Anda di halaman 1dari 23

1

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Seleksi Pejantan Pada Sapi Potong
dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih untuk pihakpihak yang telah ikut membantu selama pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat membantu para mahasiswa lebih memahami tentang
seleksi sapi potong pejantan,tahapan-tahapan,kriteria seleksi sapi pejantan,dan seleksi
pejantan berdasarkan kualitas dan kuantitas semen sapi.
Kami sebagai penulis menyadari masih perlu banyak perbaikan untuk kesempurnaan
makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun masih diharapkan dari para
pembaca.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 1


Daftar isi .......................................................................................................... 2
Bab I. Pendahuluan .......................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3
1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................4
1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................4
Bab II. Isi..........................................................................................................5
2.1 Seleksi...............................................................................................5
2.2 Tahapan Seleksi.................................................................................6
2.3 Kriteria Seleksi.................................................................................. 9
2.4 Seleksi Pejantan Dari Kualitas dan Kuantitas Semen.......................12
Bab III. Penutup................................................................................................20
3.1 Kesimpulan ........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor pertanian, karena pada tahun
2003 saja telah mampu menyumbang 66 % atau lebih 350.000 ton dari total produksi daging
dalam negeri yang sebesar lebih 530.000 ton. Namun demikian, kemampuan produksi daging
sapi dalam negeri tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, sehingga
menyebabkan impor sapi hidup, daging sapi maupun jeroan sapi masih terus tinggi. Beberapa
permasalahan penyebab keterbatasan produksi daging dalam negeri ini, antara lain adalah :
masih tingginya pemotongan sapi yang memiliki kondisi baik dan induk/betina produktif,
yaitu mencapai 40 %, menyebabkan terjadinya seleksi negatif yang langsung berdampak
terjadinya kecenderungan penurunan mutu genetik sapi; terjadinya inbreeding karena
terbatasnya ketersediaan pejantan unggul, serta penurunan populasi sapi antara lain karena
performans reproduksi yang rendah. Kondisi ini harus segera dicarikan solusinya, terlebih
untuk mendukung keberhasilan Program Nasional Kecukupan Daging 2010 yang telah
dicanangkan oleh pemerintah.
Sapi potong lokal Indonesia (Gambar 1) mempunyai keragaman genetik yang cukup
besar dan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tropis yang kering (udara panas
dengan kelembaban rendah dan tatalaksana pemeliharaan ekstensif), kuantitas dan kualitas
pakan yang terbatas, relatif tahan serangan penyakit tropis dan parasit, serta performans
reproduksinya cukup efisien, sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai materi genetik
dalam pengembangan sapi potong yang unggul. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat
ditempuh

untuk

memperbaiki

produktivitas

(produksi

dan

reproduksi)

sekaligus

meningkatkan populasi sapi potong, adalah melalui pengembangan komponen teknologi


berupa teknik seleksi dan pengaturan perkawinan (untuk mendapatkan sapi bibit), dan
tatalaksana pemeliharaan dalam sistem perbibitan sapi potong. Peningkatan produktivitas sapi
dapat meningkatkan produksi sehingga menurunkan jumlah sapi yang dipotong, serta
menekan kematian ternak (terutama pedet), sehingga akan meningkatkan jumlah populasi;
kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan
efisiensi dan harga jual produksi.
Oleh karena itu makalah ini di buat agar mahasiswa dan masyarakat umumnya
terutama peternak sapi mengetahui bagaimana melakukan seleksi pejantan yang unggul dan
apa saja ciri-ciri yang di butuhkan sebagai pejantan yang baik dan unggul.

Tujuan Penulisan :
1.
2.
3.
4.

Mengetahui pengertian seleksi sapi potong


Mengetahui tahapan seleksi potong
Mengetahui kriteria seleksi pejantan
Mengetahui kualitas dan kuantitas semen

Manfaat Penulisan :
1.
2.
3.
4.

Untuk memberikan wawasan tentang pengertian dari seleksi


Untuk memberikan informasi mengenai tahapan-tahapan seleksi
Untuk mengetahui kriteria seleksi pejantan
Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas semen sapi

BAB II
ISI

2.1. Pengertian Seleksi.


Seleksi adalah tindakan memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan
membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam
melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih,
bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut.
Untuk dapat memperoleh peningkatan mutu genetik pada generasi berikutnya dari sapi-sapi
hasil seleksi, maka harus ditentukan sifat apa yang akan diseleksi. Sifat seleksi yang dipilih
harus yang bersifat menurun dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai,
yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi. Penjelasan lebih lengkap tentang sifat-sifat
yang biasanya digunakan sebagai dasar seleksi, dijelaskan dalam buku aplikasi
pemuliabiakan ternak di lapangan karangan Wartomo Hardjosubroto (1994).
Sapi yang dapat digolongkan sebagai bibit sumber (indukan dan pejantan penghasil sapi-sapi
unggul), jumlahnya di dalam populasi di suatu wilayah, biasanya sangat terbatas karena
sebagian besar merupakan bibit sapi (bakalan) yang dipelihara untuk dipotong.
2.2. Tahapan Seleksi
Untuk dapat mencapai tujuan akhir dari seleksi, diperlukan adanya beberapa tahapan
seleksi, yaitu meliputi : seleksi untuk pembentukan kelompok dasar (foundation stock),
seleksi untuk pembentukan kelompok inti (nucleus) dan seleksi untuk pembentukan
kelompok pengembang (breeding stock).
1. Pembentukan kelompok dasar (foundation stock)
Kelompok dasar merupakan kumpulan sapi potong terpilih dari hasil seleksi yang
memiliki tampilan luar tertentu (misal tinggi gumba, berat badan, dsb) yang terbaik dari
populasi yang ada di suatu wilayah atau di suatu kelompok pembibitan. Tujuan utama
pembentukan kelompok dasar adalah mendapatkan sapi-sapi (jantan dan betina) pilihan yang
nantinya mampu menghasilkan keturunan sapi-sapi bibit dan dikembangkan sebagai bibit
sumber.
Sapi-sapi di kelompok dasar yang tidak terpilih sebagai bibit sumber, dikembangkan
sebagai bibit sapi yang digemukkan untuk dipotong. Di tahapan ini, sapi-sapi yang terpilih
diamati dan dicatat perkembangan tampilan yang menjadi dasar kriteria seleksi dan data
pendukung lainnya. Data perkembangan ini diperlukan sebagai dasar dalam melakukan
seleksi-seleksi selanjutnya sampai mendapatkan sapi-sapi terpilih untuk tahapan seleksi
berikutnya, yaitu pembentukan kelompok elit. Untuk memperoleh sapi bibit dalam kelompok
dasar, pada prinsipnya diperlukan dua kegiatan, yaitu penjaringan (screening) dan seleksi.

2. Penjaringan (Screening)
Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di
peternakan rakyat atau di pasar hewan), untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik
penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya (Gambar 3 dan 4).

Keterangan : kiri : indukan dan kanan : (pe) jantan. (tinggi pinggul indukan atau tinggi gumba
(pe) jantan di atas rata-rata populasi; tulang punggung yang rata; serta badan membentuk
segitiga (bagian depan/dada lebih lebar dibanding bagian belakang) dengan perdagingan yang
cukup padat (tulang rusuk dan pinggul tidak terlalu nampak.

3. Seleksi keturunan
Seleksi keturunan adalah seleksi yang dilakukan selama beberapa generasi terhadap
sapi-sapi yang dihasilkan di tahapan kelompok dasar. Sapi-sapi F 1 yang terpilih dalam
seleksi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi anakannya (F 2), kemudian sesama

sapi F 2 yang terpilih dalam sekelsi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi F 3, dan
seterusnya (Gambar 5).
F 2 diseleksi lagi, sapi yang terpilih diatur lagi perkawinannya, dan seterusnya sampai
mendapatkan sapi dengan kriteria performans yang dikehendaki untuk dijadikan sebagai sapi
bibit sumber.
Tujuan seleksi keturunan adalah memperoleh sapi-sapi dengan performans tertentu
(sesuai kriteria yang digunakan untuk seleksi) di atas rata-rata populasi kelompok dasar,
kemudian nantinya dikembangkan sebagai sapi-sapi bibit sumber di tahapan seleksi
berikutnya, yaitu kelompok elit/inti.

Dalam melakukan pengaturan perkawinan, dapat dilakukan perkawinan back-cross


secara terbatas guna mendapatkan keunggulan dari kriteria seleksi (Gambar 6), tetapi harus
dihindari terjadinya in-breeding (Gambar 7).
4. Pembentukan Kelompok Inti (Elite)
Kelompok elit adalah tahapan akhir dari rangkaian program seleksi. Populasi di
kelompok inti adalah sapi-sapi bibit sumber, yiatu sapi dengan produktivitas yang tinggi dan
keragaman genetiknya kecil. Di kelompok elit, dilakukan dua kegiatan, yaitu perbanyakan
bibit sumber dan menghasilkan sapi-sapi unggul untuk siap disebarkan ke kelompok dasar
dan kelompok pengembang.
Mekanisme seleksi dan pengaturan perkawinan yang dilakukan di tahap kelompok elit
ini hampir sama dengan di tahap kelompok dasar (gambar 5, 6 dan 7), tetapi materi sapinya
sudah berupa bibit sumber dan sekecil mungkin memasukkan sapi-sapi baru untuk digunakan
sebagai tetuanya.
Di tahapan kelompok elit ini sangat dibutuhkan pencatatann yang lengkap, berurutan
dan jelas tentang silsilah/asal usul dan performans produktivitas dari masing-masing sapi
bibit sumber,karena keturunannya akan disebarkan sebagai sapi bibit unggul untuk

memperbaiki genetik sapi-sapi di peternak rakyat, atau dijadikan sebagai perbanyakan bibit
sumber yang ada.
5. Pembentukan Kelompok Pengembang (breeding stock)
Kelompok pengembang adalah tahapan terakhir dari tahapan rangkaian programprogram. Kelompok pengembang dibentuk untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan yang akan
digemukkan dan akhirnya dipotong sebagai sumber penghasil daging, sehingga menggunakan
sapi-sapi indukan milik peternak rakyat/swasta dan sapi-sapi pejantan dari kelompok elit.
Potensi wilayah suatu daerah dalam menyediakan pakan, akan menjadi salah satu
pertimbangan utama dalam menentukan tingkat keunggulan sapi pejantan yang akan
digunakan di kelompok pengembang.

Pengaturan perkawinan dan model seleksi yang dilakukan di kelompok pengembang


(Gambar 8), adalah mengawinkan sapi indukan di peternak dengan sapi pejantan dari
kelompok elit. Anak-anak sapi yang dihasilkan diseleksi untuk dibagi menjadi tiga kelompok
sesuai performans kriteria seleksi yang digunakan : (a) performans sangat sampai bagus di
prioritaskan untuk dipertahankan (tidak dipotong) menjadi perbanyakan / pengganti sapi
pejantan/indukan ; (b) performans cukup bagus di arahkan menjadi sapi bakalan untuk
digemukkan, dan (c) performans jelek dikeluarkan dari populasi kelompok pengembang.
2.3. Kriteria Seleksi
Beberapa ciri-ciri tubuh luar sapi yang dapat langsung dilihat, dapat digunakan sebagai salah
satu kriteria awal atau kriteria pelengkap dalam melakukan seleksi, misalnya :
a. Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya. Sapi PO harus berwarna putih, sapi Madura
harus berwarna coklat, sapi Bali betina harus berwarna merah bata dan yang jantan saat telah
dewasa berwarna hitam (Gambar 2).
b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak.
c. Tingkat pertambahan dan pencapaian berat badan ternak pada umur tertentu yang tinggi.
d. Ukuran minimal tinggi punuk/gumba pada sapi potong calon bibit (indukan dan pejantan),
mengacu pada standar bibit populasi setempat, regional atau Nasional.

10

e. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat menurun, baik yang dominan (terjadi di sapi
yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi di sapi yang bersangkutan, tetapi
terjadi di sapi tetua dan atau di sapi keturunannya).
f. Untuk pejantan, testes sapi umur di atas 18 bulan harus simetris (bentuk dan ukuran yang
sama antara scrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran
terpanjangnya lebih dari 32 cm (3237 cm).
g. Kondisi sapi sehat yang ditunjukkan dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi
tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta
bebas dari penyakit menular terutama yang dapat disebarkan melalui aktifitas reproduksi.
Seleksi dapat dilakukan pada saat sapi umur sapih (205 hari), umur muda (365 hari) dan atau
umur dewasa (2 tahun), tergantung pada kriteria seleksinya. Untuk menentukan /
mendapatkan besaran patokan minimal suatu kriteria seleksi, dapat dihitung dari rata-rata
ukuran kriteria yang dimaksud di populasi (sapi dengan umur yang sama yang ada di daerah
sekitar peternak atau di populasinya), dan atau ditambah sedikitnya satu standar deviasi.

Contoh: cara perhitungan pada kriteria seleksi berat badan ternak:


rata-rata = total berat badan semua sapi yang ditimbang dibagi jumlah sapi yang ditimbang
= misalnya A kg dibagi B ekor = C kg
standar deviasi = akar dari ((A C) dibagi B) = misal D kg jadi, sapi yang dipilih pada
seleksi untuk dijadikan sapi bibit sumber, adalah yang minimal mempunyai berat badan
sebesar C + D kg.
Pengelolaan usaha perbibitan sapi potong tidak dapat dipisahkan dari manajemen
produksi bibit, karena tujuan usahanya adalah perbanyakan sapi dengan produk akhir berupa
sapi bibit (bukan bibit sapi). Untuk dapat mencapai hal tersebut, salah satu kunci pokok
yang berperanan di dalamnya adalah teknik perkawinannya.

11

Status fisiologis sapi yang digunakan sebagai modal awal usaha perbibitan, sebaiknya adalah
sapi betina siap bunting dan sapi jantan siap sebagai pejantan. Penentuan modal awal sapi ini
memang membutuhkan dana cukup besar, tetapi akan lebih murah dan lebih cepat
menghasilkan sapi bibit dibandingkan apabila dimulai dari sapi yang umurnya lebih muda.
Pemeliharaan sapi bibit sumber yang sudah terpilih secara morfologis (penampilan tubuh
luarnya) dan silsilah keturunannya

melalui kegiatan seleksi/penjaringan, adalah dimulai

dengan
pemeriksaan :
a. Kesehatan terhadap kemungkinan terserang/mengidap penyakit yang dapat ditularkan
melalui perkawinan

seperti Brucellosis, Leptospirosis, Enzootic Bovine Loucosis dan

Infectious Bovine Rhinotracheitis. Sapi pejantan harus bebas dari penyakit reproduksi,
minimal terhadap keempat penyakit tersebut.
b. Uji kualitas dan kuantitas produksi semen sapi pejantan dengan kriteria persyaratan : pH
6,2 7,0; warna minimal putih susu; konsistensi minimal sedang; gerakan massa ++ ; motil
minimal 70 %; konsentrasi di atas 100 juta/ml dengan jumlah sperma yang hidup di atas 70 %
dan yang mati di bawah 30 %.
Dalam memproduksi sapi bibit, harus dihindari terjadinya perkawinan keluarga (in
breeding), yaitu perkawinan antara induk dengan pejantan yang masih ada hubungan keturun
an yang sama. Telah banyak terbukti bahwa perkawinan keluarga akan memperbesar peluang
kemungkinan menghasilkan keturunan/anak dengan tampilan produksi yang rendah
(meskipun induk dan pejantannya terbukti mempunyai tampilan produksi yang tinggi) atau
bahkan cacat (mandul, kerdil, tidak sehat, dll).
Oleh karena itu di dalam usaha perbibitan sapi potong, usia produktif sapi (usia untuk
menghasilkan anak) induk maupun pejantan harus selalu dibatasi dan diawasi untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya anak yang telah dewasa mengawini/ dikawini oleh
salah satu orang tuanya. Disamping dilakukan pembatasan usia produktif, juga harus
diupayakan jumlah sapi (terutama yang induk) yang digunakan untuk menghasilkan sapi bibit
adalah cukup banyak, sehingga memperbesar pilihan sapi pejantan untuk mengawini sapi
induk yang ada.
Sapi pejantan ideal digunakan sebagai bibit sumber, dimulai pada umur sekitar 24
28 bulan yaitu ditandai dengan mulai intensifnya mengawini sapi-sapi betina, kemudian harus
sudah dikeluarkan sebagai pejantan pada umur sekitar 5 6 tahun. Untuk mempertahan kan
kemampuan maksimalnya agar mampu membuntingi sapi indukan, maka seekor sapi jantan
yang telah intensif menjadi seekor pejantan dapat digunakan untuk mengawini 10 15

12

indukan pada sistem perkawinan alam di kandang kelompok, atau 15 20 indukan per bulan
pada sistem perkawinan alam di kandang individu. Untuk produksi semen beku, seekor
pejantan dapat ditampung semennya 1- 2 kali per minggu.
2.4. Seleksi Pejantan Pada Sapi Melalui Kualitas dan Kuantitas Semen
Inseminasi buatan merupakan bioteknologi yang pertama diterapkan untuk
meningkatkan genetik dan reproduksi pada hewan ternak. Sejalan dengan perkembangan
waktu, penerapan IB melibatkan berbagai metode seperti pengelolaan pejantan dan koleksi
semen, evaluasi, preservasi serta inseminasi (Foote 2002). Selain itu keberhasilan IB juga
tidak lepas dari faktor betina, seperti deteksi estrus dan kontrol siklus estrus.

Untuk

menjaga kualitas genetik dan menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan maka perlu
dilakukan seleksi calon-calon pejantan sebelum digunakan atau dikoleksi semennya. Balai
inseminasi buatan Lembang mengelompokan pejantan dalam tiga kategori, yaitu proven bull
(keunggulan sudah terbukti berdasarkan produksi dari anak-anaknya), register bull
(keunggulan didasarkan pada catatan produksi (susu dan pertambahan berat badan) dari tiga
generasi diatasnya), serta performances bull (keunggulan berdasarkan tampilan individu
pejantan tersebut) (Tumbuh Agribisnis Indonesia 2008).
Sementara itu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) sapi perah Batu
Raden menerapkan seleksi berdasarkan; berat sapih (weaning weight), berat setahun
(yearling weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat,dengan metode seleksi
dilakukan secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat
melampaui salah satu kriteria tersebut di atas, akan disingkirkan sebagai calon pejantan elit
(BBPTU 2009).
Cara lain untuk seleksi atau melihat potensi pejantan yang biasa dilakukan di luar
negeri dengan menggunakan metode breeding soundness evaluation (BSE). Breeding
soundness evaluation

merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi

masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan. Breeding soundness evaluation atau
bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah dilakukan dan relative tidak mahal serta
sangat berguna untuk peternakan. Society for Theriogenology (SFT) menggunakan standar
BBSE yang diadopsi pada tahun 1993, empat katagori standar minimum yang harus dipenuhi
seekor pejantan, yaitu pemeriksaan kesehatan dan organ reproduksi secara umum, indeks
lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai umurnya, motilitas spermatozoa dan
morfologi spermatozoa (Alexander 2008).

13

Untuk dapat digunakan dalam program breeding, seekor pejantan harus melebihi
nilai minimum dari ketentuan yang ditetapkan.

Menurut Godfrey dan Dodson (2005),

minimum lingkar skrotum seekor sapi ditetapkan berdasarkan umur, dimana minimal
berukuran 30 cm pada umur 12-15 bulan, dengan morfologi spermatozoa normal sekurangkurangnya 70%, dan sedikitnya 30% spermatozoa memiliki motilitas progresif.

Lebih

lengkap lagi Alexander (2008) menguraikan batasan minimum BSE yang harus dipenuhi
seekor pejantan sapi adalah; lingkar skrotum, 30 cm (umur < 15 bulan), 31 cm (umur 15-18
bulan), 32 cm (umur 18-21 bulan), 33 cm (umur 21-24 bulan), dan 34 cm (> 24 bulan);
morfologi spermatozoa (= 70% spermatozoa normal); motilitas spermatozoa (= 30% motilitas
individu).
Fisiologi Semen
Semen terdiri atas sel spermatozoa (gamet jantan) dan campuran antara cairan seluler
dan sekresi-sekresi kelenjar asesoris (plasma seminalis) yang berasal dari saluran reproduksi
jantan (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa dibentuk didalam tubuli seminiferi testes dan
selanjutnya mengalami proses penyempurnaan untuk kemudian disimpan pada epididimis,
sedangkan plasma seminalis merupakan cairan dengan pH basa serta banyak mengandung
bahanbahan kimia yang diperlukan bagi spermatozoa. Karakteristik dan komponen kimia
dari beberapa hewan ternak tersaji dalam Tabel 1.
Morfologi Spermatozoa
Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri atas bagian kepala berbentuk datar
dan ekor yang mengandung mitokondria yang penting bagi pergerakan sel, dimana diantara
kepala dan ekor dihubungkan oleh bagian yang disebut leher (Garner & Hafez 2000)(Gambar
1). Komponen utama kepala adalah nukleus, yang tersusun atas kromatin, dengan 60%
bagian anterior kepala diliputi akrosom; bagian belakang kepala diliputi oleh tudung nuklear
(Salisbury et al. 1978) (Gambar 2). Hubungan antara anterior dan posterior disebut cincin
nuklear.

14

Dibagian tengah dan ekor dibagi menjadi tiga daerah. Dimulai dari bagian anterior
adalah bagian tengah, bagian yang lebih tipis adalah bagian utama ekor, dan bagian yang
sangat tipis merupakan bagian ujung. Bagian utama ekor, merupakan pusat metabolisme,
dihubungkan dengan bagian kepala spermatozoa dengan suatu segmen yang sangat pendek
yang disebut ekor.

Gambar 1 Struktur sel spermatozoa


sapi. Potongan melintang dari bagian
tengah,

utama

memperlihatkan

dan

ujung

serat-serat

axonema

yang dilapisi oleh mitokondria

pada

bagian tengah, pembungkus berserabut


pada

bagian

utama

dan

aksonema pada bagian ujung


(Sumber; Barth & Oko 1989)

serabut

15

Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi (Sumber; Saacke & Almquist
1964)
Kepala Spermatozoa
Pada hewan ruminan, kepala spermatozoa berbentuk oval, datar/flat, dengan nukleus
terdiri atas kromatin yang kompak.

Kromatin yang sangat padat mengandung

deoksiribonuklead asid (DNA) kromosom.

Jumlah kromosom yang terdapat pada

spermatozoa adalah haploid atau setengah dari jumlah DNA sel somatik pada spesies yang
sama, yang dihasilkan dari pembelahan miosis yang terjadi selama pembentukan spermatozoa
(Ball & Peters 2004).
Membran Plasma
Membran plasma atau disebut juga plasmalemma merupakan bagian yang
mengandung sedikit sisa sitoplasma dan meliputi seluruh permukaan spermatozoa dan
merupakan bagian luar spermatozoa juga berfungsi sebagai sebagai tempat keluar-masuknya
cairan seluler. Bagian utama membran spermatozoa terdiri atas lipoprotein yang tersusun
ganda (Gambar 3). Menurut Salisbury et al. (1978) membran plasma pada sapi mengandung
31.1% lipoprotein.
Pentingnya fungsi membran plasma pada spermatozoa dikarenakan keutuhan
membran plasma akan menjadi tolak ukur bagi keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan
sel telur. Menurut Colenbrander et al. (1992) kerusakan membran pada bagian tengah
spermatozoa akan menyebabkan produksi ATP terhenti sehingga spermatozoa tidak bisa
bergerak.

Sementara Flesch dan Gadella

(2000) menyatakan membran plasma akan

mengalami modifikasi sehingga menyebabkan spermatozoa menjadi lebih aktif atau yang
disebut dengan kapasitasi untuk proses fertilisasi.

16

Akrosom
Akrosom terletak pada bagian ujung anterior dari nukleus, yang menutupi
spermatozoa. Akrosom merupakan kantong membran dengan lapisan ganda, yang melapisi
nukleus selama tahap akhir pembentukkan spermatozoa, mengandung unsur-unsur enzim
yang penting, seperti akrosin, hialuronidase, dan berbagai enzim hidrolisis lain yang berperan
dalam proses fertilisasi. Pada akrosom terdapat bagian equatorial (equatorial segmen) yang
merupakan bagian akrosom yang penting dari spermatozoon, bagian ini terdapat di sepanjang
anterior dari daerah setelah akrosom (post acrosomal region), yang menginisiasi
penggabungan dengan membran oosit selama fertilisasi .
Ekor Sperma
Ekor spermatozoa terbagi atas bagian leher (neck), tengah (middle), utama (principal),
dan bagian ujung (end piece). Pada bagian tengah serta seluruh ekor terdiri atas aksonema.
Aksonema merupakan tersusun dari sembilan pasang mikrotubulus secara radial mengelilingi
dua pusat filamen. Di dalam bagian tengah ini tersusun 9+2 mikrotubulus yang di bagian
luar dibungkus oleh sembilan lapisan kasar atau serabut tebal yang berhubungan dengan
sembilan pasang aksonema (Garner & Hafez 2000). Selanjutnya aksonema dan serabut tebal
ini di bagian periper dilapisi oleh sejumlah mitokondria, yang merupakan sumber energi yang
diperlukan bagi spermatozoa untuk motilitasnya (Silva & Gadella 2006)
Bagian utama (principal piece) merupakan lanjutan dari annulus sampai
mendekatiujung ekor, dibagian tengahnya disusun oleh aksonema yang berhubungan dengan
serabut tebal. Selanjutnya bagian ujung ekor (end piece), merupakan bagian posterior dari
pembungkus berserabut, yang terdiri hanya bagian aksonema yang dibungkus oleh membran
plasma (Ball & Peters 2004).

Protoplasmik atau sitoplasmik droplet biasanya dilepaskan

17

pada saat spermatozoa diejakulasikan, yang merupakan sisa sitoplasma.

Pada beberapa

spesies, abnormal ejakulasi spermatozoa, droplet dapat tertahan didaerah leher sering disebut
proksimal droplet, dan pada bagian yang mendekati annulus disebut distal droplet (Garner &
Hafez 2000).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa
Tingginya persentase abnormalitas spermatozoa dapat berpengaruh terhadap
peningkatan fertilitas (Al-Makhzoomi 2008). Abnormalitas spermatozoa merupakan kelainan
struktur spermatozoa dari struktur normal yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
lingkungan, genetik atau kombinasi dari keduanya (Chenoweth 2005).
Faktor Lingkungan
Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan sekitar. Miller et

al. (1982) menemukan adanya peningkatan abnormalitas

spermatozoa jenis diadem diakibatkan oleh obat-obatan, ketidak seimbangan hormonal dan
stress. Sementara Barth dan Oko (1989) menemukan kurangnya pakan dan keadaan iklim
yang terlalu ekstrim dapat berpengaruh terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa
tersebut. Sedangkan Dada et al. (2001) juga menemukan adanya peningkatan abnormalitas
spermatozoa thick coiled tail, amorphous head, pinpoint head, narrow, dilated midpiece dan
short thick tail pada orang-orang yang bekerja dengan temperatur tinggi.
Faktor Genetik
Menurut Chenoweth (2005), ada beberapa katagori kelainan spermatozoa bersifat
genetik yaitu, kelainan pada akrosom (KA defect, ruffled dan incomplete acrosome), kepala
(abnormal DNA condensation, decapitated (disintegrated) sperm defect, round head, rolledhead, nuclear crest, dan giant head syndrome), kelainan pada midpiece (dag, pseudo-droplet,
dan corkscrew midpiece defect) dan kelainan pada ekor spermatozoa (coiled tails, tail stump
defect, dan primary ciliary dyskinesia (immotile cilia syndrome)).
Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi
Pada dasarnya analisis semen bertujuan mengukur kemampuan pejantan dalam
menghasilkan semen yang berkualitas. Beberapa analisis tersebutdiantaranya adalah; 1)
Kapasitas produksi semen seekor pejantan yang biasanya digambarkan dengan pengukuran
lingkar skrotum atau melalui pengukuran volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa, 2)
Viabilitas spermatozoa yang diukur melalui pengamatan motilitas, rasio hidup/mati. Pada
kasus semen beku umumnya diamati persentase tudung akrosom utuh, dan 3) Persentase
spermatozoa yang memiliki struktur anatomi normal (morfologi), dimana parameter ini
secara umum akan saling berhubungan (Barth & Oko 1989). Untuk mengetahui bagaimana

18

batasan struktur normal dan abnormalitas spermatozoa, Barth dan Oko (1989),
menyimpulkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh William pada tahun 1920 dan
Lagerlof pada 1934, yaitu ; 1) Ukuran kepala spermatozoa dari pejantan-pejantan yang
mempunyai fertilitas yang baik benarbenar seragam, 2) Pada pejantan-pejantan yang
mempunyai tingkat abnormalitas >17%
tidak mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi, dan 3) Jumlah yang diijinkan bagi
abnormalitas spermatozoa dalam satu ejakulat bergantung besarnya jenis abnormalitas yang
ada. Hubungan antara abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik faktor eksternal dan internal.
Adanya pengaruh faktor eksternal terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa
harus dapat

dikendalikan dan ditangani. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

abnormalitas spermatozoa diantaranya adalah teknik penampungan. Penelitian yang


dilakukan oleh Arifiantini dan Ferdian (2004) menemukan bahwa koleksi semen dengan
teknik masase pada kerbau lumpur menghasilkan abnormalitas spermatozoa sebesar 31.86%.
Pengaruh faktor internal yang mempengaruhi fertilitas dapat dikontrol ketika melakukan
analisis semen di laboratorium. Hal ini dimaksudkan agar dapat semakin meningkatkan
kualitas spermatozoa yang akan digunakan dalam program breeding.
Abnormalitas sel spermatozoa dapat terjadi pada saat pem bentukkan spermatozoa
dan selama penanganan semen (baik selama dan setelah koleksi). Abnormalitas spermatozoa
dapat dihasilkan oleh kegagalan proses spermatogenesis atau spermiogenesis yang
disebabkan faktor genetik, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Selain itu juga
dapat disebabkan karena penanganan semen yang tidak benar.

Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk melihat tingkat abnormalitas spermatozoa yang terdapat pada beberapa sapi
pejantan (Tabel 2). Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa, yang apabila tinggi ditemukan
pada satu individu akan berpengaruh besar terhadap tingkat fertilitas individu tersebut, seperti
pada abnormalitas inti aneuploid, kandungan gen yang abnormal atau perubahan struktur,
dapat menurunkan fertiltas pejantan dan masih belum dapat diketahui melalui pengamatan
secara morfologi (Salisbury et al. 1978).

19

Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti maupun


laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa terbagi dalam dua
katagori, yakni berdasarkan sekuen proses proses pembentukan spermatozoa (primer dan
sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas.
Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat
spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi. Pengelompokkan
kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap fertilitas jantan tersebut.
Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas, sebaliknya kelainan yang bersifat
minor dampaknya kecil pada fertilitas.
Sementara itu Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke dalam
tiga katagori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan
akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan
pada ekor). McPeake dan Pennington (2009), mengelompokkan abnormalitas dalam dua
katagori, yaitu primer (yang meliputi abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas
midpiece dan tightly coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan
ekor yang membengkok).
Pada pejantan sapi potong dan perah, kuda , rodensia (dasyprocta leprorina) ,
ruminansia kecil (capricornis sumatraensis) , anjing , dan sterlet (golongan ikan) . Pada
beberapa ternak, morfologi spermatozoa yang abnormal telah banyak dilaporkan akan
mempengaruhi fertilitas. Spermatozoa yang abnormal kemungkinan tidak dapat digunakan
untuk membuahi oosit.

Menurut Salisbury et al. (1978) kemampuan membuahi seekor

pejantan tergantung perbandingan antara spermatozoa normal dan abnormal dalam semen,
akan tetapi penurunan fertilitas tidak selalu berhubungan dengan morfologi abnormal
spermatozoa.

Beberapa kelainan abnormalitas spermatozoa dapat ditemukan dalam satu

20

ejakulat dan telah diinterpretasikan berbeda-beda antar peneliti dan laboratorium, demikian
juga untuk tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas.
Berbagai kemungkinan morfologi abnormalitas primer dapat ditemui dalam
melakukan pengamatan morfologi. Adapun abnormalitas morfologi primer yang mungkin
teramati meliputi tapered head, micro dan macrocephalic, head less, amorphous, double
head, dan immature sperm ,selain itu jenis abnormalitas kepala lainnya dapat pula teramati
seperti underdeveloped, knobbed acrosome defect, diadem defect, pearshape, narrow at the
base, narrow, abnormal contour, detached head, dan abaxial implantation.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Seleksi adalah tindakan memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan
membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam
melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih,
bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut.
Untuk dapat mencapai tujuan akhir dari seleksi, diperlukan adanya beberapa tahapan
seleksi, yaitu meliputi : seleksi untuk pembentukan kelompok dasar (foundation stock),
seleksi untuk pembentukan kelompok inti (nucleus) dan seleksi untuk pembentukan
kelompok pengembang (breeding stock).

21

Beberpa metode seleksi pejantan yaitu berat sapih (weaning weight), berat setahun
(yearling weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat,dengan metode seleksi
dilakukan secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat
melampaui salah satu kriteria tersebut di atas, akan disingkirkan sebagai calon pejantan elit.
Breeding soundness evaluation

merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan.

Breeding

soundness evaluation atau bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah dilakukan dan
relative tidak mahal serta sangat berguna untuk peternakan. Society for Theriogenology (SFT)
menggunakan standar BBSE yang diadopsi

pada tahun 1993, empat katagori standar

minimum yang harus dipenuhi seekor pejantan, yaitu pemeriksaan kesehatan dan organ
reproduksi secara umum, indeks lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai
umurnya, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa
3.2. Daftar Pustaka
Affandhy,L., P. Situmorang, D.B. Wijono, Aryogi dan P. . Prihandini. 2002. Evaluasi dan
alternatif pengelolaan

reproduksi usaha ternak sapi potong pada konsisi lapang.

Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong.


Affandhy,L., D. Pamungkas. A. Rasyid dan P. Situmorang. 2003.Uji fertilitas semen cair dan
beku pada pejantan sapi potong lapang. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi
Potong.
Arifianini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Pengujian morfologi Spermatozoa Sapi Bali
(Bos Sondaicus) Menggunakan Pewarnaan Williams Jurnal Pengembangan Peternakan
Tropis. 31 (2) : 105-110
Ax RL et al. 2000. Semen Evaluation. Di dalam : Hafez ESE, Hafez B. Editor. Reproduction
in Farm Animal. 7 th ed. USA : Lippincot Wiliams dan Wilkins
Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of bovine spermatozoa. lowa.State
University Press Ball,P.J.H.& A.R.Peters. 2004. Reproduction in Cattle 3 rd ed. UK :
Blackwell Publishing
Bestari, J., A.R. Siregar, P. Situmorang, Yulvian, S. dan Razali H. Matondang. 2000.
Penampilan reproduksi sapi induk peranakan Limousin, Charolais, Draughmaster dan
Hereford pada program IB di kabupaten Agam provinsi Sumatera Barat. Proc. Seminar
nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pulitbangnak. Bogor
Chenoweth PJ. 2005. Genetic Sperm Defect. Theriogenology 64 : 457-468
Den Daas, N. 1992 . Laboratory assessment of semen characteristics. Anint . Prod Sci. 28 :
87-94.

22

Fuou A Y . 1980 . Applied Animal Reproduction . Reston Publishing Co, htc. Prentice Hall
Co. Reston Virginia .
Hafez, E.S .E . 1980. Reproduction in Farm Animal. 4th Ed. Lea Febiger.Philadelphia.
Hedah, D. 1992 . Peranan Balai lseminasi Buatan Singosari dalam meningkatkan mutu sapi
madura melalui inseminasi buatan . Proc . Pertemuan llmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura . Sub Balai Penelitian Temak Grati, Pasuruan ..
Makhzoomi A, Lundehim N, Haard M, Rodriguez-Martinez H. 2007. Sperm morphology and
fertility of progeny-tested AI Swedish dairy bull. J. of Anim and Vet. Advances 8:975980
Partodihadjo, S. 1982 . Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta.
Putu, I.G., P. Situmorang, M. Winugroho dan T.D. Chaniago. 2000. Stategi pemeliharaan
pedet dalam rangka meningkatkan performans produksi dan reproduksi. Proc.
Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor.
Salisbury, G.W., N.C . Vandermark, dan R. Djanuar. 1985 . Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan Pada Sapi . Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
Vandeplasscfir, M. 1982 . Reproductive Efficiency in cattle : A Guideline for Project in
Developing Countries. FAO . Rome.
Wijono D.B ., Komarudin-Masuni, L. Affandy, dan A. Rasyid. 1995 . Peranan skor kondisi
badan dan berat badan terhadap elisiensi penggunaan pejantan sapi potong sebagai
sumber semen yang optimal. Pros . Pertemuan 11miah Komunikasi dan penyaluran
Hasil Penelitian . Sub Balitnak Klepu. Semarang.
TUGAS MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI DAN INSEMINASI BUATAN
Seleksi Pejantan Sapi Potong

23

Nama Kelompok :

Reski Maulidina/A/1051301
Dimas Rizky E P/A/105130100111038
Sukarno Wahyu/A/105130100111025
Ria Restu Wardhani/A/1051301
Nurfildzha Wafeta Abharia/A/

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

Anda mungkin juga menyukai

  • Kawasan Konservasi
    Kawasan Konservasi
    Dokumen10 halaman
    Kawasan Konservasi
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Interna 1
    Interna 1
    Dokumen13 halaman
    Interna 1
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Balantidiasis
    Balantidiasis
    Dokumen5 halaman
    Balantidiasis
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Badan Hukum
    Badan Hukum
    Dokumen16 halaman
    Badan Hukum
    fajar
    Belum ada peringkat
  • Anjing
    Anjing
    Dokumen2 halaman
    Anjing
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • VAKSIN
    VAKSIN
    Dokumen9 halaman
    VAKSIN
    darconababan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen8 halaman
    Daftar Isi
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Wisma Nusa Indah
    Wisma Nusa Indah
    Dokumen2 halaman
    Wisma Nusa Indah
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • BAKRAB Hygiene Daging
    BAKRAB Hygiene Daging
    Dokumen2 halaman
    BAKRAB Hygiene Daging
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Soal Hamster
    Soal Hamster
    Dokumen1 halaman
    Soal Hamster
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Biosurfaktan
    Biosurfaktan
    Dokumen4 halaman
    Biosurfaktan
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Mastitis
    Mastitis
    Dokumen2 halaman
    Mastitis
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Pseudomonas. SPP
    Pseudomonas. SPP
    Dokumen1 halaman
    Pseudomonas. SPP
    WulanApriani
    Belum ada peringkat
  • Bovine Mastitis
    Bovine Mastitis
    Dokumen7 halaman
    Bovine Mastitis
    Irina Natalena Osanti
    Belum ada peringkat
  • Curriculum Vitae Dimas
    Curriculum Vitae Dimas
    Dokumen1 halaman
    Curriculum Vitae Dimas
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat
  • Bismillah PKM Fix Print
    Bismillah PKM Fix Print
    Dokumen14 halaman
    Bismillah PKM Fix Print
    Dimas Rizky Eerste Putra
    100% (2)
  • Farmako Laxative
    Farmako Laxative
    Dokumen7 halaman
    Farmako Laxative
    Dimas Rizky Eerste Putra
    Belum ada peringkat