Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana
memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan
menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh
karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan
tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas kejahatan
secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa berkembang pula
seiring dengan perkembangan masyarakat.

Perkembangan kemajuan masyarakat yang begitu pesat, di dalam


kehidupan bermasyarakat, berdampak kepada suatu kecenderungan dari anggota
masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan dalam
interaksi ini sering terjadi suatu perbuatan yang melanggar hukum atau kaidahkaidah yang telah ditentukan dalam masyarakat, untuk menciptakan rasa aman,
tentram dan tertib, dalam bermasyarakat. Dalam hal ini tidak semua anggota
masyarakat mau untuk menaatinya, dan masih saja ada yang menyimpang yang
pada umumnya perilaku tersebut kurang disukai oleh masyarakat.

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta: PT. Refika


Aditama, 2002, hal. 15.
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pres, 2000, hal. 21

Salah satu contoh dari perilaku menyimpang adalah tindak pidana


pencabulan, yang merupakan perwujudan dari seseorang yang melakukan suatu
perbuatan atau tindakan yang melanggar rasa kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan lain yang keji. Semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
contohnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada
yang dilakukan terhadap anak dan juga bisa dilakukan terhadap keluarganya
sendiri.
Adapun yang merupakan faktor penyebab terjadinya tindak pidana
pencabulan tersebut dikarenakan:
1. Adanya kemajuan teknologi yang menghasilkan produk-produk baru dan
semuanya semakin canggih, seperti film, video-video dan sebagainya yang
isinya bisa membawa pengaruh negatif;
2. Adanya buku-buku bacaan ataupun majalah-majalah yang berbau
pornografi yang terjual bebas;
3. Masalah tekanan ekonomi;
4. Rendahnya pemahaman akan nilai-nilai agama serta moral.
Persoalan itu berkembang terus hingga sekarang, dapat dikatakan tidak ada
perubahan yang berarti meski struktur dan budaya masyarakat berkembang
menuju kearah modern. Tindak pidana pencabulan ini tidak hanya terjadi di kotakota besar, bahkan terjadi di desa-desa terpencil dan di pinggir kota yang
kebanyakan disebabkan oleh faktor-faktor penunjang yang telah disebut di atas.

Penyebab terjadinya perbuatan asusila di kota-kota besar adalah rawannya


keadaan kota, karena pada umumnya kota adalah impian bagi setiap orang di
daerah dan mempunyai daya tarik tersendiri yang menyebabkan angka urbanisasi
meningkat. Hal ini mengakibatkan penduduk di kota besar semakin padat, yang
berakibat terjadinya pengangguran karena lapangan pekerjaan belum sebanding
dengan banyaknya orang yang mencari pekerjaan. Hal ini erat kaitannya dengan
awal-awal terjadinya perbuatan asusila, misalnya laki-laki dewasa normal dimana
kebutuhan biologisnya menuntut untuk dipenuhi, sedangkan bila ia ingin
melangsungkan perkawinan yang sah, hal itu tidak dapat dilaksanakannya, karena
faktor ekonomi yang belum memadai, sehingga mereka mencari jalan lain untuk
menyalurkan kebutuhan biologisnya, yang dengan cara tidak mengeluarkan biaya
(melakukan perkosaan atau perbuatan pencabulan). Hal ini didukung pula dengan
tidak adanya aktivitas dan kurangnya pendekatan terhadap nilai-nilai agama pada
3

mereka.

Mengingat tindak pidana pencabulan dapat terjadi dalam situasi dan


lingkungan apa saja, misalnya seorang pelaku memperkosa orang yang tidak
dikenalnya, orang yang dikenalnya dengan baik atau bahkan masih ada hubungan
keluarga. Dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada tindak pidana
pencabulan yang dilakukan ayahnya dalam lingkungan keluarga.

Dadang Hawari, Kasus Perkosaan Makin Sering Terjadi, dalam Majalah Kartini, Edisi
525, 1994, hal. 25.

Tindak pidana pencabulan dalam lingkungan keluarga ini tidak luput dari
masalah tekanan ekonomi, misalnya kurang layaknya tempat tinggal sebuah
keluarga yang memiliki anak laki-laki dan anak perempuan, terutama yang telah
beranjak dewasa karena keadaan ekonomi yang tidak memadai sehingga
mengharuskan mereka (ayah, ibu serta anak-anaknya), tidur dalam satu ruangan
yang sama, keadaan seperti ini masih ditambah pula oleh rendahnya pemahaman
akan nilai-nilai agama serta moral dan juga faktor keadaan situasi rumah dan
psikologis si pelaku.
Masalah tindak pidana pencabulan dalam keluarga ini bukan menjadi
rahasia lagi hal ini terbukti dengan banyaknya pemberitaan di media massa
maupun elektronik, yang memuat kasus-kasus tindak pidana pencabulan. Pada
awalnya kasus pencabulan seperti ini sulit untuk diungkap karena masih dianggap
tabu untuk disebarluaskan, dan jika sampai diceritakan pada orang lain berarti
akan membawa aib keluarga dan rasa takut akan ancaman dari pelaku terhadap
korban sangat mempersulit pengungkapan kasus seperti ini. Hal ini merupakan
suatu tantangan bagi aparat penegak hukum dan lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, maka kejahatan ini sudah seharusnya mendapatkan sanksi hukuman
yang setimpal dengan perbuatannya.
Dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP menyebutkan:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya,
anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa,
atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikan atau penjagaannya dianya yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Jadi dapat dikatakan, jika perbuatan asusila tersebut dilakukan terhadap


orang-orang yang termasuk dalam Pasal 294 ayat (1), dapat disebut perbuatan
asusila. Menurut R. Soesilo, perkosaan yang dilakukan oleh orang yang masih
memiliki hubungan kekerabatan dalam suatu garis keturunan baik dari pihak ayah
maupun pihak ibu dapat dikenakan Pasal 294 ayat (1), jika perbuatan tersebut
dilakukan terhadap korban yang masih di bawah umur.
Untuk kejahatan pencabulan ini merupakan tanggung jawab bersama, baik
keluarga untuk memberikan pendidikan yang layak, juga termasuk pemerintah
dan orang itu sendiri dalam mengontrol dirinya untuk tidak melakukan tindak
pidana atau kejahatan yang dapat merugikan masyarakat bahkan sampai
kelangsungan pembangunan bangsa dan negara. Dapat disimpulkan bahwa tindak
pidana pencabulan yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya dalam
penanganannya diperlukan kerja sama seluruh pihak khususnya keluarga itu
sendiri.
Terhadap

pelaku

yang

melakukan

suatu

tindak

pidana

dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut yang bersifat melawan


hukum, dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dikatakan mampu bertanggung jawab
bilamana pada umumnya:

Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara


(temporair)
2. Tidak cacad dalam pertumbuhan (gagu, idiot)
3. Tidak terganggu karena terkejut, hynotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar/reflexe, mengigau karena demam.
Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Setelah terpenuhinya syarat bertanggung jawab oleh keadaan jiwa pelaku
dan telah terbuktinya perbuatan tindak pidana pencabulan terhadap anak serta
diketahui akibatnya maka pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
dengan pidana penjara yang ditentukan majelis hakim dalam persidangan. Dalam
mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana, harus terbuka
kemungkinan bagi pembuat untuk menjelaskan mengapa dia berbuat demikian.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk untuk mengkaji
masalah tersebut dengan judul: Tindak Pidana Pencabulan yang Dilakukan
Ayah Terhadap Anaknya Ditinjau Dari Segi Yuridis (Studi Kasus Putusan
No.120/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel).

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 249.

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penulisan hukum diperlukan untuk
memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan
ditelitinya sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta
memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar
belakang masalah tersebut di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap ayah yang melakukan
tindak pidana pencabulan terhadap anaknya?
2. Bagaimana

upaya

penanggulangan tindak

pidana pencabulan yang

dilakukan ayah terhadap anaknya?

C. Ruang Lingkup Penulisan


Ruang lingkup penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab dan upaya penanggulangan serta pertanggungjawaban tindak pidana
pencabulan yang dilakukan ayah terhadap anaknya dengan mengacu kepada
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penulisan
a. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui yang melatarbelakangi
terjadi tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan ayahnya.
b. Melengkapi salah satu persyaratan kuliah untuk dapat menyelesaikan
program S1 bidang hukum.

2. Manfaat Penelitian
a. Bagi mahasiswa sangatlah bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan
wawasan tentang tindak pidana pencabulan yang dilakukan ayah terhadap
anaknya dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
b. Bagi masyarakat sangat berguna sebagai salah satu sumber informasi dan
pengetahuan mengetahui tindak pidana pencabulan terhadap anak.

E. Kerangka Teoritis dan Konsepsional


1. Kerangka Teoritis
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktifitas
seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun
wanita baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian
pencabulan atau kata cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat
diartikan sebagai berikut:
Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji
sifatnya, tidak sesuai dengan adap sopan santun (tidak sonoh), tidak
susila, ber-cabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila,
mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan
perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh
5
(melanggar kesusilaan, kesopanan).
Sedangkan definisi pencabulan yang diberikan oleh R. Sugandhi
adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1988, hal. 142.

berhubungan

dengan

nafsu

kekelaminannya.

Definisi

yang

diungkapkan R. Sugandhi lebih menitikberatkan pada perbuatan yang


dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminnya, dimana
langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar
susila dan dapat dipidana.
Di dalam Kamus Hukum juga menjelaskan mengenai arti kata
pencabulan, dan dapat diartikan sebagai berikut:
Pencabulan berasal dari kata cabul yang diartikan; keji dan kotor;
tidak senonoh karena melanggar kesopanan, kesusilaan, hal ini secara
umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281
dan 282, yaitu: diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
7
rupiah.
Seperti yang diuraikan di atas, pencabulan adalah kejahatan seksual
yang dilakukan seorang pria atau perempuan terhadap anak di bawah
umur baik pria maupun perempuan dengan kekerasan atau tanpa
kekerasan. Pencabulan memiliki pengertian sebagai suatu gangguan
psikoseksual di mana orang dewasa memperoleh kepuasan seksual
bersama seorang anak pra-remaja. Ciri utamanya adalah berbuat atau
berfantasi tentang kegiatan seksual dengan cara yang paling sesuai
untuk memperoleh kepuasan seksual.

R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Surabaya:


Usaha Nasional, 1998, hal. 305.
7
Soedarso, Kamus Hukum, Jakara: Rineka Cipta, 1992, hal. 64.
8
Pencabulan Pada Anak, http://www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/identifikasi
pedofilia.htm>.

Mengenai tindak pidana pencabulan, harus ada orang sebagai


subjeknya dan orang itu melakukannya dengan kesalahan, dengan
perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana
pencabulan, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu
terdapat kesalahan.
2. Kerangka Konsepsional
Demi memperoleh penjelasan yang relevan bagi pemahaman
pengkajian ilmiah di dalam penulisan skripsi ini, maka ada beberapa
definisi hukum yang sesuai dengan judul skripsi ini yaitu adalah:
1.

Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan


sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana;

2.

Pencabulan adalah perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau


perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi,
misalnya: ciuman, meraba-raba bagian kemaluan, meraba-raba buah
dada, dan termasuk pula bersetubuh.

3. Pertanggungjawaban

pidana

10

adalah

pertanggungan terhadap

pemidanaan petindak yang telah melakukan tindak pidana dan


memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undangundang.

11

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 207.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hal. 25.
11
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 249.
10

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

4.

12

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana yang dipergunakan oleh manusia, untuk
memperkuat, membina pemikiran rasional, serta di dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Di dalam penelitian hukum pada konsepnya terdiri dari 2 (dua)
metode penelitian, yaitu:
1. Penelitian melalui studi lapangan atau penelitian empiris.
2. Penelitian kepustakaan atau penelitian normatif.
Penelitian melalui kepustakaan atau penelitian normatif adalah data yang
diperoleh dari literatur mengenai hukum, sedangkan yang dimaksud dengan
penelitian empiris adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung.

13

Di dalam penelitian umumnya dikenal ada 3 (tiga) jenis alat pengumpulan


data, yaitu:

14

1. Studi dokumentasi atau bahan kepustakaan.


2. Pengamatan atau observasi.
3. Wawancara langsung

12

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. II-IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2004, hal. 374.
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuddji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Pengantar
Singkat, Cet. I, Jakarta: Rajawali Press, 1994, hal. 52.
14
Soerjono Soekanto (a), Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: UI Press., 1986,
hal. 21.

Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan masing-masing atau bersamasama untuk dapat menelusuri data. Di dalam penulisan skripsi ini digunakan pula
data sekunder berupa, artikel-artikel yang bersumber dari internet, dan juga
dibarengi dengan data kepustakaan hukum melalui membaca buku-buku tentang
hukum untuk dijadikan bahan penulisan skripsi ini.
Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
1.

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum


yang mengikat mencakup, norma atau kaedah dasar,

peraturan

dasar,

peraturan perundang-undangan bahan yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi,


traktat, bahan hukum peninggalan dari masa Belanda.

15

2. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan


hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum, dan lain sebagainya.
3.

16

Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang memberikan

petunjuk

17

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Sifat penulisan ini adalah deskriptif yaitu suatu metode yang mengambil
data secara tertulis untuk diuraikan sehingga memperoleh gambaran serta
pemahaman secara menyeluruh. Skripsi ini dianalisis secara kualitatif

15

yaitu

Soerjono Soekanto (b), Metode Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2001, hal. 24.
Ibid.
17
Ibid., hal. 52.
16

menjelaskan mengenai pemidanaan dalam tindak pidana pencabulan terhadap


anak oleh hakim pengadilan dengan mengadakan metode pustaka yang pada
akhirnya mencapai suatu kesimpulan yang merupakan tujuan penulisan skripsi
ini.

18

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang sedemikian dirinci
menjadi sub-sub bab dan masing-masing memiliki keterkaitan dengan bab-bab
yang diajukan. Selanjtnya secara umum sistematika penulisan dalam skripsi ini
diuraikan sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pendahuluan dari penelitian
ini yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, kerangka teoritis dan konsepsional,
metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian tindak
pidana, pengertian tindak pidana pencabulan dan pengertian anak
serta pengertian pertanggungjawaban pidana

18

Soerjono Soekanto (b), Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
Rajawali Press, 2006, hal. 17.

BAB III

PEMBAHASAN KASUS TINDAK PIDANA PENCABULAN


YANG DILAKUKAN AYAH TERHADAP ANAKNYA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai contoh kasus tindak pidana
pencabulan yang dilakukan ayah terhadap anaknya dan penulis
akan menganalisis kasus tersebut.

BAB IV

UPAYA

PENANGGULANGAN

TINDAK

PIDANA

PENCABULAN YANG DILAKUKAN AYAH TERHADAP


ANAKNYA
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang faktor penyebab
tindak pidana pencabulan yang dilakukan ayah terhadap anaknya,
upaya penanggulangan tindak pidana pencabulan yang dilakukan
ayah terhadap anaknya dan pertangungjawaban tindak pidana
pencabulan yang dilakukan ayah terhadap anaknya
BAB V

PENUTUP
Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dari semua
permasalahan yang telah diuraikan dan juga mengenai saran-saran
dari penulis.

Anda mungkin juga menyukai