Anda di halaman 1dari 7

MEWASPADAI PROPAGANDA BARAT,

MEMBANGKITKAN KESADARAN UMAT

Kisah Napoleon

Konon, suatu waktu Napoleon Bonaparte mengumpulkan teman-temannya. “Dulu


orang-orang salib memerangi kaum muslimin secara fisik selama 200 tahun, namun gagal
menundukkan mereka, “ujarnya. “Nah, kalau kalian ingin menundukkan kaum muslimin
haruslah mampu menjawab teka-teki saya.” Rekan-rekannya pun bertanya : “Coba apa
teka-teki Anda tersebut ?” Dia menjawab : “Andaikan saja di tempat yang serba luas ini
terhampar permadani. Di tengah-tengah permadani itu terdapat setumpuk permata.
Bagaimana caranya agar kita mendapatkan permata tersebut dengan 3 syarat. Syarat
pertama, tidak boleh menginjak permadani. Kedua, tidak boleh menggunakan alat apapun
selain tangan. Ketiga, si pemilik permata ketika permatanya diambil orang tidak marah,
malah gembira.” Setelah tak ada satu pun yang dapat memberikan jawaban, dia
menyatakan : “Hanya ada satu jalan ! Ubah pikiran si pemilik permata yang semula
berpikiran bahwa permata itu lambang kemuliaan dan ketinggian menjadi berpikiran bahwa
permata itu justru simbol keterbelakangan. Ubah keyakinan pemilik permata, yang
semula berkeyakinan bahwa permata itu akan dapat membantu menyelesaikan
problematika menjadi meyakini bahwa semua itu hanyalah akan mendatangkan
malapetaka. Bila sudah demikian, pemilik permata itu akan menggulung permadani dari
tiap sudutnya dengan tangannya sendiri, lalu permatanya diambil dan dibuang jauh-jauh.
Kalaupun ada orang lain yang mengambilnya, dia malah senang tidak merasa kecewa
sedikit pun.”

Invasi Pemikiran dan Invasi Kebudayaan

Terlepas dari benar tidaknya cerita di atas, isi yang dikandungnya sungguh tepat.
“Ada invasi pemikiran (ghazwul fikri) dan invasi kebudayaan (ghazwuts tsaqafi) untuk
menghancurkan Islam dan kaum muslimin,” ujar Ali Muhammad Juraisyah dan Muhammad
Syarif dalam bukunya Asalibul Ghazwil Fikri lil ‘alamil islamiy. Tidaklah mengherankan
dengan adanya dua invasi tersebut, apa yang ada di kepala banyak umat Islam tidak sedikit
yang bertentangan dengan Islam. Ujungnya, sadar atau tidak, sedikit demi sedikit menjauh
dari agama yang diyakininya. Islam yang sebenarnya adalah “permata” seakan dianggap
sebagai lambang kekunoan, keterbelakangan, kekejaman, non eligalitarian, atau apalah
sebutannya. Ujungnya, seperti kata Sayyid Quthub, al islamu syaiun wal muslimu syaiun
akhor, Islam adalah sesuatu dan muslim sesuatu yang lain. Memang beragama Islam, tetapi
tidak memahami ajarang Islam; boleh jadi menganut Islam tetapi tidak melaksanakan
aturan Islam. Muslim terasingkan dari Islam yang merupakan jalan hidupnya. Akibat
pemikiran dan kultur yang bersemayam di dalam pikiran dan jiwa seorang muslim bukanlah
pemikiran dan kultur yang sesuai dengan ajaran Islam, dia telah menggulung Islam dari
setiap sudutnya dan membelenggunya hanya dalam ruang spiritual.
Perang kebudayaan ini tak disangsikan lagi, ujar Anwar Al Jundi dalam bukunya,
Pembaratan di Dunia Islam. Sebab, tegasnya, ia telah lama berjalan dan medannya telah
meluas mencakup tiga sektor : pendidikan, kebudayaan, dan media massa. Perang ini
bertujuan menghancurkan benteng-benteng pemikiran serta nilai-nilai dasar Islam,
mengguncangkan aqidahnya agar muncul penentangan terhadap kekuasaan, kekuatan, dan
sendi-sendi Islam di negerinya sendiri.

Sekulerisme : Senjata Utama Invasi Pemikiran dan Kebudayaan

Pemikiran utama yang dilesakkan ke dalam diri umat Islam tak lain adalah
sekulerisme. Paham ini oleh Syekh Taqiyuddin AnNabhani diartikan sebagai fashluddin anil
hayah, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Muhammad Qutb dalam bukunya
Ancaman Sekulerisme, mengartikannya sebagai iqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina
al-dini, yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam).
Pemikiran sekulerisme itu sendiri berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad
pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja
demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu
hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional
sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis. Galileo Galilei
dan Copernicus , misalnya, yang menolak mengubah pendapatnya bahwa mataharilah
yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris)
sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini, akhirnya dihukum mati. Maka
sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju,
masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual
peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial
dan lainnya) harus steril dari agama. Inilah awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut
eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama
Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Karenanya, menjadi
suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama
yang sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi.
Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus
terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang yang lain, seperti
ekonomi dan sosial politik. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam
adalah sebuah totalitas. Islam menetapkan bahwa seluruh gerak-gerik manusia, setiap
ayunan langkah kaki, desahan nafas, detakan jantung, dan letupan hati harus terikat
dengan aturan Allah SWT. Merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman

Mewaspadai Propaganda Barat, Membangkitkan Keasadaran Umat 2


kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain. Oleh karena itu, benar-
benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler. Allah SWT menegaskan :
“Demi Robbmu, sungguh tidak beriman mereka sampai mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim (pemutus benar-salah). Lalu, tidak terdapat keberatan
sedikit pun di dalam hati mereka atas apa yang engkau putuskan, dan mereka pasrah
sepasrah-pasrahnya” (QS. An-Nisa [4] : 65).
Dari berbagai ayat dan hadits, para ulama ushul juga menyatakan : Al ashlu fil asy-yai at-
taqoyyudu bilhukmisy syar’iy, hukum pokok setiap perbuatan itu terikat dengan hukum
syara (aturan Islam).
Cakupannya yang mendasar, integral dan meliputi semua bidang kehidupan
menjadikannya bukan lagi sekadar paham. Lebih dari itu ia telah menjelma menjadi
sebuah ideologi yang berperan sebagai pandangan hidup dan aturan hidup.

Anak-anak Sekulerisme
Ideologi sekulerisme dalam kehidupan keseharian telah beranak pinak dalam banyak
cabang. Diantara cabang-cabang ideologi sekulerisme yang dipropagandakan dalam
rangka memisahkan muslim dari ajaran Islam yang dianutnya adalah :

1. Dalam Bidang Pendidikan : Materialistik dan Individualistik

Dalam paradigma pendidikan yang materialistik, pengembangan ilmu-ilmu kehidupan


(iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak
tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak
bersandar pada nilai agama. Inilah sebab awal kegagalan pendidikan berparadigma sekuler
menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidus Shalih
yang muslih. Kegagalan untuk membentuk manusia sesuai dengan visi dan misi
penciptaannya ini menandai kelemahan paradigmatik dari sistem pendidikan sekuler.
Sementara, dalam perspektif Islam, pendidikan adalah upaya sadar dan sistematis untuk
mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi.
Memadukan aspek syakhsiyyah - tsaqofah serta penguasaan Iptek dan keterampilan.

2. Dalam Bidang Kehidupan Sosial Budaya : Hedonistik dan Permisivisme

Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk
ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, barat menjadi kiblat kemajuan. Tipikal
kemajuan itu adalah seperti yang ditampakkan dalam musik, mode, makanan, film dan
gaya hidup ala Barat. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah
makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan
bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

Mewaspadai Propaganda Barat, Membangkitkan Keasadaran Umat 3


pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi
dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Selain itu, sekularisme hanya akan melahirkan split personality (kepribadian
terpecah). Di satu sisi teriak-teriak AIDS, di sisi lain pergaulan bebas dan prostitusi
dibiarkan, di sana-sini diseminarkan kemerosotan moral dan pada saat yang sama kultur
yang disuguhkan lewat media mengajak ke arah itu, banyak istri di kota besar khawatir
suaminya menyeleweng namun sarana untuk itu malah semakin menjadi-jadi.
Na’udzubillahi min dzalik !
Bandingkan dengan Islam. Makna kemajuan bagi Islam adalah peningkatan taraf
berpikir umat sesuai dengan kaidah berpikir Islam. Umat Islam mestilah memiliki worldview
atau pemikiran yang mendasar dan shahih yang akan menuntunnya dalam menjalani dan
menyukseskan visi hidupnya. Inilah mafahim anil hayah wal kaun wal insan. Pemikiran ini
akan menuntun umat untuk berkiblat pada aturan Islam sebagai buah dari aqidah Islam.
Dari sinilah umat akan hidup seutuhnya, penuh ukhuwah dan berkah dalam naungan Islam.
Karena, hanya aturan Islamlah yang memandang masyarakat ibarat satu kesatuan tubuh
dimana setiap individu dengan pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyah)
adalah bagian tak terpisahkan dengan individu lainnya dalam satu tatanan dan aturan
komunitas.

3. Dalam Sikap Beragama :Sinkretisme

Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham


ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat
subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi
dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling
mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama,
diperlukan aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan
agama yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan
sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan
memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus
meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Sinkretisme ini banyak dipropagandakan di negeri-negeri muslim, termasuk di
Indonesia, sekalipun jarang sekali terang-terangan menggunakan kata sinkretisme karena
para penyerunya khawatir ketahuan isi seruan yang sebenarnya. Seruan-seruan untuk do’a
bersama antar agama-agama, natal bersama, pernyataan bahwa tiga agama satu Tuhan,
ajakan untuk tidak membeda-bedakan agama, dialog antar agama, seruan bahwa semua
agama benar, semua ini merupakan sinyal sinkretisme. Apa akibatnya ? Tentu, orang
muslim yang terseret dengan sinkretisme, diakui atau tidak, telah turut menjauhkan umat
Islam dari aqidah Islam dan menjauhkan aqidah Islam dari umatnya.
Padahal, sejak Allah SWT menurunkan Islam, Dia Dzat yang Maha Tahu dan Maha
Perkasa menyatakan :
“Sesungguhnya agama (dien) yang resmi di sisi Allah adalah Islam”.

Mewaspadai Propaganda Barat, Membangkitkan Keasadaran Umat 4


(QS. Ali Imran [3] : 19)

“Hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridloi Islam sebagai agama (dien)”.
(QS. Al Maidah [5] : 3).

“Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai diennya, maka tidak akan pernah
diterima apapun darinya, sedangkan dia di akhirat termasuk golongan yang rugi”
(QS. Ali Imran [3] : 85)

Ayat-ayat diatas sangat tegas (qoth’i) dan hanya satu pengertian, yaitu Islam adalah
satu-satunya dien yang diridloi oleh Allah SWT. Pernyataan ini adalah pernyataan Allah
SWT sendiri sebagai Dzat yang akan mengadili kelak tentang siapa yang benar siapa yang
salah, mana yang benar dan mana yang salah. Jelaslah, paham penyamadudukkan agama
tegas-tegas bertentangan dengan Islam dan menggorok ajaran Islam yang sangat mendasar.

4. Dalam Tatanan Ekonomi : Kapitalistik

Kegiatan ekonomi digerakkan semata demi meraih perolehan materi tanpa


memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Lahirlah praktek-
praktek machiavelistik, tujuan menghalalkan segala cara. Aturan Islam yang sempurna
dirasakan justru menghambat. Akibatnya, umat yang telah terbiasa bergaul dengan sistem
ekonomi ribawi, tentu menjadi merasa aneh bila diserukan untuk menjauhi riba. Demikian
juga, suap dan komisi, sepertinya telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari
perekonomian negara. Kapitalisme memang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi,
namun terbukti gagal dalam keadilan distribusi dan jauh dari keberkahan.

4. Dalam Tatanan Politik : Nasionalisme

Nasionalisme diartikan oleh Hans Kohn (dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa
Depan Islam, 1986) sebagai “suatu keadaan pada individu dimana ia merasa bahwa
pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”. Paham ini
mengunggulkan paham kebangsaan sekaligus mensubordinasikan paham lain, termasuk
aqidah Islam. Bagi seorang nasionalis, bangsa adalah segalanya dan tidak ada yang lebih
penting dari upaya meraih kejayaan bagi bangsanya. Kematian demi bangsa adalah
setinggi-tinggi kemuliaan. Paham ini jualah yang telah meruntuhkan payung kesatuan umat
Islam sedunia, Kekhalifahan Islam Usmaniyah pada 1923 dan mengeratnya ke dalam lebih
dari 50 negara.
Islam memang mengakui adanya keragaman suku dan bangsa, namun konteks
pengabdian tidaklah diletakkan pada keduanya. Bagi seorang muslim jelas, pengabdian
hanyalah kepada Allah semata. Tidak ada pengabdian selain kepada Allah dan wujud

Mewaspadai Propaganda Barat, Membangkitkan Keasadaran Umat 5


pengabdian itu berupa ketaatan kepada segenap perintah dan larangannya. Bila segenap
aktivitas hidup didedikasikan semata untuk menjalani aturan Allah, itulah yang disebut
ibadah (dalam arti luas). Inilah semulia-mulia kehidupan dan ini pula yang disebut
pengabdian. Rasulullah SAW bersabda:

“Bukan termasuk golongan kami yang menyeru kepada ashabiyah (golongan), yang
berperang atas ashabiyah dan yang mati atas ashabiyah.”
(Al Hadits)

Masih banyak lagi paham-paham cabang yang dibawa serta dalam invasi pemikiran
dan kebudayaan yang tiada henti ini. Demokrasi dan HAM dengan empat kebebasan yang
dibawanya, yakni kebebasan beraqidah, berpendapat, kebebasan hak milik, dan
kebebasan bertingkah laku; pluralisme (bukan pluralitas) yang mengutamakan aturan
kompromistik yang mengatasi semua agama dan dengan segala anak cucunya merupakan
beberapa contoh paham cabang turunanya. Semuanya, secara terus menerus dan
sistematis mengalir memasuki ruang pemikiran umat tanpa mampu lagi dibendung.
Televisi, radio, internet, koran dan banyak lagi media yang mereka gunakan untuk
menghujani umat dengan senjata-senjata pemikiran dan budaya sekulerisme.

Membangkitkan Kesadaran Umat, Melanjutkan Kehidupan Islam

Allah SWT telah menegaskan :


“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Islam), maka ia berhak mendapatkan
kehidupan yang serba sulit.” (QS. Thaha [20] : 123)
Nampak jelas bahwa hal-hal berbahaya yang tengah melanda kaum muslimin seperti
paparan di atas diakibatkan oleh tidak ditegakkannya Islam, umat berpaling dari Islam
dalam segala aspek kehidupannya. Jelaslah bahwa hanya ada satu jalan keluar, yaitu
membangkitkan kesadaran umat untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan cara
menerapkan aturan-aturan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan
negara; baik dalam bidang ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Tidak
diterapkannya Islam dalam kehidupan seperti sekarang ini merupakan problematika utama
kaum muslimin. Dengan demikian, upaya menuju ke arah Islam kafah dalam masyarakat
dan sistem Islam merupakan suatu hal yang tidak dapat di tawar-tawar.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara


keseluruhan (kafah) dan janganlah kalian turut langkah-langkah syetan, sebab
sesungguhnya syetan itu merupakan musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al Baqarah [2] : 208).

Khatimah

Mewaspadai Propaganda Barat, Membangkitkan Keasadaran Umat 6


Siapapun kiranya sepakat bahwa sebagian besar umat Islam kini tengah dirundung
sakit multidimensi yang berkepanjangan. Sebab sakitnya pun telah sama diketahui yakni
karena meninggalkan Islam dalam hampir seluruh sendi kehidupannya (sekulerisme) sebagai
akibat akibat invasi pemikiran dan kebudayaan yang tiada henti. Obatnya pun khas dan
hanya satu, yakni kembali ke haribaan Islam, melanjutkan kembali kehidupan Islam. Cara
mengobatinya pun cuma satu, yakni dengan cara dakwah, baik secara individu maupun
secara kolektif/jamaah. Lalu, siapa dokternya? Tiada lain adalah umat Islam sendiri yang
tahu dan faham akan kondisi umat saat ini (sakitnya, obatnya, dan caranya); yang sadar
dan ikhlas menunaikan kewajibannya untuk berdakwah, baik secara individu (QS. An Nahl :
125) maupun berjamaah (QS. Ali Imron : 110); yang optimis, istiqomah dan yakin bahwa
umat Islam akan bangkit kembali (QS. An Nur : 55).

Disiapkan oleh Muhammad Karebet Widjajakusuma, untuk Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
– BEM AMIK-PPMI Serpong, 14 Mei 2003.
Penulis sehari-hari adalah Trainer Religious Achievement Motivation Training (RAMT) dan Manajer
Divisi Konsultasi dan Pelatihan pada SEM Institute Jakarta. Pengalaman terkini lembaga ini adalah
menyelenggarakan pendidikan Ekonomi Islam bekerjasama dengan STAIN Surakarta di Yogyakarta,
serta konsultan manajemen dan organisasi BAZIS DKI Jakarta dan Jakarta Islamic Centre Pemprov
DKI Jakarta.

Buku-buku yang pernah ditulisnya diantaranya, Menggagas Bisnis Islami (2002, GIP) dan Pengantar
Manajemen Syariah (2002, Khoirul Bayan) dimana keduanya ditulis bersama Muhammad Ismail
Yusanto. Buku berikutnya, Manajemen Strategis Perspektif Syariah dan Menggagas Pendidikan Islam
Masa Kini masih dalam persiapan penerbitan.

Mewaspadai Propaganda Barat, Membangkitkan Keasadaran Umat 7

Anda mungkin juga menyukai