Lalu lintas MMS di atas merupakan kondisi saat ini di mana tarif MMS masih
gratis sehingga hal itu sangat dimungkinkan akan semakin turun saat dikenai tarif.
Data yang dilansir Ovum, salah satu perusahaan konsultan dan survei,
diperkirakan bahwa sekitar tahun 2006 jumlah pengguna SMS dunia akan mulai
menurun (dari sekitar 1.000 miliar per tahun), sementara pengguna MMS akan
naik tajam (berkisar 350 miliar pesan per tahun) pada tahun yang sama. Dan,
sekitar 3-4 tahun kemudian dimungkinkan akan memiliki jumlah yang sama.
Namun, apakah hal itu akan terjadi di Indonesia dalam kisaran waktu tersebut?
Salah satu strategi yang diusulkan dalam mendorong peningkatan revenue melalui
layanan MMS ini adalah dengan menghadirkan berbagai aplikasi yang dapat
memicu penggunaan MMS sehingga kita akan memiliki justifikasi bahwa
implementasi MMS ini bukan sekadar untuk menjaga gengsi saja yang pada
gilirannya dapat menjadikan kita sebagai korban teknologi. Tapi, implementasi
teknologi ini memang layak dilakukan karena memang memiliki tuntutan yang
tinggi.
Saat ini kita sudah dapat mendapatkan berbagai ponsel ber-MMS dengan kisaran
harga Rp 1,5 juta, dan tampaknya industri ponsel dan industri yang tergolong
teknologi komunikasi dan informasi telah mencapai skala ekonominya sehingga
biaya yang timbul akan semakin murah seiring dengan perkembangan waktu.
Namun anehnya tarif telepon tetap terus naik. Dengan demikian, diharapkan tidak
lama lagi akan tersedia banyak ponsel MMS yang terjangkau masyarakat luas.
Hadirnya MMS bersamaan dengan beberapa fasilitas barunya menjadikan kita
dapat membuat berbagai aplikasi yang lebih menarik.
Ada banyak aplikasi yang dapat dibangun dengan menggunakan platform MMS,
antara lain aplikasi telemetri. Kalau sebelumnya kita hanya mendapatkan
informasi berupa teks jika menggunakan SMS sebagai medianya, misalnya data
temperatur mesin, sekarang dapat juga mendapatkan informasi berupa grafik
mengenai perubahan temperatur dalam periode tertentu.
MMS juga dapat dimanfaatkan untuk aplikasi monitoring. Salah satu aplikasi yang
dikembangkan oleh perusahaan lokal Jaya I-net adalah mengombinasikannya
dengan kamera CCTV. Jika kamera tersebut terpasang di rumah, tempat penitipan
anak, atau jalan raya, dengan menyambungkannya pada sebuah server berupa
komputer sederhana, maka kapan pun Anda dapat mengetahui informasi keadaan
rumah, kondisi anak di tempat penitipan anak, maupun kondisi lalu lintas jalan
raya yang tidak hanya berupa teks informasi, namun juga gambar atau foto yang
akan dikirimkan secara otomatis ke ponsel melalui MMS. Dan jika sedang di
kantor, kita bisa mengakses server tersebut melalui jaringan Internet.
Saat ini teknologi komunikasi yang juga sedang marak adalah teknologi Wireless
Fidelity atau yang sering banyak orang kenal sebagai Wireless LAN. Di Indonesia
mungkin memang baru mulai berkembang dengan munculnya beberapa lokasi
akses atau yang sering disebut Hot Spot yang kemudian dipadukan dengan
teknologi seluler sebelumnya, yaitu GPRS. Dengan demikian, pada area di luar Hot
Spot orang akan menggunakan akses GPRS untuk akses Internet mereka, namun
secara otomatis akan berganti ke koneksi W-LAN begitu memasuki Hot Spot yang
menawarkan kecepatan sampai 512 Kbps.
Pertanyaannya sekarang apakah pembangunan Hot Spot di banyak tempat
memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan dan dapatkah tawaran berbagai
layanan baru tersebut mendorong pertumbuhan profit? Saat ini sudah waktunya
bagi kita untuk tidak hanya memperhatikan ARPU (average revenue per user)
untuk mengetahui kinerja operator, namun lebih tepat kalau kita memperhatikan
AMPU (average margin per user) karena dimungkinkan bahwa ARPU-nya naik,
namun setelah dikurangi dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan
layanan tersebut ternyata biayanya lebih besar dibanding revenue yang didapat.
Begitu pula sebaliknya, jika ARPU turun apakah sudah pasti perusahaan tersebut
rugi? Belum tentu! Karena dimungkinkan terjadi akibat meledaknya pengguna
kartu prabayar yang kontribusi revenue setiap penggunanya rendah. Dan, karena
jumlahnya yang banyak, maka akan mempengaruhi hasil rata-ratanya, di mana
bilangan pembaginya menjadi besar padahal dengan hadirnya teknologi tinggi,
biaya implementasi menjadi turun.
Dengan demikian, sekalipun ARPU-nya rendah, namun selama masih lebih besar
dibandingkan biaya rata-rata yang dibutuhkan, operator tersebut masih akan
untung. Oleh karena itu, tujuannya tidak sekadar peningkatan ARPU, misalnya
dengan cara menghadirkan berbagai layanan baru, tetapi perlu diperhatikan juga
apakah biaya implementasi layanan tersebut seimbang dengan kenaikan revenuenya. Tampaknya kehadiran beragam layanan data yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan ARPU, tidak menjamin peningkatan profit mereka.
Karena itu, banyaknya teknologi baru yang hadir memerlukan kecermatan dalam
memilih teknologi mana yang dapat diserap pasar. Kalau tidak, kita hanya akan
tetap menjadi pasar teknologi yang empuk bagai para pemain asing dan secara
ekonomis kita tidak mendapatkan keuntungan darinya.
Apabila diasumsikan biaya investasi untuk layanan MMS sebesar 1 juta dollar AS,
jika tingkat pengembalian modal selama 5 tahun dengan tarif Rp 350, maka
dibutuhkan trafik setiap harinya sekitar 15.000 MMS. Jadi, agar teknologi ini bisa
diserap oleh pasar, seharusnya MMS diberikan tarif layaknya SMS dan fokus
dilakukan dengan mendorong pertumbuhan trafik yang salah satunya melalui
aplikasi. Banyaknya jumlah ponsel ber-MMS dengan harga yang terjangkau
banyak kalangan, khususnya pengguna terbesar SMS/MMS yaitu kelompok muda,
maka jumlah 15.000 per hari adalah jumlah yang sangat kecil. Dengan demikian,
tidak lama lagi MMS akan dapat menggantikan SMS sebagai penghasil revenue
terbesar bagi operator setelah layanan suara.