Anda di halaman 1dari 51

1

GENERAL ANESTESI
PADA SINUSITIS DAN POLIP

STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Anamesa Pribadi
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status Perkawinan
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal MRS
No. RM
1.2 Anamnese
Anamnese Penyakit

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Abdul Kadir Hasibuan


61 thn
Laki-laki
Menikah
Islam
PNS
21 Agustus 2013
20.36.77

Keluhan Utama

: Bersin dan hidung tersumbat

Telaah

: Os datang dengan keluhan bersin-bersin dan

hidung tersumbat. Sejak 1 tahun yang lalu.


RPT : ( - )
RPO

:(-)

RPK

:(-)

1.3 Pemeriksaan Fisik


a.

Status present

Keadaan umum
Kesadaran

: Compos mentis

Tensi

: 140/90 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 37 C

Berat Badan

: 70 kg

Tinggi Badan

: 170 cm

b.

Pemeriksaan umum

Kepala

: bentuk normocephali

Mata

: anemi -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-, pupil isokor,
3mm, reflek cahaya +/+.

Mulut

: stomatitis (-), hiperemi faring (-), pembesaran tonsil (-)

Leher

: JVP 2cm H2O ( dalam batas normal ), pembesaran KGB (-),

Thorax

: suara pernafasan vesikular (+) , ST(-),

Abdomen

: soepel, peristaltik (+) .

Ekstremitas

: tidak ada kelainan

c. Status lokalis tumor

Regio Thoraks

Inspeksi

: tampak payudara kiri dan kanan simetris

Palpasi

: stem fremitus paru kanan dan kiri sama

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi

: suara pernafasan vesikuler, suara tambahan (-)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium
Darah Rutin

HB

: 12,2. g/dL

HT

: 38,7 %

Leukosit

: 12.400 /L

Trombosit

: 225.000 /L

Eritrosit

: 5.4 10^6/ L

Index Eritrosit
MCV

: 71.3 fL

MCH

: 22.4 pg

MCHC

: 31,5 %

Hitung Jenis Leukosit


Neutrofil

: -

Seg : 85 %

Stab : 0 %

Limfosit

: 36 %

Monosit

: 4%

Eosinofil

:1%

Basofil

:0%

LFT :
Bilirubin Total : 0.97 mg/dL
Bilirubin Direk :0.82 mg/dL
SGOT : 15 U/I
SGPT : 28 U/I
RFT :

Ureum : 33 mg/dL
Kreatinin : 0.66 mg/dL
Metabolik
GDS

: 136 mg/dl

EKG

: Tidak diperiksa

Radiologi

: Tidak diperiksa

1.5 Diagnosis
Diagnosa : Sinusitis dan polip
1.6 Rencana Tindakan
Tindakan

: Funtion Endoscopy Sinusitis Surgery (FESS)

Anesthesi

: GA-ETT (General Anestesi Endo Tracheal Tube )

PS-ASA

:1

Posisi

: Supinasi

Pernafasan

: Di kontrol dengan ventilator

LAPORAN OPERASI

1.7 Diskusi Penatalaksanaan


A. Pre-Operatif
Pada malam tanggal 20 Agustus 2013, dokter anastesi yang bertanggung
jawab mengunjungi pasien yang akan di operasi guna mengetahui kondisi
terakhir pasien
B. Durante operatif
Lama Anestesi: 14.20 16.20
Lama Operasi : 14.30 16.15
Jumlah cairan :
-PO

: RL 500 cc

-DO

: RL 1000 cc

Produksi Urin : tidak terpasang kateter


Perdarahan

: 50cc

- Kasa basah

: 10 cc x 2 = 20 cc

- Kasa basah

: 5 cc x 6 = 30 cc

- Suction

:-

EBV : (70) x BB
= 70 x 70 kg = 4900 cc
10 % 490 cc
20% 980 cc
30% 1470 cc
C. Post Operatif
B1 ( Breath)

- Airway

: clear

- RR

: 13 x/mnt

- SP

: vesikuler ka=ki

- ST

: (-) ronchi, wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing (-/-/-)

- SpO2

: 97-100%

B2 ( Blood)
- Akral : Hangat/Merah/Kering
- TD

: 147/101 mmHg

- HR

: 78 x/menit, reguler

- t/v

: kuat/cukup

B3 (Brain)
- Sensorium : Compos Mentis
- Pupil : isokor, ka=ki 3mm/3mm, RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
- Kateter tidak terpasang
B5 (Bowl)
- Abdomen : soepel
- Peristaltik : normal (+)
- Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
- Oedem : (-)
1.8. Obat obatan
Premedikasi

10

Midazolam (0,05-0,1mg/kgBB) = 50 mg

Fentanyl (1-3 g/kgBB) = 100 g

Induksi

Propofol (2-2,5mg/kgBB) =100 mg

Relaxant

Rocuronium (0,6-1,2 mg/kgBB) =50 mg

Analgetik

As. Traneksomat 500 mg

Medikasi Lain - lain

Ranitidin 50 mg

Deksamethasone 10 mg

SA 0,75 mg

Prostigmin 1,5 mg

PERAWATAN PASIEN SETELAH OPERASI


Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien
pulih dari anestesi dan kesadaran pasien sudah pulih, serta vital sign stabil, pasien
dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran pasien bernafas lewat mulut, O2 2-4 L/I
nasal canule lewat mulut, posisi tidur miting ke kanan atau ke kiri bila ada secret
atau darah keluarkan dari mulut atau suction (k/p), diet M II 1800 kkal/hari dan
protein 60gr/hari, dan tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.
IVFD RL s/s dex 5% 30 gtt/i
Inj. Fentanyl 25 mg IV

11

Inj. Ketorolac 30mg/8 jam IV selama 2-5 hari


Inj. Dexamatason 5mg/6 jam IV
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Acc pindah ruangan bila Aldert score 9

12

BAB 1
PENDAHULUAN

Manusia memiliki sekitar 12 rongga disepanjang atap dan bagian


lateral kavum nasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam
beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut,
yaitu

sinus

maksilaris,

sinus

sfenoidalis,

sinus

frontalis,

sinus

etmoidalis. Sinus yang dalam keadaan fisiologi ada;ah steril, apabila


klirens

sekretnya

berkurang

atau

tersumbat,

akan

menimbulkan

lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila


terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus y a n g
berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis. Sinusitis adalah
p e n y a k i t y a n g b e n y a k ditemukan di seluruh dunia.
Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada
pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan
setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis,dan 60 milyar
lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika
Serikat.Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting
untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan. Dan sinusitis yang paling
banyak ditemukan adalah sinusiti sm a k s i l a r i s . O l e h k a r e n a i t u t e m a

13

i n i d i a n g k a t a g a r d i a g n o s i s , d a n p e n a n g a n a n s i n u s i t i s maksilaris
bisa dimengerti dengan lebih baik.Sinus maksilaris disebut juga antrum
Highmore, merupakan sinus yang paling sering terinfeksi. Hal ini
disebabkan karena ini merupakan sinus paranasal yang terbesar,
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drainase) dari
sinus maksila hanyatergantung dari gerakan silia. Dasar sinus maksila
adalah

akar

gigi

(prosesus

alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat

menyebabkan sinusitis maksilaris. Ostium sinus maksila terletak di meatus


medius,

di

sekitar

hiatus

semilunaris

yang

sempit,

sehingga

mudah

tersumbat.Penyebab sinusitis dapat virus, bakteri atau jamur. Dapat


disebabkan oleh rinitis akut,infeksi faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis),
infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1d a n P 2 ) , b e r e n a n g d a n
menyelam,

trauma,

serta

barotrauma.

Faktor

predisposisi

b e r u p a obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka


media, benda asing di hidung,polip serta tumor di dalam rongga
hidung. Selain itu, rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan
obstruksi ostium sinus serta menghasilkan banyak sekret, yang
merupakan media bagi pertumbuhan kuman. Faktor predisposisi yang lain
meliputi lingkungan berpolusi,udara dingin dan kering yang dapat mengakibatkan
perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.
Polip

nasi

merupakan

mukosa

yang

mengalami

inamasi

dan

menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung, dapat dilihat melalui


pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan endoskop. Polip hidung sampai
saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga memberikan masalah

14

sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya seperti di sekolah,


ditempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama yang paling sering dirasakan
adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai anosmia. Bila
menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan hidung berair.
Prevalensi polip hidung dilaporkan 1-2%pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2-4:1. Jarang ditemukan
pada anak-anak. Biasanya polip hidung ditemukan pada umur setelah 20 tahun. Di
Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita
2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sinusitis dan Polip
Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian
lateralrongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi
namasesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus
sphenoidalis dansinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi dan
mampu menghasilkan mukus dan b e r s i l i a , s e k r e t d i s a l u r k a n k e
d a l a m r o n g g a h i d u n g . P a d a o r a n g s e h a t , s i n u s terutama berisi udara.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh
infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
etmoid dan m a k s i l a .

Yan g

berbahaya

dari

sinusitis

adalah

k o m p l i k a s i n y a k e o r b i t a d a n intrakranial. Komplikasi ini terjadi


akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat
dihindari.Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan
masalah

danmerupakan

subjek

yang

selalu

diperdebatkan,

baik

mengenai etiologi, keluhan,diagnosis maupun tindakan selanjutnya.


Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitiskronis biasanya sukar disembuhkan
dan hasil pengobatan sering mengecewakan, baik untuk dokter dan terutama

16

untuk penderita. Penderita biasanya mempunyai keluhan hidung tersumbat, sakit


kepala, cairan mengalir ke belakang hidung, hidung berbau, dan penciuman
berkurang.
Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya
penyakit ini, seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan
nasofaring serta alergi.
Menurut Lucas sepertiyang dikutip Moh. Zaman , etiologi sinusitis
adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75%
disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada saraf otonom yang
menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus.
Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis
sinusitismaksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi,
keadaan iniakan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis
sekret. Hal inisebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan
sinusitis kronis.
Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap
paparan bahan asing y a n g m e n i m b u l k a n g e j a l a p a d a o r a n g y a n g
berbakat

atopi

sedangkan

pada

kebanyakan

orang

tidak

menimbulkan reaksi apapun.


Gangguan alergi pada hidung ternyata lebih sering dari perkiraan
dokter maupun orang awam, yaitu menyerang sekitar 10 % dari populasi
umum.

17

Polip nasi ialah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Bukan
merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klink dari
berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis
alergi, asma dll.
Penyebab terjadinya polip tidak diketahui, tetapi beberapa polip tumbuh
karena adanya pembengkakkan akibat infeksi.Polip sering ditemukan pada
penderita:
Rinitis alergika, Asma, Sinusitis kronis, Fibrosis kistik .Etiologi pasti belum
diketahui, tapi ada 3 faktor penting terjadinya polip :
1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan hidung.
2. Adanya gangguan kesimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan intersisial dan adema mukosa hidung.
Gejala utama yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung
yang menetap dan semakin lama semakin berat keluhannya, hal ini dapat
mengakibatkan hiposmia sampai anosmia. Bila menyumbat ostium sinus
paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan
hidung berair.
2.2 Definisi dan Teknik Anastesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

18

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :
- Hipnosis (tidur)
- Analgesia (bebas dari nyeri)
- Relaksasi otot
Anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik
perlindungan jalan nafas. Pemantauan ditujukan atas fungsi nafas dan sirkulasi.
Pulse oxymeter dianjurkan sebagai alat monitoring.

2.3 Penilaian dan Persiapan Pra-anestesia


1. Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas
pasca bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
2. Pemeriksaan Fisik

19

Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil ( Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 40 tahun ada anjuran EKG dan
foto thoraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya
yang harus dikeluarkan dan mamfaat minimal uji-uji semacam ini.
4. Kebugaran untuk anesthesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi CITO penundaan tidak
perlu harus dihindari.
5. Klasifikasi Status anestesia
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas 1 : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas 3 : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.

20

Kelas 4 : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan


aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan
setiap saat.
Kelas 5: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan.
Pada pembedahan cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E
6. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada
bayi 3-4 jam. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan 1 jam
sebelum induksi anestesia.

2.4 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan memudahkan bangun dari
anestesi diantaranya:
1.

Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2.

Memperlancar induksi anestesi.

3.

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

21

4.

Meminimalkan jumlah obat anestetik.

5.

Mengurangi mual muntah pasca bedah.

6.

Menciptakan amnesia.

7.

Mengurangi isi cairan lambung.

8.

Mengurangi refleks yang membahayakan

Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:


A. Obat Golongan Antikholinergik
Obat golongan antikholinergik

adalah

obat-obatan

yang

berkhasiat

menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis.


Tujuan utama pemberian obat golongan antikholinergik untuk premedikasi
adalah:
1. Mengurangi sekresi kelenjar: saliva, saluran cerna, dan saluran nafas.
2. Mencegah spasme laring dan bronkus
3. Mencegah bradikardi
4. Mengurangi motalitas usus
5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas.
Obat golongan antikolinergik yang digunakan dalam praktik anesthesia
adalah preparat Alkaloid Belladona, yang turunannya adalah;
1. Sulfas atropine
2. Skopolamin
Mekanisme Kerja
Menghambat mekanisme kerja asetil kholin pada organ yang diinervasi
oleh serabut otonom parasimpatis atau serabut saraf yang mempunyai
neurotransmitter asetil kolin.
Cara pemberian dan dosis
1. Intramuscular, dosis 0.01 mg/kg BB, diberikan 30-45 menit sebelum
induksi.
2. Intravena, dengan dosis 0.005 mg/kg BB, diberikan 5-10 sebelum induksi

22

Kontra indikasi
Alkaloid belladona ini tidak diberikan pada pasien yang menderita: demam,
takikardi, glaukoma dan tirotoksikasis.

Kemasan dan sifat fisik


Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung 0,25 dan 0,50 mg, tidak
berwarna dan larut dalam air.
B. Obat Golongan Sedatif/ Transkuilizer
Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan
menimbulkan rasa kantuk.
Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana
nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien
menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.
Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif/transkuilizer yang sering
digunakan adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Derivate fenothiazin
Derivate benzodiazepine
Derivate butirofenon
Derivate barbiturate
Antihistamin

1. Derivate fenothiazin
Derivate fenothiazin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah
prometazin. Obat ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin.

cara pemberian dan dosis:

23

1. Intramuscular dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45 menit sebelum


induksi.
2. Intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10 menit sebelum
induksi.
Kemasan dan sifat fisik
Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg. Tidak berwarna
dan larut dalam air.

2. Derivat benzodiazepine
Derivat benzodiazepine yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah
diazepam dan midazolam. Derivat yang lain adalah klordizepoksid, nitrazepam
dan oksazepam.
Penggunaan klinis
Dalam praktik anesthesia obat ini digunakan sebagai:
1. Premedikasi, diberikan intramuscular dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau
peroral dengan dosis 5-10 mg.
2. Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB
3. Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena
4. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin
Penggunaan lainnya adalah:
1. Anti kejang pada kasus-kasus epilepsy, tetanus dan eklamsi
2. Sedasi pasien rawat inap
3. Sedasi pada tindakan kardioversi dan endoskopi
Pada pemberian intramuscular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur
dengan obat lain karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya
melalui vena-vena besar untuk mencegah flebitis. Pemberian intramuscular
kurang disenangi oleh karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.

24

Kemasan
Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang
mengandung 10 mg, berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam.
Kemasan oral dalam bentuk 2 mg dan 5 mg, disamping itu ada kemasan
suppositoria atau pipa rectal (rectal tube) yang diberikan pada anak-anak.
Sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk larutan
tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3 dan 5 ml)
yang mengandung 5 mg/ml.

3. Derivat butirofenon
Derivate ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika, karena sering
digunakan sebagai neroleptik. Derivate butiroferon yang sering digunakan sebagai
obat premedikasi adalah dehidhobenzperidol atau disebut DHBP.
Penggunaan Klinik
1.
2.
3.
4.
5.

Premedikasi, diberikan itramuskular, dosis 0,1 mg/kg/bb


Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional
Anti hipertensi
Anti muntah
Suplemen anestesia

Kemasan
Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml. Tidak
berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.

4.Derivat barbiturat

25

Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah


pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah,
terutama pada anak-anak.
Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi.
Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2 mg/kgBB atau
peroral.

5.Preparat antihistamin
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah
derivat difenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah: sedatif, antimuntah ringan
dan antipiretik, sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.

C. Golongan Analgetik Narkotik atau Opioid


Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid dibedakan
menjadi 3 kelompok:
1. Alkaloid opium (natural): morfin dan kodein
2. Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,
hidrokodon dan oksikodon.
3.

Derivat sintetik
Fenilpiperidine
Benzmorfans
Morfinans
Propionanilides
Tramadol

: petidin, fentanil,sulfafentanil dan alfentanil


: pentazosin, fenazosin dan siklazosin
: lavorvanol
: metadon

Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor opioid


yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu:

26

1. Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi reseptor ini akan
menimbulkan analgesia, rasa segar, euforia dan depresi respirasi.
2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anestesia.
Morfin bekerja pada reseptor ini.
3. Reseptor Sigma
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil
midriasis dan stimulasi respirasi.
4. Reseptor Delta
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga
memperkuat reseptor Mu.
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah:
1. Phetidin
2. Morfin
Sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anestesia.
Penggunaan klinik
Morfin mempunyai kekuatan 10x dibandingkan phetidin, ini berarti bahwa
dosis morfin sepersepuluh dari dosis phetidin, sedangkan fentanil 100 kali dari
dosis petidin.
Analgetik narkotik digunakan sebagai:
1. Premedikasi: petidin diberikan IM dengan dosis 1 mg/kgBB atau IV 0,5
mg/kgBB, sedangkan morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil
seperseratus dari petidin.
2. Analgetik untuk pasien menderita nyeri akut/kronis, diberikan sistemik
atau regional intratekal/epidural
3. Suplemen anestesia atau analgesia
4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostik lain.
5. Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif
Kontra Indikasi

27

Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orangtua atau bayi dan
keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat
preparat penghambat monoamin oksidase, pasien asma dan penderita penyakit
hati.
Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Memperpanjang masa pulih anestesia


Depresi pusat nafas sehingga pasien bisa berhenti nafas
Pupil miosis
Spasme bronkus pada pasien penderita asma akibat morfin
Kolik abdomen akibat spasme sfinter kantung empedu
Mual muntah dan hipersalivasi
Gatal-gatal seluruh tubuh

Penanggulangan efek samping ini dilakukan dengan jalan memberikan bantuan


hidup dasar dan segera memberikan obat penawar.
Kemasan
1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml tidak
berwarna
2. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 2 dan 10 ml tiap ml
mengandung 50 g
3. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak
berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.
Dalam aplikasinya, ketiga jenis obat-obat premedikasi ini dicampur dalam
satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan secara IM. Pemberian cara ini
dimaksudkan mengurangi suntikan berulang. Apabila diberikan terpisah, pasien
akan disuntik sebanyak tiga kali, keadaan ini tidak mengenakkan pasien.

2.5 Induksi Anestesi Umum

28

Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, intramuscular atau rektal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai
induksi anestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih
cepat dan lebih baik.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS :
S= Scope

Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung .


LaringoSkop. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.

T= Tube

Pipa trakea. Pilih sesuia usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan >5 tahun dengan balon (cuffed)

A= Airway

Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidungfaring ( naso-trachealairway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan napas.

T=Tape

Plester untuk fiksasi pipa supaya pipa tidak terdorong atau


tercabut.

I=Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C=Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

29

S=Suction

Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

1. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, pelahan-lahan, lembut dan terkendali.
Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selau diberikan oksigen. Induksi ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh
otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan
ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target
organ

masingmasing

dan

akhirnya

diekskresikan

sesuai

dengan

farmakodinamiknya masing-masing.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.
Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping
yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan
efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.
Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting,
membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor

30

pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional


anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain, sehingga
penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting.
Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat
diberikan secara langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi
dasar pemikiran sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan.
William Morton , tahun 1846 di Boston , pertama kali menggunakan obat anestesi
dietil eter untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di jerman tahun 1909,
Ludwig Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform dan
ether melalui intravena, tujuh tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari Swiss
melaporkan penggunaan morfin dan skopolamin secara intravena.
Sejak diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi Gold
Standard dari obat obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik
tersedia dalam bentuk intavena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum
bisa ditemukan. Penemuan obat obat ini masih terus berlangsung sampai
sekarang.
A. Teknik Anestesi
Teknik anestesia merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan
obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut
digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. induksi

31

anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan


dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.
B. Jenis Obat Anesthesi
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat obat
anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti,
Tiopenton, Diazepam , Degidrobenzperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai obat obat anestesi intravena
tersebut.

1. Propofol ( 2,6 diisopropylphenol )


Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada
pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung
lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat
oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat
tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10
mg).

32

Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino
Butired Acid).
Dosis dan penggunaan
a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infuse
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 150 g/kg/min IV (titrate
to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi
yang minimal 0.2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari propofol dalam kondisi sudah terbuka
lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%.
Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian

33

propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidocain (0,5 mg/kg) dan jika
mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada
bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar.
Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi
menggunakan

propofol.

Propofol

merupakan

emulsi

lemak

sehingga

pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.
2.Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal
dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal
yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat
mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam
waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 10
menit konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.
Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek
sedasi dan hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2thiobarbituric
pentynyl)barbituric

acid],
acid],

methohexital
dan

[1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-

thiamylal

[5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-

thiobarbituric acid]. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan


thiobarbiturates, sedangan methohexital

(Brevital) adalah oxybarbiturate.

Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental

34

merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak
dipergunakan untuk induksi anestesi.
Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan
menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat
menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan
pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol
beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat
secara khusus lebih berpengaruh pada sinap saraf dari pada akson. Barbiturat
menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik
(GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter
(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk
menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu
50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.
Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan
memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang
jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut,

35

karena barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan


dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan
menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan
pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
3.Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang
memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis
tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik
yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang.
Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan
rapid acting non barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang
yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang
digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi
dapat menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan
persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut
dengan emergence phenomena.
Mekanisme kerja

36

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat


dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan
interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan
juga efek analgesik.
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular
apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak anak. Ketamin
bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. dosis induksi
adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif
lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang
diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.
Emberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menitdengan dosis setengah
dari dosis awal sampai operasi selesai.
Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan
mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek
mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan
intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi

37

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang


telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja.
Pada

pasien

yang

menderita

penyakit

sistemik

penggunaanya

harus

dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada


trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler
meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien
yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat obat
simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.

4.Opioid
Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan
tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum,
dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine,
fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang
sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam
dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda
dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.
Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf
pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,.

38

Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai
analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan
reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat
menghambat

pelepasan

presinaptik

dan

respon

postsinaptik

terhadap

neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

Dosis
Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena
0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil
seperseratus dari petidin.
5.Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang
tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan
bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut
air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.

39

Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.

Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb

Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg

Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.

Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

2 . Induksi Inhalasi
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum
pertama yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan
kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu
karena induksinya yang singkat dan pemulihannya yang cepat tanpa disertai
delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen anestetik yang telah disebutkan
tadi telah ditarik dari pasaran.
Sebagai contoh, eter sudah tidak digunakan secara luas karena mudah
tersulut api dan berisiko mengakibatkan kerusakan hepar. Di samping itu, eter
juga mempunyai beberapa kerugian yang tidak disenangi para anestetis seperti
berbau menyengat dan menimbulkan sekresi bronkus berlebih. Kloroform juga
kini dihindari karena toksik terhadap jantung dan hepar. Etil klorida, etilen, dan

40

siklopropan pun tidak lagi digunakan sebagai anestetik, baik karena toksik
ataupun mudah terbakar.
Metoksifluran dan enfluran termasuk agen anestetik generasi baru yang
sempat digunakan bertahun-tahun tetapi jarang digunakan lagi karena toksisitas
dan efikasinya. Metoksifluran adalah anestetik inhalasi yang paling poten, tetapi
induksi dan pemulihannya relatif lambat. Lebih lanjut, sebagian metoksifluran
dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan florida bebas (F ), asam
oksalat, dan bebrapa komponen lain yang bersifat nefrotoksik. Sementara itu,
enfluran mengurangi kontraksi myokardial dan meningkatkan sekresi likuor
serebrospinal (CSF). Selama anestesia, enfluran menginduksi perubahan
elektroensefalograf yang dapat berprogresi pada pola spike-and-wave yang biasa
ditemukan pada kejang tonik-klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik
metoksifluran maupun enfluran penggunaannya telah dibatasi.
Dengan ditariknya berbagai zat anestetik dari peredaran seperti yang
dikemukakan di atas, kini terdapat lima agen inhalasi yang masih digunakan
dalam praktik anestesi yakni nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran, dan
sevofluran. Anestetik inhalasi paling banyak dipakai untuk induksi pada pediatri
yang mana sulit dimulai dengan jalur intravena. Di sisi lain, bagi pasien dewasa
biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat dengan agen intravena.
Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan untuk pasien
dewasa, mengingat baunya tidak menyengat dan onsetnya segera. Selain induksi,
agen inhalasi juga sering digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan.
Studi mengenai kaitan antara dosis obat, konsentrasi jaringan, dan waktu
kerja obat disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat);

41

sedangkan studi mengenai mekanisme aksi obat, termasuk respons toksik, disebut
farmakodinamik (bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah penjelasan secara
umum tentang farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi, akan dibahas
farmakologi klinis dari masing-masing agen.
Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
1. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat
dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan
dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan
dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen
anestetik inhalasi lain.

2.Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga
bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan
berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan
pengawet timol berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi
dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling
murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.

3.Isofluran

42

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur


kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan
enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman
anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta
peningkatan frekuensi denyut jantung.

4.Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya
saja atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga
kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih
rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat
dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons
terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan
batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi
17 kali lebih poten dibanding N2O.

5.Sevofluran

43

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.


Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menjadi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N 2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit.
kontraindikasi dan Interaksi Obat
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia
maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik
inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.

Obat Pelumpuh Otot


A. Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi
(nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare).

1.

Pelumpuh Otot Depolarisasi


Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah

sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama


menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin)
dan

dekametonium.

Didalam

vena,

suksinil

kolin

dimetabolisme

oleh

44

kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti


kolinesterase

(prostigmin)

dikontraindikasikan

karena

menghambat

kerja

pseudokolinesterase.
a.

Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)


Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini

memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini
sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada
dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya
level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan
pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada
beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang.

Interaksi obat
Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot
depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka
jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan
depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat pseudokolinesterase.

45

Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak
dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik
untuk intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak
dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada
penanganan rutin anak dan remaja.
Efek samping dari suksinilkolin adalah :

Nyeri otot pasca pemberian

Peningkatan tekanan intraokular

Peningkatan tekakan intrakranial

Peningkatan tekakan intragastrik

Peningkatan kadar kalium plasma

Aritmia jantung

Salivasi

Alergi dan anafilaksis

2.

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi

a.

Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja

pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi
pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selama
waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena

46

pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.

b.

Atracurium

Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di
dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang.
Dosis
0,5 mg/kgBB IV, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative
0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit
efektif menggantikan bolus. Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan
dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8 OC,
potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan
dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.

Efek samping dan pertimbangan klinis


Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c.

Vekuronium

Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan
lebih besar dan lama kerjanya singkat, zat anestetik ini tidak mempunyai efek

47

akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi


kardiovaskuler yang bermakna.
Dosis
Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15
20 menit. Drip 1 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post
partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d.

Rokuronium

Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya
adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9
mg/kgBB IV untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4
mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg
untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi
tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 12
mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.

48

Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi


sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.

Pemilihan Pelumpuh Otot


Karakteristik pelumpuh otot ideal :
1. Nondepolarisasi
2. Onset cepat
3. Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat
diantagoniskan dengan obat tertentu
4. Tidak menginduksi pengeluaran histamin
5. Potensi
6. Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak
memiliki aksi farmakologi.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1.

Ultra-short acting, contoh : suxamethonium

2.

Short duration. Contoh: mivacurium

3. Intermediate

duration. Contoh:

atracurium,

vecuronium,

rocuronium,

D-tubocurarine,

doxacurium,

cisatracurium
4. Long

duration.

Contoh:

pancuronium,

pipecuronium.

Pelumpuh otot yang disarankan :


1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan
dapat dipakai rocuronium

49

2. Untuk

stabilitas

hemodinamika

(contoh

pada

hipovolemia

atau

penyakit jantung parah)-vecuronium


3. Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium atau
mivacurium
4.

Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium

5.

Kasus obstetric: semua dapat diberikan kecuali gallamin

Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :


1.

Cegukan (hiccup)

2.

Dinding perut kaku

3. Ada tahanan pada inflasi paru.

Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus
disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa)

50

DAFTAR PUSTAKA

1. Lafief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.Edisi


kedua. FKUI : Bagian anestesiologi dan terapi intensif FK UI. 2002
2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks.2010

51

3. http://www.dokterbedahherryyudha.com/2013/03/mengenal-anestesiumum-general-anesthesi.html, diunduh pada 17 Agustus 2013


4. http://www.scribd.com/doc/ANESTESI-UMUM, diunduh pada

17

Agustus 2013
5. http://www.scribd.com/doc/123303979/polip, diunduh pada 17 Agustus
2013
6. http://www.scribd.com/doc/121359335/polip, diunduh pada 17 Agustus
2013
7. http://www.scribd.com/doc/150667555/Sinusitis,

diunduh

pada

17

Agustus 2013
8. http://www.suaradokter.com/2010/11/ragam-operasi/, diunduh pada 20 juli
2013

Anda mungkin juga menyukai