cangkang
keras
atau
lunak
yang
dapat
larut.
sediaan
digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi
homogen dalam dasar salep yang cocok.
b. Krim: Sediaan setengah padat yang berupa emulsi mengandung air.
Terdapat dua tipe krim yaitu: tipe emulsi minyak dalam air(sesuai
untuk daerah lipatan), dan tipe emulsi air dalam minyak (efek
lubrikasi lebih baik).
c. Pasta: Sediaan setengah padat berupa msa lembek, lebih kenyal dari
salep/ keuntungannya adalah mengikat cairan sekret (eksudat),
mengurangi rasa gatal lokal, dam lebih melekat pada kulit
3. Bentuk sediaan obat cair:
a. Solutiones (Larutan): Merupakan sediaan cair yang mengandung satu
atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air,
yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya,
tidak dimasukkan dalam golongan produk lainnya (Ansel). Dapat
juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat
kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam
pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur.
Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan
topikal (kulit).
b. Suspensi: Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat
tidak larut terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara
lain: suspensi oral.
tetes
telinga
(telinga
bagian
luar),
suspensi
1. Enteral, berasal dari katanya adalah enterol artinya adalah pemberian obat
melalui saluran pencernaan. Pemberian obat secara enteral ini melibatkan
organ dari mulut hingga ke anus.
a. Oral
Pemberian obat secara oral adalah cara pemberian obat yang paling sering
dilakukan, dikarenakan caranya yang simple dapat dilakukan oleh pasien
sendiri, aman dilakukan, harganya ekonomis, serta tidak memerlukan alat
khusus. Namun, disamping keuntungan penggunaan obat oral ini juga
terdapat kekurangannya diantanya adalah memerlukan waktu yang lama
untuk mencapai organ target, sulit diberikan pada pasien yang tidak
kooperatif, dan tidak dapat diberikan pada pasien saat keadaan emergensi.
b. Sublingual
Pemberian obat dengan cara menempatkan dibawah lidah diharapkan obat
tersebut berdifusi dengan pembuluh kapiler dan dapatmasuk kedalam
sirkulasi sistemik. Pemberian obat dengan cara ini memiliki keuntungan
yaitu melakukan bypass melewati usus dan hati sehingga mencegah
penghancuran obat.
c. Rektal
Pemberian obat melewati dubur. Pemberian obat dengan cara ini memiliki
keuntungan yaitu mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH
rendah didalam lambung, dan berguna jika penderita mudah muntah jika
pemberian obat dilakukan melalui oral Mycek, dkk., 2001).
2. Parenteral, lain halnya dengan enteral yang merupakan pemberian obat
melalui saluran pencernaan, parenteral adalah pemberian obat yang digunakan
untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran cerna. Keuntungan
pemberian obat secara parenteral digunakan untuk pengobatan pasien yang
tidak sadar dan dibutuhkan penanganan yang cepat. Terdapat 3 rute parenteral
yang utama, diantaranya adalah:
a. Intravaskular
Pemberian obat secara intravaskular sering dilakukan dengan cara
intravena. Pemberian obat dengan cara ini menghindari saluran cerna dan
menghindari metabolisme pertama oleh hati. Keuntungan rute ini adalah
memberikan efek yang cepat dan kadar obat yang masuk kedalam sirkuasi
darah sama dengan kadar obat yang diinjeksikan. Namun, memiliki
kerugian yaitu apabila terdapat kelebihan dosis tidak dapat diambil
kembali seperti pemberian obat dengan cara oral yang dapat dilakukan
pengeluaran sebelum masuk kedalam usus atau lambung, selain itu juga
pemberian dengan suntikan intravena dapat memasukan beberapa bakteri
melalui kontaminasi dan dapat menyebabkan hemolisis.
b. Intramuskular
Pemberian obat secara intramuskular diberikan berupa larutan dalam air
atau preparat depo dalam bentuk suspensi obat (etilen glikol atau minyak
kacang). Absorbsi obat dalam bentuk larutan cepat sedangkan absorbsi
dalam bentuk preparat depo berlangsung lambat. Pemberian obat melalui
intramuskular tidak secepat seperti intravena sehingga dapat mengurangi
resiko.
c. Subkutan
Pemberian obat secara subkutan memerlukan absorpsi yang agak lebih
lambat dibandingkan dengan cara intravena, pemberian obat secara
subkutan hamper sama kecepatannya dengan pemberian obat dengan cara
intramuskular. Misal : pemberian insulin pada penderita diabetes mellitus,
pemberian epinefrin sebagai vasokonstriktor lokal serta mengurangi
pembuangan obat seperti lidokain.
Tedapat pula rute pemberian obat selain 3 rute utama tersebut, diantaranya adalah:
1. Inhalasi
Pemberian obat dengan cara dihirup melibatkan sistem pernafasan. Pengiriman
obat ini terjadi cepat karena melewati permukaan luas dari saluran napas dan
epitel paru yang memberikan efek yang sama cepatnya seperti pemberian obat
dengan intravena. Pemberian obat ini berupa gas atau obat yang dapat
didispersikan kedalam aerosol. Misalnya: penderita asma atau penyakit paru
obstruktif kronis.
2. Intranasal
Pemberian obat dengan cara intranasal dalam bentuj semprot hidung obat narkotik
kokain.
Misalnya:
pengobatan
diabetes
insipidus
dengan
menggunakan
3. Intratekal/intraventrikular
Pemberian obat dengan cara memberikan obat pada cairan serebrospinal untuk
penderita leukemia limfositik akut yaitu metotreksat.
4. Topikal
Peberian obat secara topikal adalah apabila diinginkan efek pengobatan terjadi
pada daerah tertentu saja ( lokal). Misal: krem klotrimazol diberikan pada kult
untuk pengobatan dermatofisis atau obat tetes mata untuk mendilatasi pupil pada
kelainan refraksi.
5. Transdermal
Pemberian obat secara transdermal mencapai efek sistemik (transdermal patch).
Kecepatan absorpsi tergantung dari sifat fisik kulit dalam menerima respon
tersebut. Misal: Obat antiangina, nitrogliserin.
bagaimana
mekanisme
obat
tersebut
sampai
menimbulkan
interaksi
lebih baik dberikan pada rute intravena karena dinding pembuluh darah
relatif tidak sensitif dan obat kan terencerkan oleh darah.
5) Subkutan
Laju absorbsi setelah pemberian secara subkutan biasanya konstan dan
lambat sehingga menimbulkan efek yang tertunda. Obat-obat yang
diimplantasi dibawah kulit sebagai sediaan padat menunjukan absorbsi
yang lambat selama periode beberapa minggu.
6) Intramuskular
Obat dengan larutan berair diabsorbsi akan lebih cepat setelah diberikan,
namun pula tergantung pada laju aliran darah tempat pemberian injeksi.
Selain itu, dapat ditingkatkan dengan pemanasan local, pijat, atau
olahraga.
7) Pemberian Topikal Membran Mukosa
Absorbsi melalui membrane mukosa mudah terjadi. Pemberian ini
biasanya bertujuan untuk memberikan efek lokal. Absorbsi yang melalui
kulit ini dipengaruhi oleh luas permukaan tempat yang dioleskan, dan
kelarutannya dalam lipid (Goodman dan Gilman, 2007).
b. Distribusi
SKENARIO SGD 1
Lastri, 25 tahun datang ke dokter gigi karena sariawan di bibir bawah bagian
dalam yang tak kunjung sembuh sejak 3 hari yang lalu. Lastri merasakan rasa
sakit dan tidak nyaman dengan adanya sariawan itu. Setelah pemeriksaan, dokter
gigi membersihkan lesi dengan antiseptik dan meresepkan obat untuk Lastri.
Resep yang diberikan instruksinya cukup dioleskan saja pada lesi sariawan. Lastri
merasa bingung karena obat yang diberikan hanya dioleskan tidak untuk
diminum. Memang apa bedanya?
Diskusikan skenario di atas sehingga dapat menjawab pertanyaaan tersebut.
C. Pembahasan Kasus
Berdasarkan kasus terdapat pasien mengeluh terkena sariawan sudah 3 hari yang
lalu. Sariawan sering disebut dengan Stomatitis Aftosa Reccurent. Penyakit ini
menyerang mukosa mulut. SAR ini ditandai dengan adanya gejala prodromal
dengan mengambarkan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam.
Menurut Zain (1999), tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
D. Referensi
Ansel, H., 2010, Pengantar Bentuk Sediaan Farmas, UI Press, Jakarta.
Hardman, J., Limbird, L., Gilman, A., 2007, Dasar Farmakologi Terapi Vol.1,
EGC, Jakarta.
Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C., 2001, Farmakologi : Ulasan
Bergambar, Widya Medika, Jakarta.
Setiawati, A., 2007, Interaksi obat, dalam Farmakologi dan Terapi Ed.5
Departemen Goodman dan Gilman, 2007,Dasar Farmakologi Terapi Vol.1,
EGC, Jakarta.
Stockley, I.H., 2008, Stockleys Drug Interaction Ed.8, Pharmaceutical Press,
Great Britain.
Zain, R.B., 1999, Classification, epidemiology and aetiology of oral recurrent
ulceration/stomatitis, Malaya, Annal Dent Univ.