Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid
1. Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang terdapat pada
saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi ditandai
dengan adanya demam 7 hari atau lebih, gangguan pencernaan dan sistem
saraf pusat ( sakit kepala, kejang dan gangguan kesadaran)[16].
Demam tifoid juga merupakan penyakit masyarakat dengan standar
hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara
endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik. Sumber
penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita
dalam fase konvalesen, dan kronik karier[1].
Demam Tifoid atau typhus abdominalis, typhoid fever atau enterik
fever adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik
demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih
kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa
dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) dsebabkan oleh
kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B
dan Salmonella paratyphi C[17].
Sistem imun memungkinkan tubuh mengenali benda asing yang
memasuki tubuh, dan berenspon terhadapnya.limfosi B ditransformasi
menjadi sel plasma, yang menghasilkan anti bodi, khas terhadap protein
asing tertentu atau antigen, terjadi pada respon imun homoral. Limfosit
lain ( limfosi T ) terlibat dalam renspon imun bermedia sel. Berbagai unsur
dari mikroorganisme bersifat protein, terkat pada protein, atau berupa
molekul karbohidrat besar dan bersifat antigenik[18].
Pada sel bakteri, disebut unsur unsur yang dapat dianggap sebagai
antigen somatik (badan sel sendiri) disebut antigen O (antigen permukaan),

antigen flagela disebut antigen H atau antigen kapsula pada spesies yang
mempunyai fagela. Dibentuknya antibodi berbeda sebagai respon terhadap
antigen merupakan petunjuk diagnostik untuk penyakit infeksi[18].

2. Penyebab demam tifoid


Penyebab dari penyakit demam tifoid adalah Salmonella typhi,
bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel
peritrik, berukuran 2-4 m x 0.5-0,8 m[19]. Salmonella sp. tumbuh cepat
dalam media yang sederhana[20], hampir tidak pernah memfermentasi
laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan
manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S[21].
Bakteri ini menyerang saluran pencernaan. Manusia merupakan satu
satunya sumber penularan alami Salmonella typhi, melalui kontak
langsung maupun tidak langsung penderita demam tifoid atau karier.
Karier adalah orang yang telah sembuh dari demam tifoid dan masih
menginfeksi bakteri Salmonella typhi dalam tinja atau urin selama lebih
dari satu tahun [21].
Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal
(intestinal type), Kekambuhan yang ringan pada karier demam tifoid. Pada
karier jenis intestinal, sukar diketahui karena gejala dan keluhannya yang
tidak jelas[7].

3. Patogenesis
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak
berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 m x 0.5-0,8
m[18]. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana[20],
hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk
asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi
hidrogen sulfide. Pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah 28milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth, pada media BAP tidak
menyebabkan hemolisis pada media Mac Concey koloni Salmonella sp[2].

Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut,


esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). Salmonella typhi ,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella
paratyphi C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau
minuman yang tercemar[4].
Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman
mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari
usus halus kuman beraksi sehingga bisa menginfeksi usus halus. Setelah
berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke
pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu,
dan lain-lain). Sehingga feses dan urin penderita bisa mengandung kuman
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,salmonella paratyphi B dan
Salmonella paratyphi C yang siap menginfeksi manusia lain melalui
makanan atau minuman yang tercemari. Pada penderita yang tergolong
carrier kuman Salmonella bisa ada terus menerus di feses dan urin sampai
bertahun-tahun[22].
Setelah memasuki dinding usus halus, Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi A, salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C mulai
melakukan penyerangan melalui system limfa ke limfa yang menyebabkan
pembengkakan pada urat dan setelah satu periode perkembangbiakan
bakteri tersebut kemudian menyerang aliran darah. Aliran darah yang
membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong empedu, limfa,
ginjal, dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian berkembangbiak
dan menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-organ yang telah
terinfeksi inilah mereka terus menyerang aliran darah yang menyebabkan
bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai
penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis[2].

4. Diagnosis laboratorik
a. Diagnosis Laboratorium

Diagnosis Laboratorium dalam menegakkan diagnosa demam


tifoid sangat penting dilakukan karena dapat membantu dalam
menentukan hasil pemeriksaan. Sampai saat ini masih dilakukan
berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan
penderita demam tifoid secara menyeluruh. Biakan darah positif
memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid. Biakan tinja positif menyokong
diagnosis demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal memastikan
diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang
khas. Dalam pemeriksaan laboraturium dimulai dari pengambilan
sampel,

cara

pengumpulan

dan

penanganan

sampel

untuk

pemeriksaan selanjutnya dilakukan uji serologi untuk mendeteksi


antibodi terhadap antigen[18].
b. Metode Pemeriksaan Demam Tifoid
1) Kultur Gal
Diagnosis pasti penyakit demam tifoid yaitu dengan
melekukan isolasi bakteri Salmonella typhi, Salmonella paratyphi
A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C dari
spesimen yang berasal dari darah, feses, dan urin penderita
demam tifoid.
Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan pada
minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk
positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum
mendapat terapi antibiotik. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk
positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%[10].
2) Widal
Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H
dalam darah Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai
30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes
Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi.

Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang


baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi infeksi
berulang karena bakteri Salmonella, imunisasi penyakit tifus
sebelumnya ,Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain[10].
3) TubexRTF
Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen
TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik,
praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri
Salmonella typhi Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan
reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap
antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri
Salmonella typhi[10].
4) Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS
O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi
terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen
klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Sensitivitas uji
ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan
40% pada sampel sumsum tulang[10].
5) Pemeriksaan IgM dipstik tes
Uji serologis dengan pemeriksaan IgM dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen

lipopolisakarida

(LPS)

Salmonella

typhi

dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen


Salmonella typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman

immobilized

sebagai

reagen

kontrol.

Metode

ini

mempunyai sensitifitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan


kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%)[15].

10

B. Tes widal
1.

Pengertian
Widal test merupakan tes serologi suatu uji serum darah dengan
aglutinasi untuk mendiagnosa demam tifoid. Prinsip pemeriksaan
menggunakan tes widal adalah reaksi aglutinasi yang terjadi pada serum
penderita setelah dicampur dengan suspense antigen Salmonella.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
dan antibodi (aglutinin) pada serum penderit[23-24]. Pemberian antibiotika
yang dilakukan sebelumnya kemudian diperiksa Widal hal ini
menghalangi respon antibodi[25].
Pada pemeriksaan uji Widal terdapat beberapa antigen yang dipakai
sebagai parameter penilaian hasil uji Widal, Antigen tersebut adalah
a.

Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh
kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini
tahan terhadap pemanasan 100C selama 25 jam pada alkohol dan
asam yang diencerkan. Dengan serum yang mengandung anti O,
antigen ini mengadakan aglutinasi dengan lambat membentuk
gumpalan berpasir [1].

b.

Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau
fili Salmonella typhi dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi
mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa
Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu
60C dan pada pemberian alkohol atau asam[1].

c.

Antigen Vi
Antigen Vi ini terdapat pada kapsul K yang terletak pada bagian
paling pinggir dari kuman. Strain yang baru diisolasi dengan anti sera

11

yang mengandung agglutinin anti O dan antigen Vi dirusak oleh


pemanasan selama satu jam pada 60C dan oleh asam fenol. Biakan

yang mempunyai antigen Vi cenderung lebih virulen[26]. Dari ketiga


macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin[26].
Dari ketiga anglutinin ( O, H, vi ) hanya anglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diangnosis, semakin tinggi titer
anglutininnya semakin besar pula kemungkinan untuk diagnosis
demam tifoid. Pada infeksi yang aktif titer anglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu
paling sedikit lima hari[24, 27].
Tes Widal merupakan serologi baku dan rutin digunakan[1].
Hasil positif Widal akan memperkuat dugaan terinfeksi Salmonella
typhi pada penderita[1]. Saat ini walaupun telah digunakan secara
luas, namun belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point)[28]. Beberapa keterbatasan uji Widal adalah:
1) Positif Palsu
Merupakan sebuah pengukuran untuk mengetahui probabilitas
seorang pasien benar-benar mengidap suatu penyakit[29]. Nilai
Positif palsu dihitung dengan membandingkan hasil benar
positif dengan seluruh hasil tes positif menurut uji skrining
(True Positif dan Palse Positif) dalam persen. Semakin tinggi
kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang menderita
penyakit akan membantu petugas kesehatan memberikan
penanganan yang tepat dan segera[30].
2) Negatif Palsu
Menggambarkan probabilitas seorang pasien benar-benar tidak
mengidap suatu penyakit[29]. Nilai negatif palsu dihitung dengan
membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh hasil tes
negatif menurut uji skrining (True negatif dan palse negatif)

12

dalam per sen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining


memperkirakan seseorang tidak menderita suatu penyakit akan
sangat

membantu

petugas

kesehatan

menghindarkan

penanganan atau pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar


dari efek samping pengobatan[30].
2.

Interprestasi hasil
Besar titer antibodi untuk diagnosis demam tifoid di lndonesia
belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid bergantung
prosedur yang digunakan di masing masing rumah sakit atau
laboratorium. Menurut penelitian wardhani uji Widal dianggap positif
bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupun H. Semakin
tinggi titernya semakin besar kemungkinan orang menderita demam
tifoid[31].
Kriteria hasil uji Widal dinilai positif apabila memenuhi ketentuan
Titer aglutinin O dan H sebesar atau sama dengan titer aglutinin yang
ditetapkan sebagai titer diagnostik berdasarkan batas atas nilai rujukan
titer aglutinin yang telah ditentukan. Setiap daerah memiliki standar
anglutinin Widal yang berbeda beda. Nilai standar agglutinin Widal
untuk beberapa wilayah endemis di Indonesia adalah di Yogyakarta titer
O dan H > 1/160, Surabaya titer O dan H > 1/160, Manado titer O dan H
> 1/80, Jakarta titer O dan H > 1/80, Makasar titer O dan H 1/320[32].
Cara kerja reaksi Widal untuk mendeteksi titer Salmonella yang
digunakan untuk penetapan titer antibodi dalam serum sebagai berikut[32]:
a.

Pengenceran 1 : 160, dibuat dengan cara memipet serum 10 L


ditambah dengan 1 tetes (40 L) reagen Salmonella. Apabila terjadi
aglutinasi dihitung titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodi
adalah 10 x 1/1600 = 1/160

b.

Pengenceran 1 : 320, dibuat dengan cara memipet serum 10 L


ditambah dengan 1 tetes (40 L) reagen Salmonella. Apabila terjadi

13

aglutinasi dihitung titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodi


adalah 5 x 1/1600 = 1/320
c.

Pengenceran 1 : 640, dibuat dengan cara memipet serum 10 L


ditambah dengan 1 tetes (40 L) reagen Salmonella. Apabila terjadi
aglutinasi dihitung titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodi
adalah 2,5 x 1/1600 = 1/640
Titer antigen O dan H 1/160 menunjukkan hasil positif karena

terdapat anglutinasi yang ditandai dengan adanya granula seperti pasir.


Pada titer 1/160 perlunya dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 hari dari
pemeriksaan, guna melihat kenaikan titer. pada infeksi yang aktif titer uji
Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
waktu paling sedikit 5 hari. Titer 1/320 menunjukkan bahwa sampel
daarah penderita yang digunakan mengalami infeksi sedang atau ringan.
Titer 1/640 menunjukkan bahwa sampel penderita mengalami fase kronis
atau berat dan perlunya dilakukan penanganan yang lebih lanjut.
Semakin tinggi serum yang digunakan dan terdapat granula menunjukkan
tingkat infeksi kuman Salmonella typhi[31-32].

3.

Kegunaan
Kegunaan uji Widal untuk menentukan titer aglutinin yang
meningkat dalam serum penderita demam tifoid. Penentuan titer Widal
dilihat dari kenaikan titer antibodi dalam darah terhadap antigen O dan
antigen H dua kali dari titer sebelumnya yaitu 1/160. Pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang sampai
saat ini dilakukan adalah dengan metode konvensional, yaitu uji serologi
tes Widal karena bersifat mudah dan cepat diketahui hasilnya[10].

4.

Kelemahan
Kelemahan yang penting dari penggunaan uji Widal sebagai sarana
penunjang diagnosis demam tifoid yaitu spesifisitas yang agak rendah
dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil, sebab adanya faktor yang

14

mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H


bahkan mungkin dijumpai dengan titer yang lebih tinggi, yang
disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk
diinterpretasikan[25].
Faktor faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Widal
a.

Faktor faktor yang berhubungan dengan penderita[24] :


1) Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2) Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita
mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya
pada minggu kelima atau keenam sakit.
3) Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian

antibiotik

dengan

obat

antimikroba

dapat

menghambat pembentukan antibodi.


4) Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak
terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita
leukemia dan karsinoma lanjut.
5) Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat
menghambat pembentukan antibodi.
6) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun
titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid
dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
7) Vaksin
Pada orang yang divaksin demam tifoid titer anglutinin O dan
H akan meningkat.
b.

Faktor-faktor teknis
1) Aglutinasi silang

15

Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung


antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu
spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies
lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak
dapat ditentukan dengan uji widal
2) Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal
akan mempengaruhi hasilnya.
3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

C. Tes IgM Salmonella typhi


1.

Pengertian
Tes IgM Salmonella typhi merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat dengan menggunakan partikel yang
berwarna dan meningkatkan sensitivitas yang digunakan untuk
mendeteksi Salmonella typhi dalam darah, serum dan plasma manusia.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O yang benarbenar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella[5].

2.

Prinsip pemeriksaan
Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic
Binding Immunoassay. Antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS dideteksi
melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe
partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan
antibodi monoklonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer
magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen
berwarna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan
magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan
menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah

16

setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam sampel.


Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi
terhadap skala warna[33].

3.

Kegunaan
IgM Salmonella typhi ini dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dengan
menggunakan

membran

nitroselulosa

yang

mengandung antigen

Salmonella typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human


immobilized sebagai reagen kontrol. Metode ini mempunyai sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji
Widal (35.6%)[15].

D. Uji Diagnostik
Uji diagnostik merupakan suatu uji penelitian yang bertujuan yaitu
untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan penyakit, untuk skrining,
pengobatan pasien dan untuk studi epidemiologi. Uji diagnostik baru harus
memberi manfaat yang lebih dibanding uji yang sudah ada, meliputi beberapa
hal yaitu :
1. Nilai diagnostik tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar
2. Memberi kenyamanan bagi pasien (tidak invasif)
3. Lebih mudah atau sederhana
4. Lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase lebih dini
Struktur uji diagnostik memiliki variabel prediktor yaitu hasil uji
diagnostik dan variabel hasil akhir atau outcome yaitu sakit tidaknya seorang
pasien yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas[34].
Baku emas atau gold standard adalah standar untuk pembuktian ada
atau tidaknya penyakit pada pasien, dan merupakan sarana diagnostik terbaik
yang ada. Baku emas yang ideal selalu memberikan hasil positif pada semua
subjek dengan penyakit dan hasil negatif pada semua subjek sehat. Dalam
praktek hanya sedikit baku emas yang ideal, sehingga kita sering memakai uji

17

diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas. Kata terbaik memiliki makna
bahwa uji diagnostik tersebut mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi[34].
Tabel 2.1 Uji Diagnostik
Hasil Uji

Positif
Negatif

Penentuan Baku Emas


Positif
Negatif
Positif Benar
Positif semu
Negatif semu
Negatif Benar
Sensitifitas
Spesifisitas

Nilai Ramal Positif


Nilai Ramal Negatif

Hasil uji diagnostik disajikan dalam tabel 2 x 2. Hasil positif benar


dimasukkan dalam sel a, hasil positif semu dalam sel b, hasil negatif semu
dalam sel c, dan hasil negatif benar dalam sel d. Dari hasil tersebut dihitung
nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif, nilai ramal negatif dan
likelihood ratio dengan rumus sebagai berikut[34]:
1. Sensitivitas

= a : (a + c)

2. Spesifisitas

= d : (b + d)

3. Nilai ramal positif = a : (a + b)


4. Nilai ramal negatif = d : (c + d)
Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi atau
mendiagnosa individu dengan tepat, dengan hasil tes positif dan benar
sakit[35]. Sensitivitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar positif
dibandingkan hasil positif menurut standar (gold standart). Probabilitas
dalam per sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar positif
dengan jumlah hasil pemeriksaan benar positif dan negatif palsu. Semakin
tinggi nilai sensitivitas sebuah tes maka semakin baik kemampuan
mendeteksi

seseorang

menderita

memperoleh penanganan dini

[29]

penyakit

tertentu

sehingga

dapat

. Tujuan Pengukuran Sensitivitas

untuk

menghitung banyaknya orang yang sungguh-sungguh dinyatakan terkena


penyakit dengan hasil tes positif[29].
Spesifisitas adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi atau
mendiagnosa dengan tepat dengan hasil tes negatif dan benar tidak sakit[35].
Spesifisitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar negatif dibandingkan
hasil negatif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen
18

dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar negatif (true negatif)


dengan jumlah hasil pemeriksaan benar negatif dan positif palsu. Semakin
tinggi nilai spesifisitas sebuah tes skrining maka semakin baik kemampuan
mendeteksi

seseorang

tidak

menderita

penyakit

tertentu[30].

Tujuan

Pengukuran Spesifisitas untuk menghitung banyaknya orang yang tidak


mengidap suatu penyakit dengan hasil tes negatif[29].
Penilaian dari hasil uji tersebut dengan menghitung sensitifitas dan
spesifisitas untuk menggetahui dari beberapa kelemahan seperti, tidak semua
hasil dari pemeriksaan dapat dinyatakan dengan tegas atau tidak terkenanya
penyakit. Untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan perhitungan nilai
kecermatan dengan tujuan untuk menaksir banyaknya orang yang benar-benar
menderita dari semua hasil tes yang positif. Dari hasil tersebut dihitung nilai
sensitivitas, spesifisitas, positif palsu dan

negatif palsu yang ditentukan

dengan rumus sebagai berikut[35]


Tabel 2.2 Rumus Penilaian Uji Diagnostik
Keterangan
Sensitifitas
Spesifisitas
Nilai Positif Palsu
Nilai Negatif Palsu

keterangan

Rumus
a : (a + c)
d : (b + d)
a : (a + b)
d : (c + d)

a = positif benar
b = positif palsu
c = negatif palsu
d = negatif benar

Nilai kecermatan positif adalah proporsi jumlah yang sakit terhadap semua
hasil tes yang positif, yang dihitung dengan rumus :

a
(ab)

Nilai kecermatan negatif adalah proporsi jumlah yang tidak sakit terhadap
hasil tes negatif, yang dihitung dengan rumus :
z

d
(c d )

19

Nilai positif palsu adalah jumlah hasil tes positif palsu dibagi dengan
jumlah seluruh hasil tes positif, yang dihitung dengan rumus :
b
(a b)

Nilai negatif palsu adalah jumlah hasil tes negatif palsu dibagi dengan
jumlah seluruh hasil tes negatif, yang dihitung dengan rumus :
c
(c d )

E. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan maka dapat
disusun kerangka teori sebagai berikut :
Terbentuknya
aglitinin

Diagnosis

IgM salmonella
typhi

Reaksi aglutinasi
antigen dan antibodi

Widal

Demam tifoid
Antigen
Antigen O,H dan vi

lipopolisakarida
Salmonella typhi

Masa inkubasi 814 hari

20

Anda mungkin juga menyukai