Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. JUDUL
KAJIAN

TEKNIS

FRAGMENTASI

BATU

ANDESIT

HASIL

PELEDAKAN TERHADAP CYCLE TIME BACKHOE UNTUK


PENINGKATAN PRODUKSI BACKHOE DI PT. HOLCIM BETON
PASURUAN,

DESA

JELADRI,

KECAMATAN

WINONGAN,

KABUPATEN PASURUAN, JAWA TIMUR


1.2. LATAR BELAKANG
Salah satu kegiatan penting dalam penambangan adalah pembongkaran,
karena dengan metode pembongkaran yang tepat akan menghasilkan produksi
yang baik pula. Kegiatan pembongkaran dapat dilakukan menggunakan alat
mekanis atau peledakan. Pembongkaran dengan alat mekanis akan menghasilkan
ukuran

fragmen

yang

lebih

seragam,

namun

dengan

tingkat

volume

pembongkaran yang kecil. Kegiatan pembongkaran menggunakan peledakan akan


menghasilkan volume terbongkar

yang jauh lebih besar dibandingkan

menggunakan alat mekanis, namun menghasilkan ukuran fragmen yang tidak


seragam. Ketidakseragaman ukuran fragmen ini akan sangat mempengaruhi
kinerja alat muat(backhoe). Semakin bervariasi dan besar ukuran yang
dihasilkan(boulder), tentu akan menurunkan produksi. Hal ini disebabkan oleh
diperlukannya lagi kegiatan secondary blasting untuk mereduksi kembali ukuran
tersebut. Sebaliknya, akan terjadi loose

yang tinggi dan ketidakefisiensian

penggunaan bahan peledak apabila dihasilkan ukuran yang dihasilkan terlalu


kecil.

Dalam menghadapi masalah ini sebuah perusahaan yang mempunyai

produksi besar harus dapat menentukan ukuran fragmen rata-rata yang paling baik
dihasilkan oleh aktifitas peledakan, sehingga alat muat dapat bekerja dengan
efisien dan produksi yang ditargetkan dapat tercapai.

Fragmentasi dipengaruhi oleh beberapa hal dan akan mempengaruhi aktifitas


setelah peledakan, seperti pemuatan. Beberapa hal yang mempengaruhinya antara
lain karakteristik batuan yang akan dibongkar, rancangan peledakan yang dipakai
dan bahan peledak yang digunakan. Ukuran fragmen pun akan sangat
mempengaruhi kegiatan pemuatan oleh backhoe , karena backhoe akan memuat
hasil peledakan menggunakan bucket dengan ukuran tertentu, sehingga ukuran
fragmen yang dihasilkan tentu sangat memengaruhinya. Oleh karena itu,
pengkajian mengenai range ukuran optimum yang harus dihasilkan dalam
peledakan agar dapat meningkatkan efisiensi kegiatan pemuatan oleh backhoe
menjadi sangat penting.
1.3. PERUMUSAN MASALAH
Apakah fragmentasi batuan hasil peledakan telah optimal sehingga cycle time
backhoe dalam pemuatan menjadi efisien dan dapat backhoe mencapai produksi
optimum. Penelitian ini akan dilakukan dari segi teknis, sehingga faktor ekonomi
tidak diperhitungkan.
1.4. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji ukuran fragmentasi yang baik sehingga backhoe bekerja efisien
dalam pemuatan.
2. Mengkaji geometri peledakan yang sesuai untuk menghasilkan ukuran
fragmentasi yang baik untuk dimuat backhoe.
3. Mengetahui cycle time backhoe terhadap berbagai ukuran fragmentasi
yang dihasilkan.
4. Mengetahui hubungan antara fragmentasi batuan hasil peledakan dengan
cyle time backhoe.
1.5. BATASAN MASALAH
Penelitian ini dilakukan di tambang bijih besi di PT. Holcim Beton Pasuruan,
Desa Jeladri, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

BAB II
METODOLOGI

2.1. DASAR TEORI


2.1.1. Definisi Fragmentasi
Salah satu metode pembongkaran pada batuan adalah dengan
menggunakan metode pengeboran dan peledakan. Metode pengeboran dan
peledakan bertujuan untuk membongkar batuan dari keadaan aslinya ke
dalam ukuran-ukuran tertentu, guna memenuhi target produksi dan
memperlancar proses pemuatan, pengangkutan, dan peremukan.
Fragmentasi adalah suatu istilah yang digunakan sebagai petunjuk
ukuran setiap bongkah batuan setelah peledakan. Tingkat fragmentasi batuan
hasil peledakan sangat penting dalam menilai keberhasilan dari suatu
kegiatan peledakan, dimana material yang memiliki ukuran seragam lebih
diharapkan dari pada material yang banyak berukuran bongkah. Untuk tujuan
tertentu ukuran fragmentasi yang besar atau bongkah diperlukan, misalnya
disusun sebagai penghalang (barrier) ditepi jalan tambang. Namun
kebanyakan target fragmentasi berukuran kecil. Tingkat fragmentasi yang
kecil akan menambah produktivitas, mengurangi keausan dan kerusakan
peralatan sehingga menurunkan biaya pemuatan, pengangkutan, dan proses
selanjutnya, dalam beberapa pekerjaan juga akan mengurangi secondary
blasting.
Dalam mengontrol ukuran fragmentasi, jumlah energi yang
dihasilkan oleh bahan peledak harus cukup untuk menghancurkan massa
batuan. Ritinger berpendapat bahwa energi yang dibutuhkan pada
fragmentasi berhubungan dengan sejumlah area permukaan baru yang akan
diledakkan (energi adalah fungsi area). Bahan peledak juga harus
ditempatkan dalam satu konfigurasi geometri atau pola peledakan, dengan

urutan dimana lubang ledak dinyalakan dan interval waktu antar detonasi.
Pelepasan energi pada interval waktu yang kurang tepat akan mempengaruhi
hasil akhir pedakan, meskipun energi yang digunakan sudah tepat, dan
ditempatkan dengan strategis diseluruh massa batuan dalam pola yang tepat.
Jika waktu inisiasi tidak tepat, maka dapat terjadi perbedaan pada pecahnya
batuan, getaran, air blast, flyrock, dan backbreak.

2.1.2. Fragmentasi
Pemecahan batuan yang menghasilkan fragmentasi batuan pada
peledakan

dimulai

sebelum

massa

batuan

mengalami

pergerakan.

Fragmentasi pada peledakan terjadi akibat hal-hal berikut :


1) Gelombang kejut yang dihasilkan dari pemantulan gelombang
kejut tekan pada bidang bebas periode lamanya efek pertama
berlangsung tergantung pada waktu tunda antar inisiasi (delay)
dengan pemantulan pada bidang bebas.

Sumber : Berta, 1990

Gambar 2.1
Model Rock Fracture Insitu Untuk Satu Lubang Ledak

2) Tegangan tarik yang dihasilkan dalam massa batuan di sekeliling


lubang ledak oleh tekanan gas-gas peledakan. Efek kedua umumnya
berlangsung lebih lama di banding efek pertama. Lamanya efek
kedua tergantung pada pengungkungan gas dalam lubang ledak.
Parameter yang berpengaruh adalah stemming.
3) Benturan antara fragmen batuan yang terlempar dan antara
fragmen di dinding batuan. Efek yang ketiga berlangsung paling lama
dibanding kedua efek sebelumnya, akan tetapi efeknya paling kecil.

Fragmentasi batuan pada peledakan dapat berasal dari :


a. Pecahan yang terbentuk dari rekahan baru yang disebabkan oleh
proses detonasi bahan peledak
b. Rekahan alami atau blok batuan yang terdorong oleh energi
peledakan.
c. Kombinasi antara rekahan akibat peledakan dan rekahan alami.
2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Fragmentasi Hasil
Peledakan
Dari aspek teknis terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
distribusi ukuran fragmen, yaitu karakteristik batuan, bahan peledak, dan
rancangan peledakan. Karakteristik batuan merupakan parameter yang tidak
dapat dikendalikan, sedangkan bahan peledak, dan rancangan peledakan
adalah parameter yang dapat dikendalikan.
2.1.3.1. Sifat Fisik Batuan
Sifat fisik batuan yang berpengaruh terhadap peledakan
batuan antara lain densitas batuan dan porositas. Secara umum batuan
yang mempunyai densitas yang rendah dapat lebih mudah mengalami
deformasi, sedangkan batuan yang mempunyai densitas lebih tinggi
lebih sukar mengalamai deformasi. Ini disebabkan batuan dengan
densitas tinggi menandakan bahwa batuan tersebut lebih padat atau
rapat dibandingkan dengan batuan dengan densitas yang rendah. Jadi
pada batuan yang memiliki densitas yang tinggi diperlukan energi
yang lebih tinggi untuk dapat hasil fragmen yang memuaskan.
Pada massa batuan yang mempunyai densitas yang tinggi,
ada beberapa cara untuk memastikan energi peledakan yang sedang
berlangsung cukup untuk menghancurkan batuan :
a. Menambah dameter lubang ledak, agar tekanan yang
terjadi pada lubang ledak dapat ditingkatkan dengan adanya
penambahan bahan peledak.
b. Mengubah geometri peledakan.

c. Memilih material stemming yang cocok, agar energi


peledakan dapat terdistribusi pada massa batuan secara
sempurna.
Porositas menyatakan banyaknya jumlah pori dalam
batuan. Porositas batuan yang besar mengindikasikan banyaknya
ruang antar butir dalam batuan. Peningkatan porositas akan
menghambat penjalaran gelombang kejut di dalam massa batuan,
menghambat terbentuknya rekahanrekahan baru, dan secara
dominan menghasilkan bongkah bongkah berukuran besar (Jimeno,
1995).

2.1.3.2. Sifat Mekanik Batuan


a) Kekuatan Batuan
Kuat tekan dan kuat tarik merupakan parameter awal
untuk menentukan suatu proses peledakan. sifat kuat tekan
dan kuat tarik batuan sangat penting dalam penggolongan
mudah tidaknya batuan untuk dibongkar. Semakin tinggi
nilai dari kuat tekan dan kuat tarik dari batuan, maka batuan
tersebut akan semakin susah untuk dihancurkan. Klasifikasi
teknis batuan utuh menurut Bienewski (1973) dibagi
menjadi lima kategori (Tabel 2.1).
Kuat tarik akan berpengaruh terhadap kekuatan bahan
peledak yang digunakan untuk memecahkan batuan
(Tabel 2.2). Batuan akan hancur atau lepas dari batuan
induknya apabila bahan peledak yang digunakan memiliki
kuat tekan yang lebih besar dari pada kuat tarik batuan itu
sendiri. Batuan yang memiliki kuat tarik rendah akan lebih
mudah hancur dari pada batuan yang memiliki kuat tarik
yang besar. Nilai kuat tarik suatu batuan di lapangan lebih
rendah dari pada kuat tekannya, oleh karena itu retakanretakan yang terjadi pada massa batuan akibat proses
peledakan

yang

sedang

berlangsung

lebih

banyak

disebabkan oleh tegangan tarik yang dihasilkan dari proses


peledakan.

Tabel 2.1
Klasifikasi Kuat Tekan Batuan
Pemerian

UCS (MPa)

Sangat Lemah

1-25

Lemah

25-50

Sedang

50-100

Kuat

100-200

Sangat Kuat

>200

Sumber : Bienewski, 1989

Tabel 2.2
Klasifikasi Kuat Tarik Batuan
Pemerian

UTS (MPa)

Sangat keras dan plastik

6-7

Keras dan plastik

7-8

Brittle

8-12

Brittle dan tidak plastik

12-15

Sangat brittle

15-20

Sumber : Suseno Kramadibrata, 1997

Kuat tekan uniaksial

batuan merupakan ukuran

kemampuan batuan untuk menahan beban atau gaya yang


bekerja pada arah uniaksial. Kualifikasi kuat tekan
uniaksial batuan utuh dapat dilihat pada Tabel 3.3. Dari
tabel di bawah ini dapat diterangkan bahwa batuan yang
memerlukan proses pengeboran dan peledakan dalam
pemberaian adalah batuan dengan UCS > 25 Mpa

Tabel 2.3
Klasifikasi Umum Jenis Penggalian Untuk Suatu Massa Batuan Berdasarkan UCS
Metoda

UCS (MPa)

Alat

Free digging

1 10

Shovel, Loader, BWE

Ripping

10 25

Ripper

Rock Cutting

10 50

Rock cutter

Blasting

> 25

Pengeboran dan
peledakan

Sumber : Suseno Kramadibrata, 1997

b) Kekerasan Batuan
Semakin tinggi tingkat kekerasan suatu batuan, maka
akan semakin sukar batuan tersebut untuk dihancurkan
sehingga akan membutuhkan energi peledakan yang lebih
tinggi untuk memperoleh hasil peledakan yang maksimal
atau bahan peledak yang digunakan untuk menghancurkan
batuan tersebut lebih banyak. Hal ini dikarenakan, semakin
tingginya kekerasan batuan akan diikuti dengan semakin
tinggi pula kekuatan tekan batuan tersebut.
Tabel 2.4
Hubungan antara UCS dengan Kekerasan Batuan
Kekerasan

Mohs

MPa

Very strong

>7

> 200

Strong

67

120 200

Moderatly strong

4.5 6

60 120

Moderatly weak

3 4.5

30 60

Weak

23

10 30

Very weak

1-2

< 10

Sumber : Djordjevic N, Cocker A, Scott A, 1980

Kekerasan dapat dipakai dalam menyatakan besarnya


tegangan yang diperlukan untuk menyebabkan kerusakan
pada batuan (Tabel 2.4). Mohs test digunakan untuk

menentukan urutan kekerasan berbagai jenis mineral yang


dinyatakan dalam kekerasan relatif suatu mineral terhadap
yang lain. Dalam skala Mohs suatu mineral akan dapat
menggores semua mineral yang mempunyai urutan
kekerasan yang lebih rendah dari mineral tersebut.

c) Elastisitas Batuan dan Kecepatan Perambatan


Gelombang
Elastisitas batuan adalah sifat yang dimiliki batuan
untuk kembali ke bentuk semula setelah gaya yang
diberikan kepada batuan tersebut dihilangkan. Secara
umum batuan dapat dihancurkan apabila mengalami
regangan yang melewati batas elastisitasnya.
Kecepatan perambatan gelombang pada setiap batuan
berbeda. Uji lapangan telah menunjukkan batuan yang
keras mempunyai kecepatan perambatan gelombang yang
tinggi, secara teoritis batuan yang memiliki kecepatan
gelombang yang tinggi akan hancur apabila diledakkan
dengan bahan peledak yang memiliki kecepatan detonasi
yang tinggi (VOD). Sebaliknya, batuan dengan kecepatan
perambatan gelombang rendah dapat hancur oleh bahan
peledak dengan kecepatan detonasi yang rendah (VOD).

2.1.3.3. Struktur Geologi


Struktur geologi yang berpengaruh pada kegiatan peledakan
adalah struktur rekahan (kekar) dan struktur perlapisan batuan. Kekar
merupakan rekahan-rekahan dalam batuan yang terjadi akibat tekanan
atau tarikan yang disebabkan oleh gaya-gaya yang bekerja dalam
kerak bumi. Adanya rekahan akan mengurangi kekuatan batuan.

a) Joint Plane Spacing (JPS)


Joint plane spacing atau jarak antar bidang diskontinu
adalah jarak tegak lurus antar dua bidang diskontinu yang
berurutan. Semakin jauh jarak antar bidang diskontinu
batuan dapat dikatakan memiliki perlapisan yang sangat
tebal atau massa batuan dapat dikatakan masif. Sedangkan
bila jarak antar bidang diskontinu kecil, maka batuan dapat
dikatakan

terdiri

dari

laminasi

tipis

(sedimentasi).

Klasifikasi bidang spasi kekar dapat dilihat pada Tabel 2.5


dan Tabel 2.6.

Tabel 2.5
Klasifikasi Spasi Kekar
Pemeraian

Spasi Kekar

Keterangan

Sangat Lebar

>3 m

Padat

Lebar

1-3 m

Massif

Cukup Dekat

0.31 m

Blocky/seamy

Dekat

50-300 mm

Terpecah

Sangat Dekat

<50 mm

Hancur/tersebar

Sumber : Suseno Kramadibrata, 1997

Tabel 2.6
Klasifikasi Jarak Bidang Diskontinuitas
Deskripsi

Struktur Bidang lemah

Jarak (mm)

Spasi sangat lebar

Perlapisan sangat tebal

>2000

Spasi lebar

Perlapisan tebal

600-2000

Spasi moderat lebar

Perlapisan tebal

200-600

Spasi dekat

Perlapisan tipis

60-200

Spasi sangat dekat

Perlapisan sangat tipis

20-60

Spasi ekstrim dekat

Laminasi tipis (sedimentasi)

<20

Sumber : Made Astawa Rai, 1987

10

Dengan adanya struktur rekahan ini maka energi


gelombang tekan dari bahan peledak akan mengalami
penurunan dikarenakan adanya gas-gas hasil reaksi
peledakan yang menerobos melalui rekahan, sehingga
mengakibatkan penurunan daya tekan terhadap batuan yang
akan diledakkan. Penurunan daya tekan ini akan berdampak
terhadap

batuan

yang

diledakkan,

sehingga

dapat

mengakibatkan terjadinya bongkah pada batuan hasil


peledakan bahkan batuan hanya mengalami keretakan.
Penentuan arah peledakan menurut R.L. Ash (1963)
berkaitan dengan struktur kekar adalah :
1) Pada batuan, bidang kekar berpotongan antara satu
dengan yang lain, sudut yang dibentuk oleh bidang
kekar

biasanya

membentuk

sudut

tumpul,

dan

membentuk sudut lancip pada bagian yang lain.


2) Fragmentasi yang dihasilkan umumnya mengikuti
perpotongan

bidang

kekar.

Apabila

peledakan

diarahkan pada sudut lancip maka akan menghasilkan


pecahan yang melebihi batas (overbreak) dan retakanretakan

pada

menghasilkan

jenjang.
bongkah,

Peledakan
getaran

selanjutnya

tanah

(ground

vibration), ledakan udara (airblast), dan batuan terbang


(flying rock).
3) Jika dijumpai kemiringan kekar horizontal atau
miring, maka lubang ledak miring akan memberikan
keuntungan, karena energi peledakan berfungsi secara
efisien.

Jika

kemiringan

kekar

vertikal,

untuk

mendapatkan fragmentasi yang lebih seragam, dapat


dicapai dengan cara peledakan harus sejajar dengan
kemiringan kekar.

11

Sumber : Stig O Oloffson, 1997

Gambar 2.2
Arah Pengeboran Pada Bidang Perlapisan
Secara teoritis, bila lubang ledak arahnya berlawanan
dengan

arah

kemiringan

bidang

perlapisan,

maka

kemungkinan terjadinya backbreak akan sedikit, lantai


jenjang tidak rata, tetapi fragmentasi hasil peledakan akan
seragam dan arah lemparan batuan tidak terlalu jauh.
Sedang jika arah lubang ledak searah dengan arah
kemiringan

bidang

perlapisan,

maka

kemungkinan

terjadinya backbreak lebih besar, lantai jenjang rata,


fragmentasi batuan tidak seragam dan batuan akan
terlempar jauh serta kemungkinan terjadinya longsoran
akan lebih besar (Gambar 2.3).
b) Joint Plane Orientation (JPO)
Joint Plane Orientation atau orientasi bidang lemah
pada umumnya digambarkan dalam strike dan dip. Secara
geometris,

strike

dinyatakan

sebagai

garis

hasil

perpotongan antara bidang miring (perlapisan batuan,


bidang sesar) dengan bidang horizontal yang memiliki arah,
dinyatakan sebagai besaran sudut, diukur dari Utara atau
Selatan. Kemiringan adalah besaran sudut yang terbentuk
oleh bidang miring dengan horizontal.

12

strike
strike

a)

strike

strike

c)

b)

d)

Gambar 2.3
Ilustrasi Orientasi Bidang Lemah Terhadap Arah Peledakan
Massa

batuan

yang

mempunyai

bidang

diskontinu

horizontal (Gambar 2.3a ) dengan muka jenjang umumnya


mempunyai hasil peledakan yang paling baik dari pada massa batuan
dengan orientasi lain. Hal ini dikarenakan bidang bebas peledakan
yang sejajar dengan muka jenjang memberikan pantulan gelombang
kejut yang optimal sehingga energi yang terpakai untuk memecah
batuan menjadi lebih efisien. Dengan demikian dapat dihasilkan
muka jenjang yang relatif rata dari pada peledakan dalam suatu massa
batuan dengan orientasi bidang diskontinu lain.
Suatu massa batuan yang mempunyai arah kemiringan
bidang diskontinu menuju ke arah muka lereng (dip out face) akan
cenderung mengakibatkan ketidakstabilan pada lereng dan resiko
terjadinya back break juga besar (Gambar 2.3b). Ketidakstabilan
terjadi karena adanya kemiringan ke arah luar lereng, sehingga
dengan adanya gaya gravitasi atau faktor gesekan maka massa batuan
yang sudah terpisah-pisah oleh bidang diskontinuiti cenderung akan
bergerak ke bawah (sliding). Saat peledakan, celah pada bidang
diskontinu akan semakin terbuka karena adanya ekspansi gas-gas
peledakan akibatnya friksi pada bidang diskontinu yang menahan
gesekan massa batuan semakin berkurang sehingga memperbesar
potensi luncuran massa batuan ke bawah. Bidang diskontinu, ini
menerus sampai ke belakang baris terakhir peledakan, akibatnya gasgas peledakan yang berasal dari kolom peledakan yang berpotongan
dengan bidang diskontinu akan merambat keluar ke belakang baris

13

terakhir. Dengan demikian, potensi terbentuknya bongkahan di


belakang baris peledakan terakhir akan semakin besar.
Massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang
diskontinuiti menuju ke dalam tubuh massa batuan (dip into face)
mempunyai

kecenderungan

terbentuknya

bongkahan

yang

menggantung di bagian atas jenjang (overhang). Serta didapatkan


lantai jenjang yang tidak rata. Bentuk distribusi gelombang tekan
yang terbentuk pada peledakan dengan bottom primer umumnya
penghancuran batuan lebih banyak terjadi didaerah kolom isian
bagian bawah dan tengah. Karena bidang diskontinu model ini
mempunyai kestabilan alami maka bongkahan tadi menjadi sukar
lepas dan cenderung menggantung (overhang). Demikian juga di
bagian kaki jenjang, bidang diskontinu model ini relatif lebih sukar
terlempar keluar karena arah kemiringan bidang diskontinu menuju
ke dalam tubuh massa batuan (Gambar 2.3d).

2.1.3.4. Sifat-Sifat Fisik dan Detonasi Bahan Peledak


a) Densitas Bahan Peledak
Densitas atau bobot isi () merupakan sifat penting
dalam pemilihan bahan peledak. Densitas bahan peledak
berhubungan dengan massa bahan peledak yang mengisi
lubang ledak. Tekanan yang dilepaskan merupakan fungsi
dari bobot isi dan kecepatan detonasi bahan peledak.
Semakin tinggi bobot isi bahan peledak maka semakin
besar tekanan peledakan yang dihasilkan. Penentuan bobot
isi bahan peledak juga sangat penting terutama jika
digunakan pada lubang ledak dengan kondisi basah atau
berair. Jika lubang berair diisi dengan bahan peledak
dengan bobot isi lebih kecil dari bobot isi air, maka bahan
peledak tersebut akan larut dengan air. Pada saat pengisian
material stemming, bahan peledak yang larut dengan air
tersebut akan ikut terdesak keluar dari lubang ledak,

14

akibatnya jumlah bahan peledak yang akan meledak


berkurang dan akan mengurangi tekanan peledakan yang
dihasilkan lubang ledak. Scott (1996) mengklasifikasikan
bobot isi berbagai bahan peledak seperti terlihat pada tabel
2.7.
Tabel 2.7
Bobot isi Bahan Peledak
Bahan Peledak

Bobot Isi (ton/m3)

ANFO lepas

0,75 0,85

ANFO pneumatik

0,80 1,10

ANFO BI rendah

0.2 0,75

Emulsi

1,1 1,3

Campuran emulsi

1,0 1,35

Watergels & Slurries

1,0 1,3

b) Kepekaan
Kepekaan (sensitivity) adalah ukuran besarya impul
yang diperluka oleh bahan peledak untuk mulai bereaksi
dan menyebarkan reaksi peledakan ke seluruh kolom bahan
peledak. Macamnya adalah kepekaan terhadap benturan,
gesekan, panas, dan ledakan.
c) Ketahanan Terhadap Air
Ketahanan terhadap air merupakan ukuran kualitatif
bahan peledak terhadap kehadiran air tanpa merusak atau
mengubah/mengurangi kepekaannya (sensitivity). Bahan
peledak berbasis emulsi mempunyai daya tahan terhadap air
yang sangat bagus karena bahan peledak ini merupakan
ANFO yang sudah dilapisi dengan bahan kedap air seperti
lilin dan paraffin, sehingga umum dipakai pada daerah yang
memiliki curah hujan dan kelembapan yang cukup tinggi.
Semakin tinggi komposisi perbandingan emulsi dengan
ANFO, maka semakin baik pula ketahanan terhadap airnya.

15

Contoh bahan peledak tersebut adalah Fortis, mempunyai


komposisi Ammonium Nitrate, Fuel Oil, Chemical Gassing,
Paraffin Gas, Microballons, Emulsifier. Fortis mampu
bertahan dalam lubang ledak yang terdapat air selama 21
hari dengan syarat batuan tersebut unreaktif.
d) Kecepatan Detonasi
Kecepatan detonasi adalah kecepatan perambatan
gelombang detonasi sepanjang kolom bahan peldak,
dinyatakan dalam meter/detik atau feet/sec.
e) Tekanan Detonasi (Detonation Pressure)
Tekanan detonasi adalah tekanan yang berasal dari
penjalaran gelombang peledakan (wave detonation) di
dalam kolom bahan peledak. Energi kejut berasal dari
tekanan detonasi (detonation pressure) dalam suatu bahan
peledak yang berbentuk energi kinetik. Tekanan detonasi
berfungsi untuk membangkitkan regangan di dalam batuan.
Tekanan detonasi merupakan fungsi dari VOD dan .
Pd

= k x x VOD2 ...........................................(2.1)

Keterangan :
Pd

= tekanan detonasi (MPa)

VOD = kecepatan detonasi (m/s)


k

= konstanta (0,25)
= bobot isi (t/m3)
Reaksi bahan peledak akan menghasilkan gas gas

peledakan yang bersifat stabil. Energi gas selama proses


peledakan merupakan penyebab utama kehancuran batuan
dalam peledakan dengan pengurungan bahan peledak dalam
lubang bor. Gas gas tersebut akan menghasilkan tekanan
dalam lubang ledak yang terkurung. Tekanan ini disebut
tekanan peledakan yang menurut Bandhari (1997) besarnya
sekitar 45 % dari tekanan detonasi.

16

Tekanan gas (explosion/borehole pressure) adalah


tekanan pada dinding lubang bor yang disebabkan
pembesaran (expanding) gas setelah reaksi kimia sempurna.
Besarnya tekanan ini berhubungan dengan volume gas yang
disebabkan per unit berat bahan peledak dan besarnya
panas yang disebabkan selama reaksi. Semakin tinggi suhu
reaksi pada volume gas yang tetap atau semakin banyak gas
yang

dikeluarkan

dalam

suhu

yang

tetap

akan

meningkatkan tekanan gas. Nilai tekanan gas (explosion


pressure) ini sekitar setengah dari tekanan detonation
(detonation pressure).

Sumber : Scott, 1996

Gambar 2.4
Pelepasan Energi Selama Peledakan Batuan
Meskipun tekanan peledakan lebih kecil dari tekanan
detonasi, tetapi tekanan peledakan memberikan energi
paling besar dalam proses peledakan suatu material. Ini
dikarenakan periode gelombang tekanan peledakan lebih
besar dari periode gelombang tekanan detonasi. Scott
(1996) memberikan suatu model untuk menjelaskan
pelepasan energi selama proses peledakan batuan ( Gambar
2.4).

17

Zona di bawah kurva tekanan (P) dan volume (V)


merupakan tahapan pelepasan energi peledakan yang dibagi
menjadi beberapa fase berikut ini.
Fase detonasi (zona 1)
Fase perambatan gelombang kejut (zona 2 dan 3)
Fase ekspansi tekanan gas (zona 4 dan 5)
Fase pergerakan/perpindahan batuan (zona 6 dan 7)
Besarnya nilai tekanan gas dalam lubang ledak ini sesuai
persamaan berikut :
Pb = 0,00123 x x VOD2 ............................(2.2)
Keterangan :
Pb

= tekanan gas dalam lubang ledak (Pa)

= bobot isi (t/m3)

VOD = kecepatan detonasi (m/s)


f) Kekuatan
Kekuatan suatu bahan peledak yang berkaitan dengan
kandungan energi yang dimiliki oleh bahan peledak
tersebut, dan merupakan ukuran kemampuan bahan peledak
tersebut melakukan kerja. Biasanya dinyatakan dalam
persen. Ada beberapa macam kekeuatan bahan peldak atara
lain, weight strength (grade strength), volume strength
(bulk strength), dan relative weight strength (RWS).

2.1.3.5. Geometri Pengeboran


Presisi dalam pengeboran sangat penting bagi hasil
peledakan, presisi yang kurang dalam pengeboran akan membentuk
boulders, karena jarak burden dan spasi yang tidak teratur. Geometri
pengeboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman lubang ledak,
kemiringan lubang ledak, tinggi jenjang, pola pengeboran.
a) Diameter Lubang Ledak
Didalam menentukan diameter lubang ledak tergantung
dari beberapa faktor, seperti volume massa batuan yang

18

akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang


diinginkan, alat bor yang dipergunakan, dan kapasitas alat
muat yang akan dipergunakan untuk kegiatan pemuatan
material hasil peledakan.
Untuk diameter lubang ledak yang terlalu kecil, maka
energi yang dihasilkan akan berkurang, sehingga tidak
cukup besar untuk membongkar batuan yang akan
diledakkan, maka jarak antar lubang bor dan jarak ke
bidang bebas haruslah kecil juga, dengan maksud agar
energi ledakan cukup kuat untuk menghancurkan batuan.
Jika lubang ledak terlalu besar maka lubang ledak tidak
cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama
pada batuan yang banyak terdapat kekar dengan jarak
kerapatan tinggi.

Gambar 2.5
Pengaruh diameter lubang tembak terhadap tinggi stemming
Diameter lubang ledak yang kecil akan memberikan
patahan atau hancuran yang lebih baik pada bagian atap
jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming, dimana
lubang ledak yang besar maka panjang stemmingnya juga
akan semakin besar dikarenakan untuk menghindari getaran
(ground vibration) dan batuan terbang (flying rock),
sedangkan jika menggunakan lubang ledak yang kecil maka
panjang stemming dapat dikurangi (Gambar 2.5).

19

b) Arah Lubang Ledak


Arah pengeboran secara teoritis ada dua, yaitu arah
pengeboran tegak dan arah pengeboran miring (Gambar
2.6). Biasanya perusahaan tambang yang menggunakan alat
bor dengan jenis putar-tumbuk (rotary percussive) akan
menerapkan sistem pengeboran miring, tetapi pada
perusahaan tambang terbuka yang mempunyai daerah
operasi

penambangan

yang

besar

mempunyai

kecenderungan menggunakan sistem tegak.

Lubang Ledak Tegak

Lubang Ledak Miring

Gambar 2.6
Perbandingan Antara Lubang Ledak Tegak dan Lubang Ledak Miring
Pada peledakan yang menerapkan lubang ledak tegak,
maka gelombang tekan yang dipantulkan oleh bidang bebas
lebih sempit, sehingga kehilangan gelombang tekan akan
cukup besar pada lantai jenjang bagian bawah, hal ini dapat
menyebabkan timbulnya tonjolan (toe) pada lantai jenjang.
Sedangkan pada peledakan dengan lubang tembak miring
akan membentuk bidang bebas yang lebih luas, sehingga
akan

mempermudah

proses

pecahnya

batuan

dan

kehilangan gelombang tekan pada lantai jenjang menjadi

20

lebih kecil. Penerapan lubang ledak miring di PT.NNT


digunakan dalam peledakan presplit yaitu suatu teknik
peledakan

untuk

menjaga

kemantapan

lereng

agar

peledakan produksi dan peledakan trim dari energi ledak


yang di hasilkan tidak langsung di teruskan ke dinding, hal
ini

di

sebabkan

karena

peledakan

presplit

tidak

mengunakan stemming dan bahan peledak yang digunakan


adalah powersplit dengan inisiasi ledak menggunakan
detonating

cord.

Perbandingan

antara

kedua

arah

pengeboran baik keuntungan maupun kerugiannya dapat


dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8
Perbandingan antara Lubang Ledak Tegak dengan Lubang Ledak Miring
Lubang Ledak Tegak

Lubang Ledak Miring

Gelombang tekan yang

Gelombang tekan yang

dipantulkan oleh bidang bebas

dipantulkan oleh bidang bebas

lebih sempit

lebih luas

Timbulnya tonjolan (toe) pada

Lantai jenjang lebih rata

lantai jenjang
Fragmentasi yang dihasilkan

Menghasilkan fragmentasi yang

kurang seragam

seragam

Pembuatan dan penanganan

Alat bor kesulitan untuk meletakkan

lebih mudah

posisi kemiringan alat bor sehingga


lubang bor yang akan di bentuk
tidak seragam

c) Pola Pengeboran
Pola pengeboran merupakan suatu pola pada kegiatan
pengeboran dengan menempatkan lubang-lubang ledak
secara sistematis. Berdasarkan letak lubang bor, maka pola
pengeboran pada umumnya dibedakan menjadi dua macam,
(Gambar 2.7) yaitu :

21

1). Pola Pengeboran sejajar (paralel pattern), adalah


pola pengeboran yang penempatan lubang ledak pada
baris yang berurutan dan sejajar dengan burden. Pola
pengeboran sejajar (paralel pattern)terdiri dari dua
macam, yaitu :
a. Square pattern, pola ini besarnya jarak burden
dan spacing adalah sama.
b. Rectangular pattern, pada pola ini jarak spacing
dalam satu baris lebih besar daripada jarak burden.

Sumber : KJL XV, 2009

Gambar 2.7
Pola Pengeboran
2). Pola pengeboran selang-seling (staggered pattern),
adalah pola pengeboran yang penempatan lubang ledak
pada baris yang berurutan tidak saling sejajar. Pola
pengeboran selang-seling (staggered pattern) terdiri
dari dua macam, yaitu :
a. Square pattern, pola ini besarnya jarak burden
dan spacing adalah sama.
b. Rectangular pattern, pada pola ini jarak spacing
dalam satu baris lebih besar daripada jarak burden.

22

Dalam penerapan di lapangan, pola pengeboran sejajar


adalah pola yang umum, karena lebih mudah dalam
pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan
mutu fragmen yang diinginkan, sedangkan pada pola
pengeboran selang-seling lebih sulit dalam pengerjaannya
namun memberikan hasil fragmentasi yang lebih baik,
dikerenakan pada pola pengeboran selang-seling area yang
tidak terkena energi peledakan lebih kecil (Gambar 2.8 dan
Tabel 2.9).

Sumber : Koesnaryo, 2001

Gambar 2.8
Pengaruh Pola Pengeboran Terhadap Energi Peledakan
Tabel 2.9
Pengaruh Energi Peledakan
S/B ratio Square pattern (%)

Staggered pattern (%)

77

98,5

1,15

76

100

1,25

75

99,5

1,5

71

94,6

62

77

Sumber : Hustrulid, 1999

23

2.1.3.6. Geometri Peledakan


Dalam kegiatan peledakan yang termasuk geometri
peledakan adalah burden, spacing, stemming, subdrilling, kedalaman
lubang ledak, panjang kolom isian dan tinggi jenjang (Gambar 2.9).

Sumber : Koesnaryo, 2001

Gambar 2.9
Geometri Peledakan
a) Burden (B)
Burden merupakan jarak tegak lurus terpendek antara
muatan bahan peledak

dengan bidang bebas terdekat

kemana arah perpindahan material akan terjadi. Pada


penentuan jarak burden ada beberapa faktor yang harus
diperhitungkan seperti diameter lubang ledak, densitas
batuan, densitas bahan peledak yang dipakai dan kondisi
geologi pada daerah tersebut.
Semakin besar diameter lubang ledak yang digunakan
maka jarak burden akan semakin besar karena bahan
peledak yang digunakan semakin banyak tiap lubangnya
sehingga energi ledakan yang ditimbulkan semakin besar.
Sedangkan jika densitas batuan semakin besar maka
diperlukan jarak burden yang semakin kecil agar energi

24

ledakan dapat berkontraksi secara maksimal. Struktur


geologi daerah juga diperlukan sebagai faktor koreksi
terhadap burden.
Jarak burden yang baik adalah jarak dimana energi
ledakan bisa menekan batuan secara maksimal sehingga
pecahnya

batuan

sesuai

dengan

fragmentasi

yang

direncanakan dengan mengupayakan sekecil mungkin


terjadinya batuan terbang, bongkah, dan retaknya batuan
pada batas akhir jenjang (Gambar 2.10).

Gambar 2.10
Pengaruh Burden Terhadap Hasil Peledakan
Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk
menghitung besarnya burden berdasarkan parameterparameter yang berbeda pula. Berikut beberapa teori yang
memuat rumus-rumus

yang dapat digunakan untuk

menghitung besarnya burden (B) :

25

1). Teori Konya


Konya (1972), mengusulkan suatu persamaan untuk
menghitung besarnya burden (B) :

= 3,15 x De x

SGe 0.33
SGr

...................

(2.3)

Keterangan :
B

= Burden (feet)

De = Diameter of explosive (inches)


SGe = Spesific gravity of explosive
SGr = Spesific gravity of rock
Konya (1983), mengusulkan suatu persamaan yang
lain untuk menghitung burden dengan menggunakan
parameter yang sama dengan persamaan sebelumnya :

2SGe
SGr

+1,5 x De ............................. (2.4)

Keterangan :
B

= Burden (feet)

De = Diameter of explosive (inches)


SGe = Spesific gravity of explosive
SGr = Spesific gravity of rock
Untuk menghitung besarnya burden berdasarkan
pada energi relatif dari bahan peledak yang digunakan
dapat menggunakan persamaan berikut :

= 0,67 x De

Stv

....................

(2.5)

Keterangan :
B

= Burden (feet)

De = Diameter of explosive (inches)


Stv = Relative bulk strength of explosive
SGr = Spesific gravity of rock
Struktur geologi daerah juga diperlukan sebagai
faktor koreksi terhadap jarak burden (Tabel 2.10).
Sedangkan untuk peledakan dimana material hasil

26

peledakan sebelumnya belum seluruhnya dipindahkan


(buffer blasting) maka diperlukan faktor koreksi
terhadap burden sebesar Kr (Tabel 2.11) sehingga
besarnya burden terkoreksi dapat dihitung berdasarkan
persamaan :
Bc = Kd x Ks x Kr x B ..........................

(2.6)

Keterangan :
Bc = Burden terkoreksi (feet)
B

= Burden (feet)

Kd = Faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan


(bedding orientation)
Ks = Faktor koreksi terhadap struktur geologi
(geologi structur)
Kr = Faktor koreksi terhadap jumlah baris
(correction of number of row) dan buffer blast
Tabel 2.10
Correction For Bedding Orientation And Geologic Structure
Bedding Orientation

Kd

Bedding stepply dipping into cut

1.18

Bedding stepply dipping into face

0.95

Other case of deposition

1.00

Geologic Structure

Ks

Heavily cracked, frequent weak joint, weakly


cemented layers
Thin well-cemended layers with tight joints

1.30

Massive intack rock

0.95

1.10

Sumber : Konya, 1983

Tabel 2.11
Correction For Number Of Rows
Number of Rows

Kr

One or two row of hole

1.00

Third and subsequent rows or buffer blast

0.90

Sumber : Konya, 1983

27

2). R.L. Ash


R.L. Ash (1963), mengusulkan suatu persamaan
untuk menghitung burden :
B

Kb x D
12

...............................................

(2.7)

Keterangan :
B

= Burden (feet)

= Diameter of explosive (inches)

Kb = Konstanta Burden (Tabel 2.15)


Tabel 2.12
Konstanta Burden (kb)
Rock Group

Type Of Explosive

Soft

Medium

Hard

Low density (0,8-0,9 g/cm ) and low strength

30

25

20

Medium density (1,0-1,2 g/cm3) and medium

35

30

25

40

35

30

strength
High density (1,3-1,6 g/cm3) and high strength
Sumber : R.L.Ash, 1963

R.L. Ash (1967) mengusulkan suatu persamaan


penentuan burden yang didasarkan pada acuan yang
dibuat secara empirik, yaitu adanya batuan standart dan
bahan peledak standart. Batuan standart memiliki bobot
isi 160 lb/cuft, dan bahan peledak standart memiliki
berat jenis 1,2 dan kecepatan detonasi 12.000 fps.
Apabila batuan yang akan diledakkan sama dengan
batuan standart dan bahan peledak yang dipakai ialah
bahan peledak standart, maka digunakan burden ratio
(Kb) yaitu 30. Tetapi apabila batuan yang diledakkan
tidak sama dengan batuan standart dan bahan peledak
yang dipakai bukan bahan peledak standart, maka harga
Kb standart harus dikoreksi menggunakan faktor

28

penyesuaian (adjustment factor). Maka besarnya burden


dapat dihitung dengan persamaan :
B

Kb x D

ft atau B =

12

Kb x D
39,3

meter ..(2.8)

Faktor penyesuaian (adjustment factor)


Af1 =

Af2 =

dstd 1/3
d

............................................. (2.9)
1/3

SG x Ve2

........................... (2.10)

SGstd x Ve2 std

Keterangan :
Af1 = Adjusment

factor

untuk

batuan

yang

diledakkan
Af2 = Adjusment factor untuk bahan peledak yang
dipakai
d

= Bobot isi batuan yang diledakkan

SG = Berat jenis bahan peledak yang dipakai


Ve = VOD bahan peledak yang dipakai
dstd = Bobot isi batuan standart = 160 lb/cuft atau
2,00 ton/m3
SGstd= Berat jenis bahan peledak = 1,20
Vestd= VOD bahan peledak = 12.000 fps atau 4000
m/det
Jika Kbstandart = 30
Maka :
Kb terkoreksi = 30 x Af1 x Af2
Sehingga

untuk

menghitung

burden

digunakan

persamaan :
B

Kb

xD
39,3

meter ................... (2.11)

Selain itu, R.L. Ash juga mengajukan suatu persamaan


lain untuk menghitung burden :

29

= 0,036 x De x (SGe/SGr)1/3 ............ (2.12)

Keterangan :
B

= Burden (m)

= Diameter of explosive (m)

SGe

= Specific gravity of explosive

SGr

= Specific gravity of rock

Sedangkan untuk burden berdasarkan atas loading


density dari bahan peledak yang digunakan, R.L Ash
mengusulkan persamaan berikut :
B

= 1,087 de1/2

Keterangan :
B

= Burden (m)

de

= Loading density dari bahan peledak yang


digunakan (kg/m)

b) Spasi (S)
Spasi merupakan jarak antara lubang ledak dalam satu
baris yang sejajar dengan bidang bebas. Spasi yang lebih
kecil dari ketentuan akan menyebabkan ukuran batuan hasil
peledakan terlalu hancur. Tetapi jika spasi lebih besar dari
ketentuan akan banyak menyebabkan terjadi bongkah
(boulder) dan tonjolan diantara dua lubang ledak setelah
peledakan. Untuk menghitung besarnya spasi dapat
digunakan beberapa persamaan berikut :
1). Konya
Besarnya

spasi

dihitung

berdasarkan

pada

perbandingan antara tinggi jenjang dengan burden


(L/B) dan delay yang digunakan. Besarnya spasi dapat
dihitung berdasarkan pada persamaan berikut :
a). Untuk tinggi jenjang rendah (L/B<4)
1. Intantaneus initiation
S = (L + 2B)/8 .................................. (2.13)

30

2. Delayed initiation
S = (L + 7B)/8 ................................. (2.14)
b). Untuk tinggi jenjang tinggi (L/B>4)
1. Intantaneus initiation
S = 2B ................................................ (2.15)
2. Delayed initiation
S = 1,4B ............................................ (2.16)
Keterangan :
S

= Jarak spasi (feet)

= Tinggi jenjang (feet)

= Jarak burden (feet)

2). R.L Ash


S

= Ks. B ............................................ (2.17)

Keterangan :
S

= Spasi (m)

Ks = Spacing ratio (1,0 2,0 )


B

= Burden (m)

Berdasarkan cara urutan peledakannya, pedoman


penentuan spasi adalah sebagai berikut :
Peledakan serentak, S = 2B
Peledakan beruntun dengan delay interval lama
(second delay), S=B
Peledakan dengan millisecond delay, S antara 1B
hingga 2B
Jika terdapat kekar yang saling tidak tegak lurus,
S antara 1,2 - 1,8B
Peledakan dengan pola equilateral dan beruntun
tiap lubang ledak dalam baris yang sama, S =
1,15 B

31

c) Stemming (T)
Stemming merupakan panjang kolom antara permukaan
lubang ledak dengan permukaan bahan peledak yang
terdapat dalam lubang ledak yang diisi oleh material
penyumbat. Fungsi dari stemming tersebut adalah :
-

Meningkatkan confining pressure dari akumulasi


gas hasil peledakan.

Menyeimbangkan tekanan di daerah stemming

Besarnya stemming ditentukan dengan persamaan


berikut :
1). Konya
T

= 0,7B ................................................. (2.18)

Keterangan :
T

= Stemming (m)

= Burden (m)

2). R.L. Ash


T

= Kt. B............................................... (2.19)

Keterangan :
T

= Stemming (m)

= Burden (m)

Kt

= Stemming ratio (0,7 1,0)

d) Subdrilling (J)
Subdrillling merupakan

panjang lubang ledak yang

berada dibawah lantai jenjang. Subdrilling diperlukan agar


batuan dapat meledak secara keseluruhan dan mengurangi
timbulnya tonjolan pada lantai jenjang atau membuat lantai
jenjang relatif rata setelah peledakan.
Besarnya

subdrilling

persamaan :

32

dapat

ditentukan

dengan

1). Konya
J

= 0,3 B ............................................. (2.20)

Keterangan :
J

= Subdrilling (feet)

= Burden (feet)

2). R.L. Ash


J

= Kj. B ............................................. (2.21)

Keterangan :
J

= Subdrilling (m)

= Burden (m)

Kj

= Subdrilling ratio (0,2-0,4)

e) Kedalaman Lubang Ledak (H)


Kedalaman lubang ledak dapat ditentukan berdasarkan
produksi yang diinginkan dan tinggi jenjang yang ada.
Kedalaman lubang ledak tidak boleh lebih kecil dari ukuran
burden untuk menghindari terjadinya overbreak dan
cratering. Kedalaman lubang ledak dapat dicari dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :

L J
Sin

.................................................... (2.22)

Keterangan :
H

= Kedalaman lubang ledak (m)

= Tinggi jenjang (m)

= Subdrilling (m)

= Sudut kemiringan lubang ledak yang diinginkan


(o)

Atau dapat juga menggunakan persamaan R.L. Ash :


H

= Kh . B.................................................... (2.23)

Keterangan :
H

= Kedalaman lubang ledak (m)

33

Kh = Hole dept ratio (1,5 4)


B

= Burden (m)

f) Panjang Kolom Isian (PC)


Panjang kolom isian merupakan panjang kolom lubang
ledak yang akan diisi oleh bahan peledak. Panjang kolom
isian ini merupakan kedalaman lubang ledak dikurangi
panjang stemming yang digunakan.
PC = H-T .................................................... (2.24)
Keterangan :
PC = Panjang kolom isian (PC)
H = Kedalaman lubang ledak (m)
T = Stemming (m)

2.1.3.7. Priming (Penyalaan Awal)


Hal yang penting mengenai penyalaan awal adalah letak
primer dalam kolom bahan peledak. Umumnya primer pada atau
dekat level (bottom primer) lebih memiliki keuntungan diantaranya
adalah :
a. Memperbaiki fragmentasi
b. Mengurangi masalah toe, lantai lebih baik, muka yang
lebih bersih
c. Mengurangi suara, ledakan udara, batu terbang dan
overbreak pada permukaan.
d. Lebih sedikit terjadi cut off dan gagal ledak.

2.1.3.8. Waktu Tunda


Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan
antara baris yang berada di depan dengan baris yang berada di
belakangnya. Penerapan waktu tunda dalam peledakan dengan
menggunakan delay detonator.
Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda atau
peledakan secara beruntun adalah :

34

a. Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam


dan baik
b. Mengurangi timbulnya getaran
c. Menyediakan

bidang

bebas

yang

cukup

untuk

peledakan pada baris berikutnya.


d. Batuan tidak menumpuk terlalu tinggi
e. Mengatur arah lemparan
f. Mengurangi airblast
Pada peledakan yang menerapkan waktu tunda antar baris
terlalu pendek, maka batuan di baris depan akan menghalangi
pergeseran batuan pada baris berikutnya dan mengakibatkan pecahan
material pada baris selanjutnya akan tersembur ke atas dan
menumpuk di atas batuan dari baris sebelumnya. Tetapi bila waktu
tunda terlalu lama maka hasil peledakan akan terlempar jauh kedepan
serta kemungkinan akan terjadi batuan terbang, hal ini disebabkan
karena tidak adanya dinding batuan yang berfungsi sebagai penahan
lemparan batuan di depannya.
Pemakaian delay detonator dimaksudkan agar didapatkan
perbedaan waktu peledakan antara dua lubang ledak sehingga
diperoleh peledakan secara beruntun. Pengaturan waktu ini dapat
diterapkan untuk beruntun dalam satu baris atau beruntun antar baris.
2.1.3.9. Loading Density
Loading density (de) adalah besaran yang menyatakan
jumlah massa bahan peledak (kg) per satuan panjang kolom charge
(m) dan dinyatakan dalam kg/m. Loading density tiap bahan peledak
jika digunakan pada lubang ledak dengan diameter yang tetap akan
berbeda sesuai dengan bobot isi masingmasing bahan peledak.
Untuk menghitung jumlah isian yang digunakan untuk tiap lubang
ledak maka harus ditentukan dulu jumlah isian bahan peledak per
meter panjang kolom isian (loading density). Untuk menghitung
loading density dapat digunakan persamaan sebagai berikut :

35

R.L. Ash
de = 0,508 De2 (SG) ............................................... (2.25)
Keterangan :
de = loading density (kg/m)
De = diameter lubang ledak (inchi)
SG = Specific gravity bahan peledak yang digunakan
Besarnya konsentrasi isian harus berpedoman pada
geometri peledakan. Jumlah bahan peledak yang berlebihan akan
menyebabkan

terjadinya pelepasan

energi

yang

terlalu dini

(premature injection) sebab jumlah isian yang berlebih akan


menghasilkan energi yang berlebih pula sehingga stemming yang
seharusnya berfungsi untuk menahan energi peledakan tidak
berfungsi dengan baik karena dorongan dari bahan peledak yang
begitu kuat. Sebaliknya jumlah isian yang terlalu sedikit maka besar
kemungkinan energi yang dihasilkan akan terlalu kecil sehingga tidak
akan dapat memecahkan batuan secara maksimal.
2.1.3.10. Powder Factor
Powder factor atau specific charge merupakan hubungan
matematis antara jumlah bahan peledak yang digunakan terhadap
jumlah batuan yang diledakkan. Dalam menentukan powder factor
ada beberapa macam satuan yang dapat digunakan, yaitu :
a. Berat

bahan peledak

per

volume batuan

yang

diledakkan (kg/m3)
b. Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan
(kg/ton)
c. Volume batuan yang diledakkan per berat bahan
peledak (m3/kg)
d. Berat batuan yang diledakkan per berat bahan peledak
(ton/kg)
Besarnya powder factor yang digunakan tergantung pada
jumlah bahan peledak yang digunakan, kekuatan batuan, karakteristik

36

massa batuan yang akan diledakkan dan fragmentasi yang diinginkan.


Menurut Jimeno (1995) dan Orica (2010) nilai powder factor (PF)
berhubungan dengan tipe batuan yang akan diledakkan (Tabel 2.13
dan 2.14).
Tabel 2.13
Hubungan Nilai Powder Factor Dengan Tipe Batuan
Types of rock

Powder factor (kg/m3)

Massive high strength rock

0.60-1.5

Medium strength rock

0.30-0.60

Highly fissured rock, weathered or soft

0.10-0.30

Sumber : Jimeno, 1995

Tabel 2.14
Typical Powder Factor Used In Production Blast
Typical Powder Factors Used In Mass

Typical Powder Factors Used In Presplit

Blast

And Smooth Blasting


3

Rock Type

PF (kg/m )

Rock Type

PF (kg/m3)

Hard

0,8 1,0

Hard

0,6 0,9

Medium

0,6 0,8

Medium

0,4 0,5

Soft

0,4 0,6

Soft

0,2 0,3

Very soft

< 0,4

Sumber : Orica, 2010

Adapun persamaan untuk menghitung besarnya powder


factor adalah sebagai berikut:
PF =

PC de
B S L D

.................................................... (2.26)

Keterangan :
PF = powder factor (kg/ton)
B

= burden (m)

= spasi (m)

L = Tinggi jenjang
D = Berat jenis Batuan
PC = panjang muatan per lubang ledak (m)

37

de = loading density (kg/m)

2.1.3.11. Bidang Bebas (Free Face)


Perpindahan material yang diledakkan dapat terjadi dengan
mudah jika mempunyai bidang bebas yang cukup. Pergerakan massa
batuan adalah perlu untuk memungkinkan terjadinya propagasi
retakan. Dengan bertambahnya pergerakan ini akan membantu
propagasi retakan dan memperbaiki fragmentasi.

2.1.3.1. Pola Peledakan


Pola peledakan adalah urutan waktu peledakan dalam suatu
rangkaian lubang lubang ledak. Penentuan pola peledakan
bergantung pada arah pergerakan material yang diharapkan. Ada tiga
macam pola peledakan yaitu:
e. Peledakan serentak per baris dan beruntun terhadap
baris lain.
f. Peledakan beruntun dalam satu baris.
g. Peledakan beruntun pada masing masing lubang (
menggunakan nonel).

2.1.4. Perkiraan Fragmentasi Batuan Hasil Peledakan Berdasarkan


Model Kuz-Ram
Tingkat distribusi ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan yang
diinginkan dapat diperkirakan dengan memasukkan data variabel-variabel
peledakan yan digunakan. Variabel tersebut meliputi sifat fisik dan
karakteristik massa batuan, bahan peledak dan jumlah isian serta geometri
peledakan yang digunakan.
Dalam memperkirakan fragmentasi batuan hasil peledakan dapat
digunakan beberapa cara, salah satunya yang paling umum digunakan adalah
model Kuz-Ram. Model Kuz-Ram merupakan gabungan dari dua persamaan,
yaitu persamaan Kuznetsov untuk menentukan ukuran fragmentasi rata-rata,
dan persamaan Rossin-Rammler untuk menentukan prosentase material yang

38

tertampung di crusher. Kuznetsov (1973) telah melakukan penelitian


pengukuran fragmentasi dan menghasilkan suatu persamaan yang dikenal
dengan persamaan Kuznetsov, yaitu :

Vo
= A x
Q

0 .8

xQ 1 / 6

....................................................... (2.27)

Keterangan :
X

= ukuran fragmentasi rata-rata (cm)

= faktor batuan, 7 untuk batuan menengah


10 untuk batuan keras dan banyak kekar
13 untuk batuan sangat keras dan sedikit kekar

Vo

= volume batuan yang terbongkar (B x S x L dalam m3)

= jumlah bahan peledak TNT pada setiap lubang ledak (kg)

Jika :
Qe

= massa bahan peledak per lubang ledak (kg)

= Relative weight strength (RWS) bahan peledak

= massa TNT (kg)

RWS TNT

= 115

Maka:
Qe x e = Q x 115
Q

Qe x E
115

Kuznetsov (1983), kemudian memodifikasi persamaan tersebut


dengan menggunakan bahan peledak ANFO menjadi persamaan :
X

Vo
= A x
Qe

0 .8

xQe

1/ 6

E
x

115

19 / 30

.................................... (2.28)

Keterangan :
X

= ukuran fragmentasi rata-rata (cm)

= faktor batuan (rock factor) = RF, dihitung dengan


menggunakan Blastability Index.

Vo

= volume batuan yang terbongkar (B x S x L dalam m3).

Qe

= jumlah bahan peledak per lubang tembak, kg.

= kekuatan bahan peledak (RWS),

39

untuk ANFO = 100; TNT =115.


Modifikasi model Kuz-Ram memiliki beberapa kekurangan dalam
memprediksi distribusi ukuran material, oleh karena itu, mereka telah
mengusulkan suatu bentuk baru dari Kuz-Ram dengan beberapa koreksi di
mana nilai koreksi tersebut merupakan koreksi dari faktor batuan yang
berkisar antara 0,06 sampai 0,073 yang termasuk dalam prediksi material.
Persamaan berikut digunakan untuk memprediksi ukuran fragmen rata-rata :
Vo
X
= ((0,06 to 0,073) x BI) x
Qe
Keterangan :

0 .8

E
xQe1 / 6 x

115

19 / 30

... (2.29)

= ukuran fragmentasi rata-rata (cm)

BI

= Blastabillity Index Parameter

Vo

= volume batuan yang terbongkar (B x S x L dalam m3).

Qe

= jumlah bahan peledak per lubang tembak, kg.

= kekuatan bahan peledak (RWS),


untuk ANFO = 100; TNT =115.

Dalam model ini, Indeks kemampuledakan (BI) digunakan untuk


mengoreksi perhitungan Indeks Keseragaman Cunningham. Lily (1986)
memberikan suatu cara penentuan faktor batuan (rock factor-RF) yang relatif
lebih presisi dari pada penggolongan faktor batuan di atas. Nilai faktor
batuan didapatkan dari indeks kemampuledakan (blastabillity index-BI)
batuan yang bersangkutan.
Persamaan yang memberikan hubungan antara faktor batuan dengan
indeks kemampuledakan menurut Lilly (1986) adalah sebagai berikut :
RF

= 0,12 x BI ............................................................ (2.30)


Tabel 2.15
Blastabillity Index Parameter

Geomechanic Parameters

Rating

1. Rock Mass Description (RMD)


1.1. Powdery / Friable

10

1.2. Blocky

20

40

1.3. Totally massive

50

2. Joint Plane Spacing (JPS)


2.1. Close (< 0,1 m)

10

2.2. Intermediate (0,1 1 m)

20

2.3. Wide ( > 1 m)

50

3. Joint Plane Orientation (JPO)


3.1. Horizontal

10

3.2. Dip Out of Face

20

3.3. Strike Normal to Face

30

3.4. Dip into Face

40
SGI = 25 x SG 50 (ton/m3)

4. Specific Grafity Influence (SGI)

1 10

5. Hardness (H)
Sumber : Lombok Efendi R Panjaitan, 2004, ITB

Nilai dari indeks kemampuledakan ditentukan dari penjumlahan


bobot nilai lima parameter utama yang diberikan oleh Lilly dijumlahkan dari
yaitu rock mass description (RMD), joint plane spacing (JPS), joint plane
orientation (JPO), specific gravity influence (SGI), dan hardness (H).
Parameter batuan yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 2.14. Hubungan
antara kelima parameter tersebut dengan indeks kemampuledakan tertera
dalam persamaan berikut :
BI

= 0,5 x (RMD + JPS + JPO + SGI + H) ....................... (2.31)

Untuk menentukan fragmentasi batuan hasil peledakan digunakan


persamaan Roslin-Ramler, yaitu :
-(X/Xc)

Rx

= e

Xc

X
( 0 , 693 ) 1 / n

.......................................................................................

(2.32)

.............................................................. (2.33)

Keterangan:
Rx

= Prosentase material yang tertahan pada ayakan x (%)

= Ukuran ayakan (cm)

Xc

= Karakteristik Ukuran

= Indeks keseragaman

41

Besarnya nilai indeks keseragaman (n) didapatkan dengan persamaan


yang telah dikembangkan oleh Cunningham (2005), teori baru dari
keseragaman indeks yaitu sebagai berikut:

= ns

2-

30B

1 + mb

1-

Dt
B

lb 0,3
Hb

) C(n)
...... (2.34)

Keterangan:
B

= Burden (m)

= Diameter bahan peledak (mm)

Dt

= Standard deviasi dari keakuratan pengeboran (m)

mb

= Nisbah perbandingan spasi dengan burden

lb

= Panjang isian (m)

Hb

= Tinggi jenjang (m)

C(n) = correction factor ,square pattern = 1


staggered pattern = 1,1
ns

= faktor penggabungan scatter of dely time yang digunakan


dalam peledakan

Faktor ns dapat dinyatakan sebagai berikut :


ns = 0,206 + (1 -

Rs 0,8
4

........................................................... (2.35)

Dimana, Rs adalah scatter ratio, dapat dinyatakan sebagai berikut :


Rs

Tr
Tx

.............................................................................. (2.36)

Keterangan:
Tr

= Range of delay scatter (ms)

Tx

= Desired delay between holes (ms)

Nilai n mengidentifikasikan keseragaman dari distribusi ukuran


fragmentasi hasil peledakan. Umumnya nilai n berada pada selang 0,8
sampai 2,2 dimana semakin beasr nilai n maka ukuran fragmentasi
semakin seragam sedangkan nilai n yang rendah mengindikasikan kurang
seragamnya distribusi ukuran fragmentasi, yang berarti adanya perbedaan
yang besar antara fragmentasi berukuran halus (fines) dan besar (oversize).

42

Parameter peledakan yang bisa ditentukan untuk menghasilkan nilai n yang


tinggi adalah sebagai berikut :
a) Memperkecil nisbah antara burden dan diameter lubang ledak.
b) Meningkatkan keakuratan pengeboran.
c) Meningkatkan nisbah antara panjang isian dan tinggi jenjang.
d) Meningkatkan nisbah antara spasi dan burden.
e) Penggunaan pola pengeboran selang-seling (staggered pattern)
daripada pola sejajar (square pattern).

2.1.5. Analisa Fragmentasi Menggunakan Software Split Desktop


Software Split Desktop (Split Engineering) merupakan suatu program
komputer yang dapat digunakan untuk menganalisa distribusi ukuran
fragmentasi hasil peledakan yang ada di lapangan.
Software ini dirancang untuk menentukan distribusi ukuran material
(fragmentasi) berdasarkan atas analisa gambar foto digital (grayscale image)
dari fragmentasi yang ada di lapangan.
Software ini akan menghasilkan suatu output berupa informasi
distribusi fragmentasi yang ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel
presentase kumulatif dari fragmentasi material yang lolos pada ukuran
ayakan yang ditentukan.

2.1.6. Waktu Edar


Waktu edar (cycle time) merupakan waktu yang diperlukan oleh
alat untuk menghasilkan daur kerja. Semakin kecil waktu edar suatu
alat, maka produksinya semakin tinggi. Waktu edar alat muat (backhoe)
merupakan total waktu pada alat muat, yang dimulai dari pengisian
bucket sampai dengan menumpahkan muatan ke dalam alat angkut dan
kembali kosong. Adapun rumus untuk mencari waktu edar backhoe adalah
sebagai berikut.
CT = Tm1+Tm2+Tm3+Tm4 .................................................... (2.37)

43

Keterangan :
CT

= Waktu edar excavator (detik)

Tm1 =Waktu menggali material (detik)


Tm2 =Waktu berputar (swing) dengan bucket terisi muatan (detik)
Tm3 =Waktu menumpahkan muatan (detik)
Tm4 =Waktu berputar (swing) dengan bucket kosong (detik)
2.1.7. Produksi Backhoe
Qm

= ( 3600/CT ) x KB x FF x Fk... .......................(2.38)

Keterangan :
Qm

= Produksi backhoe (lcm/jam)

CT

= cycle time (detik)

KB

= Kapasitas bucket (m3)

FF

= Fill factor (%)

Fk

= Faktor koreksi (missal : efisiensi kerja)

2.2. METODE PENELITIAN


Penelitian dimulai dengan melakukan studi literatur terhadap masalah yang
telah ditentukan. Saat dilapangan, dilakukan observasi lapangan untuk mengetahui
kondisi lapangan sebenarnya dan persiapan untuk pengambilan data primer yang
dibutuhkan. Data primer akan diambil menggunakan metode sampling acak
sederhana, yaitu mengambil sample diberbagai tempat acak dan masih
representatif. Jumlah sample yang diambil diperkirakan sekitar 30 500 sample
berdasarkan rule of thumb dari Roscoe. Data primer kemudian akan ditunjang
dengan data sekunder. Lalu dilanjutkan dengan studi pustaka untuk dilakukan
analisis dari data dan teori yang ada. Data yang telah terkumpul akan diolah
dengan cara matematis dan software. Setelah, itu akan didapat korelasi antara
hasil pengolahan data yang telah dilakukan dengan permasalahan yang diteliti.
Adapun urutan pengerjaan penelitian sebagai berikut :
1.

Studi literatur, brosur-brosur, laporan penelitian terdahulu.

2.

Penelitian langsung di lapangan, meliputi :


a.

Orientasi lapangan

44

3.

b.

Penentuan titik-titik pengamatan

c.

Pengecekan terhadap permasalahan

Pengambilan data, antara lain :


a.

Pengambilan foto fragmentasi dilapangan.

b.

Pengukuran cycle time backhoe dalam memuat batuan hasil peledakan

c.

Pengambilan data sekunder berupa geometri peledakan, pola peledakan

dan karakterisasi massa batuan


4.

Akuisisi data meliputi pengelompokan data dan penjumlahan data.

5.

Pengolahan data
Berdasarkan data data yang diperoleh akan dilakukan pengolahan data
untuk menentukan ukuran fragmen yang terbentuk. Dengan memprediksi
sebelumnya menggunakan rumus Kuz-Ram dan melakukan perhitungan
dengan hasil peledakan menggunakan split desktop.

6.

Analisis pengolahan data


Menganalisa hasil peledakan yang terbentuk apabila dimuat oleh backhoe
akan mampu memuat sebanyak berapa volume, dan menyisakan berapa
volume boulder yang tidak mampu dimuat. Berdasarkan perhitungan teoritis
yang diperoleh dibandingkan dengan sisa pemuatan oleh back hoe akan
diperoleh perbandingan boulder aktual dengan teoritis. Berdasarkan
perbandingan ini, akan dilakukan analisa bagaimana mencapai produksi back
hoe yang meningkat (mampu memuat hasil peledakan secara optimal) dengan
memberikan rekomendasi perubahan sehingga ukuran fragmen akan lebih
baik.

7.

Kesimpulan
Pada akhirnya apakah diperoleh perbaikan ukuran frgamne atau tidak, apakah
diperlukan perbaikan maka rekomendasi yang diberikan perlunya perubahan
pada parameter apa yang dipelukan.

Untuk memperjelaskan urutan pengerjaan diatas dapat dilihat pada diagaram


alir proses penelitian dibawah ini.

45

Latar Belakang
Masalah

Perumusan
Masalah

Penentuan maksud dan tujuan


penelitian

Metode Acak
Sederhana
Data Sekunder :
a.Geometri peledakan
b.Pola peledakan
c.Karakterisasi massa
batuan

Data Primer :
a.Foto hasil peledakan
(fragmentasi)
b.Cycle time backhoe

Pengolahan data untuk menentukan ukuran


fragmen secara teoritis dan aktual

Analisa mengenai ukuran fragmenyang


baik untuk meningkatkan produksi
backhoe
Belum memenuhi

Telah memenuhi

Analisa mengenai ukuran fragmen yang


baik untuk meningkatkan produksi
backhoe

Kesimpulan

Memberikan rekomendasi terhadap parameterparameter yang dapat mengasilkan fragmentasi


yang baik untuk dapat meningkatkan efisiensi
kerja backhoe(cycle time lebih cepat)

Gambar 2.11
Diagram Alir Proses Penelitian

46

BAB III
RENCANA PENYELESAIAN MASALAH

3.1. PENGOLAHAN DATA


Seluruh data primer maupun sekunder yang diperoleh dilapangan,
selanjutnya akan dioleh menggunakan rumus teoritis maupun software. Adapun
pengolahan data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1). Penentuan fragmentasi hasil peledakan mengunakan software split
desktop.
2). Perhitungan prediksi hasil fragmnetasi menggunakan model Kuz-Ram dan
hasil fragmentasi menggunakan rumus Rosin-Ramler.
3). Perhitungan cycle time dan produksi backhoe dalam pemuatan hasil
peledakan.
4). Perhitungan presentase fragmen yang tidak dapat diangkut oleh back hoe.
5). Perhitungan geometri peledakan dan penentuan pola peledakan yang
direkomendasikan.

3.2. PEMBAHASAN MASALAH


Pembahasan masalah yang akan dilakukan adalah apakah geometri
peledakan, dan pola peledakan yang digunakan saat ini telah menghasilkan
fragmentasi yang baik sehingga backhoe bekerja secara optimal. Apabila belum
memenuhi maka parameter apa yang perlu direkomendasikan untuk dirubah agar
backhoe dapat bekerja secara efisien.
3.3. HASIL YANG DIHARAPKAN
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan diharapkan akan diperoleh data
keluaran berupa evaluasi apakah geometri peledakan dan pola peledakan yang
digunakan saat ini telah menghasilkan fragmnetasi yang baik sehingga backhoe
bekerja efisien. Hasil evaluasi ini akan mementukan apakah perlu rekomendasi

47

untuk perubahan geometri dan pola peledakan atau tidak. Adapun data keluaran
yang dapat membantu evaluasi tersebut adalah grafik hubungan antara
fragmentasi hasil peledakan dengan cycle time backhoe.

48

BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN

Maret
No

2
3
4
5

Mei

Waktu Kegiatan
1

April

Studi Literatur
Pengamatan
Pengambilan data
Pengolahan data
Penyusunan draft

Direncanakan pengambilan data dilapangan akan dilakukan pada tanggal 25


maret 2014 30 April 2014. Pengolahan data dan penyusunan draft dapat
dilakukan bersamaan dengan pengambilan data dan direncanakan telah selesai
pada minggu keempat pada buan April. Dalam pengolahan dan penyusunan draft
dilakukan selama 2 minggu di bulan April saat berada dilapangan, dan 2 minggu
selanjutnya pada bulan Mei direncanakan akan dilakukan di kampus.

49

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1.

Berta, Georgio, 1990, Explosives An Engineering Tool, Milan, Italia.

2.

Djordjevic N, Cocker A, Scott A, 1980, Open Pit Blast Design, Julius


Kruttschnitt Mineral Research Centre, Australia.

3.

Galih Aryantoko, 2013, Kajian Fragmentasi Hasil Peledakan Di Tambang


Bijih Tembaga Batu Hijau, PT. Newmont Nusa Tenggara, Kabupaten
Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, UPN "Veteran"
Yogyakarta.

4.

Hustrulid W.A.,1999, Blasting Principles For Open Pit Mining, A. A.


Balkema, Rotterdam.

5.

I Gusti Made Sumardika, 2003, Studi Fragmentasi Hasil Peledakan Dengan


Membandingkan Hasil Analisa Software Split Desktop Dengan Model
Perkiraan Fragmentasi Kuz-Ram Di Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa
Tenggara, UPN "Veteran" Yogyakarta.

6.

Konya, Calvin, J, 1990, Blast Design, Continental Development, Montville,


Ohio.

7.

O, Olofsson, Stig, 1997, Applied Exsplosives Technology For Construction


And Mining, Sweden.

8.

_____, 2001, Split Desktop Software Manual, Split Engineering LLC,


Arizona.

50

Anda mungkin juga menyukai