Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Perkembangan Seni Rupa Kontenporer

A. SEJARAH SENI RUPA KONTENPORER DI


INDONESIA
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer
muncul awal 70-an, ketika Gregorius Sidharta
menggunakan istilah kontemporer untuk menamai
pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno
Wisetrotomo,
seorang
pengamat
seni
rupa,
berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada
konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrakkontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin
dianggap usang.
Konsep modernisasi telah merambah semua
bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling menyolok
terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional
mulai tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di
acara yang bersifat upacara atau seremonial saja.
Seperti
diungkapkan
Humas
Pasar
Tari
Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT) Sanggar
Laksamana Pekanbaru yang tidak hanya diminati para
koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer
tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18
koreografer tari baik dari dalam maupun luar negeri
menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari
kontemporer tersebut. "Para koreografer sudah tiba di
Pekanbaru, mereka menyatakan siap unjuk kebolehan
dalam pasar tari itu," ujar Humas Pasar Tari
Kontemporer, Yoserizal Zen di Pekanbaru
Lukisan kontemporer semakin melejit seiring
dengan meningkatnya konsep hunian minimalis,
terutama di kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh
seniman lukis kontemporer Saptoadi Nugroho dari
galeri Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, "Lukisan
kontemporer
semakin
diminati
seiring
dengan
merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di
kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang

lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior


ruangannya berkonsep modern."
Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan
kontemporer, "Saya mengoleksi lukisan karena
mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu
bonus," kata Oei Hong Djien, kolektor dan kurator
lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro
Santoso, kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery.
"Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya
tidak naik, tidak masalah," timpalnya.
Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya.
Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai
lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar
dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono,
Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di sana
bersama karya-karya pelukis muda.
Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD
ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia
tidak lepas dari pecahnya isu posmodernisme (akhir
1993 dan awal 1994), yang menyulut perdebatan dan
perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di
media massa pada waktu itu.
B. SEJARAH
SENI
KONTENPORER
DI
ASIA
TENGGARA.
Sejak Marjorie Chu kali pertamanya membuka
sebuah galeri seni rupa di Singapura pada tahun 1971,
dia berharap galerinya bisa sebagai jembatan atau
mata rantai antara seniman, kolektor dan pecinta seni.
Dia membuka Raya Gallery di Cuscaden House Hotel
(sekarang Hotel Bulevard), dan ketika hotel direnovasi
bentuknya
dia
memindahkan
Raya
Gallery
sebagai Specialists
Centre.
Kemudian,
galerinya
dinamai kembali Art Forum pada tahun 1980, sejak
proses perjalanan. Di tahun 1989 Art Forum Pte Ltd
menampung pikiran-pikiran yang searah - tahun 1920an di mana sebuah teras rumah dengan canggih diubah
menjadi sebuah ruang pameran. Pada lantai bagian

atas rumah tingkat dua ini ada sebuah ruang kantor


dan stock room. Koleksi karya seninya didisplay
sebagai basis perputaran.
Sebelum dia membuka galeri pertamanya, Marjorie
memiliki sebuah karier menarik selama sepuluh tahun
sebagai seorang akuntan. Terlepas dari pekerjaannya
yang full-time, dia menikah dan mempunyai dua anak.
Dia sangat tertarik akan seni rupa, maka setiap ada
penyelenggaraan pameran di Singapura dia selalu
menghadiri,St.
Andrews
Mission
Hospital
Charity pameran yang diorganisir oleh Dr. Ear Lu.
Dalam rangka memahami seni rupa secara umum, dia
sering mengunjungi Singapore Art Museum, dan Dr. Ear
Lu sebagai penolong dalam memperkenalkannya
lukisan Cina di extra-mural ceramah kuliah yang
diorganisir oleh University of Singapore. Marjorie juga
menghadiri
sebuah
kursus
mengenai
lukisan
kontemporer di London yang mengajarnya bagaimana
cara membaca sebuah lukisan. Dia mulai dengan
mengoleksi patungnya Ng Eng Teng, lukisannya Lee
Man Fong dan Thomas Yeo.
Sejak
Marjorie
memutuskan
meninggalkan
profesinya sebagai seorang akuntan, dia ingin
mendirikan sebuah bisnis yang mengijinkannya untuk
menggunakan lebih waktunya dengan keluarga. Karena
Marjorie seorang akuntan, sehingga dia cnderung
berpikir pragmatis. Pertama, ia memutuskan untuk
mendirikan bisnisnya sendiri, dia menyimpulkan bahwa
sebuah galeri seni rupa paling sedikit memerlukan
modal sebab dia bisa mengambil dari hasil penjualan
karya. Kedua, dia harus menyadari pula bahwa dia
masih dini; galeri sebagai mata pencaharian bisnis.
Seandainya tak ada seorangpun yang membeli lukisan,
dia menyiapkan kebiasaan menyusun sebuah sidebusiness.
Marjorie
berpikir
jika
dia
menaruh
investasinya ke dalam cetakan yang bisa dia serahkan
tiga kali dalam setahun, kemudian dia bisa

menyerahkan stock-nya lebih cepat jika dia menaruh


semua dari investasinya ke dalam lukisan. Dia mengira
dengan tepat bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat
menyiapkan investasinya dalam sebuah lukisan dengan
cepat. Jika dia ada keberuntungan, mungkin dia akan
menjual lukisan pada hari berikutnya atau barangkali
dia akan menyimpannya selama sepuluh tahun atau
lebih, seperti telah terjadi pada banyak kasus karya
yang dikoleksi biasa dibingkai dalam sebuah bisnis,
juga membuktikan cara untuk menjadi yang baik pada
klien baru. Ketika mereka datang ke galeri, mereka
akan melihat karya dan akan sering membelinya.
Setelah pembukaan galerinya, Marjorie sangat
aktif menghadiri pameran di Singapura. Dia mengakui
adanya Alfa Gallery menunjukkannya jalan kepada
senimanavant garde dari setiap waktu. Dia menjumpai
banyak seniman di Alfa Gallery, Goh Beng Kwan, Khoo
Sui Ho, Thomas Yeo, Anthony Poon dan Choy Weng
Yang. Sepanjang tahun 1970-an, dia membeli banyak
lukisan di sana, termasuk karya-karyanya Khoo Sui Ho
dan Goh Beng Kwan, dan pertama dia melihat karya
seniman Malaysia Latiff Mohidin di Alfa Gallery.
Sejak Marjorie melihat lukisan para Singapore
Pioneer Artists dan para mahasiswa, mereka telah
menemukan inspirasi baru pada perjalanan mereka ke
Indonesia dan Malaysia, dia menyadari bahwa orangorang di Singapura yang dia maksud menjadi bagian
dari Asia Tenggara. Pada waktu itu, dan kini Marjorie
sangat digairahkan oleh pembentukan Negara ASEAN.
Ada perdagangan bebas dan gerak bebas antara
negara-negara ini, seperti halnya merasa ada sebuah
kesetiakawanan antar negara tetangga. Hingga
sekarang, dia berpikir tentang ASEAN terhadap lima
negara sebagai anggota pendiri - Indonesia, Malaysia,
Thailand,
Philipina
dan
Singapura.
Marjorie
memutuskan bahwa dia perlu membuat tiap-tiap usaha
kemungkinannya dapat untuk melihat semua seni rupa

di lima negara dan, mengapa koleksinya sangat fokus


pada seni rupa kontemporer ASEAN. Walaupun
sekarang dia juga mempunyai sebuah koleksi model
seni rupa kontemporer dari India, Australia dan Jepang,
namun karya-karya ini tidak membentuk pada fokus
koleksinya.
Marjorie mengatakan, "Sepanjang tahun 1970-an,
saya menyadari bahwa saya melebihi dari seorang
Singapura, saya adalah bagian dari Asia Tenggara,
maka saya mengikuti jalan kecil dari Seniman Pelopor
dan pergi ke negara-negara ASEAN untuk melihat diri
sendiri. Dalam pencarian saya untuk seniman di
negara-negara Asia Tenggara, saya menggunakan
teknik persisnya sama yang telah saya gunakan di
Singapura: saya pergi ke museum, pameran, perguruan
tinggi seni, dan saya menggunakan banyak waktu
untuk bertemu dan berbicara dengan banyak seniman
lokal." Dia juga mulai merindukan hubungannya
dengan art dealer, terutama Arturo Luz di Philipina dan
Hendra Hadiprana di Jakarta, keduanya adalah
penasehat penting untuk galeri-galeri yang masih
muda.
Marjorie mencari tiap karya-karya seniman yang
menarik. Kemudian, ketika mungkin dia membeli
banyak dari karya mereka, atau mengambil beberapa
karya yang dijual. "Saya tidak punya agenda tertentu
atau ingin mendaftar. Saya bersandar pada yang wah!
dan intuisi. Ini telah terbukti sukses. Tentang keuangan
saya cukup lancar dan saya mengaturnya untuk
perpanjangan sewa buat galeri. Bagaimanapun, saya
mempertimbangkan bahwa sukses riil saya berada
dalam jaringan art dealer dan seluruh seniman Asia
Tenggara," dia mengatakan.
Setelah beberapa tahun banyak mengoleksi karya
seni, Marjorie menyadari bahwa koleksinya itu
merupakan dokumen penting sehingga orang lain boleh
jadi mampu memahami arti dan ruang lingkupnya. Dia

memulai dengan mencoba untuk menjelaskan karya ke


keluarganya sendiri, dan teks untuk buku ini benarbenar dimulai dalam wujud sebuah surat kepada
putrinya Audrey. Karena Marjorie mengetahui semua
karya seniman telah dia koleksi, dia mengetahui bahwa
dia bisa meneliti dan menjelaskan karya mereka.
Bagaimanapun juga, ketika dia hendak memulai untuk
menulis, dia menemukan kendala kalau dia tidak bisa
mengetik secara cepat, maka dia mencoba memakai
jenis perangkat lunak lain yang akan (menurut dugaan)
mengetik kata-kata ketika dia berbicara. Metoda ini
juga membuktikan kegagalannya: nampak perangkat
lunak seperti itu tidak bisa mengenali semua kata-kata,
terutama seperti ada istilah Indonesia, Thailand, orang
Philipina, orang Malaysia dan nama-nama Cina, seperti
halnya banyak terminology lain; seperti ikat, batik dan
hilangnya penampakan lilin dalam tulisan. Marjorie juga
menemukan bahwa dia tidak bisa sesederhana
merekam teks ke dalam sebuah alat perekam dan
kemudian memiliki penjelasan berupa teks tulisan.
Kapan saja dia mendengarkan apa yang telah dia
rekam, dia akan menghapusnya semua.
Secepatnya Marjorie memutuskan bahwa satusatunya metoda mungkin boleh jadi untuk mendikte ke
seseorang dengan kontak mata, seolah-olah dia sedang
memarahi. Itu adalah bagian saya dalam memulai
proyek ini, dan setelah mengumpulkan banyak waktu
informasi direkam termasuk selama perjalanan ke
Singapura, kemudian saya mencatat, mengedit,
membetulkan, mengubah, dan memastikan bahwa teks
masih membunyikan seperti suara Marjorie. Adalah
menarik bahwa ini merupakan proyek penulisan karena
dibuat dengan fakta - seperti Maria Callas tidak bisa
menyanyi disebuah ruang studio rekaman, dan oleh
karena itu semua proses rekaman harus dilaksanakan
pada saat sedang konser - Marjorie harus lebih dulu
melaksanakan sebuah pendengaran dalam rangka

merekam material untuk bukunya. Kebanyakan proses


perekaman dilakukan di Singapura. Kaitannya dengan
segala aktivitas di galeri sepanjang siang hari, Marjorie
dan saya sering menemukan waktu yang terbaik untuk
bekerja kadang terlambat pada malam hari sampai
pagi hari, tetapi sungguh sial ini kadang-kadang
bermaksud untuk mendengarkannya mungkin sudah
mulai mengangguk batal terus tidur di dipan. Paling
mengesankan ketika sesi perekaman lain mengambil
tempat selama perjalanan kereta dari Bandung ke
Jogjakarta, dan kita juga merekam sebagian dari
material selama perjalanan ke Bali, Jakarta dan
Magelang di Indonesia. Keseluruhan proyek adalah
sebuah pelajaran pengalaman yang menyenangkan
yang membuka wah! kepada image yang besar tentang
seni rupa kontemporer Asia Tenggara.
Bukannya hendak membagi buku ke dalam bab
tentang penggolongan seniman luar negeri, kita
menyadari bahwa hal itu jadi lebih menarik ketimbang
mencampur-adukkan semua seniman dari berbagai
negara ke dalam bab yang memusatkan pada gaya
tertentu, seperti drawing, still life (lukisan alam benda),
lukisan figuratif, lanscape, patung, seni abstrak, dan
seterusnya. Dengan cara ini mungkin Marjorie dapat
membandingkan perbedaan antara konsep dan gaya
seniman diberbagai negara Asia Tenggara. Dia dapat
juga membuat cross-references antara seni dan craft
(kriya): dia interes pada seni rupa Asia Tenggara untuk
belajar tenun tekstil, teknik membatik dengan lilin,
pernis, cor perunggu dan keramik. Satu bab fokus pada
traveling dengan para seniman ke Bali, Australia,
China, India dan Skotlandia; dan di sana tiga bab
memusatkan pada seniman-seniman individu - Srihadi
Soedarsono, Goh Beng Kwan dan Chua Ek Kay.
Sepanjang
proses
dalam
mendokumentasi
koleksinya, Marjorie merasa bahwa dia telah
menemukan unsur-unsur penting dalam bahasa

tentang seni rupa kontemporer Asia Tenggara,


meringkas dengan point-point sebagai berikut:
Kita bermaksud mengucapkan rasa terima kasih
kembali kepada Audrey untuk pembacaan kritisnya dan
pertanyaannya yang provokatif selama proses editing;
Mary Tolman untuk koreksi naskah dengan saksama
tentang
draft
akhir;
Chen
Shen
Po
untuk
ketrampilannya
dalam
menempatkan
berbagai
peta hand-drawn oleh Marjorie Chu; dan Pandu untuk
keahliannya dalam memanipulasi koreksi warna dari
image yang diteliti.
Ketika kita mengerjakan revisi teks akhir, kita bisa
melihat candi Borobodur yang bagus sekali jauhnya
hanya beberapa ratus meter. Pada saat itu, kita
merilisUnderstanding
Contemporary
Southeast
AsianArt menjadi judul paling sesuai untuk buku ini,
sebab Marjorie paling tertarik akan seni rupa
kontemporer Asia, dan dia memahami "Big Picture"
tentang seni rupa di Asia.
Tujuan Tari kontemporer
Pada dasarnya,
tujuan
tari
adalah sebagai
keindahan, sebagai persembahan, tari sebagai alat
komunikasi.
Tujuan seni tari kontemporer antara lain :
Tujuan Seni tari kontemporer sebagai media pendidikan
misalnya tari kontemporer yang diajarkan di sekolahsekolah.
Tujuan Seni tari kontemporer dapat digunakan
sebagai alat komunikasi seperti pesan, kritik sosial,
kebijakan, gagasan, dan memperkenalkan produk
kepada masyarakat.
Tujuan
Seni tari
kontemporer
juga bertujuan
sebagai
sarana
melepas
kejenuhan
atau
mengurangi kesedihan, sebuah pertunjukan tari

kontemporer khusus
untuk
berekspresi
atau
mengandung hiburan, seni tari kontemporer yang
tanpa dikaitkan dengan sebuah upacara ataupun
dengan seni tari kontemporer lain.
Tujuan Seni tari kontemporerjuga dapat bertujuan
sebagai media ekspresi seniman dalam menyajikan
karyanya tidak untuk hal yang komersial, misalnya
terdapat pada tari kontemporer. tidak bisa
dinikmati penonton, hanya bisa dinikmati para
seniman dan komunitasnya
Kostum Dan Property
Kostum dan properti adalah alat penunjang
konsep sebuah tarian kontemporer, jadi harus
disesuaikan dengan konsep yang diambil. Bukan
berarti kostum yang bagus dan mahal akan
membuat sebuah tarian akan jadi bagus. Sering
kita jumpai dibeberapa pementasan tari
kontemporer ada unsur "pemaksaan" dalam
memilih kostum, dalam arti tidak sesuai dengan
konsep dan gerakan tarian yang dibawakan.
Bahkan ada penari yang akhirnya terganggu
gerakannya karena menggunakan kostum yang
"berlebih". Usahakan kostum yang digunakan
untuk sebuah tarian dibuat sedemikian rupa
supaya terlihat nyaman dan cocok dengan konsep
tarian.Demikian juga dengan properti, hati-hati bila
tarian yang kita bawakan menggunakan properti
tertentu karena bisa menimbulkan masalah apabila
kita tidak pandai atau salah
menggunakannya.Memang betul sebuah tarian
akan terlihat indah dan bagus apabila ditunjang
dengan kostum dan properti yang proposional.

Di jepang, busana yang digunakan dalam


pementasan tari kontemporer bersifat tradisional,
dari Negara lain ataupun perpaduan desain antara
kostum tradisional jepang dan luar negeri jepang
gerakan
Biasanya bagi pemula merasa bangga dan hebat
kalau bisa membawakan sebuah tarian dengan
gerakan yang sulit.Mereka lupa bahwa faktor
kekompakan pun perlu diperhatikan. Karena dalan
tari kontemporer semua anggota tim adalah satu
kesatuan yang membutuhkan kekompakan atau
kesamaan gerak. Tentunya akan menjadi kurang
bagus apabila gerakan itu dipaksakan dan hanya
sebagian anggota saja yang bagus dalam
membawakannya. Sekali lagi perlu diingat, Tidak
semua gerakan yang sulit atau "ribet" akan bagus
dan enak dilihat, lalu menang dalam ajang sebuah
lomba. Yang terpenting adalah kekompakan,
keserasian dan keharmonisan antara konsep, gerak
dan musik.
Konsep Musik
Sebelum membuat sebuah gerakan untuk tari
kontempore kita harus bisa memilih musik yang
benar-benar pas atau cocok dengan tema yang kita
ambil. Kita sering menemukan sebuah yang diiringi
oleh musik yang diambil dari beberapa potongan
lagu. Tidak salah memang, tapi yang harus
diperhatikan adalah pemilihan lagu, penempatan
urutan dan mixing. Kadang kita terjebak dengan
memilih lagu-lagu yang sedang booming atau
trend tanpa disesuaikan dengan konsep dan
gerakan. Kemudian penempatan urutan lagu pun
tidak pas sehingga musik tidak terdengar harmonis
secara keseluruhan. Ditambah lagi mixing yang
kurang bagus atau tidak balance, hal ini membuat
musik secara keseluruhan terdengar naik turun.

Perlu diingat bahwa walaupun kita menggunakan


iringan musik dari potongan beberapa lagu.
Tafsiran
lain
mengenai
praktek tari kontemporer di Jepang:
1. Dihilangkannya sekat antara berbagai kecenderungan
artistik,
ditandai
dengan
meleburnya
batasbatasantara seni visual, teater, tari, musik.
2. Intervensi disiplin ilmu sains dan sosial, terutama yang
dicetuskan
sebagai
pengetahuan
populer
atau
memanfaatkan teknologi mutakhir.
Istilah ini dianggap bisa menyertai sebutan seni
visual, musik, tari,
dan teater.
Meskipun
di Barat,
istilah Contemporary
Art jamak
digunakan
untuk
menyebut
praktek seni
visual sesuai
kebutuhan
kegiatan Museum maupun lembaga pencetus nilai
seperti Galeri Seni dan Balai Lelang.

Anda mungkin juga menyukai