Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang penting. Terwujudnya keadaan
sehat adalah kehendak semua pihak untuk mewujudkan keadaan sehat. Bentuk nyata perilaku
proaktif memelihara dan meningkatkan keadaan sehat mencegah resiko terjadnya penyakit,
melindungi diri dari ancaman penyakit serta berupaya aktif dalam memelihara kesehatan.
(Depkes,RI.2005).
Saat hamil emosi seorang ibu biasanya berubah ubah mulai dari rasa senang sampai
rasa cemas berlebihan perubahan lain yang perlu untuk diketahui yaitu menurunnya system
kekebalan tubuh yang dapat meningkatkan resiko janin terhadap berbagai penyakit infeksi .
infeksi bisa ditularkan ibu kepada janinnya melalui penularan vertical atau vertical
transmission . infeksi yang ditularkan secara vertical yaitu infeksi kongenital. Infeksi ini
dapat bergerak melalui plasenta untuk menginfeksi janin contohnya TORCH. (Abidin , 2014).
Infeksi TORCH merupakan akronim dari kelompok infeksi Toksoplasma, Rubella,
Sitomegalovirus (CMV) dan Herpes Simplex Virus (HSV). Walaupun berbeda dalam
taksonomi tetapi kelompok mikroba ini memberikan gejala klinis yang mirip, gejala yang ada
sukar dibedakan dengan dari penyakit lain, bahkan ada kalanya gejala tidak muncul. Infeksi
TORCH dapat menyebabkan abortus pada ibu hamil, pertumbuhan janin terhambat, cacat
bawaan serta membawa permasalahan infertilitas pada pasangan suami istri yang
menginginkan keturunan (Mulyo, 1998)
Pada masa kehamilan sekitar 40% wanita hamil mengalami infeksi TORCH dan bayi
yang di lahirkan akan terinfeksi. Sebanyak 17% janin lahir terinfeksi pada trimester
pertama,dapat menyebaban keguguran dan berbagai masalah kongenital yang berat,24% pada
trimester kedua dan 27% pada trimester ketiga dapat menyebabkan kelahiran prematur
maupun kelahiran sehat (kelihatan tanpa kelainan fisik) (haksohusodo,2005).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa definisi dari penyakit torch ?


Apa etiologi penyakit torch ?
Apa patofisiologi penyakit torch ?
Apa manifestaasi klinis penyakit torch ?
Bagaimana pemeriksaan penunjang penyakit torch ?
Bagaimana penatalaksanaan medis penyakit torch ?
1

7. Bagaimana cara penularan penyakit torch ?


8. Bagaimana cara menghindari penyakit torch ?
1.3 TUJUAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengetahui definisi penyakit torch


Mengetahui etiologi penyakit torch
Mengetahui patofisiologi penyakit torch
Mengetahui manifestaasi klinis penyakit torch
Mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit torch
Mengetahui penatalaksanaan medis penyakit torch
Mengetahui cara penularan penyakit torch
Mengertahui cara menghindari penyakit torch

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1DEFINISI
Penyakit Infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus/CMV dan Herpes
simplex) adalah sekelompok infeksi yang dapat ditularkan dari wanita hamil kepada bayinya.
2

Ibu hamil yang terinfeksi TORCH berisiko tinggi menularkan kepada janinnya yang bisa
menyebabkan cacat bawaan. Dugaan terhadap infeksi TORCH baru bisa dibuktikan dengan
melakukan pemeriksaan darah atau skrining. Jika hasilnya positif, atau terdapat infeksi aktif,
selanjutnya disarankan pemeriksaan diagnostik berupa pengambilan sedikit cairan ketuban
untuk diperiksa di laboratorium.
TORCH tidak hanya berkaitan dengan masalah kehamilan saja. TORCH juga bisa
menyerang orang tua, anak muda, dari berbagai kalangan, usia, dan jenis kelamin. TORCH
bisa menyerang otak (timbul gejala sering sakit kepala), menyebabkan sering timbul radang
tenggorokan, flu berkepanjangan, sakit pada otot, persendian, pinggang, sakit pada kaki,
lambung, mata, dan sebagainya.
Infeksi TORCH ini sering menimbulkan berbagai masalah kesuburan (fertilitas) baik
pada wanita maupun pria sehingga menyebabkan sulit terjadinya kehamilan. Infeksi TORCH
bersama dengan paparan radiasi dan obat-obatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan
pada embrio. Beberapa kecacatan janin yang bisa timbul akibat TORCH yang menyerang
wanita hamil antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan pada otak, paru-paru, telinga,
terganggunya fungsi motorik, hidrosepalus, dan lain sebagainya.
1) Toxoplasma
Toxoplasma gondii adalah protozoa dengan penyebaran luas. Infeksi oleh
T.gondii dapat menyebabkan terjadinya toxoplasmosis, infeksi tesebut dapat
terjadi pada hewan dan manusia.Toxoplasma merupakan parasit protozoa
dengan sifat alami, perjalanan penyakitnya dapat bersifat akut atau menahun,
simptomatik maupun asimptomatik. T.gondii mengalami siklus aseksual pada
spesies vertebrata berdarah panas. Penularan pada manusia terjadi dengan cara
menelan kista yang berisi bradizoit yang terdapat pada daging yang terinfeksi,
atau secara tidak sengaja menelan ookista yang terdapat pada ekskreta
kucing. Frekuensi penyebaran tergantung pada kelembaban dan temperatur
(yang mempengaruhi ketahanan ookista dalam lapisannya ), dan kebiasaan
mengkonsumsi daging yang tidak dimasak atau kurang matang.
2) Rubella
Congenital Rubella Syndrome Rubella atau campak Jerman adalah penyakit
yang disebabkan oleh

infeksi

virus rubella. infeksi biasanya

hanya

menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa gejala. Infeksi pada orang dewasa
dapat menimbulkan keluhan demam, sakit kepala, lemas dan konjungtivitis.
Tujuh puluh persen kasus infeksi rubella di

orang

dewasa

menyebabkan

terjadinya atralgi atau artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi pada kehamilan,
3

khususnya

trimester

pertama sering

menyebabkan Congenital

Syndrome(CRS). CRS mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir

Rubella
mati,

prematur dan cacat apabila bayi tetap hidup. definisi CRS merupakan
gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di bayi sebagai
akibat infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. Nama lain CRS
ialah Fetal Rubella Syndrome. Cacat bawaan (Congenital defect) yang paling
sering dijumpai ialah tuli sensoneural, kerusakan mata seperti katarak,
gangguan kardiovaskular, dan retardasi mental (Reef S, Coronado V 2006 dan
Anonim 2007).
3) Cytomegalovirus
Infeksi Cytomegalovirus

( CMV )biasanya dikelompokkan dalam infeksi

TORCH yang merupakan singkatan dariToxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus,


Herpes simplex virus atau ada juga yang menambahkan othersuntuk huruf O-nya.
Seperti pada infeksi TORCH, infeksi CMV dipopulerkan sebagai penyakit yang
berdampak negatif terhadap janin atau fetus yang dikandung oleh wanita hamil
yang terinfeksi. Pada infeksi CMV, infeksi maternal atau ibu hamil kebanyakan
bersifat silent, asimtomatik tanpa disertai keluhan klinikatau gejala, atau hanya
menimbulkan gejala yang minim bagi ibu, namun dapat memberi akibat yang
berat bagi fetus yang dikandung, dapat pula menyebabkan infeksi kongenital,
perinatal bagi bayi yang dilahirkan. Keadaan seperti ini memang perlu diketahui
dan dideteksi agar dapat diberikan pengelolaan yang tepat, sebab infeksi prenatal
dapat berakibat fatal, sedangkan infeksi kongenital atau perinatal yang pada
awalnya berjalan tanpa gejala dapat menjadi manifes di kemudian hari. Infeksi
CMV tidak selalu bergabung dalam infeksi TORCH, melainkan dapat berdiri
sendiri, karena selain pada ibu hamil dan fetus, dapat menyerang setiap individu.
Prevalensi infeksi sangat tinggi, dan walaupun umumnya bersifat silent,infeksi
CMV ternyata dapat memicu banyak macam penyakit lain, antara lain keganasan,
penyakit autoimun, bermacam inflamasi seperti radang ginjal-saluran kemih, hati,
saluran cerna, paru, mata, dan infertilitas. Diagnosis infeksi CMV tidak dapat
ditegakkan hanya berdasarkan latar belakang klinik saja, terlebih bila tidak
dijumpai keluhan atau hanya menimbulkan keluhan yang mirip dengan infeksi
virus pada umumnya. Deteksi secara laboratorik diperlukan untuk menunjang
diagnosis. Berbagai metoda pemeriksaan laboratorium telah dikembangkan
dengan menggunakan bahan pemeriksaan serum darah, urin, cairan tubuh lain.
4

Sejauh ini, pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi CMV banyak


dilakukan oleh pasangan pranikah, prahamil, atau wanita hamil yang mempunyai
riwayat kelainan kehamilan termasuk keguguran atau ingin punya anak, serta
bayi baru lahir cacat. Namun, dengan memahami seluk beluk infeksi CMV, akan
dapat dipahami bahwa deteksi laboratorik juga diperlukan oleh setiap individu
yang dicurigai terinfeksi CMV, baik hamil maupun tidak hamil, wanita maupun
pria, dewasa, anak, maupun bayi baru lahir.
4) Herpes
Acquired immunodeficiency syndrome

(AIDS) adalah

penyakit

yang

disebabkan oleh infeksi human imunodefisiensi virus( HIV) .Penyebaran HIV


ini berkembang dengan cepat dan mengenai wanita dan anak-anak. Acquired
immunodeficiency syndrome menyebabkan kematian lebih dari 20 juta orang
setahun. Saat ini di seluruh dunia kira-kira 40 juta orang dewasa berusia 1545 tahun yang hidup dengan infeksi HIV . T ahun 2003 diperkirakan 700.000
bayi baru lahir terinfeksi HIV .Angka morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan oleh HIV semakin meningkat dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang paling penting di seluruh dunia. Hingga saat ini belum
ditemukan imunisasi profilaksis atau pengobatan AIDS, meskipun demikian
terapi antiretrovirus seperti highly active antiretroviral therapy (HAART)
tetap dikembangkan. Penggunaan obat antivirus dan persalinan berencana
dengan seksio sesaria telah menurunkan angka transmisi perinatal penyakit
ini

dari 30%

imunosupresif

menjadi
berat

20%. AIDS

dikarakteristikkan sebagai

penyakit

yang sering dikaitkan dengan infeksi oportunistik dan

tumor ganas serta degenerasi susunan saraf pusat. HIV menimbulkan infeksi
berbagai + macam sistem sel imun, termasuk CD4 , makro-5,6 fag, dan sel
dendrit

2.2 ETIOLOGI
a) Toksoplasmosis
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondi dengan berbagai cara yaitu dari makan daging
mentah atau kurang masak yang mengandung kista T. gondi, ternakan atau tertelan
bentuk ookista dari tinja kucing, misalnya bersarma buah-buahan dan sayur-sayuran
yang terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari
donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T.
gondi. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat
5

laboratoriurn lain yang terkontaminasi oleh T. gondi. Infeksi kongenital terjadi intra
uterin melalui plasenta (WHO, 1979 ; Levine, 1990). Setelah terjadi infeksi T. gondi
ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di
mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan
menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan
retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar.
Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga
merupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan
syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
b) Rubella
Infeksi ini juga dikenal dengan campak Jerman dan sering diderita anak-anak. Rubella
yang dialami pada tri semester pertama kehamilan 90 persennya menyebabkan
kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran. Ibu
hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang sedang sakit campak
Jerman.
c) Cytomegalovirus (cmv)
CMV merupakan keluarga virus herpes. Infeksi CMV disebabkan oleh virus
Cytomegalo, dan virus ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya
keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV
merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila. Transmisi
vertikal dari ibu ke bayi melalui transplacental. Infeksi CMV pada ibu hamil bisa
secara primer atau rekuren.
d) herpes simpleks
Virus herpes terdiri dari 2 jenis, yaitu herpes simplex 1 (HSV-1) dan herpes simplex
virus 2 (HSV 2). Penularan biasanya terjadi pada kontak seksual pada orang dewasa.
HSV 1 juga bisa ditularkan melalui kontak sosial pada masa anak-anak. Prevelansi
HSV

2 lebih tinggi pada kelompok HIV positif dan mereka yang melakukan

hubungan seks tanpa kondom. Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan
oleh Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk
laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf
otonom.

2.3 PATOFISIOLOGI

Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama, secara aktif (didapat)
dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan secara aktif disebabkan antara lain sebagai
berikut :
1) Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi (mengandung
sista), misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau, babi, ayam, kelinci dan
lainnya. Kemungkinan terbesar penularan TORCH ke manusia adalah melalui jalur
ini, yaitu melalui masakan sate yang setengah matang atau masakan lain yang
dagingnya diamasak tidak semnpurna, termasuk otak, hati dan lainnya.
2) Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan (trozoid, sista),
kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH masuk ke dalam tubuh atau
tanpa sengaja masuk melalui luka (Remington dan McLeod 1981, dan Levine 1987).
3) Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan menularnya
TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit TORCH kemudian
melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita (padahal sang wanita
sebelumnya belum terjangkit) maka ada kemungkinan wanita tersebut nantinya akan
terkena penyakit TORCH sebagaimana yang pernah diderita oleh lawan jenisnya.
4) Ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH ketika mengandung
maka ada kemungkinan juga anak yang dikandungnya terkena penyakit TORCH
melalui plasenta.
5) Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini
bisa terjadi seandainya sang ibu yang menyusui kebetulan terjangkit salah satu
penyakit TORCH maka ketika menyusui penyakit tersebut bisa menular kepada sang
bayi yang sedang disusuinya.
I.

Toxoplasma
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari
tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta
memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling
nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai
afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya
infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di
jaringan otot dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang mengandung
parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan plasentitis yang terbukti
dengan adanya gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
7

kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi pada tali pusat jarang
dijumpai.Kemudian parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang
II.

manifestsinya sangat tergantung pada usia kehamilan


Rubella
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di
nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella
dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan penderita.
Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 1421 hari. Masa penularan 1 minggu
sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan (onset) ruam (rash). Pada episode
ini, Virus rubella sangat menular. Infeksi transplasenta janin dalam kandungan
terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin
karena proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan (secret) tekak (faring) dan
air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah banyak
yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan
CRS dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah
kelahiran. Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan
sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta
terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah (area) nekrosis yang tersebar
secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami
deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa
virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin sebagai emboli
sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin
belum matang dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah
terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan. Sel yang terinfeksi virus
rubella memiliki umur yang pendek. organ janin dan bayi yang terinfeksi memiliki
jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga dapat
memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi
setelah trimester pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi) dan beratnya derajat
kerusakan janin menurun secara tiba-tiba (drastis). Perbedaan ini terjadi karena
janin terlindung oleh perkembangan melaju (progresif) tanggap (respon) imun
janin, baik yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal
yang dialihkan (transfer) secara pasif (Anonim 2006)
Cytomegalovirus
8

III.

CMV meningkatkan proses inflamasi. Sel secara umum terinfeksi CMV dapat
mengekskresi tumor necrosis factor(TNF-) yang merupakan salah satu sitokin
proinflamasi.Hal ini terjadi karena protein IE mempengaruhi fungsi sel, mengaktifkan
sel yang mengandung genom CMV, serta memacu peningkatan produksi TNF- ,
sehingga sel terinfeksi CMV laten dapat memacu respons inflamasi.Gen IE dapat
diekspresikan antara lain oleh monosit. Selain itu, HSP meningkatkan peran protein
virus yang bergabung dengannya untuk membangun respons imun dan inflamasi. HSP
meningkatkan efek dari protein IE, melindungi dari degradasi, memperpanjang waktu
keberadaan di dalam sel, memberi fasilitas untuk transpor protein IE ke sel lain, atau
berperan sebagai chaperoneuntuk meningkatkan transpor protein IE ke dalam
nukleus.Reaktivasi CMV dari fase laten terjadi dalam kondisi yang berhubungan
dengan peningkatan sekresi TNF-. Peningkatan TNF-menyebabkan akumulasi NFB dan aktivasi DNA dari CMV untuk bereplikasi.Di dalam sitoplasma, NF-B
berikatan dengan I-B yang merupakan famili protein inhibitor. Pemaparan sel
dengan berbagai stimulus termasuk sitokin TNF-menyebabkan aktivasi IKK
kompleks (I-B kinase kompleks). HSP90 yang merupakan komponen dari high
molecular weight IKK kompleks memegang peran sebagai regulator positif jalur NFB dengan mengaktifkan IKK kompleks.Sebaliknya, HSP 27 merupakan regulator
negatif untuk aktivitas NF-B yang diperantarai aktivitas TNF-dengan mengikat
IKK kompleks.30,36 Tergantung ekspresi HSP mana yang dominan, TNF- dapat
meningkat atau menurun, replikasi virus dapat terpacu atau tidak. Inflamasi pada
CMV dapat memperberat penyakit lain seperti infeksi HIV, dapat pula diperberat
oleh molekul mikroba lain seperti endotoksin bakteri atau lipopolisaccharida (LPS).
Mekanisme di mana infeksi CMV dapat meningkatkan replikasi HIV-1 ialah karena
stimulasi oleh TNF-. Kofaktor yang meningkatkan efek produk gen IE terhadap
TNF- , serta transkripsi HIV1 adalah HSP. Protein IE akan memacu peningkatan
produksi sitokin proinflamasi lain yaitu interleukin-1 (IL-1), IL-6 di samping TNF- ,

IV.

bila sel terstimulasi oleh LPS sebagai kofaktor.


Herpes
Penularan HIVdari Ibu ke Anak Banyak penelitian membuktikan bahwa penularan
HIV terjadi pada masa intrauterin dan saat intrapartum. Dengan menggunakan
perhitungan model matematika maka distribusi penularan dari ibu ke bayi
diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan, dan pada saat
plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan
9

diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital ibu.
Penularan lainnya terjadi pada Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu
Terinfeksi HIVke Bayi yang Dilahirkan Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal
dari Ibu Terinfeksi HIVke Bayi yang Dilahirkan .masa dini kehamilan dan pada saat
bayi menetek. Akan tetapi, peranan dari masing-masing saat penularan masih belum
diketahui dengan jelas.Walaupun demikian, Damania dan Tank (2006) menyatakan
bahwa sekitar 25 sampai 35% penularan terjadi pada saat antenatal terutama pada fase
akhir kehamilan dan 70 sampai 75% terjadi pada saat persalinan. Selain itu, penularan
pada saat menetek terjadi sekitar 14% Karena banyak para ahli mengatakan bahwa
penularan lebih sering terjadi pada masa kehamilan tua dan pada saat melahirkan, dan
sangat jarang terjadi pada masa permulaan kehamilan, maka yang menjadi sasaran
penting untuk mencegah penularan vertikal adalah janin pada fase akhir intrauterin
dan pada waktu intrapartum.

2.4 WOC
Terlampir

2.5 MANIFESTASI KLINIS


1) Toksoplasmosis
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya,
toksoplasmosis dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu : toksoplasmosis akuisita
(dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun
kongenital sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut
dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik
dan sulit dibedakan dengan penyakit lain. Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak
diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang
hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak
dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun
anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada
toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit
kepala (Zaman dan Keong, 1988).
10

Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjer getah bening
daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia,
malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis

berupa ruam

makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada jaringan
paru dapat terjadi pneumonia interstisial. Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital
dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala
klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran
eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus,
korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan
psikomotorik (Zaman dan Keong, 1988). Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya
karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem
syaraf penderita. Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks
pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa.
Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi
kongenital. Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi
bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu
selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat
sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti
ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang
lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat
disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan
lesi mata. Infeksi T. gondi pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan
manifestasi penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung kepada
derajat imunodefisiensinya (Cornain dkk., 1990). Menurut Gandahusada dkk., (1992).
2) Infeksi rubella
Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap individu, bahkan
pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam merah tidak tampak. Oleh
Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi
pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata
belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella
11

IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan <
18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.
3) Cytomegalovirus
Infeksi primer pada ibu hamil ditandai dengan terjadinya serokonversi dari IgG
antibodi CMV selama kehamilan atau didapatkan IgG dan IgM CMV bersama-sama
selama kehamilan. Sedangkan infeksi rekuren ditandai adanya antibodi CMV pada
fase sebelum terjadinya pembuahan. Pada infeksi primer, transmisi infeksi ke bayi
sebesar 40%. Adanya IgG anti CMV pada ibu hamil tidak memberi perlindungan
kepada bayi, sehingga kelainan kongenital mungkin terjadi
4) Herpes simpleks
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya memperlihatkan lepuh
pada kulit, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin tidak diketahui.
Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (Pada lebih dari 50
kasus) Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan Igm sangat penting
untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II
dan mencegah bahaya lebih lanjut pada bayi bila infeksi terjadi pada saat
kehamilan.Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik,
bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum keluhan yang
dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo, migran, penglihatan kabur,
pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah
lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan keluhan lainnya.Untuk kasus kehamilan:
sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi tidak lengkap, cacat fisik maupun mental,
autis, keterlambatan tumbuh kembang anak, dan ketidaksempurnaan lainnya.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Ibu dengan seronegatif 6 bulan sebelum konsepsi, pada ibu hamil berpeluang untuk
terinfeksi primer saat hamil. Tes IgG perlu dilakukan sekurang-kurangnya 2 x yaitu pada 2
bulan dan 4 bulan kehamilan. Bila hasil negatif, maka tindakan lanjut dapat ditunda, bila
didapatkan serokonversi, maka diagnosis infeksi primer ibu dan prenatal bayi dapat
ditegakkan.Reinfeksi sering terjadi ketika hamil, penetapan muatan virus dapat dipakai untuk
mengetahui risiko transmisi vertikal.Deteksi prenatal Isolasi virus dari cairan amnion dipakai
untuk mendeteksi infeksi in utero, kombinasi dengan tes darah fetus setelah 20 minggu
kehamilan memberi hasil sensitivitas diagnostik 80-100%.Deteksi Isolasi CMV dari darah
tali pusat, urin, saliva, kongenitaldarah atau serum pada minggu pertama setelah lahir atau
12

sebelum berumur 3 minggu, merupakan pemeriksaan penunjang untuk infeksi kongenital.


Ekskresi CMV tersebut dapat dideteksi dengan metoda PCR., penemuan dalam darah
menunjukkan prognosis yang jelek.Hasil IgM positif pada darah tali pusat yang diambil
in uteroatau saat lahir juga mempunyai arti diagnostik untuk infeksi kongenital. Kecurigaan
terhadap

infeksi

CMV

kongenital dapat dipikirkan, apabila ditemukan kelainan

hematologik yang menunjukkan gambaran limfositosis reaktif, anemia hemolitik,


trombositopeni.
Diagnosis laboratorik dilakukan dengan menggunakan tes ELISA. Jika ditemukan
bahwa antibodi IgM menunjukkan hasil positif 40 (10.52%) untuk toksoplasma, 102 (26.8%)
untuk Rubella, 32 (8.42%) untuk CMV dan 14 (3.6%) untuk HSV-II. Antibodi IgG
menunjukkan hasil positif 160 (42.10%) untuk Toxoplasma, 233 (61.3%) untuk Rubella, 346
(91.05%) untuk CMV dan 145 (33.58%) untuk HSV-II.

2.7 PENATALAKSANAAN MEDIS


Toxoplasma
Pasien yang hanya memperlihatkan gejala limfadenopati tidak perlu terapi spesifik
kecuali jika terdapat gejala yang persisten dan berat. Pasien dengan okuler toxoplasmosis
harus diobati selama 1 bulan dengan sulfadiazin dan pirimetamin. Preparat alternatif
adalah kombinasi klindamisin dan pirimetamin. Susunan pengobatan paling mutakhir
mencakup pemberian pirimetamin dengan dosis awal 50 75 mg / hari, ditambah
sulfadiazin 4 6 g / hari dalam dosis terbagi 4. Selain itu diberikan pula kalsium
folinat 10 -15 mg / hari selama 6 minggu. Semua preparat ini hanya bekerja aktif terhadap
stadium

takizoit

pada toxoplasmosis.

Jadi

setelah menyelesaikan pengobatan awal

penderita harus mendapat tertapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin ( 25 -50
mg ) dan sulfadiazin ( 2 4 g ). Jika pemberian sulfadiazin tidak dapat ditolerir dapat
diberikan kombinasi pirimetamin ( 75 mg / hari ) ditambah klindamisin ( 400 mg ) 3x
/ hari. Pemberian pirimetamin saja ( 50 -75 mg / hari ) mungkin sudah cukup untuk terapi
supresif yang lama. Neonatus yang terinfeksi secara congenital dapat diobati dengan
pemberian pirimetamin oral ( 0,5 1 mg / kg BB ) dan sulfadiazine ( 100 mg / kg
BB ).Di samping itu terapi dengan golongan spiramisin ( 100 mg / kg BB ) ditambah
prednisone ( 1 mg / kg BB ) juga memberikan respon yang baik untuk infeksi congenital.
Cytomegalovirus

13

Obat-obat infeksi virus yaitu acyclovir, pencegahan

gancyclovir, dapat diberikan

untuk infeksi CMV. Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin
dikemukakan telah memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer dan dapat
diberikan kepada penderita yang akan menjalani cangkok organ. Namun demikian, program
imunisasi terhadap infeksi CMV, belum lazim dijalankan di negeri kita. Pada pemberian
transfusi darah, resipien dengan CMV negatif idealnya harus mendapat darah dari donor
dengan CMV negatif pula.Deteksi laboratorik untuk infeksi CMV, idealnya dilakukan pada
setiap donor maupun resipien yang akan mendapat transfusi darah atau cangkok organ.
Apabila terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV padapemeriksaan serial yang dilakukan
2x dengan selang waktu 2-3 minggu,maka darah donor seharusnya tidak diberikan kepada
resipien mengingat dalam kondisi tersebut infeksi atau reinfeksi
masih berlangsung. Seorang calon ibu, hendaknya menunda untuk hamil apabila secara
laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu yang menderita
infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui infeksi kongenital. Higiene
dan sanitasi lingkungan perlu diperhatikan untuk mencegah penularan atau penyebaran.
Infeksi CMV tidak menimbulkan keluhan apabila individu berada dalam kondisi kompetensi
imun yang baik, oleh karena itu pola hidup sehat dengan makan minum yang sehat dan
bergizi, sangat diperlukan agar sistem imun dapat bekerja dengan baik untuk meniadakan
atau membasmi CMV. Istirahat yang cukup juga sangat diperlukan, karena istirahat termasuk
pengobatan terbaik untuk infeksi virus pada umumnya.
Herpes
Perkembangan dan percobaan klinis terhadap kemampuan obat antiretrovirus
yang

sering dikenal

dengan

highly

active

antiretroviraltherapy

(HAART) untuk

menghambat HIV terus di l akukan sel ama 15 t ahun t erakhi r

i ni .Pengobatan

diharapkan mampu menghambat progresivitas infeksi HIV untuk menjadi AIDS dan
penularannya terhadap orang lain serta janin pada wanita hamil. HAART menunjukkan
adanya penurunan jumlah penderita HIV yang dirawat, penurunan angka kematian,
penurunan infeksi oportunistik, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. HAART bisa
memperbaiki fungsi imunitas tetapi tidak dapat kembali normal.Pengobatan dengan
menggunakanHAART

yang

aman

saat

ini

pada

wanita

hamil adalah

dengan

menggunakan AZT (azidotimidin) atau ZDV (zidovudin). Pengobatan wanita hamil dengan
menggunakan regimen AZT ini dibagi atas tiga bagian, yaitu: wanita hamil dengan HIV
positif, pengobatan dengan menggunakan AZT harus dimulai pada usia kehamilan 1434 minggu dengan dosis 100 mg, 5 kali sehari, atau 200 mg 3 kali sehari, atau 300 mg 2 kali
14

sehari, pada saat persalinan; AZT diberikan secara intravena, dosis inisial 2 mg/kgBB
dalam 1 jam dan dilanjutkan 1 mg/kgBB/jam sampai partus, terhadap bayi diberikan
AZT dengan dosis 2 mg/kgBB secara oral atau 1,5 mg/kgBB secara intravena tiap 6 jam
sampai usianya 4 minggu.

2.8 CARA MENGHINDARI PENYAKIT TORCH


Infeksi primer toxoplasma dapat dikurangi dengan menghindari bahan yang
terkontaminasi ookista dan memakan daging yang kurang matang. Daging harus
dimasak hingga suhu 60C dan dibekukan untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci
sampai bersih setelah bekerja di kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu. Darah yang
digunakan untuk tranfusi pada penderira dengan keadaan umum lemah dengan hasil
serologis kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining untuk antibodi
terhadap T.gondii. Meskipun pemeriksaan skrining serologis tidak dilakukan rutin, namun
wanita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining beberapa kali selama
kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika mereka terpajan dengan
situasi lingkungan yang memberikan resiko terkena infeksi T.gondii. Untuk menghindari
sedini mungkin penyakit TORCH yang sangat membahayakan ini, ada beberapa hal sebagai
solusi awal yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Bila mengkonsumsi daging seperti daging ayam, sapi, kambing, kelinci, babi dan
lainnya terlebih dahulu dimasak dengan matang hingga suhu mencapai 66 derajat
Celcius, agaroosista - oosista yang mungkin terbawa di dalam daging tersebut bisa
mati.
2. Kucing peliharaan di rumah hendaknya diberi daging matang untuk mencegah infeksi
yang masuk ke dalam tubuh kucing. Tempat makan, minum dan alas tidur harus selalu
dicuci / dibersihkan.
3. Hindari kontak dengan hewan - hewan mamalia liar, seperti rodensia liar (tikus,
bajing, musang dan lain - lain) serta reptilia kecil seperti cecak, kadal, dan
bengkarung yang kemungkinan dapat sebagai hewan perantara TORCH.
4. Bagi wanita yang sedang hamil, terutama yang dinyatakan secara serologis sudah
negatif, jangan memelihara atau menangani kucing kecuali dengan sarung tangan.

15

5. Bila sedang memegang daging, bekerja di tempat atau perusahaan daging atau organ
yang masih mentah, hindari untuk tidak menyentuh mata, mulut, dan hidung dan
peralatan dapur setelah selesai sebaiknya dicuci dengan sabun.
6. Darah penderita seropositif tidak boleh ditransfusikan pada penderita yang menderita
imunosupresif, demikian pula transplantasi organ pada penderita seronegatif harus
dari orang dengan seronegatif TORCH.
7. Pemberantasan terhadap lalat dan kecoa sebagai pembawa oosista perlau dilakukan.
8. Penggunaan desinfektan komersial yang ada di toko - toko dapat berguna untuk
membasmi oosista.
9. Memeriksakan hewan peliharaan secara kontinyu ke dokter hewan atau poliklinik
hewan agar supaya hewan keanyangan selalu dalam keadaan sehat.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA IBU HAMIL
DENGAN PENYAKIT TORCH
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien:
a. Keluhan utama :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Suhu tubuh meningkat


Malaise
Sakit tenggorokan
Mual dan muntah
Nyeri otot
Pembesaran kelenjar limfe dan getah bening
Kuning pada mata dan kulit
Ruam makulapapular
Radang tenggorokan

16

b.

Riwayat kesehatan dahulu:


1. Klien sering berkontak langsung dengan binatang
2. Klien sering mengkonsumsi daging setengah matang

3. Klien pernah mendapatkan tranfusi darah


d. data psikologis
e. data spiritual
f. data social dan ekonomi
g. Pemeriksaan umum
Keadaan umum
: baik
Kesadaran
: Composmetis
Status emosional
: stabil
Tanda tanda vital
TD
: (Normal : 120/80 mmHg) N
: (Normal : 60-80 x/ mnt)
RR
: (Normal :16-20 x/ mnt )
S
: (Normal : 36,5 37,5 C)
TB
: 150 cm
BB
: 65 kg
h. Pemeriksaan Fisik
Kepala
: messosepalus,tidak ada nyeri tekan, rambut rontok, bersih, bau
Muka
: oedema, pucat, ada cloasa
Mata
: simetris, konjungtiva merah muda, skera putih,
Hidung
: kotor ,ada polip , ada secret,
Mata
: Nyeri
Telinga: simetris,bersih, tidak ada serumen , pendengaran baik
Leher
: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,parotis, vena jungularis.
Dada
: tidak ada retraksi dinding dada, suara paru-paru dan jantung normal
Payudara
: simetris, putting susu menonjol, aerola hiperpegmentasi
Abdomen
: pembesaran simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada bekas operasi, Diare,
mula dan muntah
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d adanya proses infeksi / inflamasi.
2. Hipertemia b. d peningkatan tingkat metabolisme penyakit ditandai dengan suhu 390c
tubuh menggigil.
3. Kerusakan integritas kulit b/d perubahan sirkulasi
3.3 Intervensi
1. Diagnose 1: Nyeri b/d kerusakan jaringan organ.
a. Tujuan : mengurangi nyeri
b. Kriterian hasil :
- Klien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
- Klien tampak rileks, Klien mampu tidur/istirahat dengan tepat.
c. Intervensi
a. Berikan lingkungan yang tenang sesuai kebutuhan.
R/ menurunkan reaksi stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan
istirahat/reaksi.
b. Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting.
R/ menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri.
17

c. Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian analgesic seperti asetamenofen.
R/ Untuk menghilangkan rasa nyeri yang berat.
2.
Diagnose 2 : Hipertemia b.d peningkatan laju metabolisme a.
Tujuan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal
b. Kriteria hasil:
- Terjadi peningkatan suhu
- Kulit kemerahan dan hangat waktu disentuh
- Peningkatan tingkat pernapasan
c. Intervensi:
a. Monitor tanda-tanda vital : suhu tubuh
R : Sebagai indikator untuk mengetahui status hipertermi
b. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat sedikitnya 2000ml/ hari
untuk mencegah dehidrasi
R : Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi
c. Berikan kompres dengan air biasa pada lipatan ketiak dan femur
R : Menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan
merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan.
d. Anjurka klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R : Kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur, juga akan
mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.

BAB IV
PENUTUP

18

4.1 Kesimpulan
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella, Cyto Megalo
Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta
kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles,
Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).
Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan keguguran,
cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit mendapatkan kehamilan.
4.2 Saran
Untuk selalu waspada terhadap penyakit TORCH dengan cara mengetahui media dan
cara penyebaran penyakit ini kita dapat menghindari kemungkinan tertular. Hidup bersih dan
makan makanan yang dimasak dengan matang.

DAFTAR PUSTAKA

19

Cornain, S ; Suryana E.J ; Sugiharto. ; Jacoeb T.Z ; Rahman, I.A; Lubis, N.S dan Gusniarti,
N., 1990. : Aspek Imunologi dan Pendekatan Imunoterapi pada Infeksi Toxoplasma.
Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasmosis. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Imunologi. Jakarta: Salemba.
Price, Sylvia & Loiraine M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
4. Jakarta : EGC.
Rab, Tabrani. 2000. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) jilid 2. Bandung: PT. Alumni.
Smeltzer & Brenda G. bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol II. Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Reef S, Coronado V. Congenital Rubella Syndrome. http://www.deafblind.com/crs.htlm.
(accesed Agustus 30, 2006).
Anonim.

The

Delayed

effects

of

Congenital

Rubella

Syndrome.

http://www.sense.org.uk/publication/all pubs/rubella/R03.htm. (accesed 11 Januari, 2007).

20

Anda mungkin juga menyukai