jenis data yang diperlukan untuk melakukan analisa pekerjaan studi ini
terdiri dari :
a. Curah Hujan
Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan DAS Ciliwung Tengah,
kendati Situ Bojongsari termasuk dalam DAS Angke. Data curah hujan DAS
Ciliwung Tengah diukur dari stasiun pengamatan Depok, sehingga sebaran
curah hujan masih menjangkau Situ Bojongsari. Ketersediaan data curah hujan
selama 10 tahun mulai tahun 1992 hingga tahun 2001.
b. Peta Kontur
Peta kontur berupa peta rupa bumi Situ Bojongsari terbaru, kondisi perairan,
daerah pemukiman di sekitar, batas administratif, dan kenampakan artifisial
lainnya.
Berdasarkan peta kontur ini akan dikaji untuk penentuan panjang dan
kemiringan lahan (faktor L dan S).
c. Peta Jenis Tanah
Peta jenis tanah berupa peta yang menampakan jenis tanah di wilayah Kota
Depok tepatnya di Situ Bojongsari. Dengan mengetahui jenis tanah, maka
dapat digunakan untuk menentukan nilai K (erodibilitas tanah) dengan Tabel
Nilai K.
d. Peta Penutupan Lahan Tahun 2001
Peta tata guna lahan digunakan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan lahan
saat ini yang dapat digunakan untuk memonitor pengembangan suatu aktifitas
dalam land-form tersebut. Peta ini biasanya dipakai untuk melakukan kajian
terhadap rencana pengembangan suatu wilayah.
Pada pengukuran erosi dengan pendekatan USLE ini, peta tata guna
berfungsi untuk menentukan faktor tanaman (C) dan faktor konservasi
(P). Selain mengacu pada peta penutupan lahan, pada penelitian kali ini
C dan faktor P juga ditentukan melalui
pengamatan langsung di
penelitian dan juga wawancara dengan masyarakat sekitar.
lahan
tanah
faktor
lokasi
2. Pengolahan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti kerangka pendekatan yang dapat
dilihat pada gambar 13. Tahap awal penelitian adalah pengumpulan data-data
yang dibutuhkan dalam mendeskripsikan permasalahan untuk memprediksi
nilai erosi di Situ Bojongsari, yang terdiri dari data hujan (curah hujan dan hari
hujan) dan peta-peta. Tahap selanjutnya mengolah data-data yang diperlukan
untuk dipakai dalam
perhitungan pendekatan USLE guna memprediksi
besarnya erosi. Tahap-tahap pengolahan data selengkapnya sebagai berikut:
a. Menghitung nilai R (erosivitas hujan) menggunakan
dikemukakan oleh Lenvain (DHV, 1989) sebagai berikut :
rumus
yang
dimana :
R : indeks erosivitas
P : curah hujan bulanan (cm)
b. Dari berbagai rumus perhitungan erosivitas, pada kasus ini dipilih rumus di
atas karena data curah hujan yang tersedia hanya data curah hujan bulanan.
c. Menentukan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan jenis tanah, bersumber
pada nilai K yang terdapat pada Lampiran 7. Jenis tanah diperoleh berdasarkan
Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung.
d. Menentukan Nilai LS, bersumber pada nilai LS pada Tabel 2. Sebelum
menentukan besarnya nilai LS, harus diketahui terlebih dahulu kemiringan
lereng. Kemiringan lereng pada penelitian ini diperoleh dari Peta Kontur DAS
Ciliwung.
e. Menentukan nilai CP. Nilai CP dapat dicari dengan menentukan faktor C dan
P masing-masing atau digabungkan sekaligus menjadi faktor
CP. Pada
penelitian ini, karena faktor CP diperoleh melalui pengamatan langsung di
lapangan, maka penentuan nilai CP dilakukan dengan dua cara di atas
disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selanjutnya nilai CP atau C dan P
dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4, Lampiran 7, dan Lampiran 9.
A. PERHITUNGAN EROSI
faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), dan faktor pengelolaan tanaman
dan usaha pencegahan erosi (CP).
Data curah hujan yang digunakan untuk menghitung faktor erosivitas diperoleh
dari data curah hujan DAS Ciliwung Tengah. Secara
administratif Situ
Bojongsari masuk dalam lingkup DAS Angke. Namun, kendati demikian data
curah hujan DAS Ciliwung Tengah tetap dapat dipakai dalam penelitian ini
karena data curah hujan diukur dan diolah oleh stasiun klimatologi Depok.
Karena sebaran data curah hujan yang diambil dari suatu stasiun memiliki
sebaran sampai 30 km. Curah hujan rata-rata bulanan untuk DAS Ciliwung
Tengah berkisar antara 168 mm sampai dengan 377 mm, dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada Bulan November dan terendah pada Bulan Juli.
Curah hujan mempunyai peranan yang cukup tinggi terhadap erosi tanah yang
terjadi. Pada daerah yang berlereng terjal, erosivitas hujan yang tinggi sangat
berpengaruh terhadap besarnya erosi.
Masukan data curah hujan terdiri dari jumlah curah hujan bulanan selama 10
tahun dari tahun 1992 sampai tahun 2001. Sehingga setelah
dilakukan
perhitungan diperoleh nilai erosivitas seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 7.
Gambar 15. Peta Tanah DAS Ciliwung (Departemen Pekerjaan Umum Kota
Administratif Depok)
Selanjutnya setelah mengetahui jenis tanah, maka nilai erodibilitas (K), dapat
diketahui pada Lampiran 7. Sehingga didapat nilai K untuk daerah Situ
Bojongsari sebesar 0.121.
Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi dapat diketahui dari
Peta Tata Guna Lahan atau Peta Penutupan Lahan dan pengamatan langsung di
lapangan, kemudian nilai dari faktor CP dapat diperoleh dari Tabel 3, Tabel 4,
Lampiran 8, dan Lampiran 9.
Di bagian tengah atau lekukan situ juga merupakan area komersil berupa hotel
dan cottage lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Kendati telah dibangun
hotel/cottage, namun pada pinggiran situ masih tampak jelas semak dan
sebagian rumput yang mungkin oleh pengelola hotel sengaja dibiarkan tumbuh
liar untuk memberikan kesan natural pada pengunjung hotel maupun cottage.
Vegetasi semak dengan sebagian rumput menyebar tidak hanya di tengah
(lekukan situ), tetapi juga dijumpai di bagian barat laut hingga utara situ.
Kemudian di bagian utara hingga timur laut pada Gambar 19 merupakan areal
yang penuh dengan alang-alang dan sebagian rumput. Menurut penuturan
masyarakat sekitar, rumput-rumput di daerah ini sering dibabat penduduk
untuk pakan ternak. Vegetasi yang dominan di bantaran situ daerah ini adalah
perumputan dengan penutupan tanah sebagian dan ditumbuhi alang-alang.
Untuk lokasi barat hingga barat laut Situ Bojongsari memiliki jenis vegetasi
yang sama dengan lokasi tengah atau lekukan situ .
A = R x K x LS x CP
dimana :
Perhitungan erosi di Situ Bojongsari ini, dibagi dalam lima wilayah erosi
(zonasi) berdasarkan faktor vegetasi (C) dan konservasi (P) seperti yang
terlihat pada Gambar 19. Perbedaan vegetasi dan konservasi ditunjukan oleh
perbedaan warna.
Pembagian lima daerah erosi akan disajikan pada Tabel 8 Tabel 12 berikut.
Pada lokasi 3, memiliki tingkat kemiringan lereng yang seragam. Terdapat tiga
kelas kemiringan lereng pada lokasi ini, yaitu 0 5 %, 15 35 %, dan 35 50
%. Sehingga untuk memperoleh nilai LS total sebagai berikut :
Untuk lokasi 1 memili kemiringan lereng yang sama yaitu 35-50 %. Selanjutnya
pada lokasi 2 kemiringan lereng seragam antara 0 5 %.Kondisi yang sama
juga terdapat di lokasi 4 dan lokasi 5 yang memilki kemiringan lereng yang
sama. Hasil perhitungan nilai total laju kehilangan tanah selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 13.
Setelah nilai erosi dari kelima lokasi diperoleh, selanjutnya melalui informasi
solum tanah dapat diketahui Tingkat Bahaya Erosi (TBE). Tanah di sekitar Situ
Bojongsari termasuk jenis tanah latosol yang mempunyai solum tanah > 90 cm
(Djunaedi, 1999 dan Soil Staff, 1999). Selanjutnya TBE dapat diketahui dari
Tabel 5. Sehingga diperoleh Kelas Tingkat Bahaya Erosi untuk lima zona erosi di
sekeliling Situ Bojongsari Tabel 17.
Dari perhitungan nilai A dan klasifikasi tingkat bahaya erosi dapat diketahui
bahwa nilai kehilangan tanah yang paling kecil berada di lokasi 5. Lokasi 5
merupakan areal dengan vegetasi perumputan dengan penutupan tanah
sebagian dan ditumbuhi alang-alang tepatnya pada bagian utara hingga timur
laut Situ Bojongsari dengan total kehilangan tanah 22.66 ton/tahun. Nilai erosi
yang kecil terjadi karena vegetasi perumputan
dan alang-alang dapat
menyerap air hujan yang jatuh ke tanah, selain itu zona ini ditunjang dengan
luas petak daerah tangkapan air yang kecil dan kemiringan yang landai.
Sehingga kemungkinan tanah yang terbawa aliran permukaan masuk ke dalam
situ sedikit. Nilai erosi yang juga terbilang kecil juga terdapat pada lokasi 2
yang merupakan padang golf dengan vegetasi penutup sekaligus konservasi
perumputan yang sempurna. Sehingga dengan curah hujan di wilayah Depok
yang relatif tinggi setiap tahunnya, air hujan yang turun dapat diserap
sempurna oleh vegetasi rumput tanpa harus terjadi aliran permukaan yang
membawa pecahanpecahan tanah ke perairan situ. Selain itu nilai kehilangan
tanah yang kecil ini, juga akibat kemiringan lereng yang landai yaitu berkisar
antara 0 5 %. Dengan kemiringan lereng yang landai, maka dapat dipastikan
apabila terjadi pengangkutan partikel tanah akibat erosi, tanah tidak langsung
dengan mudah jatuh ke perairan. Sehingga nilai persentasi kemiringan yang
kecil ini akan memperkecil resiko erosi.
Lokasi 3 dengan vegetasi semak dan rumput termasuk kelas erosi sedang.
Lokasi ini memiliki kemiringan lereng yang beragam, yaitu 0 5 %, 15 35 %,
35 50 %. Padahal apabila ditinjau dari vegetasi dan faktor konservasinya,
seharusnya zona 3 dengan semak dan sebagian rumputnya mampu menjadi
daerah resapan air yang baik. Namun, vegetasi dan konservasi yang baik tanpa
didukung oleh persentase kemiringan yang kecil juga dapat meningkatkan
resiko erosi. Karena perhitungan erosi dengan metode USLE ini merupakan
perpaduan dari seluruh faktor erosi yaitu hujan, erodibilitas, faktor kelas
lereng, faktor vegetasi serta konservasi, dan luas daerah tangkapan air. Faktorfaktor ini saling terkait satu dan lainnya.
Selanjutnya lokasi 4 yaitu daerah tenggara hingga timur Situ Bojongsari, yang
merupakan areal dengan vegetasi dan praktik konservasi yang kurang baik.
Apabila kita meninjau hanya dari faktor CP, maka lokasi 4 inilah wilayah yang
sangat rawan terhadap erosi. Karena areal ini ditujukan untuk objek wisata,
maka dapat dipastikan jumlah bangunanbangunan komersil seperti warung,
panggung hiburan, MCK akan lebih banyak dibanding vegetasi penutupnya.
Vegetasi yang diusahakan di areal ini adalah pohon akasia dengan penutupan
rumput yang kurang rapat (jelek). Ditambah lagi dengan aktivitas pengunjung
objek wisata yang
gemar menginjak rumput, membuang sampah
sembarangan, bahkan melakukan kegiatan bakar jagung/ubi di tepi situ.
Kegiatan-kegiatan ini secara tak langsung memberikan resiko erosi yang lebih
tinggi lagi. Selain itu pada zona 4 memiliki cakupan daerah tangkapan air yang
luas yaitu sebesar 46.25 ha. Namun, pada perhitungan prediksi erosi yang
dilakukan nilai total kehilangan tanah lokasi 4 ini relatif kecil dan masuk dalam
kelas
erosi ringan. Hal ini dapat terjadi karena lokasi 4 didukung oleh
kemiringan lereng yang relatif landai berkisar antara 0 5 %, sehingga dapat
memperkecil resiko erosi.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi pada
kelas kelerengan 0-5 % dan kelas sedang pada kelas kelerengan 15-35 %,
sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas kelerengan 35-50 %.
Diketahui :
h1 = 3 meter
h2 = 4 meter
h3 = 10 meter
hrata2 = 5.67 meter
A = 28.25 ha = 282500 m2
= Volume Situ / Vs
= 1601775 m3 / 7603.46 m3/tahun
= 210.66 tahun 211 tahun
Dari prediksi tersebut umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil
ini bukan merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada
hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di sekelilingnya
dan kemauan manusia untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan tidak
mungkin, umur situ lebih pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku
masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan.
A. KESIMPULAN
mungkin, umur situ lebih pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku
masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Untuk mencegah terjadinya erosi maka perlu dilakukan reboisasi di sekitar
situ dan pembuatan bangunan penangkal erosi.
Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang telah menumpuk di Situ
Bojongsari, maka perlu diadakan pengerukan terhadap lapisan lumpur yang
berada di dasar situ. Waktu yang tepat untuk melakukan pengerukan
sedimentasi adalah pada akhir musim kemarau, karena lumpur akan mudah
dibuang. Selain itu juga menjelang musim hujan, saat air hujan pada awal
musim hujan dapat menjadi pencuci situ.
B. SARAN
Pada tanah yang tererosi berat dan sangat berat perlu diupayakan usaha
konservasi lahan baik secara mekanis maupun vegetatif.
Diperlukan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah dalam kegiatan
pemeliharaan dan pemulihan kerusakan Situ Bojongsari
Perlu adanya tata ruang dan batas bantaran Situ Bojongsari yang kemudian
menjadi Perda (Peraturan Daerah) agar kerusakan dapat dihindarkan sehingga
kelestarian situ dapat dijaga.
Kepada masyarakat yang bermukim di sekitar Situ Bojongsari hendaknya
lebih peduli terhadap ekosistem situ dengan selalu menjaga kebersihan dan
keindahan situ.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta.
dan
Indrawati. 2000. Kajian Erosi DAS Citarum Hulu Terhadap Sedimentasi Waduk
Saguling, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.
Murdis, R. 1999. Pendugaan Erosi dengan Pendekatan USLE (Universal Soil Loss
Equation) Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) di Sub-DAS Ciwidey,
Bandung. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.
Bogor.
Nilwan. 1987. Pendugaan Besar Erosi dan Daya Angkutan Sedimen pada Daerah
Aliran Sungai Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB. Bogor.
Suripin. 2001.
ANDI.Yogyakarta
Pelestarian
Sumber
Daya
Tanah
dan
Air.
Penerbit
Zachar, D.
Amsterdam
1982.
Soil
Erosion.
Elsevier
Scientific
Publishing
Company.