Anda di halaman 1dari 4

CERITA RAKYAT

RAWA PENING
Cerita rakyat Rawa Paning terjadi pada tahun Delapan Saka atau Delapan
Jawa. Pada saat itu ada seorang warga yang sedang mempunyai gawe atau
hajatan. Mereka kekurangan alat dapur, khususnya pisau. Kemudian seorang gadis
cantik bernama Dewi Ariwulan meminjam pisau pada seorang resi yang bernama
Ki Ajar Sarwokartolo. Dia adalah resi yang mempunyai padepokan di Desa Aran.
Nama padepokan tersebut padepokan Ngasem. Ilmu utama yang diajarkan di
padepokan itu adalah manembah pada Sang Akaryo Jagad atau pada Yang Maha
Kuasa.
Setelah Dewi Ariwulan sampai di padepokan, ia segera menemui Ki Ajar.
Ki Ajar meminjamkan pisaunya. Ki Ajar berpesan untuk berhati-hati
menggunakan pisau itu, karena pisau itu belum pernah dipakai. Selain itu ia juga
berpesan jangan sampai memangku pisau. Dewi Ariwulan capek dan lelah, dan
secara tidak sengaja memangku pisau. Pisau itu lenyap.
Kemudian Dewi Ariwulan segera menemui Ki Ajar dan mengatakan apa
yang telah terjadi. Ia siap menerima hukuman untuk menebus kesalahannya. Ki
Ajar tidak marah padanya. Beliau mengatakan bahwa hal itu merupakan kehendak
Yang Kuasa, yang terjadi biarlah terjadi. Manusia hanyalah menjalankan apa yang
ditakdirkan oleh Tuhan. Ia juga mengatakan kalau Dewi Ariwulan tidak perlu
khawatir. Pisau itu tidak hilang tetapi masuk ke dalam perut Dewi Ariwulan dan ia
akan hamil. Seketika Dewi Ariwulan kaget dan pingsan. Atas bantuan Ki Ajar,
Dewi Ariwulan siuman.
Ki Ajar kembali ke gunung untuk bertapa, sementara itu Dewi Ariwulan
kembali ke Desa Aran. Ki Ajar berpesan kalau nanti anak yang dikandung Dewi
Ariwulan lahir dan menanyakan siapa bapaknya, maka ia harus menjawab bahwa
bapaknya sedang bertapa di gunung Sleker. Ki Ajar memberikan dua buah pusaka
yang berupa Sumping dan Genta (Klintingan). Di Desa Aran, Dewi Ariwulan
diperlakukan tidak baik oleh warga. Semua orang mencemooh dan menghinanya.
Dewi Ariwulan tidak tahan dengan perlakuan warga, lalu memutuskan pergi dan
menuju ke hutan rimba. Di hutan rimba ia bertemu dengan seorang kakek pencari
kayu, karena kasihan ia dan teman-temannya membuatkan Dewi Ariwulan sebuah
gubuk. Meskipun berada di hutan, namun Dewi Ariwulan tetap bertanggung
jawab dengan bayi yang di dalam kandungannya. Ia dengan sabar merawat

kandungannya. Kalau lapar ia segera mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa
dimakan di hutan.
Waktu melahirkan pun tiba. Saat itu terjadilah mendung lelimengan
(gelap gulita) dan angin besar. Anak yang dilahirkan Dewi Ariwulan tidak berupa
anak manusia, namun berwujud bayi ular. Jabang bayi tersebut lahir seukuran bayi
manusia, baik berat maupun ukurannya. Namun karena getaran angin, badan
jabang bayi tersebut berubah menjadi besar. Ia bisa bicara seperti manusia (tata
jalma). Ia manembah pada ibunya dengan menundukkan kepala sebagai tanda
hormat dan pengabdian. Setelah agak dewasa dia menanyakan siapa bapaknya.
Dewi Ariwulan mengatakan bahwa bapak dari anaknya adalah seorang resi yang
bernama Ki Ajar Sarwokartolo, yang sekarang sedang bertapa di gunung Sleker.
Sebelum berangkat Dewi Ariwulan memberikan dua buah pusaka yang berupa
sumping dan genta sebagai tanda bukti. Anak tersebut mencari bapaknya karena
ingin mengabdi.
Setelah memohon doa restu pada sang ibu, ia berangkat. Ia lewat di parit,
tebing dan lain sebagainya. Ia napak pada sebuah batu, kemudian batu tersebut
dinamai batu baruklinting atau watu sisik. Selama perjalanan ia juga lewat di atas
tanah dan terbentuklah kali yang sangat panjang, kemudian dinamai Kali Panjang.
Di masuk ke dalam tanah dan terbentuklah tuk (mata air). Saat keluar dari tanah
yang muncul adalah kepalanya (sirah dalam bahasa Jawa), tempat ini dinamai
Desa Sirah. Kemudian, dia lewat darat dia mengatakan keparat, kemudian
menjadi Kali Parat. Ke arah kanan ada gili besar yang diterjang, akhirnya menjadi
Desa Gilang. Kemudian lewat kali Gung (kali Ageng, kali Gede) ekornya
berbunyi klinting-klinting, maka terbentuk Kali Petit. Masyarakat mengetahui
kalao ada naga yang menggunakan klintingan dan berbunyi kalau ia berjalan maka
mereka menyebut ular tersebut dengan Baru Klinting. Baru berasal dari berasal
dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana. Brahmana adalah seorang resi
yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Baru Klinting putus asa karena
tidak berhasil menemukan bapaknya. Dari kejauhan ibunya mengetahui hal itu,
kemudian sang ibu menyanyikan lagu dandang gulo sebagai penyemangat.
Akhirnya anaknya sadar dan bangkit lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia sampai
pada sebuah gunung yang ada batunya, bentuknya seperti lawang, maka daerah
tersebut diberi nama Watu Lawang. Dia naik lagi ke puncak. Di sana dia bertemu
dengan seorang kakek yang sedang membakar ketela. Di depan kakek tersebut ada
sebuah pohon ketela. Dia menanyakan pada kakek apa nama gunung itu. Kakek

menjawab bahwa nama gunung ini adalah gunung Telomoyo. Dia juga
menanyakan apakah kakek Ismoyo juga mengetahui tempat Ki Ajar Sarwokartolo.
Kakek mengatakan bahwa gunung ini bukan tempat Ki Ajar bertapa. Baruklinting
harus istirahat dulu. Dia akan diwejang ilmu oleh kakek Ismoyo. Setelah sampai
berbulan-bulan, Baruklinting diijinkan untuk meneruskan perjalanannya.
Baruklinting sampai di gunung Sleker, di sana ia bertemu dengan
ayahnya. Kemudian menyerahkan dua benda pusaka sebagai bukti kalau ia adalah
anak dari Ki Ajar. Namun, Ki Hajar tidak mau mengakuinya sebagai anak. Ki Ajar
akan mengakui Baruklinting sebagai anak kalau ia mampu melingkari gunung
Sleker. Akhirnya Baruklinting bisa melingkari gunung tersebut, namun kurang
saju jengkal. Dia menjulurkan lidahnya, namun Ki Ajar memotong lidah
Baruklinting. Baruklinting merasa kesakitan, tubuhnya terjungkal dan terjatuh di
hutan. Lalu hutan tersebut dinamakan gunung Semampir. Tempat di mana Ki Ajar
memberi dhawuh (wejangan) pada Baruklinting, maka tempat tersebut dinamakan
Alas Dawuhan. Kemudian Ki Hajar menyuruh Baruklinting bertapa di gunung
Gajah Mungkur selama satu minggu. Selama bertapa ibunya juga mengikuti dari
kejahuan. Ibunya menemukan sebuah sendang dan berendam di sendang tersebut.
Suatu hari ada sebuah pademangan yang gemah ripah loh jinawi. Setiap
tahun mereka mengadakan tradisi budaya merti desa atau sedekah desa. Kegiatan
ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan pada desa
tersebut. Para pemuda disuruh mencari hewan buruan di hutan. Namun, hari itu
mereka tidak mendapatkan satu pun ekor hewan buruan. Kemudian untuk melepas
lelah, mereka beristirahat di bawah pohon besar. Pada zaman dahulu kebiasan
masyarakat adalah nginang dengan buah jambe. Orang tersebut tidak menemukan
landasan untuk menumbuk, dia menggunakan tanah sebagai landasannya.
Beberapa saat kemudian mereka melihat darah yang keluar dari dalam tanah.
Ternyata setelah digali, tanah tersebut merupakan daging ular yang sangat besar.
Lalu mereka memotong-motong daging ular raksasa tersebut dan membawanya ke
desa. Daging yang dibawa para pemuda tersebut adalah tubuh Baruklinting. Ia
sedang bertapa di hutan tersebut. Kemudian Baruklinting menjelma menjadi
seorang anak yang lusuh dan kudisan. Dia pergi ke desa yang sedang mengadakan
sedekah desa tersebut untuk meminta makanan. Namun, tak ada satu pun
penduduk yang memberinya makanan. Lalu ia pergi ke rumah seorang janda tua.
Di sana ia diberi makan, meskipun ala kadarnya. Setelah makan,
Baruklinting berpamitan pada wanita itu untuk melihat pertunjukan wayang di

balai desa. Di sana ia disia-sia lagi oleh penduduk. Kemudian ia mengadakan


sayembara dengan menancapkan lidi di depan pendopo. Ia mengatakan siapa saja
yang bisa mencabut lidi tersbut akan mendapat hadiah. Namun, kalau tidak ada
yang bisa mencabutnya maka malapetaka akan datang karena penduduk bersikap
sombong dan tidak mempunyai sifat belas kasihan. Lalu tidak ada seorang
penduduk pun yang bisa mencabut lidi. Baruklinting kemudian mencabutnya
sendiri. Pada saat lidi tersebut dicabut, bumi bergetar, langit menjadi gelap. Dari
tempat dicabutnya lidi tersebut keluarlah air yang sangat besar dan menggenangi
desa tersebut. Mbok Randa tersebut selamat karena sebelumnya Baruklinting
telah berpesan kalau di sebelah utara ada luapan air, Mbok Randa diminta masuk
ke dalam lesung. Mbok Randa pada saat mengayuh lesung terdengar bunyi tung
tang, kemudian menjadi desa Tuntang. Mbak Randa ke barat dan menetap di
daerah pegunungan. Dia menjadi orang pertama yang tinggal di wilayah itu, lalu
orang-orang menyebutnya sebagai danyang dan memanggilnya dengan Nyai
Lembah. Pada saat di perjalanan dia melewati sebuah rawa yang sangat luas
(amba) kemudian tempat tersebut dinamakan Ambarawa. Di desa yang diluapi air
tersebut, ada juga orang yang berhasil menyelamatkan diri (mentas), kemudian
desa itu dinamakan desa Mentas. Cabutan lidi yang dibuang oleh Baruklinting
menjadi gunung Kendali Sada, serpihannya menjadi gumuk Sukorino, Sukorini
(bukit cinta) yang sekarang dinamakan gumuk Brawijaya, di sebelah barat
menjadi desa Kebondowo, disebut demikian karena melewati kebun yang panjang
(dowo). Asal kata Rawa Pening merupakan pemberian Jaka Wening (Baruklinting)
yang berasal dari bahasa Jawa sok sopo wae sing bisa kraga nyawa lahir batin,
isoh ngepenke lahane jagat, entok kawelasih kang Maha wening yang artinya
barang siapa yang bisa menjaga lahir batin, menjaga jagat raya, dia akan
mendapatkan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa.

Anda mungkin juga menyukai