Kisah Napoleon
Terlepas dari benar tidaknya cerita di atas, isi yang dikandungnya sungguh tepat.
“Ada invasi pemikiran (ghazwul fikri) dan invasi kebudayaan (ghazwuts tsaqafi) untuk
menghancurkan Islam dan kaum muslimin,” ujar Ali Muhammad Juraisyah dan Muhammad
Syarif dalam bukunya Asalibul Ghazwil Fikri lil ‘alamil islamiy. Tidaklah mengherankan
dengan adanya dua invasi tersebut, apa yang ada di kepala banyak umat Islam tidak sedikit
yang bertentangan dengan Islam. Ujungnya, sadar atau tidak, sedikit demi sedikit menjauh
dari agama yang diyakininya. Islam yang sebenarnya adalah “permata” seakan dianggap
sebagai lambang kekunoan, keterbelakangan, kekejaman, non eligalitarian, atau apalah
sebutannya. Ujungnya, seperti kata Sayyid Quthub, al islamu syaiun wal muslimu syaiun
akhor, Islam adalah sesuatu dan muslim sesuatu yang lain. Memang beragama Islam, tetapi
tidak memahami ajarang Islam; boleh jadi menganut Islam tetapi tidak melaksanakan
aturan Islam. Muslim terasingkan dari Islam yang merupakan jalan hidupnya. Akibat
pemikiran dan kultur yang bersemayam di dalam pikiran dan jiwa seorang muslim bukanlah
pemikiran dan kultur yang sesuai dengan ajaran Islam, dia telah menggulung Islam dari
setiap sudutnya dan membelenggunya hanya dalam ruang spiritual.
Perang kebudayaan ini tak disangsikan lagi, ujar Anwar Al Jundi dalam bukunya,
Pembaratan di Dunia Islam. Sebab, tegasnya, ia telah lama berjalan dan medannya telah
meluas mencakup tiga sektor : pendidikan, kebudayaan, dan media massa. Perang ini
bertujuan menghancurkan benteng-benteng pemikiran serta nilai-nilai dasar Islam,
mengguncangkan aqidahnya agar muncul penentangan terhadap kekuasaan, kekuatan, dan
sendi-sendi Islam di negerinya sendiri.
Pemikiran utama yang dilesakkan ke dalam diri umat Islam tak lain adalah
sekulerisme. Paham ini oleh Syekh Taqiyuddin AnNabhani diartikan sebagai fashluddin anil
hayah, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Muhammad Qutb dalam bukunya
Ancaman Sekulerisme, mengartikannya sebagai iqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina
al-dini, yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam).
Pemikiran sekulerisme itu sendiri berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad
pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja
demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu
hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional
sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis. Galileo Galilei
dan Copernicus , misalnya, yang menolak mengubah pendapatnya bahwa mataharilah
yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris)
sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini, akhirnya dihukum mati. Maka
sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju,
masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual
peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial
dan lainnya) harus steril dari agama. Inilah awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut
eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama
Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Karenanya, menjadi
suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama
yang sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi.
Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus
terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang yang lain, seperti
ekonomi dan sosial politik. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam
adalah sebuah totalitas. Islam menetapkan bahwa seluruh gerak-gerik manusia, setiap
ayunan langkah kaki, desahan nafas, detakan jantung, dan letupan hati harus terikat
dengan aturan Allah SWT. Merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman
Anak-anak Sekulerisme
Ideologi sekulerisme dalam kehidupan keseharian telah beranak pinak dalam banyak
cabang. Diantara cabang-cabang ideologi sekulerisme yang dipropagandakan dalam
rangka memisahkan muslim dari ajaran Islam yang dianutnya adalah :
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk
ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, barat menjadi kiblat kemajuan. Tipikal
kemajuan itu adalah seperti yang ditampakkan dalam musik, mode, makanan, film dan
gaya hidup ala Barat. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah
makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan
bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
“Hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridloi Islam sebagai agama (dien)”.
(QS. Al Maidah [5] : 3).
“Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai diennya, maka tidak akan pernah
diterima apapun darinya, sedangkan dia di akhirat termasuk golongan yang rugi”
(QS. Ali Imran [3] : 85)
Ayat-ayat diatas sangat tegas (qoth’i) dan hanya satu pengertian, yaitu Islam adalah
satu-satunya dien yang diridloi oleh Allah SWT. Pernyataan ini adalah pernyataan Allah
SWT sendiri sebagai Dzat yang akan mengadili kelak tentang siapa yang benar siapa yang
salah, mana yang benar dan mana yang salah. Jelaslah, paham penyamadudukkan agama
tegas-tegas bertentangan dengan Islam dan menggorok ajaran Islam yang sangat mendasar.
Nasionalisme diartikan oleh Hans Kohn (dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa
Depan Islam, 1986) sebagai “suatu keadaan pada individu dimana ia merasa bahwa
pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”. Paham ini
mengunggulkan paham kebangsaan sekaligus mensubordinasikan paham lain, termasuk
aqidah Islam. Bagi seorang nasionalis, bangsa adalah segalanya dan tidak ada yang lebih
penting dari upaya meraih kejayaan bagi bangsanya. Kematian demi bangsa adalah
setinggi-tinggi kemuliaan. Paham ini jualah yang telah meruntuhkan payung kesatuan umat
Islam sedunia, Kekhalifahan Islam Usmaniyah pada 1923 dan mengeratnya ke dalam lebih
dari 50 negara.
Islam memang mengakui adanya keragaman suku dan bangsa, namun konteks
pengabdian tidaklah diletakkan pada keduanya. Bagi seorang muslim jelas, pengabdian
hanyalah kepada Allah semata. Tidak ada pengabdian selain kepada Allah dan wujud
“Bukan termasuk golongan kami yang menyeru kepada ashabiyah (golongan), yang
berperang atas ashabiyah dan yang mati atas ashabiyah.”
(Al Hadits)
Masih banyak lagi paham-paham cabang yang dibawa serta dalam invasi pemikiran
dan kebudayaan yang tiada henti ini. Demokrasi dan HAM dengan empat kebebasan yang
dibawanya, yakni kebebasan beraqidah, berpendapat, kebebasan hak milik, dan
kebebasan bertingkah laku; pluralisme (bukan pluralitas) yang mengutamakan aturan
kompromistik yang mengatasi semua agama dan dengan segala anak cucunya merupakan
beberapa contoh paham cabang turunanya. Semuanya, secara terus menerus dan
sistematis mengalir memasuki ruang pemikiran umat tanpa mampu lagi dibendung.
Televisi, radio, internet, koran dan banyak lagi media yang mereka gunakan untuk
menghujani umat dengan senjata-senjata pemikiran dan budaya sekulerisme.
Khatimah
Disiapkan oleh Muhammad Karebet Widjajakusuma, untuk Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
– BEM AMIK-PPMI Serpong, 14 Mei 2003.
Penulis sehari-hari adalah Trainer Religious Achievement Motivation Training (RAMT) dan Manajer
Divisi Konsultasi dan Pelatihan pada SEM Institute Jakarta. Pengalaman terkini lembaga ini adalah
menyelenggarakan pendidikan Ekonomi Islam bekerjasama dengan STAIN Surakarta di Yogyakarta,
serta konsultan manajemen dan organisasi BAZIS DKI Jakarta dan Jakarta Islamic Centre Pemprov
DKI Jakarta.
Buku-buku yang pernah ditulisnya diantaranya, Menggagas Bisnis Islami (2002, GIP) dan Pengantar
Manajemen Syariah (2002, Khoirul Bayan) dimana keduanya ditulis bersama Muhammad Ismail
Yusanto. Buku berikutnya, Manajemen Strategis Perspektif Syariah dan Menggagas Pendidikan Islam
Masa Kini masih dalam persiapan penerbitan.