Anda di halaman 1dari 69

Puisi yang paling mudah dihapal, barangkali puisi karya Sitor Situmorang yang berjudul

"Malam Lebaran". Karena hanya terdiri satu baris; "Bulan di Atas Kuburan."
Ya, cuma begitu saja.
Puisi Malam Lebaran merupakan salah satu karya penyair Indonesia kenamaan, Sitor
Situmorang tersebut, memang sangat singkat.
Apa maknanya? Di sini puisi mulai bekerja. Saya kutipkan sebuah tulisan dari Putri
Damayanti, sebagiannya berikut ini: Makna puisi tersebut banyak diperdebatkan. Mungkin
kita akan terjebak dan terlalu mudah dalam menyikapi puisi tersebut dengan mengartikan
makna puisi secara sempit, dengan alasan terlalu pendeknya puisi tersebut. Tetapi apabila
dikaitkan dengan logika umum, apa yang diungkapkan dalam puisi tersebut, adalah
kemustahilan dan tidak masuk akal. Pada malam lebaran, yaitu tanggal 1 Syawal, tidak
mungkin bulan terlihat, apalagi di atas kuburan. Namun, kita tidak bisa hanya memaknai
puisi tersebut secara harfiah. Ada makna yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang
hendak disampaikan sang penyair melalui puisinya.
Dengan alasan itu, beberapa orang ada yang menganggap Sitor tidak memahami mengenai
kenampakan bulan sesuai penanggalan Islam. Meskipun puisi adalah dunia imajinasi, tetapi
logika dalam puisi apakah mesti diabaikan? Kenyataannya, bulan tidak muncul pada malam
lebaran seperti apa yang disampaikan dalam puisi tersebut. Jelas bahwa puisi tersebut tidak
sesuai dengan logika. Jadi?
Baiklah, kita mulai dari latar belakang dibuatnya puisi ini. Konon, suatu malam Sitor hendak
berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer, dan tersesat. Pada saat tersesat itu, Sitor
melihat tembok putih. Ia penasaran. Apa yang ada di balik tembok itu, dan setelah dilongok,
ternyata kuburan.
Dari peristiwa ini didapatkan Malam Lebaran dan kuburan.
Sitor memiliki kepiawaian dalam membangun perumpamaan. Terpikir olehnya mengenai
sesuatu yang sederhana ini pasti dapat dijadikan makna lain yang menakjubkan. Maka, untuk
memberi kesan yang lebih dalam, Sitor menemukan perumpamaan lain yang cocok untuk
puisinya, yaitu kata bulan. Maka terciptalah sebuah puisi pendek Bulan di atas kuburan.
Puisi singkat namun kaya imajinasi dan makna. Lebaran adalah hari kemenangan bagi umat
Islam. Namun, ada pula beberapa orang yang merasa lebaran adalah hari kekalahan, karena
tidak berhasil meningkatkan kualitas iman dan kepribadiannya menjadi lebih baik. Dan juga
bagi orangtua yang merasakan kekalahan karena tidak dapat membelikan baju bagi anaknya.
Hari kemenangan ini telah menjadi beban. Pengeluaran besar-besaran terjadi. Apalagi ketika
hari kemenangan tiba justru menjadikan masyarakat panik karena kenaikan harga-harga
sembako, akibat kenaikan harga BBM, dan penambahan saldo utang.
Lebaran dimaknai banyak orang sebagai hari penuh kebahagiaan setelah melewati satu bulan
berpuasa. Banyak orang terlena dengan kemeriahan yang ramai menyambut lebaran. Orangorang dari berbagai kalangan baik kaya maupun miskin, tua maupun muda, dan orang-orang
yang bukan Islam pun hampir semua merayakan hari yang besar ini.
Kata bulan yang dipilih Sitor, sangat tepat untuk menggambarkan kebahagiaan dan
kemeriahan hari lebaran. Namun, karena begitu terlenanya dengan kemeriahan dan
kebahagiaan ramadhan, orang-orang lupa penderitaan hidup lain.
Tidak sedikit orang-orang di dekat kita yang terpaksa berpuasa dan kelaparan pada saat hari
kemenangan itu. Banyak pula yang bersedih karena tidak dapat mudik dan berkumpul
bersama, merasakan suasana kebahagiaan hari lebaran di kampung halamannya.
Mereka diharuskan menerima keadaan dan meniadakan momentum lebaran dalam hidupnya.
Mereka hanya bisa mendengarkan suara takbir yang menggema dari berbagai tempat. Situasi
ini tepat diwakilkan dengan kata kuburan.
Maka sepantasnya, lebaran juga perlu dijadikan kesempatan untuk menjalin silaturahmi
dengan sesama. Kita dapat saling berbagi kepada saudara-saudara kita yang kurang

beruntung. Seperti yang diajarkan dalam agama, di balik kekayaan dan penghasilan yang kita
miliki ada sebagian dari harta tersebut yang menjadi hak orang-orang yang kurang mampu.
Seperti dengan membayar zakat, lebaran merupakan kesempatan kita untuk memenuhi hak
kaum kurang mampu tersebut.
Menjelang hari raya besar itu, orang-orang cenderung lebih mengurusi kebendaan. Pusatpusat perbelanjaan menjadi ramai dan sesak. Tidak lagi merenungi apa yang dimaknai dengan
adanya hari lebaran. Orang-orang justru pergi ke sana ke mari dengan baju baru serta
perhiasan mewah yang mungkin akan mengundang niat buruk dari orang lain yang
melihatnya. di samping itu, puisi tersebut dapat juga diartikan berbeda.
Secara singkat, malam dan kuburan dianggap memiliki arti yang sama yaitu gelap, hitam dan
kotor. Sedangkan bulan dan lebaran berarti terang, putih dan bersih. Maka dapat dimaknai:
terang diatas gelap.
Meskipun puisi Malam Lebaran terlihat pendek, namun ternyata puisi tersebut memiliki
pesan yang bermakna bagi kita. Di balik kemeriahan malam lebaran banyak sekali yang
kurang kita perhatikan. Kita tentu saja merasa bahagia dengan perayaan hari Idul Fitri. Kita
berusaha menjadikan hari itu spesial. Tetapi kita tidak boleh terlalu berlebihan dalam
melakukan pengeluaran.
Perhatikan diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, kemudian pantas-pantaskanlah.
Perhatikan pula orang-orang di sekitar kita. Kita perlu berbagi kepada orang-orang yang
membutuhkan bantuan kita, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Dengan begitu,
kebahagiaan lebaran bukan hanya dinikmati sebagian orang saja, tetapi semua orang
berkesempatan merayakan hari yang besar itu.Demikian kutipan tulisan mengenai parafrase
puisi Sitor.
Tapi, sesungguh-sungguhnya, bulan di atas kuburan, memberi impresi yang sunyi dan
sekaligus dramatis. Sebagaimana sekiranya kita bisa berjarak, melihat bagaimana orangorang konon merayakan kemenangannya, setelah berjuang selama sebulan. Menang atas apa,
dan siapa yang menentukan menang atau kalah, jika Allah sendiri mengatakan bahwa ibadah
puasa adalah satu-satunya ibadah yang hanya Allah sendiri yang akan menghitungnya?
Ya, bulan di atas kuburan. Beserta takbir yang riuh rendah, namun sunyi dan mati. Selamat
Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Diposkan oleh SUNARDIAN WIRODONO di 22.08.00
Label: Kutipan
Reaksi:
7 komentar:

1.
AnonimSelasa, Agustus 19, 2014
Judul yang tepat Malam Lebaran itu maknanya bukan menjelang lebaran tetapi
Lebaran di waktu malam, Mungkin sudah hari ke lima belas maka bulan sudah bulat
bunder purnama.
Balas
Balasan

1.
AnonimSabtu, Januari 17, 2015
lebaran kan tanggal 1, bung, bukan 15.
Balas
2.
YOU AND ME ( HIDE )Senin, Januari 12, 2015
saya sendiri mencoba untuk memecahkan puisi itu tapi tidak tau benar atau tidak dan
setelah membaca posthingan ini, ternyata jawaban saya hampir mendekati
Balas

3.
KelanaRabu, April 01, 2015
Saya rasa sitor situmorang emang cuma mengekspresikan imajinasinya aja. jadi bukan
kenyataan secara kasat mata atau kenyataan yang sesungguhnya, tapi merupakan hasil
pengembangan dari itu semua.
Balas

4.
AMANDARabu, April 01, 2015
Pusing aku dibuatnya. pusing pala berbi.. bulan diatas kuburan :(
Balas
5.
Rusdi UmarMinggu, Agustus 02, 2015
Lebaran tidak harus Idul Fitri kan? Bisa juga Idul Adha, dan sangat mungkin bulan
nampak di atas kuburan. Ingat,... 'rembulan' bukan 'purnama.'
Balas

6.
Riza RahmanRabu, September 23, 2015
Pernah saya mencoba mengartikan ini saat ditanya guru Bahasa Indonesia... Karena
bahasa seni yg universal menurut saya sihbsah2 saja sebuah individu mencoba
menguraikan sesuai imajinasinya. Hehehehe... Saat itu saya menjawabnya adalah
perbaiki iman dan kualitas diri dan berbahagialah(lebaran dan bulan), jangan sampai
menyesal tiada guna, saat meninggal sudah tak mampu perbaiki diri kembali
(kuburan)
Balas
Muat yang lain...
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

JOKOWI UNDERCOVER (Sebuah Novel)

Sebuah Cerita Politik (Memorabilia Pilpres 2014) Siap Beredar Oktober 2014

BEREDAR NOVEL POLITIK TERBARU


Untuk mendapatkan buku "Jokowi Undercover" (ukuran 12x19 Cm, xvi + 940 hal), harga Rp
150.000,00 (sudah termasuk ongkir).

Beredar Mulai Oktober 2014


PEMESANAN & INFORMASI LEBIH LANJUT:
Yayasan Wiwara, Yogyakarta.
Telepon: 0274.865682, 0813 9397 9400, 0856 4332 0856 (wa)
sunardianwirodono@yahoo.com
yayasanwiwara@yogyakarta,
atau lihat di akun facebook [Sunardian Wirodono] twitter @Sunardian

Arsip Blog

2015 (52)

2014 (121)

2013 (142)
o

Desember (34)

Oktober (19)

September (2)

Agustus (29)

Mengubur Capres Hidup-hidup dengan Jebakan Batman

Capres dan Caprek, Etika Politik Politikus Kita

Jokowi dan Jakarta di Masa Depan

Serat Centhini dalam Kemasan Two in One

Konvensi Presiden dan Cara Berkelit Parpol Korup

Bung Karno, Indonesia Menaklukkan Amerika Serikat

Melihat Huruf Membaca Rubiandini

Dongeng Tentang Pasukan Bambu Runcing

Udin, Wartawan yang Tewas Tanpa Ada Pembunuhnya?

Bangsa Indonesia, Bangsa Tempe, Bangsa Belum Ini, ...

Bung Karno, Dongeng Menjelang 17 Agustus

Negara Asal dari Bangsa Asal, Darimana Asalnya?

Mbok Jah Cerpen Umar Kayam

Malam Lebaran, Bulan di Atas Kuburan

Cobalah Idul Fitri Setiap Hari

Centhini, dan "Sex, Lies, and Videotape"

Imam Syafi'ie dan Tujuh Kebijaksanaan Hidup

Serat Centhini di Dalam Lirik Dream Theater, Sebua...

Lailatul Qadar: Apakah Engkau Mendapatkannya?

Memaafkan Sebagai Kekuatan

Presiden Indonesia 2014 Siapakah Gerangan? Tidak P...

Apakah Sebenarnya Kesalahan Kita Sebagai Bangsa?

Apalah Guna Jutaan Kata-kata

Nabi, Rasul, dan Waliullah sebagai Traffo Allah

Kebenaran Inti Religiusitas Bung Karno

Fenomena Jokowi dan Kecemburuan Para Pemimpin

Mengapa Kita Di Sini, Kini!

Sesungguhnya, Tidaklah Penting,...

Mengapa Facebook jadi Agak Menyebalkan

Juli (8)

Juni (3)

Mei (10)

April (6)

Maret (10)

Februari (11)

Januari (10)

2012 (160)

2011 (24)

2010 (17)

2009 (29)

2008 (6)

SUDAH TERBIT! SERAT CENTHINI DWI LINGUA

Terdiri dari 12 Jilid. Perbuku, harga Rp 125.000

SUDAH BEREDAR

Membacai puisi-puisi seorang penyair, adalah belajar mengenai hikmat kebijaksanaan hidup
dan kehidupan itu sendiri. Merangkum 100 puisi dari 100 penyair Indonesia, mulai dari RA
Kartini, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 70-an, Angkatan 80-an,
Angkatan 90-an, hingga penyair-penyair periode mutakhir. Data Buku | Ukuran 11x18 Cm,
320 halaman, kertas HVX\S, 70 gram. Harga Rp 50.000 per-eksp, sudah termasuk ongkos
kirim. Syarat pemesanan dan pembelian: (1) Kirimkan nama dan alamat Anda lengkap, yang
terjangkau pos, serta no hp untuk konfirmasi, di inbox ini atau email
sunardianwirodono@yahoo.com

Pengikut

http://centhiniduabahasa.blogspot.com/

SELAMAT DATANG DI JURNAL SUNARDIAN


Selamat datang di Jurnal Sunardian. Sebuah jurnal narsis, yang bisa membebaskan diri dari
berbagai birokrasi para editor di seluruh penjuru dunia. Baik mereka yang menerbitkan koran,
majalah, buku, dan lain sebagainya.
Jurnal ini, selain untuk menginformasikan dan mengkomunikasikan karya-karya Sunardian
Wirodono, tentu saja bisa dipakai untuk ajang silaturahmi, temu kangen, ngudar gagasan,
korespondensi, menuliskan apa saja yang sejak jaman Soeharto hingga jaman lainnya yang
tak jauh beda.
Minat Jurnal ini, lebih pada masalah-masalah sosial, budaya, dan politik. Utamanya soal
sejarah, kesenian kontemporer dengan tautan seni tradisi, serta film, televisi dan komunikasi
politik.
Yang ingin menyumbangkan tulisan, bisa berkirim via sunardianwirodono@yahoo.com. Tapi
kalau mau langsung komentar juga boleh.
Semoga bermanfaat.

Mengenai Situs Sunardian

Lihat profil lengkapku

SUNARDIAN WIRODONO
LAHIR di Yogyakarta, Sabtu Wage, 4 Maret 1961. Pada tahun 1994-1997 bekerja sebagai
designer program dan script-writer di PT INDOSIAR VISUAL MANDIRI, Jakarta. Tahun
2000 menjadi script editor di PRIMA ENTERTAINMENT, Jakarta. Tak lama kemudian,
memilih kembali menjadi penulis freelance, dan bersama teman-temannya, mendirikan
XMAL SINDIKASI Jakarta, rumah produksi untuk televisi program. Tapi ditinggalkan pada
tutup tahun 2003, dan bersama teman-teman yang lain, mendirikan Equapro (Equality
Production, 2003-2004) Jakarta, Direktur Operasional Kakipena Communications (Kinacom)

Jakarta, dan terakhir Direktur Program Equality Communications Yogyakarta.


Sebelumnya bekerja sebagai: Redaktur Harian BERITA NASIONAL, Yogyakarta (19791980), Redaktur Artistik Majalah Berita Mingguan FOKUS, Jakarta (1980), Redaktur
Majalah Perbukuan dan Pengetahuan OPTIMIS, Jakarta (1980-1984), Staf Peneliti pada
Departemen Pengembangan Minat Baca Masyarakat, LEPPENAS/Lembaga Penunjang
Pembangunan Nasional, Jakarta (1981-1984), Reporter Budaya Harian SINAR HARAPAN,
Jakarta (1983-1986), Redaksi Majalah Kebudayaan CITRA YOGYA, Dewan Kesenian
Yogyakarta (1987-1988), Pemimpin Redaksi Tabloid PELUANG, Yogyakarta (1990),
Wartawan Freelance (1990-1993), belajar Media Planning di Rotterdam, Belanda (1994).
Pewawancara dalam acara Dialog Seni dan Kita, UNISI FM dan Yayasan Seni Cemethi,
Yogyakarta (1999-2000).
Pekerjaan utama, menulis skenario sinetron dan beberapa acara non-drama, yang sebagian
besar telah ditayangkan di hampir seluruh stasiun televisi, seperti Indosiar, RCTI, ANTV,
TPI, SCTV, TV7, dan TVRI. Script dan sutradara Rujak Cingur Asmuni (SCTV, 1996),
Script dan sutradara Video Biografi Djoko Pekik (TVRI Sta. Yogyakarta, 1999), Script
Tabungan Sehat (ANTV, 2002), Script dan sutradara Komedi Metropolitan (ANTV, 2003),
Script dan sutradara Mahkota Anda (ANTV, 2003), Script dan pengarah laku Es Campur Es
(TV-7, 2003), Seorang Anak yang Marah pada Televisi (Equacom, 2005), Nurani Qurani
(Jogja TV, 2007), dan Profil Sri Sultan HB IX (Jogja Library Center, Perpusda DIY, 2007).
Beberapa buku yang sudah ditulisnya: Lanskap Kota (Kumpulan Puisi, Karta Pustaka, 1980),
Jakarta kan Tenggelam Sebentar Lagi (Kumpulan Puisi, Wiwara, 1984), Sri Sultan HB IX,
Pemimpin Demokrat Indonesia (Yayasan Wiwara, Yogyakarta, 1988), Gerakan Politik
Indonesia 1993 (Puspa Swara, Jakarta, 1994), Gerakan Politik Indonesia 1994 (Puspa Swara,
Jakarta, 1995), Kanjeng Ratu Kidul; Biografi Politik (manuscript, 1996), Menemu Dunia
(Semesta, Yogyakarta, 1999), Militerisme di Indonesia (LpiST, Jakarta, 2000), Menggugat
Harmoni Gender (Bunga Rampai, Rifka Annissa, Yogyakarta, 2000), Pemukiman Layak
untuk Rakyat (LpiST, Jakarta, 2000). Editor untuk buku: Getar Gender I; Perempuan
Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM (IndonesiaTera,
2004), Getar Gender II; Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan
Keluarga (IndonesiaTera, 2004), Anonim, My Hero! (novel politik, Galang Press, 2004),
Matikan TV-mu! (Resist Book, 2005), Menuju Bantul (novel, 2006 dicetak ulang 2008),
Syahie Panyang Aceh (skenario film, Depbudpar, 2006), Syair Panjang Aceh (Diva Press,
novel, 2009), Restorasi Bukan Reformasi (Merti Nusantara, Biografi Budaya Sri Sultan HB
X, 2009), Centhini : 40 Malam Mengintip Sang Pengantin (Diva Press, novel, 2009).
Aktivitas lain, penggerak Matayogya (Masyarakat Televisi Alternasi Yogyakarta)
email: sunardianwirodono@yahoo.com. Direktur Eksekutif EQUACOM (Equality
Communications) Yogyakarta.

PROFIL

Chairil Anwar (1922-1949) Penyair Legendaris Indonesia Puisi-puisi "Si Binatang Jalang"
Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria
kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya
hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada
Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih
dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori
seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar. Chairil
memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih
kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari
sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948). Dia juga menulis sajak
"Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno
untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul
"Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku
binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia
untuk bebas merdeka. Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam
karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru
pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul
Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam
usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Chairil menekuni
pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya
digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan
berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga
menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi
redaktur ruang budaya Siasat Gelanggang dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan
Gelanggang Seniman Merdeka (1946). Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan
yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir
(1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak
1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986);
Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini
Binatang Jalang (1986).
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup


Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
Siasat, Th III, No. 96/949
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?- jagal tidak dikenal ? tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12, 20-30 Agustus 1957
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO


Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Liberty, Jilid 7, No 297, 1954
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Kartini Sebagai Penyair


Raden Ajeng Kartini, ternyata pernah menulis sebuah puisi (mungkin lebih dari satu), tapi
ini salah satu yang bisa diungkap, dari kumpulan surat-suratnya yang tidak diumumkan
(terima kasih Ibu Sulastin, yang telah menerjemahkan dari bahasa aslinya, Belanda).
Puisi itu merupakan bagian penutup dari suratnya yang pendek, hanya sekitar 14 paragraf.
Isi dari suratnya, merupakan gugatan Kartini pada system masyarakat dan kebudayaan yang
yang maskulin, serta dominasi pandangan yang salah atas semua itu.
Puisinya sendiri, berjudul Kepada Kawan-kawan Kami ditulis pada masa-masa akhir
hayatnya, pada usia 25 tahun. Ditulis dengan penuh semangat romantic, namun tetap
dengan daya kritisnya yang luar biasa. Idiom-idiomnya, menunjukkan bahwa ia seorang
yang mempunyai begitu banyak sumber bacaan, serta cukup terlatih berolah kata dalam
menulis.
Puisinya menebarkan pluralism, multikulralisme, universalitas yang sampai kini masih terus
diupayakan. Tetapi, Kartini dalam ruang sempitnya optimis, bahwa kelak, Di seluruh,
seluruh dunia/ Jiwa yang sama akan berjumpa!
Berikut puisi dari salah satu pendekar perempuan Indonesia itu:
Kepada Kawan-kawan Kami
Apakah gerangan yang menyebabkan manusia-manusia,
Sebelumnya tak saling mengenal, sejenak
Saling memandang, lalu berkehendak,
Tak akan berpisah selama-lamanya?
Apakah gerangan yang mengharukan hati,
Waktu mendengar bunyi suara,
Tak pernah di dengar sebelumnya,
Lama bak rekuiem berdesing di telinga kami?
Apakah gerangan yang membuat jiwa,
Dalam gembira ria melambung tinggi,
Membuat hati hebat berdetak?
Bila sepasang mata,
Manis memandang mata kami,
Dan kami teringat jabat tangan hangat?
Tahukah kau, samudera biru,

Yang mengombak dari pantai ke pantai?


Tahukah kau berkata kepadaku,
Ada dasar keajaiban itu, wahai!
Katakan padaku, angin bersayap cepat,
Dari tempat-tempat jauh kau datang,
Apakah gerangan yang tak dipanggil datang,
Selamanya mengikat hati kuat-kuat?
Wahai! Katakan, surya emas bercahaya-cahaya,
Sumber cahaya dan panas alam semesta nan kuasa,
Apa gerangan keajaiban besar itu namanya,
Yang membuat hati kita dengan nikmatnya,
Melembutkan, melupakan duka,
Yang menghampiri kita di dunia?
Sinar matahari menembus dedaunan,
Jatuh pada pasang naik bergelombang;
Menjadi serba berkilauan di sekitar, serba terang,
Di bawah sinar cahaya matahari keemasan!
Permainan permai dari cahaya dan warna,
Disaksikan mata nan gembira ria,
Dan dari dada yang terharu dalam,
Membubungkan puji syukur yang dalam!
Bukan satu keajaiban, melainkan tiga!
Berkilauan di atas indung mutiara yang cair,
Dengan huruf berlian tertulis oleh cahaya:
Cinta, Persahabatan, Simpati!
Cinta, Persahabatan, Simpati,
Riak ombak menggumam menirukan,
Bayu di pepohonan menyanyikan
Kepada anak manusia yang bertanya.
Manis terbelai telinga yang mendengarkan
Oleh nyanyian gelombang dan angin nan ajaib,
Di seluruh, seluruh dunia
Jiwa yang sama akan berjumpa!
Jiwa yang sama tak memandang warna,
Tak memandang pangkat dan tingkat,
Tetapi tangan berjabat
Dalam hal apa pun jua!
Dan bila jiwa telah berjumpa,
Tak terlepaskan lagi ikatan,
Yang mengikatnya. Dan dalam hal apa jua
Meski waktu dan jarak, tetap setia.

Suka duka ditanggung bersama,


Demikian sepanjang hidup!
Duhai! Bahagia nian bertemu dengan jiwa nan sama
Telah tersua harta terkudus.
JIWA
Rembang, September 1904

PROFIL

Suryana

Sentuhan Seni Akar Teh Bernilai Tinggi


Kompas, Senin, 19 April 2010 | Rumah kayu yang terletak di afdeling I (sebutan untuk
merujuk kompleks perkebunan teh) Kelurahan Gunung Dempo, Kecamatan Pagar Alam
Selatan, Kota Pagar Alam, awal Januari 2010, ramai dikunjungi orang. Dilihat dari pelat
nomor mobil, sebagian bukan warga Kota Pagar Alam maupun Sumatera Selatan.
Mereka ini tamu dari Lampung dan Bengkulu yang sudah janjian dengan saya sejak tiga
minggu lalu untuk melihat kerajinan akar pohon teh ini. Tujuannya, memesan seperangkat
meja dan kursi untuk ruang tamu dan kantor, demikian Suryana membuka percakapan pada
pagi hari yang dingin itu.
Pemandangan yang terlihat di halaman rumah keluarga Suryana dan Erlan itu memang
merepresentasikan hasil karya seni para perajin yang tinggal di lereng Gunung Dempo, yakni
kerajinan akar kayu teh. Di seantero Sumatera Selatan, satu-satunya kerajinan kayu olahan
yang dibuat dari akar pohon teh hanya bisa dijumpai di Kota Pagar Alam.
Menurut Suryana, dia bersama suaminya, Erlan, merintis kerajinan akar kayu Putri Kejora ini
sejak 10 tahun silam. Saat itu, mereka merupakan perajin yang berada di bawah binaan PT
Perkebunan Nusantara VII.
Ide ini bermula ketika saat itu saya melihat PT PTPN VII melakukan program peremajaan
pohon teh yang sudah tua. Saat dicabut dari tanah, teh berusia puluhan tahun ini ternyata
memiliki keunikan dan keindahan bentuk batang. Karena ada peluang untuk dikembangkan
menjadi barang olahan, saya dan suami saya membuat beberapa barang dulu, kata Suryana.
Uji coba itu ternyata menghasilkan sesuatu yang luar biasa di mata Suryana dan Erlan,
pasangan suami istri yang sehari-hari juga bekerja sebagai buruh di pabrik teh milik PT
PTPN VII. Dua barang yang pertama kali dihasilkan dari akar pohon teh, yakni kursi malas
dan meja, ternyata menjadi produk kerajinan yang kaya nuansa seni dan bernilai tinggi.

Pola alami
Satu hal yang membuat kerajinan akar pohon teh ini menjadi barang jadi yang bernilai tinggi
justru terletak pada pola atau tekstur akar pohon yang tetap alami. Saat duduk di atas kursi
tamu, seorang konsumen mungkin akan merasa sedang duduk di singgasana.
Dari barang yang tidak bernilai, saya dan suami berhasil menjadikannya barang kerajinan
bernilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Saat ini, pelanggan tersebar tak hanya di Sumatera,
tetapi juga di Jawa, Kalimantan, Papua, dan Bali, katanya.
Sekarang kerajinan akar kayu Putri Kejora ini sudah menjadi unit usaha tumpuan keluarga
Suryana, Erlan, dan anak-anaknya. Namun, Suryana masih belum puas dengan
pencapaiannya saat ini. Sebagai pengusaha kecil menengah, dia masih memiliki satu
keinginan lagi, yakni memasarkan produk kerajinan akar kayu ini ke luar negeri. (ONI)

Esthi Susanti Menjawab "Panggilan"


Kompas , Sabtu, 6 Maret 2010 | NINA SUSILO dan FABIOLA PONTO

Ketika uang seakan menjadi panglima, maka kepedulian sebagian orang pada lingkungannya, apalagi mereka
yang jauh dari kehidupannya, semakin luntur. Terutama di kota-kota besar, kepedulian dan empati pada mereka
yang nasibnya kurang beruntung makin terkikis. Tak mengherankan bila menjadi relawan bukan hal yang
diharapkan.
Maka, bukan hal mudah bagi Esthi Susanti untuk berkarya bagi sesama manusia. Bahkan, sampai usia 50 tahun,
ia masih berada di persimpangan jalan. Haruskah meneruskan aktivitasnya sebagai relawan di lembaga swadaya
masyarakat Hotline, atau menjalani kehidupan normal seperti umumnya orang lain.
Namun, anak kedua dari 10 bersaudara ini tak semata-mata mengikuti keinginan yang sebenarnya manusiawi
itu. Ternyata, saya memang mendapat tugas untuk terus menjadi relawan. Ini adalah sebuah panggilan,
ujarnya dalam suatu pembicaraan, awal Oktober lalu di Surabaya.
Ia pun kembali menjalani rutinitasnya dan didera kesibukan. Mengawali hari baru, Esthi bersama relawan
Hotline membantu seorang pekerja seks yang akan melahirkan. Pekerja seks itu mulai mengeluarkan air
ketuban, sedangkan uang yang dia miliki hanya Rp 70.000.
Operasi caesar supaya bayi lahir dengan kemungkinan bebas HIV/AIDS harus segera dilakukan, padahal saat itu
telah lewat tengah malam. Semua pontang-panting, tetapi berkat koordinasi dengan para dokter, sang bayi lahir
sehat melalui operasi caesar.
Pada pekan yang sama, seorang pekerja seks dengan virus HIV yang sudah menginfeksi jaringan otak
menghitung hari mendekati ajal. Harapan terbesarnya adalah bertemu dengan keluarga. Para relawan Hotline
berusaha memenuhi keinginan terakhir si pekerja seks dengan mencari keluarganya. Relawan menemukan
mereka di Ponorogo.
Ketika semula keluarga menolak menemui si pasien, para relawan memberikan penjelasan secara persuasif.
Keluarga si pasien akhirnya mau merawatnya sampai ajal menjemput pengidap HIV/AIDS itu. Rekonsiliasi
terjadi dan si pasien menghadapi ajal dengan martabat.
Hotline
Pembelaan dan pendampingan terhadap pengidap HIV/ AIDS konsisten dilakukan Esthi sejak tahun 1992. Dia
juga melakukan pendampingan dan perlindungan untuk perempuan miskin.

Esthi merintis karier aktivis ketika mengelola biro konsultasi via telepon di Surabaya bernama Hotline pada
Harian Surya tahun 1989. Pekerjaan ini ditawarkan wartawan Kompas, Valens Doy (almarhum) dan Max
Margono. Esthi lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai guru bimbingan dan konseling di SMA Petra 2
Surabaya.
Tahun 1991, USAID menawarkan penelitian epidemologi dan kerentanan HIV/AIDS di lokalisasi Dolly,
Surabaya. Esthi menyetujuinya. Penelitian itu sekaligus bertujuan menyosialisasi penggunaan kondom.
Tanpa diduga, Hotline Surya dibekukan pada 2000 sehingga Esthi nyaris berhenti sebagai aktivis. Namun,
ketika Kedutaan Australia, yang waktu itu mengucurkan dana, meminta Esthi melanjutkan pencegahan
HIV/AIDS, kariernya sebagai aktivis semakin tegas. Hotline menjadi lembaga swadaya masyarakat sepenuhnya.
Waktu itu saya juga berada di persimpangan, kalau memang harus berhenti, saya berhenti. Tetapi ternyata
Tuhan mempunyai rencana, katanya.
Memang tidak mudah karena sosialisasi penggunaan kondom tahun 2000 itu seperti menghadang tembok. Satusatunya jalan untuk mengurangi para pekerja seks dari kerentanan penyakit HIV/AIDS adalah payung hukum,
peraturan daerah. Pemerintah jelas menolak menyosialisasi penggunaan kondom karena khawatir dinilai
melegalisasi pelacuran.
Usulan Esthi soal payung hukum itu baru diterima tahun 2004. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jatim diterbitkan. Perda itu menjadi percontohan dan diikuti 100
kabupaten/kota lain serta tujuh provinsi. Esthi pun mendapatkan penghargaan Surabaya Academy Award
sebagai warga teladan.
Penghargaan dan tulisan media semakin mengafirmasi pekerjaan saya sehingga bisa melewati setiap titik
berhenti dan terus berjuang. Sekarang saya lebih menekankan efektivitas perda itu, ujarnya.
Klinik sederhana
Pembaruan menjadi salah satu kunci dalam upaya pendampingan bagi pengidap HIV/AIDS. Dia menawarkan
metode penyembuhan krisis mental orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan fotografi serta merajut. Metode
penyembuhan melalui fotografi sudah dimulai dengan melibatkan dua fotografer profesional untuk mengajar
beberapa ODHA.
Untuk masalah psikologis, saya dan beberapa konselor langsung menangani pasien, ujar Esthi.
Sementara kepedulian dia terhadap perempuan miskin didorong minimnya pengetahuan mereka untuk berobat.
Persoalannya, banyak ibu rumah tangga miskin yang terkena infeksi saluran reproduksi, tetapi pengobatan
mereka sering kali hanya menggunakan ramuan tradisional.
Oleh karena itu, mulai 2003, Hotline mendirikan klinik dengan laboratorium sederhana. Klinik ini membantu
Hotline bekerja berdasarkan fakta lapangan.
Memang tak mudah mempertahankan klinik yang juga merupakan perlindungan perempuan untuk tetap sehat,
ujarnya.
Bantuan dana hanya sampai tahun 2005 dan Esthi harus memikirkan berbagai cara untuk membiayai operasional
klinik serta perlindungan untuk pengidap HIV/AIDS, seperti membuat kalender dengan karya foto dari ODHA.
Kami berusaha bertahan, dan harus bisa, ujarnya.
Sepanjang hidup, kata Esthi, yang lahir dari keluarga pedagang sepatu di Salatiga, adalah perlawanan. Dia
terlahir di keluarga keturunan Tionghoa berstatus warga negara asing (WNA). Akibatnya, ia menghadapi
diskriminasi untuk melanjutkan pendidikan selepas SMA. Biaya kuliah untuk WNA setidaknya Rp 1 juta,
sedangkan untuk warga biasa (pribumi) hanya Rp 2.000Rp 3.000. Dia juga harus mengurus sendiri izin sekolah
dari Departemen Pendidikan di Jakarta.

Oleh karena selalu menjadi juara ketika SMA, ibunya mengizinkan Esthi melanjutkan sekolah di Universitas
Satya Wacana, Salatiga, jurusan Bimbingan Konseling.
Semasa kuliah, salah satu aktivitasnya adalah mengikuti kelompok diskusi dan pers mahasiswa bersama Arief
Budiman. Selepas kuliah, salah satu dosennya mengajak Esthi memperbaiki pendidikan di SMA Petra 2,
Surabaya. Enam tahun dia menjadi guru Bimbingan dan Konseling, sebelum menjadi konselor dan Direktur
Hotline Surya.
Perlawanan kembali dilakukan karena pilihannya menjadi aktivis ditentang keluarga yang semua memilih karier
profesional. Dukungan baru mengalir setelah Esthi mendapatkan pengakuan masyarakat atas aktivitasnya yang
konsisten.

ESTHI SUSANTI
Lahir: Salatiga, Jawa Tengah, 26 Mei 1959
Pendidikan: - S-1 Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Satya Wacana, Salatiga, lulus 1983 - S-2
Sosio-Antropologi FISIP Universitas Airlangga, lulus 2001, dengan tesis Kekerasan Personal dan Struktural
pada Pekerja Seksual di Surabaya
Pekerjaan: Direktur Eksekutif Hotline

Esthi Susanti

DEMOKRATISASI GELOMBANG KETIGA


Gelombang demokratisasi adalah sekelompok transisi dari rezim-rezin non-demokratis ke
rezim-rezim demokratis yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara
signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah sebaliknya. Sebagian gelombang juga
biasanya mencakup liberalisasi atau demokratisasi, sebagian pada sistem-sistem politik yang
tidak sepenuhnya menjadi demokratis. Dorongan pertama ke arah demokratisasi di Barat
terjadi pada paruh pertama abad ke-17. Dimulai dengan revolusi di Inggris pada 14 Januari
1638 yang melahirkan The Fundamental Orders of Connecticut) yang disetujui warga kota
Hartford dan kota-kota lainnya yang berdekatan.
Tiga gelombang demokratisasi telah terjadi yang telah mempengaruhi sejumlah kecil negeri.
Selama masing-masing gelombang itu juga terjadi beberapa transisi rezim ke arah sebaliknya
yaitu ke arah yang tidak demokratis. Di samping itu tidak semua transisi ke arah demokrasi
berlangsung selama terjadinya gelombang-gelombang demokrasi. Kurun waktu dari
gelombang perubahan rezim-rezim ini dapat diklasifikasikan ke dalam 5 episode, yakni
1. Gelombang panjang demokratisasi pertama (tahun 1828-1926);
2. Gelombang balik pertama (tahun 1922-1942);
3. Gelombang pendek demokratisasi kedua (tahun 1943-1962);
4. Gelombang balik kedua (tahun 1958-1975);
5. Gelombang demokratisasi ketiga (tahun 1974-sekarang).

Gelombang Demokrasi Pertama (1828-1926)


Gelombang pertama berakar dari Revolusi Prancis dan Amerika. Kemunculan lembaga
demokrasi nasional yang sesungguhnya merupakan fenomena abad ke-19 dimana terjadi
perkembangan lembaga demokrasi di berbagai negara. Jonathan Sunshine mengemukakan
dua kriteria utama untuk menentukan kapan suatu sistem politik abad ke-19 sudah mencapai
kualifikasi demokrasi yang minimal, yaitu
1. Adanya 50% persen laki-laki dewasa berhak memberikan suara;
2. Adanya seorang eksekutif yang bertanggung jawab yang harus mempertahankan dukungan
mayoritas dalam suatu parlemen.
Pada tahun 1830, Tocqueville meramalkan kejadian dan kecenderungan adanya gelombang
demokrasi pertama. Sementara itu James Bryce pada tahun 1920 berspekulasi apakah
kecenderungan ke arah demokrasi yang sekarang terlibat ada di mana-mana merupakan
suatu kecenderungan alamiah, sesuai dengan hukum umum kemajuan sosial. Dengan
menggunakan kriteria tersebut maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi sedikitnya 30 negara
yang bergerak menuju negeri yang demokratis, diantaranya ditandai dengan beberapa
kejadian:
1. Amerika Serikat memasuki gelombang demokrasi pertama pada tahun 1828 dimulai
dengan penghapusan kualifikasi hak milik di negara bagian yang lebih tua dan diterimanya
negara bagian yang baru dengan hak pilih yang universal;
2. Swiss, Dominion Inggris, Prancis, Britania Raya dan negara-negara kecil di Eropa beralih
ke sistem demokrasi melalui pemberian hak suara, mengurangi jumlah pemberian suara
ganda, memperkenalkan sistem pemberian suara secara rahasia dan memberikan
tanggungjawab Perdana Menteri dan Kabinet kepada Parlemen.
3. Italia dan Argentina memiliki rezim lebih demokratis menjelang Perang Dunia I;
4. Irlandia dan Eslandia yang baru merdeka menjadi negeri-negeri yang demokratis;
5. Terjadi gerakan demokrasi besar-besaran untuk menggantikan kerajaan Romanov,
Hapsburg dan Hohenzollern;
6. Spanyol dan Cile memasuki barisan negara demokratis pada awal tahun 1930-an.
Gelombang Balik Pertama (1922-1942)
Gelombang balik pertama dicirikan dengan bangkitnya rezim yang berideologi komunis, fasis
dan militeristis ditambah dengan terjadinya perang yang berkedok menyelamatkan demokrasi
dunia ternyata malah sebaliknya justru membangkitkan gerakan-gerakan ekstrem kanan
maupun kiri yang ingin menghancurkannya. Gelombang ini berawal pada tahun 1922
ditandai dengan peristiwa-peristiwa;
1. Mars di Roma dan dicampakannya demokrasi di Italia oleh Mussolini;
2. Kudeta militer di Lithuania, Polandia, Latvia dan Estonia;
3. Yugoslavia dan Bulgaria diperintah oleh oleh kediktatoran bentuk baru;
4. Jerman dikuasai oleh Hitler pada tahun 1933 yang menyebabkan juga berakhirnya periode
demokrasi di Austria pada tahun 1934 dan Ceko pada tahun 1938;
5. Demokrasi di Yunani hancur pada tahun 1915 sampai akhirnya terkubur di tahun 1936;
6. Kudeta militer di Portugal pada tahun 1926 ,yang melahirkan kediktatoran Salazar;
7. Perebutan kekuasaan oleh militer di Brasil dan Argentina pada tahun 1930;
8. Uruguay kembah ke otoriterisme pada tahun 1933;
9. Kudeta militer di Spanyol pada tahun 1936 yang mengakibatkan pecahnya perang saudara
dan matinya republik Spanyol pada tahun 1939;
10. Pemerintahan yang demokratis di Jepang (1920) digantikan oleh pemerintahan militer
pada awal dasa warsa 1930.

Gelombang Kedua (1943-1962)


Gelombang demokrasi kedua merupakan gelombang pendek yang muncul pada masa Perang
Dunia II yang ditandai dengan:
1. Pendudukan sekutu atas beberapa negara melahirkan lembaga-lembaga demokrasi di
Jerman Barat, Italia, Austria, Jepang dan Korea;
2. Lahirnya demokrasi di Cekoslowakia dan Hongaria yang mendapat tekanan Uni Soviet;
3. Turki dan Yunani (1940 dan 1950) telah bergerak kearah demokrasi;
4. Uruguay, Brasil dan Kostarika (1940) bergeser ke sistem demokrasi;
5. Pemilu di negara-negara Argentina, Kolombia, Peru, dan Venezuela (1945-1946)
melahirkan pemerintahan pilihan rakyat.
6. Argentina dan Peru bergerak kembali ke arah demokrasi terbatas yang tidak stabil karena
adanya konflik antara pihak militer dengan gerakan Aprista dan Peronista yang sangat
populer pada akhir dasa warsa 1950;
7. Para elit di Kolombia dan Venezuela merundingkan rencana mengakhiri pemerintahan
yang diktator pada akhir dasawarsa 1950;
8. Lahirnya negara-negara baru karena berakhirnya kolonialisme Barat, seperti Pakistan,
Malaysia (1957), Indonesia (1945);
9. Bertahannya sistem demokrasi di India, Srilanka, Filipina, Israel;
10. Nigeria telah memiliki pemerintahan yang demokratis pada tahun 1960.
Gelombang Balik Kedua (1958-1975)
Gelombang batik kedua dimulai dengan apa yang terjadi di Peru pada tahun 1962 ketika
pihak militer ikut campurtangan untuk merubah basil pemilu yang menghasilkan pemimpin
dari luar militer yang juga digulingkan oleh militer pada tahun 1968. Ayunan gelombang
balik kedua di seluruh dunia pada tahun 1962 mencatat sebanyak 13 pemerintahan di dunia
merupakan basil kudeta, sedangkan pada tahun 1975 tercatat 38 pemerintahan juga basil
kudeta yang sama.
Menurut hasil perhitungan yang lain, sepertiga dari 32 negara yang merdeka pada tahun 1958
telah berubah menjadi negara yang otoriter menjelang pertengahan dasa warsa 1970-an.
Selanjutnya rentetan arus gelombang balik kedua ditandai dengan peristiiva-peristiwa:
1. Kudeta militer di Brasil dan Bolivia pada tahun 1964, Argentina (1966), Ekuador (1972),
Uruguay dan Cile pada tahun 1973;
2. Militer di Pakistan pada tahun 1958 memaksakan suatu rezim berdasarkan hukum darurat
perang;
3. Pada akhir dasa warsa 1950, Syngman Rhee mengerogoti prosedur demokrasi di Korea dan
rezim demokrasi yang menggantikannya di tahun 1960 digulingkan oleh sebuah kudeta
militer pada tahun 1961 yang melahirkan rezim semi-otoriter dan disahkan melalui pemilu
1963. Rezim ini berkembang menjadi sangat otoriter di tahun 1973;
4. Pada tahun 1957, Sukarno di Indonesia telah menggantikan demokrasi parlementer
menjadi demokrasi terpimpin;
5. Pada tahun 1965 di Indonesia terjadi pengambilalihan pucuk pimpinan yang dilakukan
oleh TNI;
6. Presiden Ferdinand Marcos di Filipina pada tahun 1973 telah melembagakan sebuah rezim
hukum darurat perang;
7. Indira Gandhi di India pada tahun 1975 telah menghentikan praktek-praktek demokrasi dan
menggantikannya dengan sistem pemerintahan darurat;
8. Pada tahun 1960-an di Taiwan terjadi pembungkaman terhadap kaum liberal;
9. Kudeta Istana pada tahun 1965 dan kudeta militer tahun 1967 di Yunani;
10. Pada periode tahun 1960, 1961, 1971, 1973 terjadi campur tangan pihak militer terhadap
pemerintahan yang demokratis di Yunani yang diakhiri oleh kudeta militer yang penuh pada

tahun 1980;
11. Kudeta militer di Nigeria tahun 1966;
12. Sebanyak 33 negeri di Afrika yang merdeka pada kurun waktu 1956-1970 menjadi negeri
otoriter;
Gelombang Ketiga (1974-Sekarang)
Gelombang ini dimulai dengan berakhirnya rezim diktator Portugal pada tahun 1974 yang
juga mendorong lahirnya sekitar 30 rezim-rezim demokratis di Eropa, Asia dan Amerika
Latin melalui peristiwa-peristiwa antara lain:
1. Tumbangnya rezim militer di Yunani (1974) oleh sebuah pemerintahan sipil Karamanlis
yang tidak menghendaki lahirnya kembali monarkhi;
2. Berakhirnya rezim Jenderal Francisco Franco di Spanyol (1974) yang diikuti dengan
lahirnya pemerintahan Raja baru Juan Carlos bersama Perdana Menteri, Adolfo Suarez;
3. Papua Nugini (1975) merdeka dan menganut sistem politik yang demokratis;
4. Pada tahun 1977 pemimpin militer Ekuador mengundurkan diri dan mendorong lahirnya
Undang-undang baru pada tahun 1978 serta pemilu pada tahun 1979;
5. Pada tahun 1977 terjadi geombang pro-demokrasi di India;
6. Pengunduran pihak militer di Peru menyebabkan diadakannya pemilihan dewan
konstituante pada tahun 1978, lahirnya Undang-undang baru pada tahun 1979 dan terpilihnya
presiden di tahun 1980;
7. Pengunduran pihak militer di Bolivia menimbulkan kudeta di tahun 1978 yang diakhiri
dengan pemilihan presiden sipil pada tahun 1982;
8. Nigeria (1979) bergeser kembali dari pemerintahan militer ke pemerintahan yang dipilih
secara demokratis, walaupun pada tahun 1984 kembali dikudeta oleh militer;
9. Honduras (1982) memiliki presiden dari pihak sipil;
10. Terpilihnya pemerintahan sipil di Argentina (1983) akibat kalah perang dari Inggris;
11. Pengunduran militer Turki (1983) yang melahirkan presiden dari pihak sipil;
12. Salvador (1984) memilih Jose Napoleon Duarte sebagai presiden hasil pemilu;
13. Guatemala (1984) memilih sebuah dewan konstituante dan seorang presiden sipil (1985);
14. Berakhirnya rezim diktator Ferdinand Marcos di Filipina (1986) yang dipicu oleh
terbunuhnya Benigno Aquino;
15. Terpilih Presiden Korea (1987) dari pihak militer melalui proses pemilu yang relatif adil
dan pada tahun 1988 pihak oposisi menguasai parlemen;
16. Pemerintahan Taiwan (1987-1988) melonggarkan kegiatan politik di negeri tersebut dan
berjanji akan menciptakan iklim politik yang demokratis;
17. Pemerintahan militer di Pakistan (1988) berakhir dan digantikan oposisi melalui pemilu;
18. Hongaria (1988) memulai transisi mutipartai;
19. Pemilihan Kongres Nasional di Uni Sovyet (1989) memunculkan parlemen nasional yang
semakin berani mengemukakan pendapat;
20. Partai Solidaritas di Polandia (1989) memenangkan pemilihan parlemen nasional dan
melahirkan pemerintahan non-komunis dengan terpilihnya Lech Walesa sebagai presiden
menggantikan Jenderal Wojciech Jaruzelski yang komunis;
21. Tumbangnya rezim komunis pada tahun 1989 di Jerman Timur, Cekoslowakia dan
Rumania;
22. Rakyat Cile (1988) memberikan suara pada sebuah referendum untuk mengakhiri
kekuasaan Jenderal Augusto Pinochet dan pada tahun 1989 memilih presiden dari sipil;
23. Intervensi AS di Grenada pada tahun 1983 telah menamatkan rezim Marxis-Leninis dan
menumbangkan rezim Jenderal Manuel Noriega di Panama pada tahun 1989;
24. Rezim Marxis-Leninis di Nikaragua (1990) tumbang setelah kalah dalam pemilu;
25. Haiti (Desember 1990) telah memilih pemerintahan yang demokratis;

26. Pada tahun 1990 terjadi liberalisasi di sejumlah Negara Senegal, Tunisia, Aljazair, Mesir
dan Yordania;
27. Pemerintah Afrika Selatan (1978) memulai suatu proses mengurangi apartheid dan
memperluas partisipasi politik bagi minoritas bukan kulit putih, tetapi tidak bagi mayoritas
kulit hitam. Setelah terpilihnva F.W. de Klerk sebagai presiden, proses perundingan dimulai
kembali antara pemerintah dengan Kongres Nasional Afrika;
28. Menjelang tahun 1990, gemuruh demokrasi berlangsung di Nepal, Albania.
Dalam kurun waktu 5 tahun gelombang demokrasi ketiga bergerak melintasi Eropa Selatan,
melanda Amerika Latin, dan menuju Asia serta menghancurkan sebagian besar rezim diktator
blok Sovyet. Gelombang demokratisasi dan gelombang baliknya mengesankan adanya pola
dua langkah maju dan satu langkah mundur, artinya, sampai saat ini masing-masing
gelombang balik telah menghapus sebagian transisi menuju demokrasi yang terjadi pada
gelombang demokratisasi sebelumnya.
Dalam beberapa dasawarsa pasca Perang Dunia ke-2, jumlah negara yang merdeka telah
bertambah dua kali lipat, namun proporsi negara yang demokratis menunjukkan keteraturan
yang cukup tinggi. Pada palung dari dua gelombang balik terjadi sebesar 19,7% dan 24,6 %
negara-negara di dunia merupakan negeri yang demokratis. Sementara itu pada titik puncak
dari dua gelombang demokratisasi terjadi sebesar 45,3% dan 32,4 % dan memasuki tahun
1990 hanya sekitar 45,0% dari Negara-negara di dunia adalah negara yang demokratis yang
hampir sama dengan apa yang terjadi di tahun 1922.
Jelaslah sudah bila kita bandingkan apakah Grenada yang demokratis kurang mempunyai
dampak apabila dibandingkan dengan apakah Cina demokratis dan rasio negara-negara
demokratis dengan jumlah seluruh negara tidaklah terlalu signifikan. Disamping itu jika kita
membandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 1973 dengan tahun 1990 dimana jumlah
absolut negara-negara otoriter berkurang untuk pertama kalinya, namun di tahun 1990
gelombang demokratisasi ketiga masih belum berhasil meningkatkan proporsi negara-negara
demokratis di dunia melebihi tingkat tertinggi sebelumnya yang dicapai pada 68 tahun yang
lalu.*

PENEMUAN
10 Inovasi Strategis di Dunia Masa Depan
Oleh Yulvianus Harjono

Inovasi adalah kunci masa depan. Kesejahteraan yang dicapai manusia saat ini tidaklah
terlepas dari inovasi yang telah dilahirkan pada masa lampau. Melalui berbagai penemuan
yang telah diciptakan saat ini, kita pun dapat mengintip masa depan.
Hal-hal yang dulu hanya bisa disaksikan di film-film fiksi dan buku ternyata menjelma
sebagai realitas. Memandang sangat pentingnya inovasi, seperti diungkapkan Presiden AS
Barack Obama dalam pidato mingguannya di radio dan media cyber, 1 Agustus 2009,
Livescience merilis 10 obyek inovasi strategis yang telah dirintis dan akan menentukan pada
masa depan.
Peralatan pembaca pikiran

Adam Wilson, ilmuwan dari Teknik Biomedis University of Wisconsin, AS, menciptakan
sebuah interface (antarmuka untuk komputer) yang mampu menerjemahkan pikiran ke dalam
bentuk teks.
Sistem antarmuka yang bekerja pada alat berupa elektrode dan kabel terkoneksi di kepala ini
mampu mengubah sinyal listrik menjadi bentuk fisik, seperti tangan memindahkan cursor.
Teknologi ini sangat bermanfaat bagi pasien yang tak bisa berkomunikasi sama sekali, seperti
penderita stroke atau penyakit langka Lou Gehrig (Amyotrophic Lateral Sclerosis) untuk bisa
berbicara. Alat ini dapat difungsikan sebagai alat pengetes kejujuran.
Keliling dunia 90 menit
Dari novel dan film kita ketahui, Phileas Fogg asal Inggris mampu mengelilingi dunia dalam
80 hari pada awal tahun 1870-an. Ke depan orang bisa hanya butuh kurang dari sejam untuk
ke belahan dunia lain.
Dalam penelitian yang disponsori Pusat Sains Angkatan Udara AS dan Angkatan Udara
Brasil, mimpi transportasi canggih dibangun di atas teknologi propulsi laser kecepatan
hipersonik. Riset pimpinan Leik Myrabo, profesor Teknik Dirgantara dari Institut Politeknik
Rensselaer, Troy, AS, ini tengah dilakukan di Laboratorium Hipersonik dan Aerodinamika
Henry T Nagamatsu di Sao Jose, Brasil.
Kekuatan puncaknya dapat mencapai skala gigawatt. Alat ini diklaim mampu meluncurkan
nano-satelit (1-10 kilogram) dan mikro-satelit (10-100 kilogram) ke orbit rendah dalam
sekejap. Teknologi ini juga didesain untuk meluncurkan pesawat ke stasiun luar angkasa.
Lengan bionik
Ingat tokoh Luke Skywalker di film Star Wars? Ya, tangan kanannya yang putus adalah
sebuah lengan bionik. Tidak lama lagi, para veteran korban perang ataupun mereka yang
terlahir tanpa lengan dan tungkai kaki bisa menikmati teknologi canggih Skywalker ini.
Banyak pusat penelitian di dunia mengembangkan lengan dan kaki bionik. Salah satunya
adalah Touch Bionics yang telah memasarkan produknya, lengan i-LIMB. Lengan bionik ini
memiliki kontrol intuitif.
Elektrode desain khusus ditempatkan di permukaan kulit untuk membaca sinyal-sinyal otot
(myoelectric) yang dikirimkan otot di tungkai/lengan yang tersisa. Lengan i-LIMB berbahan
dasar plastik itu dapat bergerak layaknya tangan biasa. Teknologi bionik yang tak kalah
canggih tengah dirintis Miguel Nicolelis (Duke University, AS). Lengan buatan
rancangannya, digerakkan otak langsung.
Gadget indera keenam
Pranav Mistry, mahasiswa program doktor dari Media Lab Massachusetts Institute of
Technology (MIT), menciptakan alat Sixth Sense, yang bisa menampilkan informasi virtual
tiga dimensi saat berinteraksi dengan obyek yang dilihat.

Sebagai contoh, dengan melihat kulit wajah sebuah buku, beragam informasi: resensi, harga,
bahkan komentar tentang buku itu, langsung muncul di hadapan kita layaknya tayangan dari
sebuah proyektor LCD.
Sixth Sense adalah sebuah gadget yang memungkinkan segala informasi di internet
terhubung langsung dengan dunia nyata dan membentuk sajian bernama realitas tambahan.
Gadget yang ringkas ini mengingatkan kita pada teknologi canggih di film Minority Report.
Teknologi ini menggabungkan webcam dan proyektor mini yang terkoneksi dengan ponsel
cerdas secara nirkabel.
Organ tubuh artifisial
Suatu saat ke depan, manusia yang menderita penyakit gagal hati bisa memiliki organ hati
baru. Bukan lagi sekadar transplantasi, melainkan sebuah organ asli. Colin McGucklin dan
Nico Forrazduo peneliti dari Newcastle University, Inggris menciptakan lever artifisial.
Lever manusia pertama yang pernah diciptakan ini masih dalam skala prototipe. Ukurannya
mini, setara sebuah koin ukuran kecil. Lever ini dibuat dari sel punca (stem cell) yang
diambil dari tali pusat manusia.
Bioreaktor untuk menumbuhkan sel punca diperoleh dari NASA. Pada masa depan
kemungkinan bukan hanya lever yang bisa diproduksi, melainkan juga organ-organ vital lain,
seperti ginjal, bahkan jantung.
Memberi makan dunia
Mencukupi kebutuhan pangan dunia bakal menjadi hal sangat krusial pada masa depan.
Ilmuwan terus berupaya menciptakan varietas gandum, jagung, dan beras unggulan yang bisa
panen berlipat ganda. Termasuk menyesuaikan dengan gejala pemanasan global.
Seiring pesatnya riset bioteknologi, muncul ide pembuatan superfoodmakanan berbentuk
pil yang mencakup seluruh nutrisi yang dibutuhkan. Ada yang mengembangkan makanan
sintetis dari sel punca hewan. Riset ini salah satunya dilakukan di Ulrecht University,
Belanda.
Melenyapkan limbah
Limbah akan menjadi persoalan besar pada masa depan jika tidak diantisipasi serius. Di
negara-negara maju, melalui pemanfaatan teknologi, berbagai sampah diolah menjadi bahan
baku daur ulang. Bulu ayam, oleh peneliti di Virginia Tech, AS, bisa diolah menjadi senyawa
polimer sebagai bahan untuk membuat plastik pada masa depan.
Menjiplak nuklir Matahari
Reaksi fusi nuklir menjaga Matahari tetap bersinar cemerlang selama miliaran tahun. Ed
Moses, dari National Ignition Facility, AS, melakukan penelitian bertujuan menciptakan fusi
nuklir seperti di Matahari.

Dia mencampur 150 mikrogram deuterium dan tritium yang ditembakkan dengan laser
raksasa sebagai inti tenaga untuk membangkitkan fusi nuklir. Percobaan ini mirip dengan
adegan cerita fiksi film Spiderman 2. Pada 2010 dijadwalkan tes, yang diprediksi
menghasilkan energi hingga 500 triliun watt.
Merekayasa iklim Bumi
Salah satu cara mencegah pemanasan global adalah melalui rekayasa kebumian
(geoengineering). Muncul berbagai gagasan geoengineering yang hi-tech, seperti membuat
cermin atau menaburkan partikel pemantul sinar matahari. Untuk mengurangi badai topan di
AS akan dicoba mengaduk lautan, oleh sejumlah armada kapal, agar air laut mendingin.
Teknologi rekayasa kebumian kian dimungkinkan.
Membuat otak manusia
Masih banyak bagian dari otak manusia yang menyimpan misteri. Di balik miliaran neuron,
tersembunyi segala pemikiran dan teknologi canggih yang tak pernah terbayangkan akan
dilahirkan.
Peneliti yang tergabung dalam Blue Brain Project di Swiss mengumumkan rencana membuat
otak artifisial beberapa dekade lagi. Simulasi dilakukan dengan membuat otak tikus buatan,
menggunakan IBM Supercomputer Blue Gene.
(Dikutip dari Kompas, Sabtu, 19 September 2009)

Politik Kebudayaan Kita


Oleh : M Alfan Alfian
Ramai-ramai protes klaim tari pendet oleh pihak tertentu Malaysia mengingatkan klaimklaim atas produk kebudayaan Indonesia lainnya.
Hal ini menyisakan pertanyaan mendasar, sejauh manakah politik kebudayaan kita?
Ini soal yang amat penting dan mendesak untuk dibicarakan ulang. Desain besar apa yang
harus dihadirkan setelah polemik kebudayaan tak lagi terdengar?
Munculnya aneka protes sebagai bentuk ketersinggungan atas klaim produk-produk
kebudayaan kita oleh Malaysia seharusnya segera memicu perlunya dipikirkan kembali halhal mendasar atas politik kebudayaan kita. Hendak diarahkan ke mana kebudayaan bangsa
ini?
Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak
lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk
budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Yang menjadi khas adalah
saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas
itulah yang otentik.

Karena itu, meski pernah didefinisikan bahwa kebudayaan nasional adalah puncak dari
kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produkproduk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan
yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.
Yang diributkan dengan Malaysia saat ini lebih banyak dalam konteks kebudayaan materi.
Padahal, kebudayaan banyak yang bersifat abstrak (nonmateri) dan tidak dapat
dikuantitatifkan. Karena itu, tugas pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan tak
dapat dipaksakan untuk diderivasikan ke dalam angka-angka. Ketika kebudayaan
didepartemenkan, harus jujur diakui, banyak hal yang dirasakan justru mempersempit makna
kebudayaan itu sendiri.
Reorientasi pola pikir
Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an yang melibatkan Sutan Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, dan lainnya adalah
mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang
plural ini. Di wilayah gagasan, masalah kebudayaan kita belum selesai.
Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran
kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soalsoal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu
pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik
kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.
Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) telah tertanam di
benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk
menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan
falsafah Pancasila tidak sulit.
Kekuatan pemikiran
Kebanggaan sebagai bangsa tak pernah lepas dari kekuatan pemikiran. Jika tidak pernah ada
rangsangan dan gairah menyala-nyala atas tradisi berpikir kebudayaan, kita tidak akan pernah
menemukan letak kebanggaan itu dan tanpa sadar melarutkan diri ke tengah pusaran
negativitas globalisasi, menjadi bangsa inlander kembali.
Kita berada pada abad yang besar, kata Hatta mengutip penyair Jerman, tetapi menemukan
orang-orang kerdil. Sindiran itu masih terasa hingga kini. Orang kerdil yang dimaksud ialah
yang malas berpikir dan berbuat, menciptakan sesuatu yang besar bagi kejayaan bangsanya.
Kita sudah banyak ketinggalan dalam kompetisi di segala bidang dengan bangsa-bangsa
lain dan, lagi-lagi terinspirasi Hatta, harus bergerak cepat. Tinggalkan pepatah biar lambat
asal selamat. Ubah menjadi harus cepat dan selamat.
Soal klaim tari pendet dan sebagainya oleh pihak lain, pemerintah bisa segera mengambil
langkah-langkah nyata, termasuk mematenkan banyak khazanah kebudayaan kita. Namun,
ingat, kebudayaan tak sekadar terkait hal-hal demikian, tetapi terutama cara berpikir dan
bertindak kita.

M Alfan AlfianDosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta


Tulisan ini dimuat di Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

MEDIA TERORISME

KPI-Dewan Pers Sesalkan Pemberitaan


Jakarta, Kompas - Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers menyesalkan berita tentang
perburuan terorisme oleh polisi di sejumlah media massa, terutama televisi. Sejumlah
informasi yang disampaikan dinilai telah membingungkan masyarakat dan mengganggu
penyidikan polisi.
Untuk itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Sendjaja, Rabu (12/8),
menyatakan akan mengirimkan surat teguran ke sejumlah stasiun televisi terkait pemberitaan
mereka tentang terorisme, khususnya setelah penyergapan rumah Muhjahri di Temanggung,
Jawa Tengah, oleh Densus 88 Polri pada Jumat pekan lalu.
Selasa kemarin, KPI juga sudah bertemu dengan sejumlah pimpinan redaksi televisi dan
Kepala Polri untuk membahas pemberitaan terorisme. Saat itu, kami sudah menyampaikan
keberatan atas berita di televisi karena diduga telah melanggar standar program siaran, kata
Sasa.
Keberatan ini antara lain tentang penyebutan bahwa teroris yang tewas dalam penyergapan di
Temanggung adalah Noordin M Top. Sebutan itu berawal dari kesimpulan media sendiri.
Awalnya memang disebut, yang diduga tewas adalah Noordin. Namun, kata diduga ini lamalama hilang dan makin diperparah oleh pernyataan sejumlah pihak hingga membingungkan
masyarakat. Padahal, Kepala Polri sejak awal menyatakan belum dapat memastikan siapa
yang tewas, papar Sasa.
Ironisnya, lanjut Sasa, keberatan KPI dalam pemberitaan terorisme di televisi ini bukan yang
pertama kalinya. KPI juga pernah menyesalkan pemberitaan sejumlah televisi saat eksekusi
tiga terpidana mati bom Bali, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron, November 2008. Hal
itu disebabkan pemberitaan yang dilakukan justru terkesan menjadikan mereka pahlawan dan
bukan musuh bersama.
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menilai sejumlah media, terutama televisi,
mendahului sumber berita resmi dalam menyiarkan perburuan terorisme. Meski dikejar
deadline dan persaingan yang ketat, media tetap harus mengonfirmasi kebenaran informasi

yang diperolehnya sebelum informasi itu disiarkan ke masyarakat sehingga kebenaran


informasi yang diwartakan dapat dipertanggungjawabkan. Ini hukum dasar jurnalistik,
paparnya.
Pertanyaan Komisi III
Komisi III DPR akan memanggil Kepala Kepolisian Negara RI terkait dengan operasi
penangkapan jaringan teroris di Temanggung. Saya lihat lebih pada profesionalisme, kata
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan.
Salah satu yang akan ditanyakan adalah siapa yang memberikan informasi kepada polisi
bahwa orang yang berada di dalam rumah itu adalah Noordin M Top. Komisi III juga akan
mempertanyakan mengapa waktu penyerbuan baru dilakukan pukul 15.00. Rumah itu sudah
diawasi sejak pukul 07.00. Berarti ada vakum sekitar 8 jam.
Soal pantas tidaknya petugas menembak mati, hal itu juga akan ditanyakan.
Trimedya juga berpandangan, operasi penyerbuan teroris semacam itu tidak pas kalau
disiarkan secara langsung oleh televisi. Selain bisa membocorkan informasi, juga
mengganggu pelaksanaan operasi. (NWO/SUT)
Kompas, Kamis, 13 Agustus 2009

Maling Kontrang-kantring. Salah satu lakon Dagelan Basiyo dkk. Tidak kalah lucu dibanding
lakon Basiyo Mbecak. Perang tanding antara kepiawaian Basiyo dan Darsono, sangat ciamik
dan ger-geran. Ning nek ngerti basa Jawa lho!

Elly, Menyusuri Labirin Perlindungan

(Elly Anita, Kompas, Sabtu, 27 Juni 2009 )

Kalau award ini bisa ditukar dengan (pembebasan) teman yang belum kembali, saya akan
lebih bersyukur, kata Elly Anita. Ia menjadi salah satu dari sembilan orang di dunia yang
menerima penghargaan Pahlawan yang Berjasa untuk Mengakhiri Perbudakan Era
Modern tahun 2009 dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton.
Dia tak menganggap penghargaan tersebut sebagai bentuk pengakuan atas perjuangannya
karena memang bukan itu keinginannya. Elly hanya berharap semakin banyak pihak yang
mendukung pemberantasan jaringan penjahat perdagangan manusia.
Ia masih memikul beban berat memperjuangkan kebebasan rekan-rekannya yang direnggut
pedagang manusia internasional. Sesuatu yang semestinya merupakan tanggung jawab
pemerintah terhadap warga negaranya. Elly bertekad terus berjuang sampai buruh migran
Indonesia yang terjebak praktik perdagangan manusia mendapat perlindungan semestinya
dari negara.
Saya berjanji kepada teman- teman yang masih tertahan di penampungan di Kurdistan akan
membebaskan mereka jika saya berhasil pulang ke Indonesia. Saya tidak bisa tidur nyenyak
selama mereka masih terjebak di Kurdistan, ujarnya.
Ia aktif berkampanye menyadarkan potensi perdagangan manusia terhadap masyarakat dan
giat mengikuti berbagai seminar untuk berbagi pengalaman. Dia berharap pengalaman
buruknya bisa menjadi pertimbangan bagi calon buruh migran lain untuk lebih berhati-hati
jika mendapat tawaran bekerja ke luar negeri.
Menurut Elly, sedikitnya 500 orang Indonesia diselundupkan bekerja di Irak karena terjebak
janji manis sponsor. Teman saya di Dubai menginformasikan, hampir setiap hari ada
pengiriman pekerja Indonesia ke Kurdistan, imbuhnya.
Niat berperan aktif menumpas perdagangan manusia terpatri di benaknya sejak menjejakkan
kaki di Bandara Soekarno-Hatta, 7 November 2007. Ketika itu, Elly bersama Darmiati
kembali ke Tanah Air berkat perjuangan keras setelah 10 bulan terjebak di penampungan
agen pekerja asing di Kurdistan. Mereka bisa pulang berkat perjuangan Elly yang tanpa lelah
dan takut menembus tembok penampungan pekerja asing Bruska di Kurdistan.
Kurdistan termasuk wilayah paling bergejolak di Irak. Apalagi Indonesia tak memiliki
perjanjian bilateral penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Irak. Jadi, ulah
agen pekerja asing menyelundupkan TKI bekerja ke Irak merupakan praktik perdagangan
manusia.
Elly berangkat ke Dubai karena mendapat pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan agen
pekerja asing, Oktober 2006. Dia hanya lulus sekolah dasar, tetapi pengalamannya bekerja di
sejumlah negara membuat Elly mahir berbahasa Inggris dan menggunakan komputer. Baru
seminggu bekerja di Dubai, sang bos kerap mencoba melecehkan hingga ia memutuskan
berhenti bekerja.
Sebelum keluar, saya menelepon agen pekerja asing lain untuk minta pekerjaan, dan dapat.
Saya juga tes wawancara di Kedutaan Besar Libya di Dubai dan diterima sebagai
penerjemah. Namun, agen tak mau melepaskan saya dan berjanji mencarikan pekerjaan lain,
ujarnya.

Elly lalu dipekerjakan sebagai pengasuh bayi dengan gaji 250 dollar AS (sekitar Rp 2,5 juta)
per bulan di rumah istri kedua agen pekerja asing itu. Ia hanya bertahan dua minggu di sini
walau mendapat gaji lebih baik dibandingkan dengan tempat sebelumnya sebesar 600 dirham
(sekitar Rp 1,65 juta). Dia masih saja berusaha memerkosa saya, ujarnya.
Tuntutan Elly untuk berhenti malah dijawab pengusaha itu dengan dua pilihan, pulang ke
Indonesia tanpa uang sepeser pun atau ditempatkan ke Kurdistan.
Pengusaha itu memberangkatkan Elly ke Kurdistan, 18 Desember 2006. Ia belum tahu
tujuannya sampai seorang petugas di bandara Dubai melarangnya pergi. Di sana (Kurdistan)
berbahaya untuk perempuan, ujar petugas itu. Saat Elly berusaha mendapat informasi lebih
banyak, staf agen pekerja asing yang mengawalnya membawa dia ke ruang keberangkatan.
Elly curiga bakal menjadi korban perdagangan manusia saat mendarat di Bandara Erbill,
Kurdistan. Kecurigaannya menguat saat mobil yang mereka tumpangi menuju tempat
penampungan agen pekerja asing Bruska harus berhenti setiap 10 menit karena pemeriksaan
surat identitas penumpang oleh orang bersenjata.
Sesampai di penampungan, Elly bergabung dengan belasan perempuan dari negara lain,
terutama Etiopia, Filipina, dan Indonesia. Mereka digiring masuk keluar rumah penduduk
ditawarkan sebagai pekerja bagi yang berminat.
Labirin perlindungan
Dia baru mengetahui berada di Irak setelah membandingkan uang lokal dengan selembar
pecahan Rp 5.000. Saya langsung lemas saat membaca Bank of Iraq di uang kertas itu,
tuturnya.
Elly lalu mensyaratkan mau bekerja asal majikannya kaya. Dia berharap ada jaringan internet
untuk berhubungan dengan dunia luar. Ia menjadi pengasuh bayi di rumah kerabat penguasa
Irak di Selemania yang dijaga ketat 20 tentara.
Di sini Elly bisa memakai internet dengan sandi dari anak pemilik rumah. Setiap Kamis
malam, saat pemilik rumah berpesta, ia
mencari nomor telepon sejumlah Kedutaan Besar RI di negara yang berdekatan dengan Irak.
Elly sempat mengontak sejumlah orang Kedubes RI dengan harapan bisa keluar dari Irak.
Namun, harapannya pupus karena tak ada akses ke Irak.
Selama lima bulan bekerja di Selemania, Elly menjalani operasi tumor payudara atas biaya
pemakai jasa. Tiga bulan kemudian, perang makin parah di kawasan itu. Ia menuntut pulang
karena tak tahan bekerja dalam kondisi perang.
Dia mogok makan dan berunjuk rasa di depan pintu rumah majikan bersama koper pakaian
selama dua hari dua malam. Majikan akhirnya membawa Elly ke Bruska. Di penampungan
Bruska, ia bertemu Darmiati, TKI yang juga korban perdagangan manusia.
Ia terus berupaya menghubungi sejumlah pihak, mulai dari pemerintah sampai aktivis
Migrant CARE, yang diharapkan dapat membantu. Perjuangan ini bagai menyusuri labirin

yang tak berujung. Namun, perlahan usaha pembebasan Elly dan 15 rekannya di Irak muncul
di Tanah Air.
Sementara itu, dia bersama tiga teman melompat dari lantai dua tempat penampungan.
Mereka menuju markas Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization of
Migration/IOM), lembaga PBB yang mengurusi perpindahan penduduk antarnegara akibat
konflik atau bencana. Setelah hampir sebulan meyakinkan, IOM akhirnya bersedia
memulangkan Elly dan Darmiati.
Penegakan hukum
Ia berharap penghargaan Pemerintah AS itu membuka jalan membangun lobi internasional
untuk memperjuangkan pembebasan korban perdagangan manusia. Ia berharap dunia
internasional bersatu memberantas perdagangan manusia.
Di dalam negeri, Elly giat mengunjungi kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk memantau
penanganan kasus perdagangan manusia yang menimpa dia dan 15 temannya. Dari 16 kasus
yang dilaporkan sejak 2007, penegak hukum baru menyelesaikan kasus Darmiati. Majelis
hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar terhadap pelaku.

Untuk yang 15 kasus lagi belum jelas posisinya. Seharusnya pemerintah lebih aktif
melindungi korban perdagangan manusia, terutama korban yang belum bebas, pintanya.
(Dicopy selengkapnya dari tulisan Hamzirwan,
Kompas, Sabtu, 27 Juni 2009, "Elly, Menyusuri Labirin Perlindungan")

OPINI SUNARDIAN
Merokok Haram, Golput Haram, Korupsi Halal
MENGAKU didesak oleh berbagai pihak, MUI (Majelis Ulama Indonesia) akhirnya
mengeluarkan fatwa. Golput Haram, merokok haram, yoga berkait religiusitas haram.
Fatwa yang mengagetkan banyak pihak, tetapi kelak kita juga akan mengerti, itu tidak bisa
membuat rakyat melupakan kesusahan hidupnya. Bukan karena tidak ada penghiburan di
negeri ini, tetapi banyak hal yang membuat kita sering tidak mengerti.
Tulisan ini tidak dalam rangka menolak keputusan itu, sekali pun juga tidak berusaha untuk
memahaminya.
Beberapa pertanyaan yang muncul soal fatwa haram merokok, misalnya. Bahwa merokok itu
haram bagi ibu yang sedang hamil. Haram bagi anak kecil. Haram bagi pengurus MUI. Dan
haram di tempat umum.
Syukurlah, bahwa haram sekarang sudah dipeta-petakan sedemikian rupa. Sehingga kelak
anak-anak jika sudah dewasa, halal merokok. Ibu-ibu perokok, menunggu sesudah
melahirkan kandungannya, boleh merokok. Demikian juga, para ulama yang bukan pengurus
MUI, halal merokok. Sebagaimana haram dan halal juga ditentukan tempat, bahwa merokok
di tempat umum itu haram, tetapi di tempat khusus halal.
Tiba-tiba, halal dan haram begitu sangat dekat dan jelas batasnya di tengah-tengah kehidupan

kita. Itu jelas sangat membantu, bagi mereka yang suka menentu-nentukan kadar dosa
seseorang. Karena dalam hukum agama Islam jelas, haram itu adalah dosa jika dikerjakan,
mendapat pahala jika tidak dikerjakan.
Yoga sebagai olahraga semata, bagi umat Islam tidak haram. Baru itu menjadi haram jika
yoga berkait dengan ritual keagamaan. Sekali lagi, mohon dipahami karena itu fatwa MUI,
yang hanya berkait umat Islam (itu pun lingkupnya Indonesia), tentu tidak berlaku bagi umat
beragama selain Islam. Saudara-saudara saya yang beragama Hindu, juga mengetahui itu, dan
mereka tetap bisa melakukan yoga-dharma dengan khusyu.
Akan berbeda soalnya, jika pengharaman itu berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, yang
beragam keyakinan dan agamanya.
Namun yakinlah, bahwa negara kita tetap berdasar Pancasila. Kecuali jika ada pihak-pihak
yang ingin mengubahnya, dengan dasar yang lain, hanya karena meyakini bahwa Indonesia
yang sekuler adalah sumber bencananya. Padahal, sumber bencana bukan pada sistem politik,
melainkan bagaimana sistem pemerintah dijalankan dengan sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyat atau tidak.
Apakah untuk kepentingan sebesar-besarnya rakyat itu, maka rakyat harus dan wajib
mengikuti pemilu, dan tidak boleh menjadi golput? Mau tidak mau, kita harus menilai
kualitas kepolitikan kita, mengapa ada golput dan ada goltiput (golongan tidak putih).
Golput sebagai reaksi politik, logikanya, karena ada yang direaksi, dalam hal ini, partai
politik. Maka menjadi naif, ketika sekjen PKS Anis Matta mengatakan, fatwa golput
dikeluarkan dalam pengertian sebagai upaya untuk menaikkan suara pemilih. Padahal, yang
bicara tersebut bukan juru bicara MUI.
Menaikkan atau menurunkan suara, hal itu tidak bisa dialihkan bebannya kepada rakyat
pemilih. Dalam sistem demokrasi seperti apa pun, yang meletakkan rakyat hanya sebagai
obyek, maka kualitasnya akan sangat tergantung pada kualitas subyek pelaku itu sendiri,
yakni partai politik.
Sistem kepartaian kita, telah masuk pada sistem kepartaian liberal, namun kepolitikan yang
dibangun hanyalah sebatas dalam pengertian politik pragmatis, telah menjebak orang-orang
partai memodifikasi politik sebagai jual-beli di pasar bebas. Yang terjadi kemudian pseudo
demokrasi. Parpol kemudian sama dengan barang-barang seperti sepeda motor, kulkas,
televisi, yang ditawar-tawarkan untuk dibeli, dengan cara apa pun. Bahkan, ada partai yang
memakai sistem direct selling, MLM, door to door ke rumah-rumah penduduk
Begitu banyak iklan politik mengenai ajakan untuk mencoblos atau mencentang aku.
Demikian pula di koran maupun televisi, setiap hari ada orang yang memuji-muji diri sendiri
dan menyalahkan pihak lain. Apakah politik hanya seperti itu?
Partai politik tidak melakukan praksis politik dalam arti sesungguhnya. Karena bukan
substansi kepolitikan melainkan hanya politik jual-beli. Partai politik sebagai hajat hidup
orang banyak, dikooptasi dengan menempatkan rakyat sebagai obyek. Politik elitisme ini,
hanya menumbuhkan patron tetapi membiarkan klien. Partai politik tidak mampu melakukan
pendidikan politik, tidak mampu sebagai wahana pendidikan berbangsa dan bernegara, meski
pun acap memakai jargon-jargon demokrasi.
Jika partai politik mampu bekerja sepenuh-penuhnya dan sebenar-benarnya untuk
kepentingan bangsa dan negara, maka ia tidak akan ketakutan dengan munculnya golput.
Kenapa harus takut, jika demokrasi modern yang kita putuskan hanya diikuti oleh 50 persen
dari rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih. Bukankah pemilu tersebut tetap sah, sekali
pun ada golput?
Jika parpol (atau bahkan MUI) merasa risih dengan Golput, itu pertanda bahwa mereka
sendiri tidak memiliki kepercayaan diri, disamping karena ketidakmampuan mengolah
ancaman itu menjadi peluang. Kita terlalu mudah memvonis, tetapi tidak mampu bertanya
apa yang menjadi substansi masalahnya.

Salah satu cara MUI yang setepat-tepatnya untuk menaikkan suara pemilu, adalah dengan
mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang baik. Bagaimana caranya? Seperti halnya
MUI melakukan sertifikasi halal pada produk makanan dan obat-obatan, lakukanlah
sertifikasi halal dan haram pada parpol.
Sehingga dengan demikian, rakyat juga tidak akan ragu-ragu memilih mana parpol yang halal
dan haram, supaya ia tidak terjebak dalam dosa, hanya karena memakan, eh, mencentang
parpol yang tidak diketahui kadar halal dan haramnya.
Siapa tahu, ini juga menjadi cara agar parpol bisa memenuhi standar kehalalan. Sehingga
menjadi makanan atau partai yang bergizi bagi kemaslahatan ummat. Lho, siapa tahu. Kan
lumayan, semakin banyak jumlah partai, semakin banyak dibutuhkan sticker sertifikat halal.
Kita masih menunggu dengan harap-harap cemas, apalagi yang bakal diharamkan oleh MUI.
Kapan korupsi juga diharamkan oleh MUI. Tentu tidak berarti bahwa MUI menghalalkan
korupsi, sekali pun ada laporan dari ICW, bahwa MUI diindikasikan melakukan praktik
korupsi, dalam kasus sertifikasi halal. Bisa jadi, karena korupsi tidak satu kategori dengan
merokok dan golput, maka dia tidak diharamkan.
Wah. Tidak ada komentar.

KOMIK LAWAS

Cover Komik Panji Tengkorak.

Siapa Ayah Kandung Panji Tengkorak?


SIAPA pun Anda, yang sudah melek huruf di tahun 1970-an, pasti tak akan lupa dengan
nama satu ini: Panji Tengkorak. Inilah sosok yang menjadi bagian dari kehidupan remaja di
akhir 1960-an. Dan, tak pelak lagi, nama penciptanya pun menjadi identik, dialah Hans
Jaladara.
Hans adalah salah satu dari 7 "pendekar" komik Indonesia di masanya, selain Jan Mintaraga,
Ganes Th, Sim, Zaldy, Djair, dan Teguh Santosa. Dari 7 pendekar itu, hanya Hans dan Djair
yang masih bertahan. Selebihnya, telah tunduk di depan maut.
Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid, boleh dikatakan karya masterpiece Hans. Meski
karya lain, Walet Merah, Si Rase Terbang juga meraih popularitas. Setelah Si Buta dari Goa
Hantu karya Ganes Th, hanya karya Hans itulah yang mampu menyamainya, difilmkan,
bahkan sampai mengundang aktris Taiwan Shan Kuang Ling Fung sebagai Dewi Bunga.

Setelah Si Buta... populer, sebuah penerbit meminta saya membuat cerita serupa Jan. Tapi
saya tak mampu meniru. Saya buat Panji, meski tetap saja banyak yang melihat mirip karya
Jan," cerita Hans, sebagaimana dikutip Kompas.
Ia pun membuat tokok yang anti-si Buta, Badra Mandrawata. Jika si Buta berambut panjang,
Panji pendek. Si Buta rapi berbaju kulit ular, Panji compang camping. Si Buta membawa
wanara, Panji menyeret keranda. Semua berbeda.
Banyak yang menilai, Panji adalah campuran koboi Italia dan silat Cina masa itu. Bahkan,
adegan menyeret keranda, adalah peniruan dari film A Coffin for Jango yang dibintangi
Franco Nero.
Tiga versi panji
Hans Jaladara bernama KTP Hans Rianto, kelahiran Yogyakarta 1947, anak kedua dari
keluarga Linggodigdo. Nama Jaladara baru ia pakai di awal 1970, karena ada yang meniru
namanya. Ia ambil Jaladara dari komik wayang karya Ardi Soma, Wiku Paksi Jaladara.
Ayah Hans adalah guru bahasa Inggris, yang memperkenalkan Shakespeare. Ia bahkan hapal
pidato Mark Anthony dalam Julius Caesar itu. Ia pun mewarisi bakat melukis.
"Sampai ditimpuk Bu Guru, karena di sekolah menggambar terus," kenangnya.
Kebiasaan membaca meliarkan imajinasinya. Melihat pengemis, kadang ia berpikir itu orang
sakti yang sedang menyamar. Untuk adegan silat komiknya, ia
mempertanggungjawabkannya. Maklum, ia belajar kungfu di Cheng BU Mangga Besar, dan
belajar Judo pada Tjoa Kek Tiong.
Hans mulai berkomik sejak 1966, Hanya Kemarin yang diilhami film Hollywood Only
Yesterday. Honornya kecil. Namun, saat Panji jaya, satu naskahnya sama dengan satu ons
emas.
Namun itu tak lama. 1975, ia menurun. Komik mulai kalah saing. Ia masih bertahan dengan
melahirkan Durjana Pemetik Bunga. Tapi, 1987, ia tersungkur. "Bikin komik, hasilnya tak
seberapa. Temen-temen lain sudah lari, cari usaha lain. Sim misalnya, jauh hari sudah jadi
wartawan," kenangnya.
Untuk bertahan hidup, ia pindah ke Kebumen, 1978-1983, dan 1988-1994. Istrinya,
Risnawati, membuka salon. Ia membeli truk dan pikup, tapi bangkrut. Membeli sedan ikut
taksi gelap, malah tertangkap. "Jiwa saya memang tidak untuk dagang." Ia tertawa.
Selama di Kebumen itu, dia masih mengirim naskah ke Jakarta, meski hasilnya sangat kecil,
tak dapat diharapkan menjadi sumber penghidupan. Daya gembur komik Jepang tak dapat ia
hadapi.
Namun, dalam "dunia persilatan"yang kacau itu, Hans akhirnya melahirkan "tiga Panji";,
setidaknya di mata pengamat komik, Seno Gumira Ajidarma. Pertama, Panji Tengkorak 1968.
"Adegan perkelahian silatnya melahirkan gambar koreografi yang artistik. Para petarung
bergerak bagai penari, bentuk dan gerakan tubuh ditata harmonis. Ia tak mengacu pada
pentuk baladiri mana pun, setia pada imajinasinya," nilai Seno di situs komikaze.

Panji kedua, 1985. Hans sudah terpengaruh Jepang. Gerakan silat pertarungan, khas kungfu
baku, seolah diambil dari buku petunjuk. Kostum bajak laut 1968, jadi bajak laut Jepang
1980-an. "Terjadi degradasi di segala aspek, mengurangi teks, mengosongkan ruang gambar."
Hans mulai diikat pasar.
Tapi, kehancuran Panji di mata Seno, terjadi saat Hans menggambar ulang untuk ketiga kali,
1996. "Semua gaya mengadopsi sepenuhnya pada komik Jepang. Mata yang membelalak dan
bidang gambar yang bersih tanpa arsiran memenuhi ruang gambar, teks yang pendek. Hans
Jaladara yang jago dalam detail dan imajinasi, seperti pelukis yang dikebiri," kecam Seno.
"Tak ada lagi pendekar bercaping yang berjalan di lembah sunyi, rimbun dan berkabut, yang
memberi perasaan teduh. Tak ada lagi gerobak eksotik yang berderak lambat di tengah
padang rumput atau tepi jurang. Juga pertarungan yang artistik dalam siluet hitam
membayang. Tak ada lagi drama. Ibarat kata, Panji Tengkorak cuma tinggal tengkorak, tanpa
daging, apalagi nyawa. Yang tersisa hanya kostum genit dari pertunujukan yang gagal!"
Pengakuan Hans: semua atas pesanan penerbit.
Perubahan drastis itu tetap saja tak berpengaruh apa-apa pada pasar. Komik itu tak juga laku,
apalagi meledak. Inilah yang dinilai Seno, kesalahan kategoris dalam "mengangkat kembali"
komik Indonesia. Karena komik kemudian berubah mengikuti selera pasar, bukan kembali ke
asalnya, artistik semula, dengan strategi pasar yang baru. Untunglah, telah ada penerbit dari
Yogya, yang akan menerbitkan serial Panji dalam bentuk aslinya.
Kelesuan komik itu membuat Hans berusaha menaikkan profesi, jadi pelukis. Tapi sudah
terlambat. Beberapa kali mengikuti pameran, nasibnya tak kunjung beranjak. Ia datang di saat
yang tak tepat, ketika booming lukisan sudah redup, tak seperti di awal 1990-an.
Kini, sejak 1995 ia kembali ke Jakarta, menempati rumah di kawasan Lippo Cikarang, 30
kilometer sebelah timur Jakarta. Ia masih aktif berkomik di majalah Kita, mengasuk rubrik
"Mari Menggambar bersama Pak Hans", dan membuat serial Kita dan Tata. Tiga kali
seminggu, ia mengajar menggambar di SD, SMP, dan SMU Pelita Harapan.
Apa pun kecemerlangan dan kesuraman masa komik Hans, kini, dengan tunjangan usaha
istri, ia telah memiliki rumah, dan anak yang sukses bersekolah. Putrinya, Maureen Maybelle
(26) sarjana sastra Inggris UKI, dan Elizabeth Visandra, masih kuliah di desain grafis
Tarumanegara, mengikuti jejak ayahnya.
Hans apa boleh buat, ibarat pesilat yang telah terlanjur masuk dunia persilatan. Tak ada lagi
jalan mundur. Bertarung atau mati. Maka, ia pun tetap berkelana, dalam dunia yang mulai
dilupakan. (Aulia A Muhammad/berbagai sumber)
(Diambil dari Harian Suara Merdeka, 8 Mei 2009)

BUKU KONTROVERSI
Mari, Terus Saja Menulis!

Kompas, Jumat, 19 Juni 2009


Terus saja menulis. Mengungkapkan hal-hal yang patut dibaca dan disebarluaskan untuk
mengungkap fakta, selama tulisan itu bukan untuk mengganggu ketertiban masyarakat.
Demikian pendapat sejarawan Asvi Warman Adam. Pendapat itu menjawab pertanyaan
Kompas, apakah masyarakat perlu lebih hati-hati menulis buku, terutama berkaitan dengan
sejumlah buku yang sedang diteliti Intelijen Kejaksaan Agung.
Kejaksaan yang harus lebih hati-hati melakukan pekerjaannya, ujar Asvi, pekan lalu.
Dalam jawaban tertulis Jaksa Agung pada rapat kerja dengan Komisi III DPR, 11 Mei 2009,
disebutkan, Bagian Intelijen Kejagung telah dan sedang membahas sejumlah buku.
Pembahasan dilakukan oleh bidang Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan, dalam
proses clearing house.
Ada lima buku yang dibahas, yakni Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra),
Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di
Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise),
Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965
(ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba
Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia),
dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan
Kajian Alquran Siranindi).
Rhoma Dwi Aria saat dihubungi Kompas mengaku, ia tahu bukunya diteliti Kejagung justru
dari rekannya. Ia juga tak tahu bagian mana di dalam bukunya yang dipersoalkan kejaksaan
sehingga harus dibahas di clearing house. Saya tidak pernah diberi tahu kejaksaan soal
pemeriksaan buku itu, katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung M Jasman Panjaitan yang ditanya soal
pengawasan media dan barang cetakan menyebutkan, kewenangan itu masih ada pada jaksa.
Pertimbangannya, jangan sampai ada buku atau media cetak yang mengganggu
ipoleksosbudhankam, katanya.
Menurut Jasman, jaksa tak sembarangan menggunakan kewenangan itu.
Ipoleksosbudhankam adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan
keamanan. Langkah Kejagung mengawasi barang cetakan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan dan UU Nomor 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan Barang yang
Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Asvi membenarkan, kejaksaan punya hak dan tugas mengawasi barang cetakan yang bisa
mengganggu ketertiban umum. Persoalannya, kejaksaan mestinya dapat menentukan, apa saja
yang dapat dikategorikan mengancam ketertiban umum dan meresahkan masyarakat.

Asvi lantas mengingatkan langkah kejaksaan tahun 2007, yang melarang beredarnya buku
sekolah yang tidak mencantumkan kata PKI pada peristiwa gerakan 30 September.
Langkah kejaksaan itu banyak dikritik.
Apakah pengungkapan fakta yang selama ini ditutupi Pemerintah Orde Baru dapat dikatakan
sebagai mengganggu ketertiban umum? kata Asvi.
Mengenai buku John Roosa, menurut Asvi, adalah tulisan ilmiah yang menggunakan
referensi tentang kepustakaan peristiwa tahun 1965. Buku setebal 390 halaman itu
menyertakan wawancara lisan dengan pihak terkait dan arsip yang sahih. Secara ilmiah,
dapat dipertanggungjawabkan, komentar Asvi. Buku Rhoma dan Muhidin adalah dari koran
terbitan Lekra.(dewi indriastuti)

Melodrama Oh Melodrama
Kompas, Minggu, 7 Juni 2009
Budi Suwarna
Ketika melodrama di layar televisi mengepung pemirsa, kehidupan nyata kita sebenarnya
sedang kehilangan pijakan. Lalu, kita mau apa? Dulu, melodrama muncul dalam sinetron dan
telenovela. Biasanya, kisahnya berkutat pada pertentangan antara kebajikan dan kezaliman,
ketidakberdayaan dan kesemena-menaan. Hampir selalu ada tokoh teraniaya, dan kita digoda
untuk berempati pada kisah hidupnya yang menguras air mata.
Selanjutnya, pendekatan melodrama juga digunakan dalam reality show dan infotainment
yang memenuhi layar kaca sekarang ini. Melalui reality show, pemirsa antara lain disuguhi
kisah dramatik perempuan cantik yang dihamili sang pacar, kemudian diusir keluarganya. Di
infotainment, kita bisa menonton kisah keretakan rumah tangga, perselingkuhan, hingga
perebutan anak yang mengharu biru.
Pendekatan macam ini ternyata menarik perhatian pemirsa dan mendongkrak peringkat
(rating) reality show dan infotainment, bahkan mengalahkan sinetron. Acara-acara seperti ini
pun terus diproduksi dan direproduksi.
Selanjutnya, demi menemukan kisah-kisah paling dramatik, pembuatnya semakin berani
menerobos batas antara ruang privat dan publik.
Prita dan Manohara
Belakangan ini sebagian pembuat berita juga mulai tergoda dengan pendekatan melodrama.
Dalam arti, mereka tidak saja mengutamakan fakta, tetapi juga menggali sisi-sisi dramatis
yang menguras air mata.
Contoh paling gamblang adalah pemberitaan soal Prita Mulyasari dan Manohara Odelia
Pinot, yang dua-duanya bersumber pada masalah pribadi. Prita mengeluhkan pelayanan
Rumah Sakit Omni Internasional melalui surat elektronik yang dikirimkan ke beberapa
temannya. Belakangan, surat tersebut tersebar di internet dan berkembang menjadi urusan
yang rumit.

Setelah kasus ini mencuat ke publik, terjadilah kontestasi kepentingan. Pihak Omni yang
merasa terganggu dengan surat Prita lantas melayangkan gugatan ke pengadilan. Prita pun
harus mendekam di penjara. Jelas, betapapun ini preseden teramat buruk bagi kebebasan
menyatakan pendapat pada era ini. Sebagian mediaterutama televisimenonjolkan
penderitaan Prita yang harus berpisah dengan kedua anaknya yang masih balita. Gambar Prita
menangis diulang berkali-kali.
Kasus Manohara bermula dari persoalan rumah tangga. Kasus ini mencuat ke publik terutama
lewat pemberitaan gencar infotainment. Infotainment memberitakan detik-detik pembebasan
Manohara yang menegangkan langsung dari Singapura. Penyiksaan yangkonon
dilakukan suami Manohara pun diulas habis.
Kedua kasus ini cukup menyita perhatian pemirsa. Namun, pada akhirnya, melodrama Prita
lebih berhasil meraih simpati publik dibandingkan Manohara. Masyarakat cyber, yang merasa
terancam kepentingannya karena menulis di internet bisa dipenjara, menggalang dukungan
melalui Facebook. Bahkan, calon presiden pun memanfaatkan isu ini di awal masa
kampanye. Jusuf Kalla menelepon beberapa instansi untuk meminta agar Prita dibebaskan
dari tahanan. Megawati memilih mengunjungi Prita di tahanan.
Meski begitu, Juru Bicara Kampanye Nasional JK-Wiranto Yuddy Chrisnandi dan Sekretaris
II Tim Kampanye Nasional Mega-Pro, Hasto Kristianto, mengatakan, hal tersebut merupakan
aksi spontan, bukan bagian dari strategi pencitraan atau kampanye.
Melodrama memang membuat kisah menjadi lebih menarik sebagai tontonan. Namun,
melodrama sering kali asyik mengangkat unsur dramatis sambil melupakan yang substansial.
Bahaya melodrama
Itu sebabnya, dosen Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, ST Sunardi, menilai, pendekatan melodrama sesungguhnya mengandung bahaya
besar. Pasalnya, imajinasi yang ditampilkan begitu-begitu saja dan miskin retorika. Padahal,
pendekatan dengan imajinasi dan retorika dangkal itu digunakan untuk memotret kehidupan
masyarakat nyata.
Apa akibatnya? Orang akan berpikir bahwa masyarakat yang nyata adalah yang ada di dunia
melodrama. Hal ini pada akhirnya akan memiskinkan orang untuk melahirkan imajinasi
sosial yang sehat. Orang menjadi tidak realistis dan kehilangan pijakan sebab dunia yang
ditonton sesungguhnya dunia drama.
Sunardi meminta media massa memberikan pilihan-pilihan pendekatan. Jangan hanya
menonjolkan yang banal, tetapi juga yang substansial.

CENTHINI, 40 MALAM MENGINTIP SANG


PENGANTIN

Telah terbit novel karya Sunardian Wirodono, "Centhini, 40 Malam Mengintip Sang
Pengantin". Sebuah novel dengan latar belakang budaya Jawa jaman Sultan Agung
Hanyakrakusuma pada abad 16. Digubah dari Serat Centhini karya Pakubuwana V Raja
Kraton Surakarta. Sebuah novel dengan sudut pandang yang berbeda, mengenai budaya
agama, seksualitas dan norma masyarakat Jawa abad pertengahan. Ukuran buku, 14x20 Cm,
510 hal, harga Rp 58.000. Bisa dibeli di TB Gramedia seluruh Indonesia, atau hubungi
penerbit, Diva Press, Yogyakarta, atau www.divapress-online.com. Mengapa Serat Centhini
sastra klasik Jawa ini dituding kontroversial dan sarat pornorafi? Lantas, apa kemudian yang
terjadi, jika novel Centhini ini hanya berfokus pada 40 malam pengantin Syekh Amongraga
dan Tambangraras, apakah tidak akan lebih mesum dan kotor dari Serat Centhini yang konon
dikatakan sebagai ensiklopei budaya Jawa itu? "Saya bahagia bisa merampungkan novel ini,
Karena menurut saya terlalu banyak salah sangka tentang Centhini" kata Sunardian yang
berproses kreatif mengenai Centhini selama hampir lebih 10 tahun, untuk kemudian
menuliskannya ketika mendapat tawaran Edi AH Iyubenu, direktur Diva Press, yang
memberinya keleluasaan waktu. Novel Centhini ini, merupakan bagian pertama dari trilogi
Centhini. Dua selanjutnya, Perjalanan Cinta Centhini, dan Petualang Jalang Cebolang. Ketiga
novel ini, merupakan penginonesiaan terlengkap dari Serat Centhini yang aslinya 12 jilid
dalam bahasa Jawa itu. Proses pengindonesiaan dari bahasa aslinya secara tekstual sangat
berat. Namun penulis yang memahami budaya Jawa ini, dengan latar belakang
kepenyairannya, mampu mengubahnya tanpa harus merusak spirit Serat Centhini asli.
Bahkan dengan nada sinikal dan penuh humor, novel ini kadang mengejek dan memainmainkan teks (Serat Centhini) yang kadang memang terasa ambisius itu. "Tapi, bagi saya,
Serat Centhini memang karya sastra Jawa yang mengasyikkan, karena meski ditulis pada
abad 18, ini adalah karya sastra Jawa yang sangat kontroversial dan dengan spirit
kontemporer," kata Sunardian mengenai karya Pakubuwana V ini. Ia menunjukkan karakter
manusia Jawa yang terbuka, dekaden dan berani. Tidak banyak orang Jawa yang siap dan
suka dengan hal itu. (ASA, 2009).

BRUTUS

Brutus yang dimaksudkan dalam novel "Syair Panjang Aceh" dalam bab 15 hal 312, adalah
sebagai berikut:
Marcus Junius Brutus (85 42 SM), atau Quintus Servilius Caepio Brutus, adalah
seorang senator Romawi yang dikenal oleh dunia modern sebagai pemimpin konspirasi
pembunuhan Julius Caesar.

Kronologi kehidupan

85 SM Dilahirkan di Roma
58 SM Asisten Cato, gubernur Siprus

53 SM Menjabat quaestor di Cilicia

49 SM Ikut bersama Pompey ke Yunani pada masa perang saudara melawan Caesar

48 SM Diampuni oleh Caesar

46 SM Diangkat menjadi gubernur Gaul

45 SM Diangkat menjadi Praetor

44 SM Membunuh Caesar dengan senator-senator lain; lari ke Athena dan


selanjutnya Kreta

42 SM Mencoba merebut Roma pada Pertempuran Philippi; gagal dan bunuh diri

Danny Boyle

Sutradara Terbaik dari Film Terbaik "Slumdog Millionaire", Oscar 2009. Foto by EPA/PAUL
BUCK

Opini Pemilu

Golkar, Dilema sebuah Partai dalam Pragmatisme Politik


SUNGGUH tidak mudah menjadi partai Golkar. Ia adalah partai pemenang Pemilu 2004, dan
sampai kini pun tetap menjadi partai terbesar, di luar pesaingnya, PDI Perjuangan.
Blunder politik Golkar, mau tidak mau harus dilihat dalam posisi Jusuf Kalla selaku ketua
umum. Ini bukan sekedar pesoalan JK orang yang pantas atau tidak pantas menjadi capres
dalam posisinya sekarang ini menjadi wapres dari pres yang berasal dari Partai
Demokrat. Apalagi, Demokrat bukan pemenang Pemilu 2004, dengan perolehan suara di
bawah 10%, dan kalah jauh dengan Golkar.
Di situ ada sejarah yang susah untuk dipertemukan, dengan logika politik apa pun, kecuali
pragmatisme politik itu sendiri.
Politik Indonesia yang mendewa-dewakan jargon tidak ada kawan abadi selain
kepentingan, atau politik adalah seni menggapai kepentingan, maka jargon-jargon itu
membentuk mainstream pemikiran kepolitikan kita yang pragmatis. Azas kemanfaatan
menjadi jauh lebih menonjol, dan managemen by product lebih utama dibanding management
by process.
Sementara itu, sistem kepartaian kita yang memakai azas floating mass (massa
mengambang), dalam pragmatisme itu menjadi kepolitikan yang elitis.
Maka berbagai kecenderungan yang tampak, partai politik bukanlah sesuatu yang berproses
secara wajar. Akibatnya, yang tidak wajar dianggap sebagai wajar. Adanya kutu loncat, kader
karbitan, berjibunnya parpol, caleg selebritis, iklan politik, konsultan politik dan media,
semuanya dianggap sebagai hal yang wajar dalam demokrasi modern.
Politik dalam pengertian substansialnya, sama sekali tidak tersentuh.
Gejala pencanggihan dalam berpolitik menjadi menonjol, namun hanya dalam upaya agar
partai mendapat dukungan sebanyak-banyaknya suara rakyat. Sekali pun mereka selalu
mendengungkan bahwa kehadirannya untuk sebesar-besarnya manfaat bagi kesejahteraan
rakyat. Antara sebesar-besarnya suara dari rakyat dengan sebesar-besarnya manfaat bagi
rakyat, adalah dua hal yang sama sekali tidak berhubungan, selain hanya sebagai alasan.
Golkar, tidak berada jauh-jauh dari prototype kepartaian kita pada umumnya. Hanya ia
memiliki sejarahnya sendiri, dan memiliki kemampuan untuk menjalankan mesin politiknya
sedemikian rupa, karena posisi dan statusnya.
Namun dalam praksis politiknya, juga tidak mudah bagi Golkar untuk mempunyai keyakinan
diri. Maka berbagai paradoks pun bermunculan, karena sebagai partai yang memerintah,
Golkar berada di posisi kedua, karena ketua umum mereka yang hanyalah wapres tersebut.
Sementara, meski bukan pemenang Pemilu, dengan SBY sebagai presiden dan representasi
dari Partai Demokrat, klaim-klaim keberhasilan pemerintahan, bisa memunculkan dilema
bagi Golkar. Untuk itu, kita bisa melihat, iklan-iklan politik antara Partai Demokrat dan Partai
Golkar menjadi overlap.
Sejarah kehadiran JK sebagai orang Golkar, juga menjadi pangkal musababnya. Mundur dari
pencapresan konvensi Golkar 2004, JK tidak mewakili partai menjadi cawapres bagi SBY. JK
adalah bagian dari paket Demokrat. Dan mereka mampu mengalahkan Megawati-Hasyim
Muzadi dari PDIP (yang juga didukung oleh kelompok Akbar Tanjung) serta mengalahkan
pula Wiranto-Solahuddin Wahid dari Golkar (yang tidak didukung kelompok Akbar Tanjung).
Persoalan yang dihadapi Golkar sekarang adalah, tetap mencalonkan ketua umumnya
menjadi cawapres atau presiden. Ini berkait dengan blunder sebelumnya, karena begitu
menjadi wapres, JK mampu merebut posisi ketua umum Golkar, yang waktu itu berada di
tangan Akbar Tanjung. Kemenangan Golkar 2004, adalah kerja keras Akbar Tanjung, dan JK
memetiknya di tikungan, setelah menjadi wakil presiden. Pragmatisme politik Golkar,
mendepak Akbar Tanjung, pendiri dan martir Golkar sebagai partai politik. Jika Golkar selalu
mengaku sebagai partai baru yang tidak berkait dengan Soeharto, maka Golkar haruslah

dilihat dari Akbar Tanjung yang mengubah Golongan Karya menjadi partai politik (1999).
Dalam dilema itu, bukan hanya posisi JK yang tidak diuntungkan, tetapi hal itu berantai
dalam gejolak internal Golkar. Bagaimana pun, penghapusan konvensi model Akbar Tanjung
dulu (sekali pun juga dinilai tetap elitis, karena tetap dikuasai DPD-DPD Golkar),
menunjukkan ambivalensi internal Golkar. Karena di dalamnya, ada kubu yang ingin
mendorong JK menjadi capres, karena itu berpengaruh pada martabat dan spirit partai, tetapi
performance JK, juga menjadi sebab yang lain dalam mendapatkan dukungan yang tidak
solid.
Meski orang-orang Akbar Tanjung berhasil disingkirkan dari elite Golkar, namun
sebagaimana tampak dari pemandangan umum Mukernas Golkar 2008, muncul suara-suara
yang merepresentasikan perbedaan di kalangan Golkar sendiri. Alasan bahwa itu adalah
dinamika politik, tidak bisa dimengerti ketika komando atau mesin partai menjadi tidak
produktif. Artinya, jika pun itu menunjukkan dinamika, hal itu berarti mereka tidak mampu
mengelola dinamika.
Jika Golkar menang dalam pemilihan legislatif April 2009, adakah jaminan mereka akan
mendorong JK menjadi capres? Tidak ada jaminan, karena konstelasi politik menjadi tidak
sederhana. Dan JK menjadi kartu mati bagi Golkar.
Konstelasi politik ini menjadi semakin tidak mudah, ketika Megawati pun kebingungan untuk
mendapatkan pendamping. Hal itu agak berbeda dengan SBY yang jauh memiliki lebih
banyak calon pendamping, sebagaimana calon-calon lainnya, seperti Yudi Chrisnandy,
Fadjroel Rachman, Marwah Daud Ibrahim, Wiranto, Kivlan Zein, Sutiyoso, Bugiakso, Saurip
Kadi, dan lain-lain yang mencalonkan diri menjadi presiden.
Golkar menjadi kontra-produktif menghadapi kalkulasi politik yang njlimet itu, karena
tingkat kepentingan dan agenda yang over-loaded.
Apalagi, muncul faktor yang membuat para elite capres itu pusing tujuh keliling, ketika
Sultan Hamengku Buwono X menyatakan siap menjadi Presiden RI 2009. Itu sesuatu yang
tidak dinyana, karena sebagai orang daerah Sultan HB-X adalah pendamping paling
representatif, yang bisa diharap menaikkan legitimasi dan pamor politik siapa pun yang
menjadi capresnya.
Sayangnya, Sultan HB-X sampai hari ini tetap kukuh pada komitmennya untuk menjadi
capres, bukan cawapres. Dan itu membuat panas-dingin siapa pun, termasuk dan khususnya
di internal Golkar sendiri.
Reaksi yang muncul di elite Golkar, atas berbagai manuver Sultan HB-X, makin
menunjukkan ketidakmampuan mereka memahami dan menguasai masalah. Di situ, JK diuji
kemampuannya sebagai ketua partai. Jika dalam urusan internal partai ia menunjukkan
kegagalan, Golkar akan terkena imbasnya dalam pemilu 2009 ini.
* Sunardian Wirodono, direktur Equacom Yogyakarta, pembelajar masalah komunikasi dan
media politik.

Sufi Menjual Kambing


Suatu malam seorang ulama Sufi bermimpi bahwa ia sedang menjual seekor kambing yang
gemuk.
"Berapa harga kambing ini ?" tanya seorang calon pembeli."Dua belas dinar." kata sang sufi.
"Tujuh dinar."
"Tidak boleh."
"Delapan dinar."
"Tidak boleh."
Ketika tawaran mencapai sembilan dinar, sang sufi terbangun dari tidurnya. Ia membuka

kelopak matanya dan mengusapnya.


Tak seekor kambingpun ia lihat. Pun tak ada calon pembeli. Cepat-cepat ia memejamkan
matanya lagi sambil berkata."Kalau begitu, baiklah, sembilan dinar boleh kamu ambil."

Matikan TV-Mu, 2005.

Sunardian Wirodono, MBM Tempo No. 51/XXXIV/13-19 Februari 2006

Criticizing terror on television


Sunardian Wirodono's Matikan TV-mu! (Turn off your TV!) invites readers to reflect on the
significance and existence of television amid the Indonesian people's struggle for survival
Jakarta PostSunday, February 12, 2006
By Syahrul Kirom
Matikan TV-mu!(Turn off your TV!)Sunardian WirodonoResist Book, Yogyakarta,
December, 2005178 pp.
Television is a medium with the widest and easiest access to the Indonesian public. It has
become a family requirement, virtually even a primary need. Nearly all families from cities to
remote villages possess TV sets.
With television the public can reach information, gain scientific knowledge and enjoy
programs as desired with ease, only by pushing buttons to select the TV stations preferred.
Matikan TV-mu! (Turn off your TV!) by Sunardian Wirodono, at least deals with and reveals
several facts about television broadcasts that are packed with illusions, hyper-reality and
inclined to exploit TV audiences. Some examples are religious dramas, game zones,
infotainment, reality shows and surprise money programs.
More ironically, criminal news on TV is frequently discriminatory and only highlights alleged
criminals with a gory appearance. It seems as if the perpetrators were to blame; then the
police come across as judges or heroes who help citizens. It is a set manipulation that requires
review.
On the other hand, audition programs like AFI, KDI, API and Indonesian Idol, which rely on
SMS to pick its winners, tend to be materialistic. Winning on such shows lay no significance
on quality, but rather the quantitative value of messages sent. Values of intelligence,
capabilities, skill and professionalism are no longer recognized.
Inevitably, concludes Matikan TV-mu!, the paradigm adopted in the television business is
pragmatic, populist and capitalist in nature.
This paradigm gives rise to deviations in the television industry from the ban on broadcast
programs that expose sexuality, violence and supernatural phenomena, as stipulated in
Decision No. 009/SK/KPI/8/2004 issued by the Indonesian Broadcasting Commission (KPI).
TV shows finally have adverse effects on children as their main victims, because of children's
inability to filter out and distinguish meaningful programs from meaningless ones. Teenagers
can implicitly develop a passive personality due to their lack of empirical knowledge of

association.
Meanwhile, housewives are losing their identities as they allow their self-confidence to be
swayed by the disconcertingly diverse entertainment offered on TV.
As Sunardian writes, television not only provides room for virtual freedom and diplomacy,
but also creates new awareness. In fact, the mass media should enable a more intensive
learning process of social norms.
The impact, however, may be negative, depending on viewers' attitudes toward some
particular substance presented. So TV audiences should at least have an adequate capacity of
reasoning, perception, abstraction and bargaining -- but critical analysis has not yet been
instilled in society so far.
When viewers are terrorized by television, according to Matikan TV-mu!, they are indirectly
being rendered shallow and dull. The virtual reality created by television through crime,
violence and sexuality along with commercials causes most people to develop static, stagnant
and narrow thinking.
Sunardian, with his competence and experience in Indonesia's television industry, intends to
criticize through his book certain stations like Indosiar, ANTV, RCTI, SCTV, TPI, Metro TV,
Global TV, Lativi, Trans TV and TV-7 for the lack in educational value of some of their
shows, with their tendency toward deception and program manipulation.
Consequently, people become dull, uncritical, apathetic, escapist, mesmerized, unrealistic,
forgetful, prone to mystical means and skepticism, while imitating a hedonistic and
consumerist lifestyle.
If the public is supposed to exercise self-restraint, it should dare to stop watching by turning
off TV sets as soon as worthless programs appear. All the shows aired on TV constitute a
symbolical reality, and such reality is not what occurs in our actual daily lives.
Containing systematic, analytic and objective explanations, Matikan TV-mu! invites readers
and the general public to reflect on the significance and existence of television amid the
Indonesian people's struggle for survival. It suggests that TV audiences should not take
everything presented for granted, but rather should be able to make critical and objective
evaluations so as to prevent the growth of TV terror as posed by producers.
The presence of television has become the terror of human life. This terror is becoming acute,
with a high risk of producing negative psychological effects that can change the character and
mentality of coming generations.
The writer is a librarian residing in Yogyakarta.

Tan Malaka

Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan

Oleh: Rizal Adhitya Hidayat - Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul


SAMPAI kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan
Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton
sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan
finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam
persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah warisannya yang paling
otentik.
Tan menginginkan Madilogsingkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logikasebagai
panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Inilah warisan perantauannya
yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan
kultus takhayul yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir,
mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai
riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini
berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains.
Madilog adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi ilmiah melalui serangkaian proses
berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis, dan logis dalam mewujudkan sebuah
tujuan secara sistematis dan struktural. Segala dinamika permasalahan duniawi dapat terus
dikaji dan diuji sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas sains; yang batas-batasnya
bisa ditangkap oleh indra manusia.
Namun, lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah juga sintesis perantauan dari seorang Tan
yang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terjabarkan ke dalam dua sense of extreme
urgency point pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog dalam ranah Indonesia.
Pertama, Madilog lahir melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran
filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis,
dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui
perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang
paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain.
Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran
(ide) lebih penting daripada matter (benda).
Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah
matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain sampai
tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi
Marx-Engels lebih penting daripada ide.
Nah, dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat
ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas
dari alam pikiran mistis. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika
ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf
perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi
berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses merantau secara
pemikiran karena berbagai benturan ide yang terjadi.
Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau
dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau
demi pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan
antiparokial. Konflik batin khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional,
didukung dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir
yang logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup; yang tersusun
dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang
umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun
dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan

(Mrazeck, 1999).
Sebagai sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan
berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa reserve.
Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum
bermental budak/pasif yang sebenarnya. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala
Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka. Lembar demi lembar ditulisnya di bawah
suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun Madilog-lah
yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya
dari Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati (1943).
Sumber: Majalah Tempo, 23 Agustus 2008

PEMIMPIN MENGABDI PADA RAKYAT


Seorang pemimpin tak boleh mengharapkan imbalan dari rakyat Mengabdi pada rakyat
berarti memberdayakan rakyat agar tercipta masyarakat mandiri dan kualitatif, yakni
masyarakat yang bangkit kreativitas inovasinya Kondisi bangsa yang memprihatikan ini,
membutuhkan pemimpin yang mampu memanusiakan manusia. Sehingga, rakyat merasa
terayomi, rasa keadilannya terpenuhi, harapan rakyat bangkit kembali untuk hidup sejahtera.
Human commitment harus dimiliki setiap pemimpin dan wajib dilakukan. Bukan hanya
berupa kebijakan atau ucapan vulgar saja. Dengan dalih menolong orang miskin, pemerintah
menyediakan kredit, tapi pakai borg. Itu kan omong kosong. Tugas saya hanya menolong
orang miskin agar mempunyai aset. Negara ini butuh pemimpin yang berani menegakkan
hukum. Karenanya si pemimpin harus bersih dulu, baru pantas membersihkan bawahannya.
Kita harus berani memberi roh atau nilai baru pada kearifan lokal, mengartikan kembali nilainilai universal yang dikandungnya, yang mempunyai korelasi dengan tantangan
perkembangan zaman. (Dikutip dari majalah INTISARI, Februari 2004)

SYAHIE PANYANG ACEH

Ini adalah Seri Cuplikan Novel Sunardian Wirodono terbaru, Syahie Panyang Aceh, yang
akan diluncurkan awal 2009. Mengenai sejarah Aceh, dari Daud Beureuh hingga GAM dan
tsunami 2004. Sesempatnya, akan selalu diperbarui, hingga bab ke 20 dan epilognya. Selamat
mengikuti.

Bab Satu
Edisi lalu, telah dikutipkan selengkapnya Prolog "Syair Panjang Aceh". Ini adalah
kelanjutan. Bab 1. Baru akan diganti jika sudah ada tiga complaint. Begitu seterusnya.
1948. MALAM TAK BERBINTANG. LANGIT SEOLAH LAYAR kusam menyelimuti
bumi. Udara tak terkatakan lagi dinginnya.

Kutaraja bagai kota mati. Tak ada sesiapa lewat. Hanya senyap. Sayup kadang masih
terdengar, syair para cek didong mengiring tari seudati di kampung-kampung.
Seu keulua narit nyang seungkoe,
Meuwoe keudroe achee masa,
Lon peuingat bak gata adoe,...[1]
Suara mereka merdu-mendayu. Naik-turun, lamat-lamat, bersama sunyi malam yang pekat.
Suara syair itu bertingkah dengan suara tepukan tangan yang ritmis. Membentuk pola musik
rampak, penuh tenaga, tapi juga persahabatan yang hangat.
Daud Beureueh menghela nafas. Ia duduk gelisah di salah satu kamar Hotel Atjeh. Di
sekelilingnya, para ulama duduk mengitari. Tapi suasana begitu senyap dan menegangkan.
Tiga tahun yang lalu, bukan waktu yang panjang untuk ingatannya yang kuat. Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, rakyat Aceh berada pada barisan depan untuk
mendukung. Bagi para ulama Aceh sendiri, termasuk dirinya, perang kemerdekaan adalah
perang sabil melawan Belanda.
Di bawah kepemimpinan Daud Beureueh, kedudukan ulama menanjak. Daud Beureueh
sendiri adalah seorang gubernur militer Republik Indonesia pada 1947 untuk Propinsi
Sumatera Utara. Pada masa pemerintahan darurat yang berkedudukan di Bukittinggi, sejak
Desember 1948, juga mengakui propinsi otonom Aceh dengan dirinya sebagai gubernur.
Tapi kini?
Bek tateek duraoe bak jalan raya,
Takueh keugob meuwoe keudroe,
Penyakeet tabloe utang tapeuna,...[2]
Sayup di kejauhan, suara para cek didong menggoda. Mata Daud Beureueh nyalang ke
kejauhan.
Dalam keremangan malam, sebuah mobil sedan bermoncong panjang, menyelinap masuk ke
halaman hotel. Salah seorang penumpangnya, seorang lelaki berseragam TNI turun dengan
sigap dan kemudian membukakan pintu mobil belakang. Presiden Sukarno, dengan
uniformnya yang megaloman, turun dari mobil disusul Mohamad Natsir.
Dengan cepat ketiganya kemudian masuk ke hotel, menemui Daud Beureueh. Di dalam
kamar hotel tampak penuh sesak, apalagi ruangan memang tak cukup luas.
Dengan langkah cepat, Sukarno mendekat ke arah Daud Beureueh yang segera menyambut.
Keduanya berpelukan dan saling cium pipi.
Setelah berbasa-basi, Sukarno langsung pada maksudnya, Tolong bantu revolusi ini,
perjuangan kemerdekaan ini,...
Daud Beureueh tak segera menjawab. Semua yang hadir di situ, menunggu apa yang hendak
dikatakan ulama besar itu.
Daud Beureueh menatap tajam mata Sukarno.
Untuk apa Indonesia merdeka? Daud Beureueh justeru balik bertanya.
Sukarno gagap. Tak lama kemudian ia menjawab, Untuk Islam, Kak!
Betulkah ini?
Betul, Kak.
Betulkah ini?
Betul, Kak.
Betulkah ini? Daud Beureueh bertanya untuk ketiga kali.
Betul, Kak. Sukarno menjawab dengan nada yang sama. Saya seorang Muslim,
ditakdirkan Tuhan sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, yang baru

kita proklamirkan. Sebagai seorang Muslim, saya bersumpah bahwa kemerdekaan kita ini
adalah untuk Islam. Jadi tolong Kakak berikan sokongan, untuk mempertahankan
kemerdekaan Republik kita ini.
Mendengar jawaban Sukarno, Daud Beureueh kontan memandang para ulama-ulama Aceh,
yang duduk dalam ruangan itu pula.
Se bebewenmu ini si munimang![3] Daud Bereueh bertanya pada para ulama. Macam
mana?
Beberapa ulama yang ditanya, langsung bersahutan menjawab. Riuh rendah dan penuh
semangat.
Wah, syahid!
Ayo kita bantu, syahid!
Kita syahid kalau mati pun,...
*
RAUT muka Haliluddin tampak keruh. Ia mendesah dan mengusap wajahnya. Wjah
kebanyakan orangtua Aceh. Tirus dan kurus. Tubuhnya kecil dan berkulit legam. Namun
gurat kulitnya, menunjukkan liat badannya. Pastilah dulu ia laki-laki yang cukup terlatih di
medan pertempuran.
Haliluddin beranjak dari duduknya. Membuka pintu kulkas dan mengambil botol minuman.
Fikri yang duduk di depannya masih saja tercenung. Hawa dingin kamar hotel Singapura
terasa belum juga akrab dengan tubuhnya.
Haliluddin menuang minuman dari botol, dalam dua sloki. Satu kemudian diberikan kepada
Fikri yang masih juga termangu-mangu.
Dalam bayangan Fikri, kejadian setengah abad lampau itu, tentu jauh beda dengan apa yang
dialaminya sekarang. Mungkin ada kehangatan, persaudaraan. Tidak dingin dan
menegangkan, sebagaimana dialami kini. Entah kenapa, Fikri belum juga bisa mengerti.
Emtah kenapa Haliluddin memilih tinggal di sebuah hotel gemerlap. Dari mana pula ia
mendapatkan seluruh biaya hidupnya yang mewah ini? Alasan keamanan, tentu saja bisa
dimengerti. Tetapi jika dibandingkan teman-temannya, yang bergelimang di rawa-rawa
tengah hutan, bertarung dengan nyamuk ganas tiap malam?
Haliluddin menyempatkan menonton televisi. Adegan lelaki dan perempuan yang sedang
menari dan menyanyi. Sebuah kabaret khas Singapura.
Perlahan, Haliluddin kembali menghadap ke arah Fikri.
Lantas, sebagaimana banyak dikisahkan selanjutnya, Haliluddin melanjutkan ceritanya.
Abu Beureueh pun meminta Sukarno, agar menulis janjinya pada selembar kertas. Janji
bahwa kemerdekaan Indonesia adalah jaminan pelaksanaan syariat Islam. Waktu itu Sukarno
menangis.
Sukarno menangis? Fikri menyela.
Haliluddin mengangguk, Sukarno merasa tidak ada gunanya menjadi presiden jika Daud
Beureueh tidak mempercayainya. Sukarno bangkit dari duduknya, dan bersimpuh di depan
tempat duduk Daud Beureueh, sambil memegangi kaki Daud Beureueh,...
Apa kata Daud Beureueh kemudian? Apakah kemudian dibantunya?
Haliluddin meneguk minumannya. Sambil memegangi seloki di tangan, ia menatap Fikri.
Pesawat televisi di pojok kamar, masih saja terus bernyanyi dan menyajikan wajah-wajah
yang cantik molek. Perempuan-perempuan sexy dengan bikini dan rumbai-rumbai.
Pak Natsir, tertawa melihat hal itu. Dia akhirnya yang mencairkan suasana. Dan akhirnya,
Sukarno tak jadi menulis janjinya. Abu Beureueh menerima, apa yang disebut janji-janji
muluk Sukarno itu,...
Haliluddin terdiam sejenak. Sekali lagi ia menuang minuman ke dalam sloki. Yang terjadi

selanjutnya, sudah jamak diketahui khalayak. Sesudah penyerahan kedaulatan Aceh kepada
Indonesia itu, tahun-tahun berikutnya adalah pengkhianatan dan penangkapan-penangkapan.
Malah kawan-kawan beliau ditangkapi. Macam-macam alasannya. Beliau pun diperlakukan
cara-cara kasar. Diperlakukan oleh TNI yang berkuasa waktu itu. Jadi reaksi Daud Beureueh,
ya,. kita bertahan lagi. Kita bergerak lagi,... kata tokoh-tokoh DI/TII[4] kepada Abu
Beureueh waktu itu,...
Bagaimana persisnya, dari Daud Beureueh ke Hasan Tiro? Fikri tak bisa menutupi
keingintahuannya.
Haliluddin duduk kembali di kursi.
Hasan Tiro adalah menteri luar negeri NII, Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan dan
dipimpin oleh Daud Beureueh pada 1953. Abu Beureueh mengatakan, kita tidak terpengaruh
dengan perkembangan terakhir di Indonesia. Kita akan terus melanjutkan perjuangan. Tidak
terpengaruh! Ini akan terus! Dan Hasan Tiro berjanji meneruskan apa yang menjadi cita-cita
Abu Beureueh. Hanya dia kemudian sedikit mengubah corak perjuangan. Kita mau
perjuangan kemerdekaan. Sebab, dengan perjuangan kemerdekaan, akan mengubah sifat
perang ini. Dari perang tentara, ke perang kemerdekaan. Abu Beureueh tampaknya
menyetujui dan memuji. Dalam pernyataan Hasan Tiro, senjata betul-betul harus disediakan.
Jangan seperti selama ini, berjuang tanpa senjata, begitu kata Hasan Tiro pada Abu Beureueh.
Kita angkat senjata!
Fikri ternganga.
Jadi, perjuangan GAM ini dari DI-TII?
Tidak sesederhana itu, ada banyak faktor, Haliluddin menjawab ragu. Ia tahu ada banyak
versi mengenai hal itu. Bahkan, keyakinan Hasan Tiro sebagai menteri luar negeri NII, juga
menimbulkan kontroversi. Apalagi bagi mereka yang meyakini, bahwa barulah setelah Hasan
Tiro menulis surat pada Ali Sastroamidjojo di PBB pada 1954, namanya dikenal publik.
Sebelumnya, sama sekali tidak.
Sejarah kita, tidak pernah memberi catatan yang rapih untuk dipelajari. Karena itu, ajakan
untuk jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, jasmerah seperti kata Sukarno, sering tidak
memadai. Justeru karena sejarah tidak pernah melengkapi dirinya dengan jujur.
Pikiran Fikri melayang. Penjelasan Haliluddin tak memuaskan. Dari banyak bacaan yang
disantapnya, persoalan tidak sangat sederhana. Bahwa benar ada hubungan antara
Kartosoewiryo dan Daud Beureueh, namun tidak bisa dipersamakan antara DI-TII dengan
GAM.
Pemberontakan SM Kartosoewiryo, yang dikenal sebagai pemberontakan DI-TII, memang
menggunakan agama sebagai motif. Namun tentu agama bukan satu-satunya motif di situ.
Meski Kartosoewiryo menabalkan diri menjadi imam dari sebuah Negara Islam Indonesia,
pada bulan Mei 1948. Hal itu juga telah muncul dalam radikalisme Kartosoewiryo, sejak
masa pergerakan sebelum Perang Dunia II.
Kartosoewiryo dikenal sikapnya yang non-kooperatif terhadap Belanda. Hal itu bertentangan
dengan PSII, partai politik tempat dirinya pernah menjadi sekretaris jendral, atau bahkan
sebagai wakil ketua. Itulah sebabnya Kartosoewiryo dipecat dari partai.
Marah dan kecewa atas hal itu, Kartosoewiryo mendirikan partai radikal untuk menyaingi
PSII, pada tahun 1940. Bahkan pada 14 Agustus 1945, tiga hari sebelum Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, Kartosoewiryo telah mengibarkan negara Darul Islam
yang merdeka.
Tindakan-tindakan Kartosoewiryo sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
menunjukkan bahwa pada masa awal, ia adalah pendukung perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Perang Sabil yang diumumkannya pada 14 Agustus 1947, dengan didukung
pasukan Lizbullah dan Sabilillah, sebagai bagian dari perang kemerdekaan melawan
Belanda, lebih khusus lagi sebagai reaksi atas agresi Belanda pada tanggal 21 Juli 1947.

Pertentangan dengan pemerintah Republik Indonesia, barulah muncul setelah diadakannya


Perjanjian Renville antara Belanda dan Republik Indonesia. Kartosoewiryo menolak sama
sekali.
Dengan demikian pula, ia menolak menarik pasukannya ke belakang garis demarkasi. Ia
bahkan membentuk Tentara Islam Indonesia pada tahun 1948, menandingi yang dilakukan
Belanda ketika mendirikan Negara Pasundan pada Maret 1948. Dibanding pasukan Negara
Pasundan, TII di bawah Kartosoewiryo jauh lebih dominan dan menguasai wilayah Jawa
Barat. Pengunduran diri Tentara Republik Indonesia, dimanfaatkan oleh Kartosoewiryo untuk
mengisi kevakuman yang terjadi.
Keadaan itu kemudian berubah, ketika Belanda mengadakan agresi untuk kedua kali pada 19
Desember 1948. Salah satu akibatnya, dalam longmarch kembali ke Jawa Barat, tentara
Republik bertempur dengan pasukan DI-TII. Sebuah pergolakan yang panjang, dan baru
berakhir ketika Kartosoewiryo tertangkap di daerah antara Bogor-Cianjur, pada tahun 1962.
Walau pun pemberontakan Aceh juga dikenal sebagai pemberontakan Darul Islam,
pertumbuhannya berdiri sendiri, dan terlepas dari apa yang terjadi di Jawa Barat. Sekali pun
pernah diadakan hubungan diantaranya, ketika pemberontakan di Aceh resmi dimulai oleh
Daud Beureueh pada tahun 1953.
*
SEKALI pun kesehariannya di berada di belantara Aceh, Fikri bukanlah makhluk asing
dengan kehidupan modern. Sebagai salah satu elite pasukan GAM, ia pernah melancong ke
Jakarta, Malaysia, dan kali ini ke Singapura.
Namun setiap kali bertemu dengan orang-orang atas angin itu, selalu menyelinap ribuan
pertanyaan di kepala. Apa saja sesungguhnya yang dilakukan mereka itu? Berjuang untuk
rakyat Aceh? Bagaimana cara dan bentuk perjuangan mereka? Sembari menikmati hedonisme
manusia merdeka? Sambil menonton acara televisi yang hot dan extravaganza?
Pikiran Fikri masih terganggu soal DI-TII. Dari apa yang dibaca, yang dimunculkan
Kartosoewiryo di Jawa Barat berbeda dengan yang terjadi di Aceh.
Apa yang terjadi di Aceh, adalah menghebatnya pertentangan antara kaum ulama dengan para
uleebalang, sebelum masa Perang Dunia II. Pada tahun 1939, Persatuan Ulama-ulama
Seluruh Aceh, dibentuk dan menjadi sangat berpengaruh. Merebut kekuasaan dari tangan
Belanda, menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang. Pertentangan menjadi lebih serius
setelah 1945, ketika tentara Jepang hendak meninggalkan Aceh.
Rakyat Aceh, sangat mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, kepada Jakarta,
rakyat Aceh menyumbangkan harta bendanya, agar negara yang baru lahir ini memiliki
sebuah pesawat terbang. Bayangkan. Ketika perang kemerdekaan berlangsung, antara 19451949, rakyat Aceh mati-matian ikut mempertahankan negara Republik Indonesia.
Barulah masalah kemudian muncul, ketika pendudukan Belanda berakhir tahun 1949. Banyak
faktor memperuncing keadaan. Penyatuan Aceh dengan Tapanuli dan Sumatera Timur
menjadi Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1950. Kecurigaan terhadap keputusan
pemerintah pusat, untuk menempatkan seorang komandan militer di Aceh yang dianggap
komunis. Kekecewaan terhadap kabinet baru di bawah Partai Nasional Indonesia. Semuanya
itu menjurus ke suatu konflik bersenjata, dengan meledaknya pemberontakan di Aceh. Belum
lagi soal sentimen kedaerahan, membumbui semua itu menjadi makin memanas.
Perang adalah kelanjutan dari politik dengan menggunakan cara lain.
Brrrr,... Fikri menggoyang-goyangkan kepalanya yang basah terkena air hangat.
Guyuran air dari shower, membuat tubuh Fikri menjadi lebih segar. Meski perjalanan MedanSingapura tak sampai dua jam, tetapi pikiran dan perasaan yang penat, membuat fisiknya
mudah limbung.

Sesiangan ia tak bisa tidur, dan hanya kelimpungan di kasur empuk yang wangi. Lyons Great
adalah hotel internasional bintang lima. Pelayanan dan fasilitasnya sangat prima. Bahkan
untuk urusan membuka tutup bak air yang tidak bisa ditarik, hanya karena tidak tahu caranya,
seorang room service akan buru-buru membereskannya. Dan tidak diperlukan tips untuk
mereka.
Adakah Singapura maju karena sikap-sikap seperti itu? Apakah Aceh tak memiliki
kesempatan yang sama? Bahkan untuk sekedar menyamai Jakarta, yang meski pun lebih
maju dibanding Aceh, tetapi tetap saja kacau dan berantakan. Karena ketidakdisiplinan dan
korupsi?
Selesai berdandan, Fikri keluar dari kamarnya. Di ruang tamu pada kamar hotel tempat
Haliluddin tinggal, ia menyempatkan melongok ke jendela. Lanskap Singapura yang
mempesona. Hiasan-hiasan Natal, mewarnai hampir seluruh permukaan kota. Dan betapa
sangat asing di mata Fikri. Baginya betapa lebih terasa di dalam kalbunya, berdiri di atas
bukit, memandangi seluruh kawasan tanah tercinta. Aceh.
Apa yang kau bisa lihat di situ?
Fikri menoleh ke arah suara. Haliluddin berdiri. tak jauh dari tempatnya. Fikri tersenyum.
Melihat sebuah negara modern yang maju? Haliluddin masih saja bertanya dan ingin tahu
jawaban Fikri.
Saya melihat Aceh, Tengku,...
Melihat Aceh?
Ya!
Melihat Aceh dari sebuah hotel di Singapura?
Seperti yang Tengku lakukan tiap hari,....
Haliluddin kaget mendengar jawaban Fikri. Ia tercenung beberapa saat. Fikri pun demikian.
Ia juga kaget karena tak menyangka akan berkata demikian.
Maafkan saya,... Fikri menyadari kekeliruannya.
Tak apa. Tak ada yang salah,... Haliluddin menghela nafas. Ia kemudian meneruskan,
Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nja Dhien mengambil alih pucuk pimpinan perjuangan
rakyat Aceh. melawan kape-kape Belanda. Pang Laot, salah seorang panglima perangnya,
adalah seorang lelaki yang selalu dipenuhi kebimbangan. Dan itulah yang dikritik habis oleh
Cut Nja Dhien. Perang kita selama ini, adalah perang melawan kebimbangan hati!
Fikri tak tahu ke mana arah pembicaraan Tengku Haliluddin. Ia berdiam diri dan bersiap
mendengarkan saja.
Perang ini membutuhkan biaya yang banyak. Kita harus merebut kemerdekaan, dan
membangun sebuah negara merdeka bernama Aceh Darussalam! Ini harga mati! Karena itu,
berapa pun biayanya, kita akan usahakan, bagaimana pun caranya,...
Haliluddin kini tampak meradang.
Fikri masih saja diam menunggu, dan mendengarkan dengan takzim.
Karena itu, kita tidak mentolerir adanya pengkhianat! Satu-satunya musuh terbesar dalam
diri kita, adalah pengkhianatan itu! Kau tahu kenapa seorang Aceh bisa menjadi
pengkhianat?
Fikri hanya menatap Haliluddin sejenak. Tapi sama sekali tidak menjawab.
Diantaranya karena, mereka tidak segan dan tidak malu melanggar sumpah-janji kepada
Allah. Lemah struktur iman perjuangannya dan tidak mau berjihad di jalan Allah. Tidak
ikhlas dan tidak murni tujuan dari cita-cita perjuangannya. Tidak sempurna ideologinya.
Memilih garis kepengkhianatan, sebagai upaya hidupnya. Mabok pangkat, tidak sabar
sebagai kopral, mau terus menjadi letnan. Ka bangai, ka jawai, dan ka pungo sahingga hana
djituso l dro djih pat djimeuasai-usui. Manusia jenis itu, masih juga tidak paham, bahwa
perjuangan bangsa Aceh hari ini, adalah perjuangan antara hidup atau mati. Bagi bangsa Aceh
dan generasinya, ini adalah perjuangan kemerdekaan! Peumeurdehka bangsa dan peudong

deelat negara kn but djeut meun tjilet-tjilet! Perjuangan memerdekakan bangsa dan
mendaulatkan negara, menghendaki segala bentuk dan sifat pengorbanannya. Harta, pikiran,
tenaga, darah, nyawa dan doa!
*
DALAM perjalanan ke Jakarta, suara Haliluddin masih terngiang-ngiang di telinga Fikri.
Dari Singapura, setelah urusan dengan Haliluddin selesai, ia tidak langsung pulang ke Aceh.
Ia masih harus menemui satu orang lagi, di Jakarta.
Jakarta!
Tak ada yang istimewa di kota ini. Di tengah gemerlap dan riuh-rendahnya kota, di sana-sini
yang tampak hanyalah kesemrawutan. Sebuah kota yang tidak pernah mau diam, lebih karena
tidak tahu cara menghentikannya. Bisa jadi karena kota ini tidak pernah mau belajar.
Semua orang tampak sibuk, tetapi sungguh tidak ketahuan, apa yang membuat mereka sibuk.
Untuk tujuan apa? Sebuah rutinitas yang membosankan. Dan mereka terjebak dalam rutinitas
itu. Tidak yang kaya, melainkan juga yang miskin. Mereka seolah hidup dalam lapis masingmasing. Dalam lintas orbit dan titik ordinat masing-masing. Tidak saling menyapa, karena
memang tidak saling kenal dan saling bersinggungan. Mereka hanya berhubungan.karena
kepentingan masing-masing.
Taksi yang ditumpangi Fikri dari Bandara Internasional Sukarno-Hatta Cengkareng, melintasi
jalanan Thamrin. Ucapan selamat natal dan tahun baru, bertebar di jalanan. Uh, ucapan yang
tidak tulus, karena berharap kita kemudian akan membeli produknya atau tetap menjadi
pelanggan dan pengikutnya.
Sisa air hujan seharian, masih terlihat menggenangi jalan protokol Ibukota Negara. Ibukota
negara? Negara siapa?
Fikri masih ingat, bagaimana Haliluddin berbicara panjang lebar, mengenai apa yang harus
diperjuangkan oleh GAM. Aceh merdeka!
Tidakkah kau ketahui, Indonesia itu dibesarkan dengan uang bangsa Aceh? Kantong
Sukarno, si penipu licik itu ,dan kantong menteri-menteri kabinetnya, diisi dengan uang
bangsa Aceh. Uang biaya perjalanan dan makan-minum perutusan RI-Jawa ke India, untuk
mendapat pengakuan International dari India, dengan uang bangsa Aceh? Biaya makan
minum Duta Besar Indonesia di PBB, dengan uang bangsa Aceh? Begitu juga, untuk
membeli pesawat terbang, dan lain-lain logistik pemerintah RI-Jawa, semuanya itu juga
dengan uang bangsa Aceh?
Primordalisme yang parah. Dan Fikri hanya bisa tersenyum saja mengenai hal itu.
Sesampai di sebuah hotel, di bilangan Kuningan, Fikri menghempaskan tubuhnya di sofa.
Televisi di ruang tamu, otomatis menyala dan cerewet sendirian. Tak peduli ada yang
memperhatikan atau tidak.
Jakarta barangkali sudah terbiasa dengan hal itu. Semua orang, atau apa pun, sibuk dengan
dirinya sendiri. Sibuk berbicara dan membicarakan apa saja. Dimana pun. Kapan pun. Dan
tak peduli ada yang mendengarkan atau tidak. Karena tidak penting mereka bicara dengan
siapa. Yang penting, bicara!
Betapa hidup yang mencapekkan.
Sedang dirinya? Ada apa dengan dirinya selama ini? Hendak berbicara kepada siapa? Atau
mungkin lebih tepatnya lagi, kapan dirinya mendapatkan kesempatan untuk berbicara? Atau
kesempatan itu memang harus direbutnya, karena tidak pernah diberikan?
Indonesia baru saja menyelesaikan pemilihan umum. Susilo Bambang Yudhoyono terpilih
menjadi presiden. Ini sebuah pemilihan presiden langsung yang dilakukan di Republik
Indonesia. Namun apa yang menjadi perbedaan, antara presiden yang satu dengan lainnya?
Apa bedanya antara Sukarno, Soeharto, bahkan kemudian Habibie, Abdurrahaman Wahid,

dan apalagi Megawati dan Yudhoyono? Apakah ada arti dari air mata Megawati, ketika
menjadi presiden dulu, dan menginjakkan kaki ke Aceh, serta mengatakan; bahwa tidak boleh
lagi ada darah tumpah di Serambi Mekah ini?
Tidak ada yang berbeda di antara mereka. Sama saja.
Selama ini kita salah, termasuk saya yang membiarkan semuanya itu terjadi, berkata
Abdurrahman Wahid, selaku presiden, ketika menginjakkan kakinya ke Aceh.[5] Pendekatan
keamanan yang tak selektif dan kaku di Aceh, telah menyebabkan ketakutan dalam
masyarakat, sehingga terdapat di antara mereka yang tak mau membela pemerintah
Indonesia.
Konon, presiden ini adalah ulama besar. Tapi, apakah ia berbeda dengan yang lainnya? Atau
hanya karena cara memandang dan bertuturnya saja yang beda? Fikri waktu itu turut serta
dalam pertemuan itu. Tetapi sebagaimana yang lainnya, ia hanya berada jauh di luar halaman
masjid. Masjid yang mampu menampung enam ribuan manusia itu, hanya terisi kurang-lebih
sepersepuluhnya saja. Selebihnya, dibiarkan berada jauh di luar halaman masjid, itu pun
dengan pagar betis kawalan polisi dan tentara bersenjata.
Fikri berada di luar pagar betis itu. Brimob dan tentara masing-masing dengan senjata siap
tembak di tangan. Sementara di dalam masjid Baiturrahman, hanya ada sekitar 500 undangan
terpilih. Protokoler dan keamanan yang begitu ketat, membuat semua yang dikatakan
presiden itu omong kosong belaka.
Berbagai bentuk pelanggaran, bersamaan dilakukannya beberapa kali jeda kemanusiaan,
menunjukkan apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dilakukan. Konflik senjata
masih saja terjadi. Bahkan, penangkapan beberapa aktivis yang menyorongkan gagasan
memorandum, adalah bukti pemerintah Indonesia tidak mampu mengubah tentaranya di
lapangan. Mereka tetap saja melakukan pendekatan dengan jalan kekerasan.
Mari kita tunjukkan, perbaikan-perbaikan itu sekarang. Kita memberi kesadaran pada
mereka, dan tidak menganggap mereka sebagai musuh. Semuanya dapat dirundingkan,...
Abdurrahman Wahid menutup pidatonya.
Dalam pidato itu jelas, bagaimana ia mendudukkan mereka orang-orang GAM adalah
orang yang belum sadar, dan perlu diberi kesadaran. Dan ketika ia menutup pidato dengan
ajakan bahwa semuanya dapat dirundingkan, tidak ada dialog sesudahnya.
Presiden Abdurrahman Wahid langsung meninggalkan ruangan. Secara diam-diam, ia
menerima tiga mahasiswa yang menemui di sebuah ruangan di dalam masjid Baiturrahman.
Kami mohon, pemerintah bisa menghentikan tindak kekerasan di Aceh, kata Faisal Fadil,
mahasiswa Syiah Kuala, yang datang bersama Keumala Sari, dan juga Efendi Hasan.
Banyak yang dipahami Gus Dur mengenai Aceh, tak sesuai dengan kenyataan di
lapangan,... kata Efendi Hasan.
Karena itulah, presiden perlu berdialog dengan anggota masyarakat, sehingga mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi sejak lama di Aceh,...
Presiden perlu memperhatikan hal ini, karena dari ke hari, tindak kekerasan yang merenggut
nyawa manusia, tak henti terjadi,... Keumala Sari menangis di depan Presiden.
Tidak ada komentar lain dari Abdurrahman Wahid, kecuali hanya berjanji.
Padahal, janji sebelumnya, untuk mengadakan referendum di Aceh, sama sekali tidak pernah
disinggungnya lagi,...
*
FIKRI beranjak dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk hotel. Suara bising pesawat
televisi masih, saja memenuhi ruangan. Sementara itu, hawa sejuk pendingin udara, tak juga
mampu membuang gelisah Fikri.
Ia hanya galang-gulung saja di tempat itu. Pertemuan yang dijanjikan, dengan seseorang,

masih menunggu waktu. Masih ada beberapa jam untuk merebahkan diri dan lelap dalam
kecapekannya.
Hari-hari terakhir ini, amat cepat membuat tubuhnya habis tak punya daya. Lebih-lebih,
menunggu, bertemu, mengobrol, juga makan makanan yang aneh-aneh di berbagai hotel
internasional, membuat perutnya mudah mual.
Fikri selalu ingat apa yang dikatakan oleh ayahnya. Agar berhati-hati dengan siapa pun yang
ditemui. Lebih-lebih mereka yang mengaku sebagai saudara seperjuangan.
Jika perang adalah politik yang dijalankan dengan cara yang lain, maka sebagaimana politik,
perang pun juga sarat dengan kepentingan.
Ketika pecah perang antara Iran dan Irak, Irak dengan Amerika, atau Amerika dengan
negara mana pun, yang untung atau yang rugi, bukan hanya dua di antara mereka, tetapi ada
pihak ketiga yang diuntungkan, dan ada pihak ketiga pula yang dirugikan,... kata Tengku
Dawood suatu kepada Fikri. Pihak ketiga yag diuntungkan, mereka yang berdagang senjata.
Dan pihak ketiga yang dirugikan, pastilah rakyat yang berada di tengah peperangan itu!
Fikri teringat ketika ayahnya menceritakan apa yang terjadi sejak perang pertama terjadi di
Aceh. Teuku Cik di Tiro harus membeli peralatan perang dari seorang pedagang senjata,
karena tentu tak bisa berharap hanya dari merampas senjata milik musuh. Dan untuk itu, ia
harus menjual harta-benda. Menjual emas-permata simpanan isteri dan orangtua, bahkan juga
menjual sawah-ladang. Semuanya itu dilakukan untuk membiayai perang.
Cut Nya Dhien, beberapa saat setelah ditinggal Teuku Umar, perlu membeli senjata api dan
segala peralatan dalam jumlah yang besar. Ia hendak melakukan penyerbuan besar-besaran.
Untuk itu ia harus melepas seluruh harta kekayaannya, menguras tabungan dan simpanan.
Demikian juga, rakyat yang mempercayainya, menyumbangkan seluruh harta benda
kekayaannya, untuk membiayai pemimpinnya maju mengusir penjajah.
Para pedagang senjata, mendapatkan keuntungan dari semua itu. Dan rakyat jelata, yang
berharap banyak dari para pemimpin, sering menjadi korban tak bernama, di ladang-ladang
peperangan yang ganas.
Jika pun ada pihak lain yang diuntungkan, bisa jadi mereka adalah kaum oportunis,
komprador, dan juga para koruptor yang sudah sejak lama ada. Mereka bisa dari kalangan
elite militer Belanda, maupun dari bangsa sendiri yang ngiler dengan janji-janji penjajah.
Pada jaman Cut Nya Dhien, beberapa eselon militer Belanda, juga telah dengan terampil
meminta komisi atau penjualan senjata itu, dari para pedagang senjata yang bebas berkeliaran
di daerah-daerah perang.
Memang seperti itulah yang terjadi, berkata Tengku Dawood.
Lantas, buat apa yang kita lakukan semuanya ini, Abu? Dan untuk siapa sesungguhnya?
Tengku Dawood tak segera menjawab.
Itu adalag juga pertanyaan yang selama ini menganggu dirinya. Untuk apa, dan untuk siapa
sesungguhnya semuanya itu kulakukan? Benarkah untuk tegaknya negara Aceh, untuk rakyat
Aceh? Atau jangan-jangan hanya sekedar ambisi pribadi, yang tujuannya pun belum juga
jelas?
Suara musik dari pesawat televisi mengagetkan lamunan Fikri. Ia sigap bangun dari ranjang,
dan kemudian duduk di gigir ranjang.
Beberapa hari ini, ia terganggu dengan pikiran-pikirannya sendiri. Pertayaan demi pertanyaan
bermunculan, tetapi tidak ada yang sanggup dijawab. Jika pun ada yang dijawabnya, jawaban
itu dalam waktu yang nyaris serentak. Melahirkan pertanyaan yang jauh lebih kritis, tajam,
sinis, dan dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Semunya itu, terjadi dalam waktu yang
berendeng. Dan seolah saling mendesak dipentingkan.
Sebagai anak muda, yang banyak bergaul dan banyak tahu tentang dunia di luar, Fikri merasa
lebih tersiksa batin. Ia merasa lebih enak, sebagaimana teman-teman lain, untuk sama sekali
tidak mengetahui apa-apa. Kalau pun ada yang harus diketahui, dan ingin diketahuinya

segera, kapan dirinya bisa dengan leluasa bergerak ke mana dia suka, di tanah kelahiran.
Suara pesawat televisi yang tak begitu jauh dari tempat Fikri, membuat Fikri merasa tak
nyaman. Ia beranjak dari ranjang.
Begitu tangannya hendak menyentuh remote controll di meja, Fikri mengurungkannya demi
mendengar suara penyiar televisi. Fikri terpaksa memperhatikannya. Ia menoleh ke arah
pesawat televisi yang berada tak jauh di sisinya.
Di kotak kaca itu, seorang penyiar dengan wajah sok pintar mewartakan breaking news.
... Lebih dari dua puluh lima ribu orang tewas, akibat gempa berkekuatan 8,9 skala richter
yang terjadi di lepas pantai barat Aceh, pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul delapan pagi
waktu setempat. Pusat gempa berada di laut dan menyebabkan,... gelombang tsunami yang
menghantam pesisir delapan negara; Indonesia, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Burma,
Maladewa atau Maldives, Sri Lanka, dan India,...
Fikri menggeragap. Ia menggenggam remote contolle lebih erat, dan kemudian memperbesar
volume suara pesawat televisi. Baru kali ini ia menyimak benda asing itu. Pandangannya
penuh perhatian.
Pada pesawat televisi, tampak bagaimana gambar gelombang tsunami, melanda beberapa
negara seperti India, Bangladesh, Thailand, dan Aceh. Sementara itu suara penyiar TV terus
saja menyerocos.
Gelombang tsunami inilah yang menyebabkan banyaknya korban jiwa pada bencana ini.
Kantor berita Reuters menyebutkan bahwa berdasarkan keterangan pejabat dan media
setempat, pada saat ini, jumlah korban tewas sudah mencapai 28.483 orang, dengan rincian
sebagai berikut; Bangladesh lima jiwa, India 9.396 jiwa, termasuk 5.000 jiwa yang
dikhawatirkan tewas di Kepulauan Andaman dan Nicobar, India. Indonesia 5700 jiwa, lukaluka hingga 100.000, Malaysia 59 tewas, 218 luka-luka, Maldives 52 tewas, Myanmar 34
tewas, Somalia 38 tewas,...
Fikri kembali duduk dengan tubuh lemas. Wajahnya menatap pesawat televisi dengan tatapan
kosong. Mulutnya ternganga, dengan dada turun naik. Ia membalik badannya, menghadap ke
tembok.
Fikri kemudian berbalik, menyandarkan kepala di tembok. Tangan kanannya mengepal, dan
dipukul-pukulkannya ke dinding kamar yang licin.
Sri Lanka 12.212 tewas, Thailand 990 tewas, 7.000 luka-luka, suara penyiar televisi terus
saja terdengar. Dikhawatirkan jumlah ini masih bisa bertambah hingga sekitar 57.000 jiwa.
Di Indonesia sendiri, diperkirakan korban bisa bertambah hingga 25.000 orang, mengingat
masih banyaknya wilayah di pesisir Barat Aceh yang belum terevakuasi. Sementara di Sri
Langka, pejabat setempat memperkirakan jumlah korban tewas bisa bertambah hingga 20.000
jiwa, dan Thailand memperkirakan korban tewas di negara tersebut dapat mencapai 2.000
jiwa. Jumlah tersebut, diperkirakan akan terus bertambah,...

***
[1] Kata-kata nan kasar menyesak dada/Diri-sendiri tertimpa akhirnya/Saya ingatkan wahai
adik
[2] Jangan membuang duri ke jalan raya/Orang yang dicaci berbalik pada diri/Penyakit
terbeli hutang pun tertimpa.
[3] Hai, Tuan-tuan semua.
[4] Darul Islam, Tentara Islam Indonesia, di bawah pimpinan SM Kartowoewiryo yang
mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.

[5] KH Abdurrahman Wahid, berkunjung ke Banda Aceh, untuk mengikuti acara Nuzulul
Quran, 19 Desember 2000, di Masjid Raya Baiturrahman.

LEO KRISTI

Konser Rakyat Leo Kristi, grup musik yang memiliki posisi khusus dalam dunia musik
Indonesia. Demikian pula, Leo Kristi memiliki posisi khusus di hati penggemar. Tidak
banyak, tetapi hubungan leo dengan penggemarnya bisa bersifat fanatik dan akut. Leo
sendiri, benar-benar seniman bebas, bohemian, dan tidak cukup akur dengan industri musik.
Rekaman pertama tahun 1976, disponsori oleh majalah musik Aktuil, Bandung. Lagulagunya, bersyair balada, bertema heroisme dan nasionalisme, tapi kadang juga romantisme.
Pengucapannya kadang puitis, tapi terasa semakin gelap dan sangat individual. Bagi yang
kurang tekun mengikuti, Leo Kristi tidak gampang dimengerti.

GOLPUT
Golput, Gejala dan Masa Depannya
Arief Budiman Sosiolog, Pengajar Ilmu Sosial di Universitas Melbourne , Australia
Setiap menjelang pemilihan umum, masalah golput atau golongan putih muncul kembali.
Golput adalah gerakan informal yang menganjurkan masyarakat agar tidak memilih.
Alasannya macam-macam.
Golput dicetuskan pada 1971. Pada tahun itu diselenggarakan pemilu pertama sejak Soeharto
berkuasa. Setelah menjatuhkan Presiden Sukarno pada 1965 (yang menjadi otoriter sejak
1959 dengan konsep Demokrasi Terpimpin-nya), Soeharto diharapkan bisa membawa negara
ini kembali menjadi demokratis. Karena itu, banyak orang mengharapkan bahwa Pemilu
1971 demokratis.
Tapi rupanya bagi Soeharto masih belum waktunya rakyat Indonesia diberi demokrasi. Dalam
konsep Trilogi Pembangunan, dia menyatakan bahwa prioritas pembangunan adalah
pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pendapatan. Masalah pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi adalah urusan para teknokrat ekonomi, sedangkan stabilitas politik
ditangani militer. Demokrasi bukanlah sebuah prioritas.
Militer menyelenggarakan stabilitas politik melalui represi. Pemilu memang mereka
agendakan pada 1971, tapi atas nama stabilitas politik, hanya sepuluh partai hasil seleksi
militer yang diizinkan ikut. Orang-orang partai yang bersikap kritis terhadap pemerintah juga
tidak diperbolehkan menjadi anggota legislatif.
Dengan undang-undang pemilu yang seperti saat itu, demokrasi tidak dapat diharapkan bisa
terjadi. Karena itu, saya dan beberapa teman mahasiswa/aktivis melancarkan gerakan golput,
yang menganjurkan "memilih untuk tidak memilih" terhadap partai dan orang-orang yang
"disediakan" oleh Soeharto. Gerakan ini segera disambut masyarakat luas, dan juga media
massa. Golput sepertinya mewakili nurani masyarakat pada waktu itu.
Ada tiga macam golput. Pertama, golput karena alasan politik. Misalnya golput yang

memprotes undang-undang pemilu yang tidak demokratis. Atau semua calon yang ada
dianggap tidak layak. Kedua, golput karena apatis terhadap pemilu. Politik di Indonesia
dianggap sangat elitis, sehingga siapa pun yang terpilih, dampaknya tidak akan berguna bagi
masyarakat luas, karena para elite cuma memikirkan kepentingan mereka sendiri. Ketiga,
karena "kecelakaan". Ada banyak orang yang tidak paham aturan pemilu. Misalnya mereka
tidak boleh mencoblos di luar gambar partai/calon, atau mencoblos lebih dari satu calon.
Lalu, berapa kekuatan golput? Dari catatan yang dikumpulkan harian Kompas (16 Juli 2004),
orang yang tidak datang mencoblos sejak pemilu pertama tahun 1955 berjumlah kurang dari
10 persen. Mereka termasuk ketiga kategori di atas, dari golput yang bersifat politik sampai
yang "kecelakaan". Sayangnya, data Kompas tidak memasukkan persentase suara yang rusak,
yang dibuat oleh orang yang datang mencoblos tapi sengaja merusak kartu suara.
Tapi rasanya cukup aman untuk mengatakan bahwa suara golput pada setiap pemilu berkisar
10 persen.
Yang menarik adalah gejala pada Pemilu 2004. Pada Pemilu legislatif tanggal 5 April, sekitar
16 persen pemilih tidak ikut mencoblos. Kemudian, pada pemilu presiden tanggal 5 Juli,
diperkirakan yang tidak ikut mencoblos bahkan bisa mencapai 20 sampai 30 persen (Kompas,
16 Juli 2004). Jelas sekali, jumlah golput meningkat.
Sayang, data Kompas merupakan data kasar. Kita tidak bisa mengetahui secara persis
mengapa orang tidak ikut memilih. Apakah mereka sedang melakukan aksi protes, atau
karena apatisme, atau ini sekadar "kecelakaan" karena kurang memahami aturan pemilu.
Di tengah peningkatan jumlah golput, saya justru memutuskan untuk ikut pemilu dan
membatalkan golput saya. Bahkan, sejak 1999 saya sudah mulai mencoblos. Saya
memutuskan hal itu karena menganggap undang-undang pemilu saat itu sudah bagus dan
demokratis, serta masih ada partai-partai yang bisa dipilih. Begitu pula pada Pemilu 2004.
Pada pemilihan presiden 5 Juli lalu saya juga ikut mencoblos karena saya menganggap ada
calon presiden yang masih bisa diterima meski tidak ideal.
Menurut saya, mereka yang tidak mencoblos banyak didasarkan pada protes politik (tidak ada
calon yang layak), atau sikap apatis terhadap politik yang dikuasai oleh kelompok elite. Ini
disebabkan para pemilih Indonesia sudah menjadi makin kritis dan tingkah laku (politiknya)
banyak didasarkan pada perhitungan rasional yang menyangkut kepentingan mereka.
Bukankah "kemenangan" pasangan SBY-JK, yang mesin politiknya lemah, juga dijelaskan
karena rakyat Indonesia sekarang sudah makin kritis, tidak lagi bergantung pada pemimpinpemimpin kelompok tempat mereka tergabung?
Maka dapat diperkirakan, di masa depan, golput akan bertambah kalau masyarakat politik
kita tidak bisa menampilkan calon-calon pemimpin yang berkualitas, dalam arti bisa benarbenar melayani kepentingan masyarakat luas. Ini jelas sebuah kemajuan. Golput adalah
sebuah protes damai dari masyarakat yang tidak berdaya, yang dipinggirkan oleh sistem
politik yang ada.
MBM Tempo, 19 Juli 2004

BLOG YANG MUNGKIN BISA DILIHAT

arsip seniman alternatif


Playboy Wild Life Miami
9 bulan yang lalu

buku alternatif

film alternatif

Caping Tempo 8 Maret 2006


'RUU Porno': Arab atau Indonesia?
Goenawan Mohamad
Seorang teman saya, seorang Indonesia, ibu dari tiga anak dewasa, pernah berkunjung ke
Arab Saudi. Ia tinggal di sebuah keluarga di Riyadh. Pada suatu hari ia ingin berjalan ke luar
rumah. Sebagaimana adat di sana, ia bersama saudaranya yang tinggal di kota itu melangkah
di jalan dengan purdah hitam lengkap. Hanya sepasang matanya yang tampak.
Tapi ia terkejut. Di perjalanan beberapa puluh meter itu, tiba-tiba dua mobil, penuh lelaki,
mengikuti mereka, mengitari mereka. Mata para penumpangnya nyalang memandangi dua
perempuan yang seluruh tubuhnya tertutup itu.
"Apa ini?" tanya perempuan Indonesia itu kesal.
Cerita ini nyata--dan bisa jadi bahan ketika DPR membahas RUU "Anti Pornografi dan
Pornoaksi" (kita singkat saja: "RUU Porno"). Cerita ini menunjukkan bahwa dengan pakaian
apa pun, perempuan dapat dianggap merangsang berahi lelaki. Tapi siapa yang salah?
"Yang dapat membangkitkan nafsu berahi adalah haram," kata Fatwa MUI Nomor 287 Tahun
2001. Bagi MUI, yang dianggap sebagai sumber "nafsu berahi" adalah yang dilihat, bukan
yang melihat. Yang dilihat bagi MUI adalah benda-benda (majalah, film, buku--dan
perempuan!), sedang yang melihat adalah orang, subyek, yaitu laki-laki.
"RUU Porno" itu, seperti fatwa MUI, jelas membawa semangat laki-laki, dengan catatan
khusus: semangat itu mengingatkan saya akan para pria yang berada di dua mobil dalam
cerita di atas. Mereka melihat "rangsangan" di mana saja.
Di Tanah Arab (khususnya di Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahabi yang keras), sikap
mudah terangsang dan takut terangsang cukup merata, berjalinan, mungkin karena sejarah
sosial, keadaan iklim, dan lain-lain. Saya tak hendak mengecam itu.
Soalnya lain jika semangat "takut terangsang" itu diimpor (dengan didandani di sana-sini) ke
Indonesia, atas nama "Islam" atau "moralitas".
Masalah yang ditimbulkan "RUU Porno" lebih serius ketimbang soal bagaimana
merumuskan pengertian "merangsang" itu. RUU ini sebuah ujian bagi masa depan Indonesia:
apakah Republik 17 ribu pulau ini--yang dihuni umat beragam agama dan adat ini--akan
dikuasai oleh satu nilai seperti di Arab Saudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi
yang belum tentu merupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain?
Saya katakan nilai-nilai di balik "RUU Porno" datang dari satu golongan "yang belum tentu
merupakan mayoritas", sebab tak semua orang muslim sepakat menerima nilai-nilai yang
diilhami paham Wababbi itu. Tak semua orang muslim Indonesia bersedia tanah airnya
dijadikan sebuah varian Arab Saudi.
Ini pokok kebangsaan yang mendasar. "Kebangsaan" ini bukan nasionalisme sempit yang
menolak nilai-nilai asing. Bangsa ini boleh menerima nilai-nilai Wahabi, sebagaimana juga
kita menerima Konfusianisme, loncat indah, dan musik rock. Maksud saya dengan persoalan

kebangsaan adalah kesediaan kita untuk menerima pluralisme, kebinekaan, dan juga
menerima hak untuk berbeda dalam mencipta dan berekspresi.
Mari kita baca sepotong kalimat dalam "RUU Porno" itu:
Dalam penjelasan pasal 25 disebutkan bahwa larangan buat "pornoaksi" (sic!) dikecualikan
bagi "cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat istiadat
dan/atau budaya kesukuan". Tapi ditambahkan segera: "sepanjang berkaitan dengan
pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".
Artinya, orang Indonesia hanya bebas berbusana jika pakaiannya terkait dengan "adat
istiadat" dan "budaya kesukuan". Bagaimana dengan rok dan celana pendek yang tak ada
dalam "adat istiadat" dan "budaya kesukuan"?
Tak kalah merisaukan: orang Jawa, Bali, Papua, dan lain-lain, yang berjualan di pasar atau
lari pagi di jalan, harus "berbusana" menurut selera dan nilai-nilai "RUU Porno". Kalau tidak,
mereka akan dihukum karena berjualan di pasar dan lari pagi tidak "berkaitan dengan
pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".
Ada lagi ketentuan: "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film
atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang
mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa".
Jika ini diterima, saya pastikan kesenian Indonesia akan macet. Para pelukis akan waswas,
sastra Indonesia akan kehilangan puisi macam Chairil, Rendra, dan Sutardji serta novel
macam Belenggu atau Saman. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan
film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, Garin Nugroho,
sampai dengan Riri Riza dan Rudi Sujarwo akan menciut ketakutan. Juga dunia periklanan,
dunia busana, dan media.
Walhasil, silakan memilih:
A. Indonesia yang kita kenal, republik dengan keragaman tak terduga-duga, atau
B. Sebuah negeri baru, hasil "RUU Porno", yang mirip gurun pasir: kering dan monoton,
kering dari kreativitas.
7 Maret 2006
Template Simple. Diberdayakan oleh Blogger.
Framed Display Ads

Imron Tohari
8 February 2013

Memang segala kemungkinan tersebut bisa saja saya ambil untuk memulai menelisik makna
atau pesan apa yang sebenarnya tersembunyi disebalik rangkaian kata puisi termaksud.
Namun sebelum saya mengambil salah satu dari sekian kemungkinan tadi, saya ingat bahwa
untuk mendapatkan suatu pemaknaan/pesan yang begitu besar pada sebuah karya sastra seni
puisi, tidaklah bijak rasanya kalau saya hanya memaknainya secara kata perkata saja, tapi
saya rasa perlu juga untuk memaknainya secara semantik struktural (pendekatan pada
semantik yang menekankan hubungan makna antara kata dan kelompok kata).
Saat saya untuk kesekian kalinya membaca puisi pendek ini secara pelan, serta mulai
menghayati makna kata per kata, juga makna yang ditimbulkan oleh adanya pertautan kata
satu dengan kata yang lainnya dalam suatu ikatan utuh batang tubuh puisi : //MALAM
LEBARAN/Bulan di atas kuburan//, saya mencoba memaknai dulu puisi ini secara citraan
latar suasana, tentunya melalui pendekatan semantik (ilmu tentang makna kata dan kalimat;

pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata) dan pendekatan secara semantik
struktural (pendekatan pada semantik yang menekankan hubungan makna antara kata dan
kelompok kata).
Secara semantik (makna kata dan kalimat), kata/kalimat malam lebaran yang menjadi judul
dari puisi pendek Sitor Situmorang ini; waktu malam sehari sebelum hari lebaran, dimana
kata Lebaran itu sendiri secara harafiah makna berkaitan dengan hari raya umat Islam yang
jatuh pada tgl 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan; Idulfitri.
Sedang pada puisi ini penyair memilih diksi bulan yang disusun letakkan pada awal baris
isi, yang karena kerapatannya dengan judul, menimbulkan suatu opini atas pembacaan puisi
ini oleh beberapa pemerhati sasrtra puisi, sebagai citraan latar suasana yang tidak logis
(absurds) dengan pemilihan diksi bulan yang secara rapat bertaut dengan kalimat pada
judul MALAM LEBARAN. Sebab pada saat itu (malam lebaran) pastinya bulan masih
belum muncul, jadi sangat janggal secara citraan teks puisi Sitor Situmorang ini yang secara
tegas menulis pada teks puisinya tersebut: / MALAM LEBARAN / bulan di atas kuburan/ ;
pada saat malam lebaran ada bulan di atas kuburan. Absurds? Ngawur? Atau Sitor
Situmorang telah terjebak dengan bahasa Imajinatipnya?
Menurut subyektif piker saya, rasanya terlalu premature kita menyimpulkan seperti itu.
Seperti yang telah saya utarakan pada awal esai ini .sedangkan diksi bulan pada baris
ini mengada sebagai akibat yang dibebankan pada kata bulan atas muatan tema yang begitu
besar yang ingin dilesatkan ke penghayat oleh penyair dari keseluruhan batang tubuh puisi
secara utuh, sedang ruang kata pada puisi pendek ini sangat sempit untuk menjabarkan hal
tersebut secara bersamaan antara citraan latar suasana yang sesungguhnya dengan citraan
makna yang ingin disiratkan melalui bahasa kias/perlambang, sehingga dalam pemikiran saya
selaku penghayat, diksi bulan dipilih sebagai bahasa semiotik (perlambang/kias) untuk
menopang citraan latar suasana malam lebaran dan suatu tempat yang bernama kuburan.
Jadi boleh dibilang kata/diksi bulan diadakan sebagai kias hitam putih atau gelap terang
yang menjembatani kata malam lebaran yang mempunyai funsi ganda sebagai makna
harafiah malam lebaran itu sendiri, atau sebagai bahasa semiotik/kias.
Secara semantik, bulan bisa berarti benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada
malam hari karena pantulan sinar matahari. Namun bulan juga mempunyai makna
kata/kalimat sebagai penunjuk adanya satu waktu penting dari rentang waktu selama 12 bulan
(satu tahun).
Dari kajian secara semantik pada kata bulan ini, saya mengambil suatu kesimpulan,
bulan yang berarti/bermakna benda langit pada pengertian pertama dipakai sebagai
semiotik puitika (bahasa lambing/kias), dan bulan yang bermakna kata/kalimat sebagai
penunjuk waktu dipakai untuk memberikan citraan latar suasana secara teks tersurat.
Sedangkan di atas yang diselipkan antara bulan dan kuburan merupakan suatu kalimat
yang akan mempunyai kekuatan arti/maksud jika disertai/menyertai kalimat/diksi lainnya.
Kemudian pada susunan kata berikutnya pada baris isi yang hanya satu larik tersebut, kenapa
justru yang dipilih diksi kuburan, bukan pekuburan? saya rasa ini terkait dengan
pemaknaan besar secara pysicologis personal yang ingin disiratkan melalui satu kesatuan
rekatan utuh antar kata dan kelompok kata dalam bahasa perlambang pada batang tubuh puisi
keseluruhan.

kuburan ; tanah tempat menguburkan mayat; makam, dalam pengertian mempunyai makna
yang lebih mengerucut
pekuburan; tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan mayat; tanah
pemakama, dalam pengertian mempunyai makna yang lebih luas
Dari pendekatan semantik di atas, rasa imaji piker saya selaku penikmat baca/penghayat,
menangkap puisi Sitor Situmorang ini, secara tersurat (citraan makna atas teks puisi):
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
-Sitor SitumorangSecara visualisasi gambar di rasa imaji piker saya selaku penghayat; tergambar jelas suasana
satu hari sebelum datangnya hari raya (tepatnya malam lebaran), bulan sebagai
kata/kalimat penunjuk adanya satu waktu penting dari rentang waktu selama 12 bulan (satu
tahun), dan di bulan penting ini setiap tahunnya pada masyarakat muslim ada suatu tradisi
yang sudah membudaya, yakni ziarah ke makam yang biasanya dilakukan setiap menjelang
akhir ramadlan mulai dari pagi, dan puncaknya biasanya sore menjelang buka puasa dan
sesudah buka puasa bersamaan dengan takbir berkumandang ( Bahkan ada yang mengambil
moment Ziarah ke makam ini sehabis sholat Ied dan sehabis bermaaf-maafan dengan
keluarga terdekat). Bisa jadi pada saat puisi ini dibuat, bertepatan dengan suasana malam
lebaran yang pada saat itu langit cerah (entah ada bulan atau tidak pada waktu itu ya, tapi
saya yakin pada waktu itu tidak lagi hujan hehe), dan merangsang alam imajiner Sitor
Situmorang untuk mevisualisasikan gambaran suasana orang-orang ziarah di malam lebaran,
dan hal itu tergambar jelas dalam citraan latar suasana yang dibentuk pada struktur bahasa
puitisasi batang tubuh puisi ini (di kampung budaya ziarah pada malam lebaran masih sangat
membumi).
Memang kalau secara semantik kata bulan dimaknai benda langit yang mengitari bumi,
bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari, maka penempatan kata bulan
pada puisi MALAM LEBARAN menjadi sesuatu yang absurd (tidak masuk akal) sebab
biasanya pada malam lebaran bulan belum muncul. Jadi saya yakin jika kata bulan di sini
dimaknai sebagai benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena
pantulan sinar matahari, kata bulan ini pastinya bergeser fungsi sebagai bahasa
lambang/kias (semiotik).
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
-Sitor SitumorangEntah kenapa dari awal saya justru terkesan dengan kata kuburan yang bisa jadi sebagai
pokok utama pemicu kelahiran diksi-diksi lainnya dalam upayanya struktur bangun utuh puisi
ingin melesatkan makna tersirat yang teramat besar pada puisi //MALAM LEBARAN/Bulan
di atas kuburan//.

Ya, kuburan, sebuah kalimat yang begitu mistis terdengar di telinga, kata yang begitu
menggetarkan ruang kontemplasi, karena bisa membangkitkan kesadaran akan ketakutan,
pertobatan, dan kata yang mengingatkan saya pada salah satu puisi sufistik bertajuk
PESONA KEMATIAN karya penyair besar JALALUDDIN RUMI, :
Ketakutanmu terhadap maut sesungguhnya adalah ketakutanmu terhadap dirimu sendiri:
lihatlah apa yang sedang kaularikan dari dirimu!
Itu adalah keburukan wajahmu sendiri, bukan wajah maut: ruhmu bagai pohon, dan maut
laksana dedaunan.
Ia tumbuh darimu, apakah ia menjadi baik atau buruk: semua pikiranmu yang terembunyi,
curang atau wajar, lahir dari dirimu sendiri.
Jika engkau dilukai duri-duri, engkaulah penanamnya; jika engkau berpakaian satin dan
sutera, engkau sendirilah pemintalnya.
Ketahuilah bahwa perbuatan itu tak sama dengan hasilnya; sebuah pelayanan tak selalu sama
dengan upahnya. (Petikan Puisi Sufistik JALALUDDIN RUMI PESONA KEMATIAN
Pustaka Firdaus, 1993).
Sebagai penutup esai, dari citraan secara tersurat pada puisi Sitor Situmorang MALAM
LEBARAN inilah simbolik-simbolik puitika yang ada pada batang tubuh puisi ini
memberikan suatu kedalaman nilai kontemplasi (Kekuatan moral value) secara tersirat.
Dimana Keindahan sesungguhnya adalah saat kita senantiasa ingat datangnya kematian.
Sebab keindahan itu sendiri (baca: Bulan) melekat dan akan mengada pada aktualisasi laku
baik kita sehari-hari (tidak hanya pada saat malam lebaran sahaja) sebelum kita tiba sampai di
alam keabadian/alam barzah, dalam arti selama kita masih ada " di atas kuburan).
Sayangnya kita insan seringnya ingat "Bulan di atas kuburan" hanya pada saat "MALAM
LEBARAN" sahaja. Astagfirlohhaladzim. Subhannallah. Allahuakbar.
(lifespirit, 9 Feb 2013)
https://en-gb.facebook.com/imron.lifespirit/posts/4045975558134

Jakarta Satu waktu ketika saya duduk di bangku kelas 1 SMP, guru bahasa Indonesia saya meminta
murid-murid untuk membacakan puisi di depan kelas. Banyak teman saya membacakan
puisi-puisi dengan lantang, dari pujangga-pujangga terkenal Indonesia. Giliran saya maju ke
depan kelas, saya tak membawa selembar kertas pun contekan puisi sebab saya sudah hapal
betul liriknya. Dengan mantap saya berpuisi; Malam Lebaran/ Bulan di atas kuburan.
Hanya satu baris itulah ("Bulan di atas kuburan") isi puisi berjudul 'Malam Lebaran' karya
Sitor Situmorang. Selepas membacakan puisi itu saya tertawa terkekeh-kekeh. Teman-teman
saya pun yang sempat melongo sesaat setelah saya bacakan puisi itu, kemudian ikutan
tertawa terbahak-bahak. Tak ada dari kami yang mengerti betul apa sebenarnya makna dari
puisi itu. Kala itu saya hanya bersenang-senang dan sedikit iseng ketika memilih puisi itu
untuk saya bacakan. Satu-satunya hal yang saya bisa pahami kala itu adalah, bahwa puisi itu
paling mudah untuk dihapalkan.

Terinspirasi dari puisi tersebut, sineas gaek Asrul Sani kemudian menulis sekaligus
menyutradarai film berjudul 'Bulan di Atas Kuburan' pada 1973. Saya belum pernah
menonton filmnya, namun yang saya tahu film yang diproduseri Sjuman Djaya itu meraih
dua penghargaan pada FFI 1975 untuk kategori Pemeran Pembantu Pria Terbaik (Aedy
Moward) dan Film Aktuil Masyarakat Terbaik.
'Bulan di Atas Kuburan' versi 2015 besutan Edo W.F. Sitanggang ini adalah film bikin-ulang
dari karya Asrul Sani itu. Film ini berkisah tentang para perantau dari Samosir yang hijrah ke
Jakarta, kota dengan segala mimpi gemerlapan. Sabar (Tio Pakusadewo, 'Toilet Blues'), Tigor
(Donny Alamsyah, 'The Raid') dan Sahat (Rio Dewanto, 'Filosofi Kopi') adalah putera-putera
daerah yang memiliki ambisi untuk bisa kaya raya dengan cara menaklukkan kota Jakarta.
Sebuah premis yang tuturan kisahnya biasanya berakhir manis di film-film lain; sang tokoh
utama sukses, kaya raya dan bahagia. Ada sebutannya sendiri untuk film jenis ini di
Indonesia, "film inspiratif".
Namun, tidak demikian halnya dengan film ini. 'Bulan di Atas Kuburan' tak senada dengan
cerita-cerita "inspiratif" tentang orang susah yang lantas jadi orang kaya di ibukota. Penulis
naskah Dirmawan Hatta ('Optatissimus', 'The Mirror Never Lies') menghadirkan cerita
tentang para perantau yang datang ke Jakarta ini dengan sudut pandang yang berbeda; sinis,
ironis, juga kejam!
Edo W.F. Sitanggang mengeksekusi naskah film yang ciamik ini dengan tingkat
craftmentship yang tak main-main untuk ukuran seorang sutradara debutan. Edo mengemas
film ini dengan cara-cara yang bahkan bagi kebanyakan sutradara "senior" tak kunjung
dikuasai betul. Pengadeganan, sinematografi, mood film, editing, musik, hingga pagelaran
akting dari deretan pemain lakon amat baik saling melengkapi membuat film ini jadi tontonan
yang mewah.
Film ini dipenuhi begitu banyak pemain yang hebatnya semuanya tampil maksimal. Bahkan
untuk peran-peran pendukung seperti tokoh Bapak Parlente yang diperankan Ray Sahetapy,
Ibu Hebring yang sekilas saja dimainkan Meriam Bellina, Remy Sylado sebagai Ketua Partai,
Andre Hehanusa (yang secara mengejutkan) mampu tampil mengesankan sebagai Clemen si
bos preman, Alfridus Godfred, Mutiara Sani, kesemuanya tampil penuh kesan.
Di film ini pula aktor gaek Tio Pakusadewo bermain tak sekedar sebagai aktor pendukung
yang biasanya tampil cuma selewat. Berkat penulisan naskah yang mumpuni serta
kepiawaian Tio menghidupkan karakternya, rasa-rasanya tak berlebihan bila ia diganjar
penghargaan. Menyaksikan duet aktingnya bersama Ria Irawan yang berperan sebagai
istrinya, sulit untuk tak jatuh hati pada mereka berdua; sebuah duet yang tak terlupakan.
Di sisi lain, Donny Alamsyah juga tampil cemerlang. Aktor yang biasanya tampil sebagai
pemeran pendukung ini, dalam 'Bulan di Atas Kuburan' bersinar tak kalah terang dengan sang
aktor utama, Rio Dewanto. Film ini mempertunjukkan kemampuan terbaik dari keduanya.

Sabar, Tigor dan Sahat adalah pungguk-pungguk yang merindukan bulan. Usai menonton,
berhari-hari kemudian film ini terus merasuki diri saya, mengendap jauh ke alam bawah
sadar. Mendeskripsikan film ini sesulit memaknai puisi 'Malam Kuburan' yang isinya hanya
sebaris kalimat pendek itu; ia bisa dibaca namun sulit diterangkan. Saat credit title bergulir,
saya tak mampu berkata apa-apa, selain tertegun, terisak penuh derai air mata sambil
menahan helaan napas dari dada yang terasa amat sesak. Lama sekali rasa itu pergi.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
http://hot.detik.com/movie/read/2015/04/23/133145/2896100/229/bulan-di-ataskuburan-sebaris-kalimat-pendek-yang-menyesakkan-dada

PUISI MALAM LEBARAN


MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Karya : Sitor Situmorang
ANALISIS INTRINSIK
a. Tema
Rasa Kemanusiaan
b. Rima
Puisi Malam Lebaran ini bersajak atau berima datar yaitu terdapat katakata yang berima pada baris yang sama, Yaitu bunyi an pada bulan dan
kuburan dalam satu larik yang sama.
Pada kutipan Bulan di atas kuburan
c. Diksi
Penulis dalam pemilihan kata/diksi penulis ingin mengekspresikan
perasaan atau isi pikirannya dengan menggunakan bahasa kiasan
(figuratif/konotatif) sehingga walaupun hanya terdiri dari satu larik
namun arti dan maknanya sangat luas.
d. Citraan

Penyair menggunakan citraan penglihatan (Visual Imagery), Penyair


mengajak pembaca atau pendengar seolah-olah melihat bulan di atas
kuburan.
e. Majas / Gaya Bahasa
Dalam puisi ini menggunakan majas simbolik, yaitu menggunakan kiasan
lambang-lambang. Bulan dilambangkan kemeriahan / kebahagiaan.
f. Makna
Dalam puisi ini kita dapat parafrasekan yaitu malam lebaran, bulan dan di
atas kuburan, menjadi di malam lebaran ada bulan di atas kuburan.
Memang di malam lebaran 1 syawal tidak ada bulan yang muncul, tetapi
itulah keahlian dari penyair Sitor ini yang membuat orang bisa bermacammacam penafsirannya. Makna dari puisi ini lebih mengarah pada
kehidupan sosial bermasyarakat sesuai tema yang ingin disampaikan oleh
penulis yaitu rasa kemanusiaan.
Kata Bulan yang dimaksud dalam puisi di atas adalah bulan di malam
lebaran. Lebaran sebagaimana dipahami banyak orang, merupakan saat
penuh kebahagiaan setelah sebulan lamanya berhasil menjalankan ibadah
puasa hampir semua orang tenggelam dalam hiruk-pikuk kemeriahan
menyambut saat-saat lebaran itu, semua orang dari semua kalangan tak
melewatkan momentum berkah dan maghfirah.
Namun, ada yang lupa bahwa di balik kemeriahan dan kebahagiaan di
malam lebaran itu ada juga ketragisan hidup, tidak sedikit saudarasaudari kita yang masih akan harus berpuasa dan mengalami kelaparan
pada saat hari lebaran itu, dan ada juga orang yang tidak bisa berlebaran
dengan anggota keluarganya. Situasi dan keadaan ini sangat jauh dari
nilai lebaran yang penuh dengan kebahagiaan mereka hanya bisa
mendengar suara takbir yang terdengar pilu. Itu penulis maknai dari frasa
di atas kuburan. Jadi jika begitu kejadiannya memang benar yang
dikatakan Sitor dalam puisinya yaitu Bulan di atas kuburan, yakni
kebahagiaan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain.
ANALISIS EKSTRINSIK
a. Latar Belakang
Puisi lahir dengan spontan. Latar belakang puisi Sitor ini yaitu
peristiwanya terjadi pada malam lebran ketika Sitor sang penulis puisi
hendak berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer, ia lewat dekat
kuburan. Nah, karena sitor ini orangnya sangat piawai, pandai dan
berjiwa dalam hal kesusastraan maka moment atau peristiwa itu sitor
langsung membuat sebuah puisi, sehingga muncullah puisi yang dia beri
judul Malam Lebaran.

b. Amanat/ Pesan
Hendaklah kita senantiasa selalu berbagi dengan sesama dan senantiasa
menjalin silaturahmi kapan dan di manapun. Khususnya kepada mereka
yang bernasib kurang beruntung. Karena kekayaan dan penghasilan yang
kita miliki, jangan lupa di situ ada hak juga bagi fakir miskin dan anak
terlantar.
c. Tujuan
Penyair Sitor membuat puisi ini untuk mengabadikan sepenggal kisah
hidupnya yang dia curahkan ke dalam sebuah puisi dan juga agar
pembaca dapat terkandung dalam puisi malam lebaran ini.
d. Bentuk
Bentuk puisi Malam Lebaran ini secara visual termasuk bentuk puisi
terbuka/bebas, karena tidak mengacu pada struktur puisi yang sudah
ada. Bentuk puisi ini juga terbilang unik karena hanya terdiri dari satu
larik.
e. Biografi singkat pengarang
Sitor Situmorang tercatat sebagai salah satu sastrawan Indonesia yang
lahir di Harianboho Tapanuli Utara, 02 Oktober 1924. Kehidupan Sitor
paling banyak pengembaraannya di luar negeri. Setelah Ia kembali ke
Indonesia ia berkiprah dalam kesusastraan Indonesia. Namun, Kiprahnya
mendapat sorotan banyak pihak. Ia dipandang menyodorkan sesuatu
yang baru dalam hal penulisan puisi dan cerpen Indonesia Modern.
Banyak sekali karya Sitor yang memperbanyak khazanah kesusastraan
Indonesia. Itulah sebabnya Sitor ini dijadikan salah satu tokoh tangguh
Sastrawan Indonesia
http://analisispuisi.blogspot.co.id/2009/07/puisi-malam-lebaran.html

PUISI MENYESAL
MENYESAL
Pagiku hilang, sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang sudah membayang
Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai dipagi hari


Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Akh, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tidak berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju kearah padang bakti
Karya A. Hasjmy
ANALISIS INTRINSIK
a. Tema
Penyesalan
b. Rima
Bait pertama dan kedua berima silang
Bait ketiga dan keempat berima bebas
c. Diksi
Pemilihan kata menggunakan kata denotatif (mudah dipahami)
d. Citraan
Menggunakan imajinasi visual (penglihatan)
Sekarang petang sudah membayang.
Menggunakan imajinasi perasaan
Akh, apa guna kusesalkan

e. Majas / Gaya Bahasa


Majas Repetisi
f. Makna
Puisi di atas menggambarkan penyesalan yang dialami oleh seseorang
ketika masa mudanya tidak digunakan sebaik-baiknya, sehingga
menimbulkan penyesalan pada usia tuanya.
ANALISIS EKSTRINSIK
a. Latar Belakang
Puisi di atas terinspirasi oleh pengalaman hidup yang berupa penyesalan
karena tidak memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya, sehingga
menimbulkan penyesalan di masa tuanya
b. Amanat/ Pesan
Penulis berpesan kepada kita agar sejak awal mempersiapkan hari depan
yang baik yaitu dengan menuntut ilmu secara sungguh-sungguh.
c. Tujuan
Penyair ingin menyampaikan kepada pembaca agar kita tidak menyianyiakan masa muda agar di masa tua kita tidak menyesal.
d. Bentuk
Puisi di atas memiliki irama datar dan dibuat secara melankolis yang di
dalamnya pada bait pertama dan kedua masing-masing terdiri dari empat
larik dan pada bait ketiga dan bait keempat masing-masing terdiri dari
tiga larik
http://analisispuisi.blogspot.co.id/2009/07/puisi-menyesal.html

Anda mungkin juga menyukai