Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang:
Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Wabah Penyakit
Menular yang telah diundangkan melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984,
perlu diatur lebih lanjut berbagai ketentuan pelaksanaannya melalui Peraturan
Pemerintah. Pokok-pokok materi yang perlu diatur menyangkut penetapan dan
pencabutan daerah tertentu sebagai daerah wabah, tata cara penanggulangan,
upaya-upaya penanggulangan, peran serta masyarakat, penghargaan bagi pihakpihak yang membantu penanggulangan wabah maupun hal teknis lainnya yang
secara

keseluruhan

dicakup

dalam

satu

Peraturan

Pemerintah

tentang

Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.


Penanggulangan wabah penyakit menular merupakan bagian dari
pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan wabah
penyakit menular, harus dilakukan secara terpadu dengan upaya kesehatan lain,
yaitu upaya pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu
penanggulangannya harus dilakukan secara dini. Penanggulangan secara dini
dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit
wabah yang dapat menjurus terjadinya wabah yang dapat mengakibatkan
malapetaka. Hal ini disebabkan karena wabah penyebarannya dapat berlangsung
secara cepat, baik melalui perpindahan, maupun kontak hubungan langsung atau
karena jenis dan sifat dari kuman penyebab penyakit wabah itu sendiri. Fakta lain
yang dapat menimbulkan wabah penyakit menular, dapat disebabkan karena
kondisi masyarakat dari satu wilayah tertentu kurang mendukung antara lain
kesehatan lingkungan yang kurang baik atau gizi masyarakat yang belum baik.
1.2 Rumusan Masalah :
Jelaskan Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
tentang pemberantasan dan pengendalian penyakit menular ?
1.3 Tujuan Penulisan :
Menjelaskan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang
pemberantasan dan pengendalian penyakit menular

BAB II
ISI
2.1 PP No. 40 Th 1991
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN
1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. Bahwa penanggulangan wabah penyakit menular merupakan salah
satu upaya untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
seluruh masyarakat
b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular, perlu menetapkan penanggulangan
wabah penyakit menular dengan Peraturan Pemerintah
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang

Nomor

Tahun

1974

tentang

Pokok-Pokok

Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,


Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037)
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3272)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253)

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut wabah adalah
pengertian Wabah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
2. Daerah Wabah adalah suatu wilayah yang dinyatakan terjangkit wabah.
3. Wilayah adalah wilayah administratif sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang

Nomor

Tahun

1974

tentang

Pokok-Pokok

Pemerintahan Di Daerah.
4. Data Epidemi adalah data yang berisikan keadaan wabah penyakit menular
pada suatu wilayah.
5. Penyelidikan Epidemiologis adalah penyelidikan terhadap seluruh
penduduk dan makhluk hidup lainnya, benda dan lingkungan yang diduga
ada kaitannya dengan terjadinya wabah.
6. Upaya Penanggulangan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
memperkecil angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran
penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain.
7. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna. secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah.
8. Kepala Wilayah/Daerah adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atau Camat.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

BAB II
TATA CARA PENETAPAN DAN PENCABUTAN
PENETAPAN DAERAH WABAH
Pasal 2
1. Menteri menetapkan dan mencabut penetapan daerah tertentu dalarn
wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.
2. Penetapan dan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
didasarkan atas pertimbangan epidemiologis dan keadaan masyarakat.
Pasal 3
Penetapan atau pencabutan penetapan daerah wabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 diberlakukan untuk satu Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Pasal 4
1. Pertimbangan epidemiologis didasarkan pada data epidemiologi antara
lain angka kesakitan, angka kematian dan metode penanggulangannya.
2. Data epidemiologi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuat oleh
Pejabat Kesehatan bekerjasama dengan pejabat instansi yang terkait untuk
dilaporkan kepada Menteri.
Pasal 5
1. Pertimbangan keadaan masyarakat didasarkan pada keadaan sosial budaya,
ekonomi dan pertimbangan keamanan.
2. Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuat oleh Kepala
Wilayah/Daerah untuk dilaporkan kepada Menteri.
BAB III
UPAYA PENANGGULANGAN
Pasal 6
1. Menteri bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis upaya penanggulangan
wabah.
2. Dalam upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
Menteri berkoordinasi dengan Menteri lain atau Pimpinan Instansi lain
yang terkait.
Pasal 7

1. Penanggung jawab operasional pelaksanaan penanggulangan wabah pada


Daerah Tingkat II adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II.
2. Dalam melaksanakan penanggulangan wabah, Bupati / Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II rnengikutsertakan instansi terkait di Daerah.
Pasal 8
1. Dalam upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II bertanggung jawab
kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
2. Dalam hal terjadi daerah wabah lebih dari satu Daerah Tingkat II di satu
Propinsi, upaya penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 9
1. Penanggung jawab teknis pelaksanaan penanggulangan wabah pada
Daerah Tingkat II adalah Kepala Kantor Departemen Kesehatan.
2. Kepala Kantor Departemen Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1, bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan atas teknis pelaksanaan penanggulangan wabah.
Pasal 10
Upaya penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis,
pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit,
penanganan jenazah akibat wabah, penyuluhan kepada masyarakat dan upaya
penanggulangan lainnya.
Pasal 11
1. Tindakan penyelidikan epidemiologis dalam upaya penanggulangan wabah
ditujukan untuk :
a. Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah;
b. Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah;
c. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah;
d. Menentukan cara penanggulangan.
2. Tindakan penyelidikan epidemiologis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :
a. Pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk;
b. Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis;

c. Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan terhadap makhluk


hidup lain dan benda-benda yang ada di suatu wilayah yang diduga
mengandung penyebab penyakit wabah.
Pasal 12
Tindakan pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita dan
tindakan karantina dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, atau di tempat lain
yang ditentukan.
Pasal 13
Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap masyarakat
yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah.
Pasal 14
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dilakukan dengan atau
tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan.
Pasal 15
1. Tindakan pemusnahan penyebab penyakit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, dilakukan terhadap :
a. Bibit penyakit kuman;
b. Hewan, tumbuh-tumbuhan dan atau benda yang mengandung
penyebab penyakit.
2. Pemusnahan harus dilakukan dengan cara tanpa merusak lingkungan hidup
atau tidak menyebabkan tersebarnya wabah penyakit.
3. Tata cara pemusnahan diatur lebih lanjut oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
1. Tindakan penanganan jenazah sebagaimana dimaksud dalam Pa-sal 10
dilakukan dengan memperhatikan norma agama atau ke-percayaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Terhadap jenazah akibat penyakit wabah, perlu penanganan secara khusus
menurut jenis penyakitnya.
3. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 meliputi :
a. Pemeriksaan jenazah oleh pejabat kesehatan;
b. Perlakukan terhadap jenazah dan penghapushamaan bahan-bahan
dan alat yang digunakan dalam penanganan jenazah diawasi oleh
pejabat kesehatan.

4. Ketentuan Iebih lanjut penanganan secara khusus maupun ketentuan izin


membawa jenazah sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 17
1. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai upaya penanggulangan wabah
dilakukan oleh pejabat kesehatan dengan mengikutsertakan pejabat
instansi lain, lembaga swadaya masyarakat, pemuka agama dan pemuka
masyarakat.
2. Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan dengan mendayagunakan
berbagai media komunikasi massa baik Pemerintah maupun swasta.
Pasal 18
Upaya penanggulangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 19
1. Upaya penanggulangan wabah harus dilakukan dengan cara yang aman
dan tepat, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan
hidup.
2. Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna.
Pasal 20
1. Upaya penanggulangan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah
dilaksanakan secara dini.
2. Penanggulangan secara dini sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, meliputi
upaya penanggulangan seperlunya untuk mengatasi kejadian luar biasa
yang dapat mengarah pada terjadinya wabah.
3. Upaya penanggulangan seperlunya sebagaimana dimaksud dalam ayat 2,
dilakukan sama dalam upaya penanggulangan wabah.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 21
Setiap orang berperanserta dalam pelaksanaan upaya penanggulangan wabah.
Pasal 22
1. Peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dilakukan dengan :

a. Memberikan informasi adanya penderita atau tersangka penderita


penyakit wabah;
b. Membantu kelancaran pelaksanaan upaya penanggulangan wabah;
c. Menggerakkan motivasi masyarakat dalam upaya penanggulangan
wabah;
d. Kegiatan lainnya.
2. Peran serta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dapat berupa bantuan
tenaga, keahlian, dana atau bentuk lain.
Pasal 23
Pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 2 yang
berasal dari dalam negeri dikoordinasikan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II.
Pasal 24
Pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 2 yang
berasal dari luar negeri dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB V
PENGELOLAAN BAHAN-BAHAN YANG MENGANDUNG PENYEBAB
PENYAKIT
Pasal 25
1. Pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit meliputi
kegiatan pemasukan, penyimpanan, pengangkutan, penggunaan, penelitian
dan pemusnahan.
2. Bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berasal dari
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan atau benda-benda/zat-zat yang
diperkirakan tercemar atau mengandung penyebab penyakit.
3. Bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 wajib dikelola sesuai
dengan jenis dan sifatnya.
Pasal 26
1. Pengelolaan bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, menjadi
tanggung jawab tenaga kesehatan.
2. Pengelolaan bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, yang
berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan dikelola sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

3. Pihak lain yang terkait wajib membantu pelaksanaan pengelolaan bahan


tersebut.
Pasal 27
Tata cara pengelolaan bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25, ditetapkan oleh Menteri dan Menteri lain yang terkait sesuai dengan bidang
tugasnya.
BAB VI
GANTI RUGI DAN PENGHARGAAN
Pasal 28
1. Harta benda yang diduga dapat menyebarkan wabah dapat dimusnahkan.
2. Kepada mereka yang menderita kerugian sebagai akibat pemusnahan harta
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diberikan ganti rugi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 29
1. Kepada petugas tertentu yang telah melakukan upaya penanggulangan
wabah dapat diberikan penghargaan.
2. Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri.

BAB VII
PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN WABAH
Pasal 30
1. Semua biaya yang timbul dalam upaya penanggulangan wabah dibebankan
pada anggaran instansi masing-masing yang terkait.
2. Biaya yang timbul dalam upaya penanggulangan seperlunya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dibebankan pada anggaran Pemerintah Daerah.
BAB VIII
PE LAPO R AN
Pasal 31
1. Kegiatan pelaksanaan penanggulangan wabah harus dilaporkan secara
berjenjang kepada Menteri.
9

2. Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh


Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dipidana
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan yang
berhubungan dengan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan masih tetap berlaku.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini,
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 1991
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E HAR T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 1991
10

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1991 NOMOR 49

2.2 PP No. 30 Th 2011


PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2011
TENTANG
PENGENDALIAN ZOONOSIS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. Bahwa sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi permasalahan
penyakit hewan yang secara alami dapat menular ke manusia atau
sebaliknya yang disebut zoonosis yang dalam kondisi tertentu berpotensi
menjadi wabah atau pandemi yang perlu dikendalikan

11

b. Bahwa ancaman zoonosis di Indonesia dan dunia cenderung terus


meningkat dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, keamanan, serta
kesejahteraan rakyat
c. Bahwa untuk percepatan pengendalian zoonosis diperlukan langkahlangkah komprehensif dan terpadu dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dunia usaha, organisasi profesi, lembaga non pemerintah,
perguruan tinggi, dan lembaga internasional serta seluruh lapisan
masyarakat serta pihak- pihak terkait lainnya
d. Bahwa dalam rangka mengantisipasi dan menanggulangi situasi
kedaruratan akibat wabah zoonosis, perlu diambil langkah-langkah
operasional dari berbagai sektor yang cepat dalam satu sistem komando
pengendalian nasional yang terintegrasi
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Presiden tentang Pengendalian Zoonosis

Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273)
3. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015)

12

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3447).

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGENDALIAN ZOONOSIS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia
atau sebaliknya.
2. Pandemi adalah wabah penyakit menular yang berjangkit serempak
meliputi dan melintasi batas wilayah geografis antar beberapa dan banyak
negara.
3. Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah.

13

4. Pengendalian Zoonosis adalah rangkaian kegiatan yang meliputi


manajemen pengamatan, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana
kasus dan pembatasan penularan serta pemusnahan sumber zoonosis.
BAB II
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN
PENGENDALIAN ZOONOSIS
Bagian Kesatu
Arah Kebijakan Pengendalian Zoonosis
Pasal 2
1. Arah kebijakan nasional pengendalian zoonosis berpedoman pada Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Menengah dan Panjang.
2. Arah kebijakan daerah pengendalian zoonosis berpedoman pada Rencana
Pembangunan Daerah Jangka Menengah dan Panjang.

Bagian Kedua
Strategi Pengendalian Zoonosis
Pasal 3
Strategi Pengendalian Zoonosis dilakukan dengan:
1. mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan
meningkatkan upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan
2. penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka membangun sistem
pengendalian

zoonosis,

sinkronisasi,

pembinaan,

pengawasan,

pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan program


3. perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan
penularan, penanggulangan Kejadian Luar Biasa/wabah dan pandemi serta
pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan;
4. penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan
zoonosis baru
5. peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan
zoonosis

14

6. penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia,


logistik,

pedoman

pelaksanaan,

prosedur

teknis

pengendalian,

kelembagaan dan anggaran pengendalian zoonosis


7. penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis
8. pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihakpihak lain.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Pasal 4
Pengendalian zoonosis dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing- masing secara
terkoordinasi, dan terintegrasi dalam satu kesatuan dengan memperhatikan
ketentuan Peratuan Perundang-undangan.
Pasal 5
Pengendalian

zoonosis

sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal

4,

dilaksanakan dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat, dunia usaha,


organisasi profesi, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya.
Pasal 6
Koordinasi dalam pengendalian zoonosis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, dilaksanakan oleh kelembagaan pengendalian zoonosis sebagai wadah
koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden ini.
BAB III
KELEMBAGAAN PENGENDALIAN ZOONOSIS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Kelembagaan pengendalian zoonosis sebagai wadah koordinasi terdiri dari :
a. Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis untuk tingkat pusat
b. Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis untuk tingkat provinsi

15

c. Komisi

Kabupaten/Kota

Pengendalian

Zoonosis

untuk

tingkat

kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis
Paragraf 1
Pembentukan, Kedudukan, dan Tugas
Pasal 8
1. Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis.
2. Komisi Nasional Pengendalian

Zoonosis

bertanggungjawab kepada Presiden.


3. Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis

berada di
dipimpin

bawah dan
oleh

Menteri

Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.


Pasal 9
Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis mempunyai tugas :
a. mengoordinasikan dan menyinkronkan perumusan kebijakan dan program
nasional pengendalian zoonosis
b. mengoordinasikan dan menyinkronkan pelaksanaan dan pengawasan
pengendalian zoonosis
c. memberikan arahan pelaksanaan kebijakan dan program pengendalian
zoonosis kepada Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis dan Komisi
Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis
d. evaluasi pelaksanaan pengendalian zoonosis secara nasional.
Pasal 10
Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis bertindak sebagai Pusat Pengendalian
Zoonosis dalam hal terjadi Kejadian Luar Biasa/wabah dan pandemi akibat
zoonosis.
Paragraf 2
Keanggotaan
Pasal 11
Susunan Keanggotaan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis terdiri dari :
a

Ketua Merangkap :

Menteri

Koordinator

Bidang

16

Anggota
Wakil
b

Kesejahteraan Rakyat
Ketua

Merangkap

Menteri Dalam Negeri

2
3

Menteri Pertanian
Menteri Kesehatan

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Menteri Luar Negeri


Menteri Pertahanan
Menteri Keuangan
Menteri Kehutanan
Menteri Pendidikan Nasional
Menteri Risat Dan Teknologis
Menteri Komunikasi Dan Informatika
Menteri Perhubungan
Menteri Lingkungan Hidup
Menteri Perencanaan Pembangunan

10

Nasional / Kepala Badan Perencanaan

Anggota

Anggota

11
12
13
14
15
16

Merangkap

Rakyat

Bidang

Koordinasi Kesehatan, Kependudukan,


Dan Keluarga Berencana

Sekretaris

Merangkap

Indonesia
Sekertaris Negara
Ketua Umum Palang Merah Indonesia
Kesejahteraan

Anggota
Wakil

Perlindungan Anak
Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata
Panglima Tentara Nasional Indonesia
Kepala Kepolisian Negara Republik

Deputi Menteri Koordinator Bidang

Sekretaris
d

Pembangunan Nasional
Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan

Direktur
:

Anggota

Jenderal

Kesehatan

Peternakan

Hewan,

Dan

Kementerian

Pertanian
Direktur Jendral Pengendalian Penyakit
2

Dan

Penyehatan

Lingkungan,

Kementerian Kesehatan

17

Paragraf 3
Tim Pelaksana
Pasal 12
1. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis
dibantu oleh Tim Pelaksana yang dipimpin oleh Sekretaris Komisi
Nasional Pengendalian Zoonosis.
2. Keanggotaan Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, terdiri
dari unsur pemerintah yang diwakili oleh pejabat pemerintah dari instansi
keanggotaan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis dan instansi
pemerintah terkait lainnya, organisasi profesi, pakar dan akademisi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, susunan keanggotaan, dan tata
kerja

Tim

Pelaksana

diatur

oleh

Menteri

Koordinator

Bidang

Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Nasional Pengendalian


Zoonosis.
Paragraf 4
Sekretariat
Pasal 13
1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis dibantu oleh Sekretariat yang secara fungsional dilakukan oleh
salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, diatur oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Paragraf 5
Tata Kerja
Pasal 14

18

Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis mengadakan sidang secara


berkala sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktuwaktu jika diperlukan.
Pasal 15
Komisi

Nasional

Pengendalian

Zoonosis

dapat

mengundang

Pimpinan/Pejabat instansi terkait, para ahli, Komisi Provinsi Pengendalian


Zoonosis, Komisi Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis, dan/atau pihak lain
yang diperlukan untuk hadir dalam sidang sesuai dengan topic pembahasan dalam
sidang.
Pasal 16
Hasil Sidang Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis oleh masing-masing
anggota Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis dilaksanakan oleh instansinya
masing-masing sesuai dengan tugas dan fungsi dengan memperhatikan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 17
Para anggota Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis menyampaikan
hasil pelaksanaan dan permasalahan yang ada dalam pengendalian zoonosis yang
dilaksanakan oleh instansinya masing-masing guna dibahas dan dicari
penyelesaiannya dalam Sidang Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis.
Pasal 18
Hasil Sidang Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis disampaikan
kepada Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis sebagai acuan pengendalian
zoonosis di wilayah Provinsi.
Pasal 19
Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis melaporkan hasil pelaksanaan
tugasnya kepada Presiden, secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun dan sewaktuwaktu, jika diperlukan.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Kerja Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis diatur oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku
Ketua Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis

19

Bagian Ketiga
Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis dan
Komisi Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis
Paragraf 1
Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis
Pasal 21
1. Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis dibentuk oleh Gubernur.
2. Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis diketuai oleh Gubernur.
Pasal 22
1. Komisi

Provinsi

Pengendalian

Zoonosis

mempunyai

tugas

mengoordinasikan dan menyinkronkan penyusunan kebijakan, program


pelaksanaan dan pengawasan pengendalian zoonosis di wilayah Provinsi.
2. Dalam mengoordinasikan dan menyinkronkan penyusunan kebijakan dan
program pengendalian zoonosis di wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis
memperhatikan Kebijakan dan Program Nasional Pengendalian Zoonosis
dan arahan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis.
Pasal 23
Keanggotaan Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis terdiri dari unsur
pemerintah daerah provinsi dari satuan kerja perangkat daerah provinsi terkait dan
lembaga non pemerintah terkait.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, rincian tugas, susunan
keanggotaan, kesekretariatan, dan tata kerja Komisi Provinsi Pengendalian
Zoonosis diatur oleh Gubernur dengan memperhatikan ketentuan mengenai
kelembagaan zoonosis yang diatur dalam Peraturan Presiden ini.

20

Paragraf 2
Komisi Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis
Pasal 25
1. Komisi

Kabupaten/Kota

Pengendalian

Zoonosis

dibentuk

oleh

Bupati/Walikota
2. Komisi Kabupaten/Kota

Pengendalian

Zoonosis

diketuai

oleh

Bupati/Walikota
Pasal 26
1. Komisi Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis mempunyai tugas
mengoordinasikan dan menyinkronkan penyusunan kebijakan dan
program, pelaksanaan, dan pengawasan pengendalian zoonosis di wilayah
kabupaten/kota.
2. Dalam mengoordinasikan dan menyinkronkan penyusunan kebijakan dan
program pengendalian zoonosis di wilayah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, Komisi Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis
memperhatikan Kebijakan dan Program Nasional Pengendalian Zoonosis
dan arahan Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis.
Pasal 27
Keanggotaan Komisi Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis terdiri dari
unsur pemerintah daerah kabupaten/kota dari satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota terkait dan lembaga non pemerintah terkait.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, rincian tugas, susunan
keanggotaan,

kesekretariatan,

dan

tata

kerja

Komisi

Kabupaten/Kota

Pengendalian Zoonosis diatur oleh Bupati/ Walikota dengan memperhatikan


ketentuan mengenai kelembagaan zoonosis yang diatur dalam Peraturan Presiden
ini.

21

Bagian Keempat
Hubungan Kerja dan Pelaporan
Paragraf 1
Hubungan Kerja
Pasal 29
Hubungan kerja kelembagaan pengendalian zoonosis bersifat koordinatif
fungsional
Pasal 30
1. Hubungan kerja kelembagaan pengendalian zoonosis dalam hal terjadi
keadaan Kejadian Luar Biasa/wabah dan pandemi akibat zoonosis, bersifat
komando operasional
2. Dalam hal terjadi keadaan kejadian luar biasa/wabah dan pandemi akibat
zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Nasional
Pengendalian Zoonosis bertindak sebagai Pusat Komando Operasional
Pengendalian Zoonosis.
3. Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dengan mengoordinasikan Komisi Provinsi Pengendalian
Zoonosis dan KomisiKabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis untuk
menanggulangi wabah zoonosis dan pandemic sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 31
Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

hubungan

kerja

kelembagaan

pengendalian zoonosis diatur oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

22

Paragraf 2
Pelaporan
Pasal 32
1. Satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan
fungsi melaporkan hasil pelaksanaan pengendalian zoonosis kepada
Bupati/Walikota.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibahas dalam Sidang Komisi
Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis dan disusun dalam 1 (satu)
laporan pengendalian zoonosis kabupaten/kota.
3. Bupati/Walikota menyampaikan laporan pengendalian

zoonosis

kabupaten/kota wilayahnya kepada Gubernur.


Pasal 33
1. Satuan kerja perangkat daerah provinsi sesuai dengan tugas dan fungsi
melaporkan hasil pelaksanaan pengendalian zoonosis kepada Gubernur.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan laporan pengendalian
zoonosis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dibahas
dalam Sidang Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis dan disusun dalam
1 (satu) laporan pengendalian zoonosis provinsi.
3. Gubernur menyampaikan laporan pengendalian zoonosis provinsi kepada
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi
Nasional Pengendalian Zoonosis dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 34
1. Instansi pemerintah pusat sesuai dengan tugas dan fungsi melaporkan hasil
pelaksanaan pengendalian zoonosis kepada Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan laporan pengendalian
zoonosis provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dibahas dalam
Sidang Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis dan disusun dalam 1 (satu)
laporan pengendalian zoonosis nasional

Pasal 35

23

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi


Nasional Pengendalian Zoonosis menyampaikan laporan pengendalian zoonosis
nasional kepada Presiden.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk laporan, tata cara pelaporan, dan
waktu pelaporan pengendalian zoonosis diatur oleh Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan rakyat selaku Ketua Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis
dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 37
Pembiayaan pelaksanaan kebijakan dan program pengendalian zoonosis
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.anggaran masing-masing instansi pemerintah,
baik pusat maupun daerah sesuai dengan tugas dan fungsi.
Pasal 38
Penerimaan dan pengeluaran dana bantuan internasional dan/atau bantuan
lain dalam bentuk pinjaman maupun hibah dalam rangka pengendalian zoonosis
dikoordinasikan

oleh

Komisi

Nasional

Pengendalian

Zoonosis

yang

pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 39
1. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Nasional
Pengendalian Zoonosis dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan sumber dana lainnya yang sifatnya tidak mengikat
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. Anggaran
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
2. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Provinsi
Pengendalian Zoonosis dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah provinsi dan sumber dana lainnya yang sifatnya tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.

24

3. Segala

biaya

yang

diperlukan

bagi

pelaksanaan

tugas

Komisi

Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis dibebankan kepada Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan sumber dana lainnya
yang sifatnya tidak mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 40
1. Masa Kerja Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis berakhir pada akhir
bulan Desember 2017.
2. Masa Kerja Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis dan Komisi
Kabupaten/Kota Pengendalian Zoonosis mengikuti masa kerja Komisi
Nasional Pengendalian Zoonosis.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, koordinasi pengendalian
zoonosis oleh tim dan/atau wadah koordinasi di bidang pengendalian zoonosis
yang telah ada tetap dilaksanakan, dan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak berlakunya Peraturan Presiden ini, koordinasi pengendalian zoonosis
beralih kepada kelembagaan pengendalian zoonosis sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42

25

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, seluruh ketentuan yang mengatur


mengenai pembentukan tim dan/atau wadah koordinasi di bidang pengendalian
zoonosis yang diatur dengan Peraturan/Keputusan Menteri, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

KESIMPULAN
Penanggulangan wabah penyakit menular bukan hanya semata menjadi
wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan, tetapi menjadi tanggung

26

jawab bersama. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penanggulangannya


memerlukan keterkaitan dan kerjasama dari berbagai lintas sektor Pemerintah dan
masyarakat. Berbagai lintas sektor Pemerintah misalnya Departemen Pertahanan
Keamanan, Departemen Penerangan, Departemen Sosial, Departemen Keuangan
dan Departemen Dalam Negeri. Keterkaitan sektor-sektor dalam upaya
penanggulangan wabah tersebut sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung
jawabnya dalam upaya penanggulangan wabah. Selain itu dalam upaya
penanggulangan wabah tersebut, masyarakat juga dapat diikutsertakan dalam
penanggulangannya, yang keseluruhannya harus dilaksanakan secara terpadu.
Dalam Peraturan Pemerintah ini selain mengatur hal-hat tersebut di atas
juga mengatur tentang teknis upaya penanggulangan wabah, peran serta
masyarakat, pengelolaan bahan-bahan yang. mengandung penyebab penyakit,
ganti rugi dan penghargaan bagi yang membantu penanggulangan wabah.

DAFTAR PUSTAKA
PP-No.-40-Th-1991.pdf

27

Peraturan-Presiden-tahun-2011-030-11.pdf

28

Anda mungkin juga menyukai