KAJIAN TEORITIS
2.1 DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh suatu stimulus di saraf otak. Menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) dan I n t e r n a t i o n a l Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya
satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Status epileptikus merupakan kejang
yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran
kesadaran diantara dua serangan kejang.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi,
yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
11
peredaran
darah
otak,
toksik
(alkohol,obat),
kelainan
neurodegeneratif.
Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) 1981:
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonikklonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
12
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
familial
convulsions,
benign
neonatal
convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
Pada dasarnya otak normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptic.
14
Pada otak orang yang mengalami epilepsi, dikenal focus epileptogenesis (focus
pembangkit serangan kejang) dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang
abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron. Fokus epileptogenesis
dari sekelompok sel neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama
dan serentak menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai focus epileptogenesis dapat terganggu
fungsi sel neuronnya (eksitasi yang berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermi, hipoksia,
hipoglikemi, hiponatremi, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsy
dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari focus epileptogenesis, mulamula ke neuron sekitarnya lalu kehemisfer sebelahnya, subkorteks, thalamus,
batang otak dan seterusnya. Kemudian bersama-sama dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai, dimulailah
proses inhibisi di korteks serebri, thalamus, dan ganglia basalis yang secara
intermitten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat
terlihat sebagai perubahan polyspike menjadi spike and wave yang makin lama
lambat dan akhirnya berhenti. Keadaan tertentu (hipoglikemi otak, hipoksia otak,
dan asidosis metabolic) depolarisasi dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan
aktivitas serangan yang berkepanjangan, yang disebut status epileptikus.
2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa:
- deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
15
16
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan
penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
17
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
serta untuk membantu terapi pembedahan.
2.8 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen
maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30
19
menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10
menit
20
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi pronduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl
atau aktivitas neurotransmiter.
Penghentian pemberian OAE
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Pada dewasa, penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 3-5 tahun bebas bangkitan (pada beberapa
literatur 2 tahun)
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
yang bukan utama
Bangkitan
Fokal
Bangkitan
Bangkitan
Umum
Tonik
Klonik
Bangkitan
Bangkitan
Lena
mioklonik
Phenitoin
+ (A)
Sekunder
+ (A)
Carbamazepine
+ (A)
+ (A)
+ (C)
Valproic acid
+ (B)
+ (B)
+ (C)
+ (A)
+ (D)
Phenobarbital
+ (C)
+ (C)
+ (C)
?+
Gabapentin
+ (C)
+ (C)
+ (C)
Lamotigrine
+ (C)
+ (C)
? + (D)
+ (A)
+-
Topiramate
+ (C)
+ (C)
+ (C)
? + (D)
22
+ (C)
Zonisamide
+ (A)
+ (A)
?+
?+
Levetiracetam
+ (A)
+ (A)
? + (D)
?+
?+
Oxcarbazepine
+ (C)
+ (C)
+ (C)
Clonazepam
+ (D)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak,
bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi
didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi.
23
24