Anda di halaman 1dari 6

INERSIA UTERI

1.

PENDAHULUAN
Ada 3 faktor penting yang memegang peranan pada persalinan, yaitu : 1) kekuatan-

kekuatan yang yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan mengedan; 2) keadaan jalan
lahir; 3) janin itu sendiri. Kelainan pada salah satu faktor dapat menyebabkan timbulnya distosia,
yakni : persalinan yang sulit. His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
rintangan pada jalan lahir, sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan. Kelainan
dalam ukuran atau bentuk jalan lahir juga bisa menghalangi kemajuan persalinan atau
menyebabkan kemacetannya. Persalinan juga dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena
kelainan dalam letak dan bentuk janin.

2.

HIS NORMAL
His yang normal/adekuat adalah his yang mempunyai sifat-sifat makin lama makin kuat,

makin sering, makin lama dan ritmis. Dimulai pada inpartu yaitu dengan interval 9-10 menit
dengan lama sekitar 20 detik dengan kekuatan sedang , yang makin lama makin pendek
intervalnya sehingga pada Kala II menjadi setiap 2-4 menit dengan lama 60 detik dengan
kekuatan yang kuat (50-60 mmHg) sehingga pada waktu his uterus teraba keras seperti papan.
Apabila ada kelainan pada kekuatan his, maka akan dapat mengganggu/mempengaruhi
persalinan. Salah satu dari kelainan his tersebut adalah inersia uteri.

3.
3.1.

INERSIA UTERI
Definisi
Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk melakukan

pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Sifat his biasa, yaitu kontraksi fundus lebih
kuat dan lebih dulu daripada bagian lain dan peranan fundus tetap menonjol, tetapi kekuatannya
lemah dan frekuensinya jarang.

3.2.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Sebab pasti dari kelainan his ini sampai saat ini belum jelas. Diduga kelainan ini dapat

disebabkan antara lain : multipara, kelainan letak janin, disproporsi sefalopelvik, kehamilan
ganda, hidramnion, uterus bikornis unikolis. Sedangkan factor resiko dari inersia uteri antara
lain: anemia, hidramnion, grande multipara, primipara, pasien dengan emosi kurang baik.

3.3.

Klasifikasi
Inersia uteri dibagi atas inersia uteri primer dan inersia uteri sekunder. Inersia uteri primer

terjadi pada awal fase laten, dari permulaan his tidak adekuat. Sedangkan inersia uteri sekunder
terjadi pada fase aktif atau kala I dan kala II, pada permulaan his baik tetapi pada keadaan lebih
lanjut terjadi inersia uteri.
Inersia uteri juga dapat diklasifikasikan atas inersia uteri hipotonik dan inersia uteri
hipertonik. Inersia uteri hipotonik adalah suatu keadaan dimana his lemah namun masih
terkoordinasi dengan kekuatan 15 mmHg, kurang sering dan pada puncak his dinding rahim

masih bisa ditekan kedalam. Pada kelainan ini asfiksia anak jarang terjadi dan responsif terhadap
oksitosin. Biasanya terjadi pada fase aktif (sekunder). Sedangkan pada inersia uteri hipertonik
hisnya sudah tidak terkoordinasi, yang bersifat hipertonik sehingga pasien biasanya sangat
kesakitan atau disebut juga inersia spastis. Dapat mengakibatkan fetal distress pada anak, tidak
begitu respon terhadap oksitosin, sangat responsif dengan sedative. Biasanya terjadi pada fase
laten (primer).

3.4.

Gejala Klinis
Pada inersia uteri hipotonik, sakit yang dirasakan pasien tidak terlalu kuat dan pada

pemeriksaan abdomen tidak ditemukan kontraksi yang adekuat yang bisa menyebabkan
kemajuan persalinan. Hal ini dapat diketahui dengan bertambahnya pembukaan serviks uteri dan
penipisan serviks. Dan bila dilakukan pengecekan dengan CTG tampak amplitudo his rendah dan
frekuensi his jarang demikian pula lamanya his untuk satu kali his tersebut sebentar saja.
Sedangkan pada inersia uteri hipertonik, kontraksi uterus (his) dirasakan kuat oleh
penderita dan malah tidak jarang penderita mengeluh sakit di ari-ari dan pinggang yang
berlebihan. Pada pemeriksaan abdomen uterus tersebut keras saat kontraksi lebih-lebih di puncak
his. Akibat his yang kuat tersebut menyebabkan kemajuan persalinan yang ditandai dengan
kemajuan pembukaan dan penipisan serviks uteri. Keadaan ini bila dipantau dengan CTG
tampak gambaran kurva his yang mempunyai amplitudo yang tinggi, lama his bertambah, dan
frekuensi his juga bertambah.
Pada inersia hipertonik kontraksi uterus sangat kuat tapi masih ada masa relaksasi. Bila
tidak ada masa relaksasinya, keadaan ini disebut incoordinate uterine action. Pada keadaan ini,

hisnya sangat kuat sekali tanpa ada fase relaksasi. Keadaan ini akan sangat membahayakan janin
oleh karena vaskularisasi utero plasenter terganggu.

3.5.

Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini pemeriksaan penunjang yang terpercaya adalah cardiotocograph (CTG),

yaitu suatu alat yang dapat merekam kontraksi dari uterus sekaligus juga merekam denyut
jantung janin. Pada awalnya dulu pemantauan his dilakukan dengan memasang balon dalam
rongga rahim dimana balon tersebut dihubungkan dengan manometer.

3.6.

Penatalaksanaan
Setelah diagnosis inersia uteri ditetapkan, harus diperiksa keadaan serviks, presentasi

serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan keadaan panggul. Kemudian harus
disusun rencana menghadapi persalinan yang lamban ini. Apabila ada disproporsi sefalopelvik
yang berarti, sebaiknya diambil keputusan untuk melakukan seksio sesarea. Apabila tidak ada
disproporsi atau ada disproporsi ringan dapat diambil sikap lain.
Keadaan umum penderita diperbaiki dan kandung kencing serta rectum dikosongkan.
Apabila kepala atau bokong janin sudah masuk ke dalam panggul, penderita disuruh berjalanjalan. Tindakan sederhana ini kadang-kadang menyebabkan his menjadi kuat, dan selanjutnya
persalinan berjalan lancar.
Pada waktu pemeriksaan dalam, ketuban boleh dipecahkan. Memang sesudah tindakan
ini persalinan tidak boleh berlangsung terlalu lama, namun hal tersebut dapat dibenarkan oleh
karena dapat merangsang his, dan dengan demikian mempercepat jalannya persalinan.

Kalau diobati dengan oksitosin, 5 satuan oksitosin dimasukkan ke dalam larutan glukosa
5% dan diberikan secara infuse intravena dengan kecepatan kira-kira 12 tetes per menit, yang
perlahan-lahan dapat dinaikkan sampai kira-kira 50 tetes, tergantung pda hasilnya. Kalau 50 tetes
tidak membawa hasil yang diharapkan, maka tidak banyak gunanya untuk memberikan oksitosin
dalam dosis yang lebih tinggi. Bila infuse oksitosin diberikan, penderita harus diawasi dengan
ketat dan tidak boleh ditinggalkan. Kekuatan dan kecepatan his, keadaan dan denyut jantung
janin harus diperhatikan dengan teliti.
Infus harus dihentikan kalau kontraksi uterus berlangsung lebih dari 60 detik, atau kalau
denyut jantung janin menjadi cepat atau menjadi lambat. Menghentikan infuse umumnya akan
segera memperbaiki keadaan. Sangat berbahaya untuk memberikan oksitosin pada panggul
sempit dan pada adanya regangan segmen bawah uterus. Demikian pula oksitosin jangan
diberikan pada grande multipara dan kepada penderita yang telah pernah mengalami seksio
sesarea atau miomektomi, karena memudahkan terjadinya ruptura uteri. Pada penderita dengan
partus lama dan gejala-gejala dehidrasi dan asidosis, di samping pemberian oksitosin dengan
jalan infus intravena, gejala-gejala tersebut perlu diatasi.
Maksud pemberian oksitosin ialah memperbaiki his, sehingga serviks dapat membuka.
Satu ciri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya tampak dalam waktu singkat.
Olehkarena itu tak ada gunanya untuk memberikan oksitosin berlarut-larut. Sebaiknya oksitosin
diberikan beberapa jam saja; kalau ternyata tidak ada kemajuan, pemberiannya dihentikan,
supaya penderita dapat beristirahat. Kemudian dicoba lagi untuk beberapa jam; kalau masih tidak
ada kemajuan, lebih baik dilakukan seksio sesarea.

Oksitosin yang

diberikan dengan suntikan intramuskuler dapat menimbulkan

incoordinate uterine action. Tetapi ada kalanya terutama dalam kala II, hanya diperlukan sedikit
penambahan kekuatan his supaya persalinan dapat diselesaikan. Di sini sering kali 0,5 satuan
oksitosin intramuskulus sudah cukup untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oksitosin
merupakan obat yang sangat kuat, yang dahulu dengan pemberian sekaligus dalam dosis besar
sering menyebabkan kematian janin karena kontraksi uterus terlalu kuat dan lama, dan dapat
menyebabkan pula timbulnya ruptura uteri. Pemberian intravena dengan jalan infus (intravenous
drip) yang memungkinkan masuknya dosis sedikit demi sedikit telah mengubah gambaran ini,
dan sudah pula dibuktikan bahwa oksitosin dengan jalan ini dapat diberikan dengan aman
apabila penentuan indikasi, pelaksanaan dan pengawasan dilakukan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai