Perceptor :
dr Nina Marlina, Sp.P.
KEPANITERAAN KLINIK
RSUD DR. H. ABDOEL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Menurut WHO yang
dituangkan
dalam
Panduan Global
Initiative
for
Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit
yang dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversible
sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua
gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau emfisema.
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napasyang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
B. Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan
suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa
batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak
15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita
sebanyak 8-22%.
WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari
urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia penyebab kematian tersering. Prevalensi PPOK
meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalens ini juga lebih tinggi pada pria daripada
wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok merupakan
gaya hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama, dimana
angka kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita.
Kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat
dengan bertambahnya usia.
Tabel 1. Prevalensi PPOK pada Negara-negara miskin
Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia. Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada
tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan
pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga
semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK
sebesar 59.936 vs 59.118.
C. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi
faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara
lain adalah:
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.
Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai
merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang
yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar
debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di
tempat selain yang disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur
dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasien antara lain adalah:
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetik berupa defisiensi 1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1%
pasien PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi
PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
gangguan
fungsi
pada
masa
paru-paru
merupakan
Immunoglobulin
kanak-kanak
seperti
faktor
risiko
terjadinya
A (IgA/ hypogammaglubulin)
TBC
dan
atau
bronkiektasis. Orang
yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia
memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh
hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
D. Patofisiologi
Proses potogenesis PPOK
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat
Perbedaan patogenesis asma dan PPOK
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar
sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait
dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak
sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler
dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri
pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai
dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas.
Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+,
dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer.
Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan
peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian
memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada
subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.
TNF yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian
akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam
saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi
pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran
pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan
limfosit pada gambaran darah tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya
tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat
menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah
satu faktor risiko yaitu asap rokok.
akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.
menyebabkan
kerusakan
pada
edema tungkai.
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah.
d) Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
b) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran:
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau
dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara
dapat dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian
komprehensif dari kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan
pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga
digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, bersama dengan penilaian
gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama dari spirometri adalah dapat
11
diukur
diberikan dengan
sebelum
diberikan
metered-dose
bronkodilator.
inhaler
Bronkodilator
(MDI)
dapat
atau nebulisasi.
FEV1 yang
lebih
besar
dari
200
ml
dan
12%
di
atas
12
F. Diagnosis Banding
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yan Pneumotoraks
3. Gagal jantung kronik
4. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal: bronkiektasis, destroyed
lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.
Tabel 2. Perbedaan asma, PPOK dan SOPT
Timbul pada usia muda
Sakit mendadak
Riwayat merokok
Riwayat atopi
Sesak dan mengi berulang
Batuk kronik berdahak
Hiperaktiviti bronkus
Reversibiliti obstruksi
Eosinofil sputum
Netrofil sputum
Makrofag sputum
Asma
++
++
+
+++
+++
+
+++
++
+
+
PPOK
+++
+
++
+
+
-
SOPT
+
+
+
+/?
?
?
13
Tabel 4. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV 1 dan Gejala Menurut GOLD
2010
Tingkat
Nila FEV1 dan Gejala
I
FEV1/FVC < 70% FEV1 80% dan umumnya, tapi tidak selalu, ada
Ringan
gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien
biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
II
Sedang
FEV1/FVC < 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai
progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
III
Berat
FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi berulang
yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini
pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas
atau serangan penyakit.
14
IV
Sangat Berat
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan
atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada tahap ini, kualitas
hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.
G. Penatalaksanaan PPOK
a. Terapi Non-Farmakologis
1. Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko
PPOK dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan
FEV1 jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
2. Program
rehabilitasi
paru
termasuk
latihan
bersama
dengan
psychoeducational
(misalnya,
relaksasi)
3. Vaksinasi
adalah
tambahan
influenza
tidak
aktif yangdirekomendasikan.
15
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan
dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK
berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
Obat-obat yang digunakan adalah:
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa
digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi
serangan, atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi
gejala. Efek samping obat bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung
dosis. Jarang menimbulkan efek obat yang tidak dikehendaki (adverse drug
reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera hilang jika obat dihentikan.
Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:
Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini
karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf
kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down
regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan
antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk
golongan
ini
adalah
pendek),
penghambatan
terhadap
senyawa fosfatidil
aktivasi
inositol
Simpatomimetik
Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik -2
bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk
meningkatkan pembentukan adenosine 3,5 monophosphate (3,5-cAMP).
cAMP akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada
gilirannya akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini
juga mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar.Efek bronkodilatasi agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan -agonis aksi
panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12
16
jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan
fungsi paru yang lebih baik daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP),
menghambat
masuknya
antagonis
prostaglandin,
antagonis
reseptor
ion
adenosin,
kalsium
stimulasi
dan
ke
dalam
otot
katekolamin
penghambatan
pelepasan
polos,
endogen,
mediator
dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK menunjukkan
perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV 1. Secara
subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi
latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin
menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan
fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan
mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas
kapiler
untuk
mengurangi mukus,
menghambat
pelepasan
17
a) PaO2 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia,
atau
b) PaO2 antara 55 mmHg 60 mmHg, atau SaO 2 89%, tetapi ada tanda hipertensi
pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif,
atau polisitemia.
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus
atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika
pada pasien-pasien yang:
non-invasif.
Beberapa
bakteri
yang
biasa
menginfeksi
18
5. Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat
PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia
lanjut karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK
sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi
influenza per tahun untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar
pada
influenza
sebelum
divaksinasi,
maka
dapat
digunakan
obat
6. Mukolitik
Penggunaan
mukolitik
dan gliserol
teriodinasi telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang
kontroversial. Meskipun mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi
sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu,
menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan buktibukti klinis yang ada.
risiko
dan
terapi simptomatik
menggunakan
bronkodilator,
dapat
ditambahkan terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri
dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di
atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang
diberikan secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per
menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia
adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.
a. Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara
terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO 2)
cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan
19
b. Diuretik
Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian
ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang
terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan
kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak
digunakan secara hati-hati.
c. Vasodilator
Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang
padacor pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal
kalsium, terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat
mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif
pada hipertensi pulmonar primer daripada sekunder.
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonalemasih
kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal
jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis
memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hatihati, dan tidak boleh digunakan selama fase akutkarena dapat meningkatkan
risiko terjadinya aritmia jantung.
e. Teofilin
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien
PPOK dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah,
sehingga dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis
rendah juga dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat
mengontrol penyakit paru seperti PPOK.
20
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTIFIKASI
Nama
: Tn.Sy
Jenis kelamin
: Laki-laki
Usia
: 65 tahun
Alamat
Pekerjaan
: Petani
Status perkawinan
: Kawin
Agama
: Islam
MRS
Tanggal pemeriksaan
: 25 Oktober 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas yang bertambah hebat sejak 2 hari SMRS
Keluhan tambahan
Batuk kering yang terus menerus, penurunan nafsu makan dan sulit beraktivitas
Riwayat perjalanan penyakit
1 bulan SMRS os mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila
berjalan sejauh 100 meter, dipengaruhi cuaca dan emosi (-), nafas bunyi mengi (-), batuk
(+), berdahak (-),demam (-), selain itu os mengeluh sering terbangun di malam hari
karena sesak (+), os tidur dengan 3-4 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (+), kaki
bengkak (-), os hanya berobat ke bidan, sesak tidak berkurang, nafsu makan baik, BAB
dan BAK biasa.
4 hari SMRS os mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila
berjalan sejauh 50 meter, nafas bunyi mengi (-), batuk (+),demam (-). Os mengeluh
seringterbangun di malam hari karena sesak (+), os tidur dengan 3-4bantal, nyeri dada (-),
dada berdebar (+), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun, BAB dan BAK biasa.
21
2 hari SMRS os mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak dipengaruhi aktivitas (+),
sesak saat istirahat (+), batuk (+), dahak (+), dahak putih kental 1,5 sendok teh, nafas
bunyi mengi (+), demam (-), os tidur sambil duduk atau dengan bantal tinggi (tiga
bantal), nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun,BAB
biasa, BAK sedikit, kemudian os berobat ke RSUD Abdoel Moeloek dan dirawat.
Riwayat penyakit dahulu
-
Riwayat sakit asma (+) sejak 5 tahun yang lalu, pencetus asma adalah batuk yang
terus menerus, kontrol tidak teratur, os minum obat yang dijual di warung tapi os
Riwayat kebiasaan
-
Riwayat sosioekonomi
-
Status gizi
Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring.
Variasi diet:
Karbohidrat
Protein
Lemak
Sayur
Susu
: jarang
22
Keadaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit
Keadaan saakit : Sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Gizi
: kurang
Dehidrasi
:-
Tekanan darah
: 130/80 mmHg
Nadi
: 96 x/ menit
Pernapasan
: 28x/ menit
Suhu
: 36,8C
BB
: 40 kg
TB
: 155 cm
IMT
: 16,65 kg/m3
RBW
Keadaan spesifik
Kulit
Warna sawo matang, agak kemerahan, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-),
sianosis(-), scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-),pucat pada telapak tangan
dan kaki, pertumbuhan rambut normal.
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta
tidak ada nyeri penekanan.
Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformasi (-)
Mata
23
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah
baik.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak
ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan prosesus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan, pursed lips
breathing (+).
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP (5+0) cmH 2O,
kaku kuduk (-).
Dada
dada simetris pada kondisi statis, bentuk barrel chest, pada kondisi dinamis dada kanan
dan kiri tidak ada yang tertinggal, retraksi suprasternal (+), nyeri tekan (-), nyeri ketok di
dada (-), krepitasi (-).
Paru-paru
I: Statis simetris, dinamis kanan = kiri tidak ada yang tertinggal, sela iga melebar
(+)
P: Stem fremitus melemah , kanan = kiri
P: Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada
ICS VII-VIII
A: Vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang pada
kedua basal paru, wheezing (+) ekspirasi
24
Jantung
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis teraba di ICS VIII linea midclavikularis sinistra
P: batas jantung atas ICS III, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas
jantung kiri 2 jari linea midklavikularis sinistra
A: HR: 80x/ menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I: Datar
P: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, tumpul, rata,
konsistensi kenyal, lien tidak teraba
P: thympani, nyeri ketok (-)
A: BU (+) Normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa
Ekstremitas atas
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (+), akral hangat, turgor kembali cepat.
Ektremitas bawah
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.
25
Pemeriksaan
Hasil
13,6 g/dl
Normal
13-18 g/dl
40 vol%
40-52 vol%
Leukosit
13.700/mm3
4000-11.000/mm3
Trombosit
392.000/ mm3
150.000-400.000/ mm3
LED
20 mm/jam
Basofil
0%
0-1 %
Eosinofil
8%
2-4%
Batang
0%
3-5%
Segmen
76%
50-70%
Limfosit
11%
25-40%
Monosit
5%
2-8%
Hb
Ht
Pemeriksaan
Hasil
Normal
GDS
111 mg/dl
<140 mg/dl
Ureum
22 mg/dl
13-43 mg/dl
Creatinin
0,9 mg dl
L 0,9-1,3 mg/dl,
P 0,6-1,0 mg/dl
Pemeriksaan radiologi
Foto thorax PA (tanggal 22 Oktober 2015)
Kesan :
-
26
RESUME
Seorang laki-laki berinisial Tn. Sy, berumur 65 tahun, MRS tanggal 20 Oktober
2015 dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah hebat sejak 48 jam SMRS.
1 bulan SMRS os mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila
berjalan sejauh 100 meter, dipengaruhi cuaca dan emosi (-), nafas bunyi mengi (-), batuk
(+), berdahak (-),demam (-), selain itu os mengeluh sering terbangun di malam hari
karena sesak (+), os tidur dengan 3-4 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (+), kaki
bengkak (-), os hanya berobat ke bidan, sesak tidak berkurang, nafsu makan baik, BAB
dan BAK biasa.
4 hari SMRS os mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila
berjalan sejauh 50 meter, nafas bunyi mengi (-), batuk (+),demam (-). Os mengeluh
seringterbangun di malam hari karena sesak (+), os tidur dengan 3-4 bantal, nyeri dada
(-), dada berdebar (+), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun, BAB dan BAK biasa.
2 hari SMRS os mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak dipengaruhi aktivitas (+),
sesak saat istirahat (+), batuk (+), dahak (+), dahak putih kental 1,5 sendok teh, nafas
bunyi mengi (+), demam (-), os tidur sambil duduk atau dengan bantal tinggi (tiga
bantal), nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun,BAB
biasa, BAK sedikit, kemudian os berobat ke RSUD Abdoel Moeloek dan dirawat.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 130/80 mmHg, nadi 96 x/menit,
pernafasan 28 x/menit, didapatkan juga pursed lips breathing, retraksi suprasternal, pada
pemeriksaan paru didapatkan barrel chest, sela iga melebar, hipersonor pada kedua
lapangan paru. Pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung.. kemudian pada
pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 2 jbac, permukaan rata, tepi tajam,
konsistensi kenyal.
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan Leukosit 13.700/mm 3 dan dari
pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan terdapat infiltrat diupper zone pulmo
sinstra suspek round pneumonia, efusi pleura bilateral dengan hiperinflasi pulmo
bilateral, Tb paru duplek lama aktif dengan besar cor normal
27
Diagnosis kerja:
PPOK eksaserbasi akut
Diagnosis banding:
-
Asma bronkial
Bronkhitis
Bronkiolitis
Penatalaksanaan:
Nonfarmakologis
Farmakologis
Prognosis:
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: ad malam
Quo ad Functionam
: Dubia ad Malam
PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP
Tanggal
S:
O: keadaan umum
-
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
21 Oktober2015
Sesak nafas, batuk, nyeri dada kiri
-compos mentis
-110/70 mmHg
-92x/mnt
-32x/mnt
-36,9C
28
Keadaan spesifik
Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Leher
Thoraks
-(5+0) cmH2O
Cor:
->>KGB (-)
-HR:92x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:
.
Abdomen:
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
tekan (-), Bising Usus (+) N
Ekstremitas :
A:
P:
Tanggal
S:
22 Oktober 2015
Sesak nafas, batuk, nyeri dada kiri
29
O: keadaan umum
-
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
-compos mentis
-120/70 mmHg
-88x/mnt
-34x/mnt
-36,8C
Keadaan spesifik
Kepala
-conjunctiva pucat (-)
-sklera ikterik (-)
Leher
-JVP (5+0) cmH2O
Thoraks
->>KGB (-)
Cor:
-HR:88x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
-statis, dinamis simetris kanan=kiri
-stem fremitus kanan=kiri
-hipersonor pada kedua lapangan paru
-ves (+), RBH di kedua basal paru, wheezing
eksp (+)
Abdomen :
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
tekan (-) Bising Usus (+) N
Ekstremitas :
A:
P:
Tanggal
S:
O: keadaan umum
23 Oktober 2015
Sesak nafas, batuk, nyeri dada kiri
30
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
Keadaan spesifik
-compos mentis
-130/60 mmHg
-86x/mnt
-36x/mnt
-36,6C
Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-)
-sklera ikterik (-)
Leher
-(5+0) cmH2O
->>KGB (-)
Thoraks
Cor:
-HR:86x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
-statis, dinamis simetris kanan=kiri
-stem fremitus kanan=kiri
-sonor
-ves (+),RBH di kedua basal paru, wheezing
Abdomen :
eksp (-)
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
Ekstremitas
A:
P:
Tanggal
S:
24 Oktober 2015
Sesak nafas, batuk, nyeri dada kiri
31
O: keadaan umum
-
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
-compos mentis
-120/70 mmHg
-88x/mnt
-36x/mnt
-35,3C
Keadaan spesifik
Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-)
-sklera ikterik (-)
Leher
-(5+0) cmH2O
->>KGB (-)
Thoraks
Cor:
-HR: 90x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
-statis, dinamis simetris kanan=kiri
-stem fremitus kanan=kiri
-sonor
-ves (+), wheezing eksp (-)
Abdomen :
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
tekan (-) Bising Usus (+) N
Ekstremitas :
A:
P:
Symbicort 2 x 1
Rencana:
-Spirometri
-Sputum
32
Tanggal
S:
O: keadaan umum
-
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
26 Oktober 2015
Sesak nafas, batuk
-compos mentis
-130/80 mmHg
-88x/mnt
-25x/mnt
-36C
Keadaan spesifik
Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-)
-sklera ikterik (-)
Leher
-(5+0) cmH2O
Thoraks
->>KGB (-)
Cor:
-HR:88x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
-statis, dinamis simetris kanan=kiri
-stem fremitus kanan=kiri
-sonor
-ves (+)N, wheezing eksp (-), ronkhi (-)
Abdomen :
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
tekan (-) Bising Usus (+) N
Ekstremitas :
A:
P:
Tanggal
S:
O: keadaan umum
27 oktober 2015
Sesak nafas, batuk
33
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
-compos mentis
-140/90 mmHg
-92x/mnt
-28x/mnt
-36,9C
Keadaan spesifik
Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-)
-sklera ikterik (-)
Leher
-(5+0) cmH2O
->>KGB (-)
Thoraks:
Cor :
-HR:92x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
-statis, dinamis simetris kanan=kiri
-stem fremitus kanan=kiri
-sonor
-ves (+)N, wheezing eksp (-), ronkhi(-)
Abdomen
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
tekan (-) Bising Usus (+) N
Ekstremitas :
A:
P:
Tanggal
S:
O: keadaan umum
-
Sensorium
TD (mmHg)
Nadi (x/mnt)
Pernapasan (x/mnt)
Suhu (C)
34
Keadaan spesifik
Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-)
-sklera ikterik (-)
Leher
-(5+0) cmH2O
->>KGB (-)
Thoraks:
Cor :
-HR:92x/mnt, reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
-statis, dinamis simetris kanan=kiri
-stem fremitus kanan=kiri
-sonor
-ves (+)N, wheezing eksp (-), ronkhi(-)
Abdomen
-datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, tepi tumpul,
kenyal, permukaan rata, lien tdk teraba, nyeri
tekan (-) Bising Usus (+) N
Ekstremitas :
A:
P:
35
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien laki-laki berumur 65 tahun datang dengan keluhan utama sesak nafas yang
bertambah yang sudah dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Proses diagnosis pada pasien ini
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini
ditegakkan diagnosa PPOK eksaserbasi akut. Dari anamnesis pada kasus ini, yang
pertama kali harus diperhatikan adalah batuk berdahak dan sesak nafas. Keluhan tersebut
juga disertai dengan adanya dada yang berdebar-debar serta menggunakan 3-4 bantal saat
tidur. Pasien juga mengaku sesak semakin bertambah apabila melakukan aktivitas dan
hanya mampu berjalan 50 meter. Selain itu, pasien mengaku awalnya terdapat batuk
yang tidak disertai dengan dahak namun 2 hari SMRS didapatkannya batuk yang disertai
dahak berwarna putih dan kental 1,5 sendok teh. Keluhan ini juga dapat dikaitkan dengan
riwayat dahulu pasien ini yaitu adanya kebiasaan merokok 2 bungkus/hari selama 40
tahun. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya inhalasi yang bersifat toksik yang dapat
berasal dari kebiasaan merokok ataupun udara di lingkungan sekitar sehingga terjadi
proses inflamasi pada jaringan paru yang mengakibatkan adanya produksi berlebihan
mukus, destruksi parenkim, dan juga penyempitan pada saluran pernapasan.
Selain itu, hal ini juga dapat dikarenakan faktor usia, semakin bertambah usia, semakian
besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun,
kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi 1-antitripsin.
Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK. Dapat juga disebabkan adanya
gangguan
fungsi
paru-paru
merupakan
faktor
risiko
terjadinya
36
37
1. Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko
PPOK dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan
FEV1 jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
2. Program
rehabilitasi
paru
termasuk
latihan
bersama
dengan
psychoeducational
(misalnya,
relaksasi)
3. Vaksinasi
adalah
tambahan
influenza
tidak
aktif yangdirekomendasikan.
non-invasif.
Beberapa
adalah Streptococcus
bakteri
pneumonia,
yang
Haemophilus
biasa
menginfeksi
parainfluenzae,
Patogen penyebab
Terapi yang
Eksaserbasi tanpa
yang mungkin
S.pneumoniae, H.Influ
direkomendasikan
Makrolid (azitromisin,
komplikasi
ensa, H.
klaritromisin),
Paraenfluenzae,
sefalosporin generasi 2
dan
atau 3, doksisiklin
penyerta
catarrhalis umumnya
M.
38
tidak resisten
Eksaserbasi kompleks
H. Influensa, M.
Amoksisilin/klavulanat,
Catarrhalis, S
Fluorokuinolon
4 eksaserbasi pertahun
pneumoniaepenghasil
(levofroksasin,
betalaktamase,
gatiflokasin,
Enterobacteraceae (K.
moksifloksasin),
Pneumoniae, E. coli,
Sefalosporin generasi 2
Proteus, Enterobacter,
dan 3
Eksaserbasi kompleks
dll)
Seperti di atas,
Fluorokuinolo
dengan risiko P.
ditambah P.
(levofroksasin,
aeruginosa
aeruginosa
gatiflokasin,
moksifloksasin), terapi IV
jika perlu: sefalosporin
generasi 3 atau 4
Pemberian diuretik yaitu furosemid pada pasien ini dikarenakan pasien dalam keadaaan
PPOK berat, pasien seringkali mengalami komplikasi akibat hipoksemia yang
berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri pulmonary yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain PPOK-nya harus
ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat penanganan agar tidak
membawa akibat fatal berupa kematian. Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale,
terutama jika volume pengisian ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada
pengelolaan edema yang terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah
ventrikel, kiri dan kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik
jika tidak digunakan secara hati-hati.
Secara teori, pemberian kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas
kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit,
dan menghambat prostaglandin.
39
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa
digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau
secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat
bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek
obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya
segera hilang jika obat dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
40
Amin, M. 2005. Patogenesis dan pengobatan pada penyekit paru obstruksi kronik.
Kongres Nasional X PDPI. Solo. P: 1-7.
Anthariksa, Budhi. 2009. Penyakit paru obstruksi kronik. Departemen pulmonologi dan
ilmu kedokteran respirasi FKUI. RS Persahabatan Jakarta. Upload 29 april 2009.
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2010. Executive
summary global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease update 2010.
Hisyam. 2001. Pola Microba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi
di RS. Dr Sarjito. Jurnal Penelitian Universitas Gajah Mada Vol 33. No 1. Yogyakarta
Ikawati, Z, 2011,Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya,Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Mangunnegoro, H. 2001. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .Jakarta
W. Sudoyo, Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Universitas Indonesia PDPI. 2006.
PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta.1-18.
Perhimpunan
Dokter
Paru
Indonesia
(PDPI).
2011.
PPOK
(Penyakit
Paru
41