Anda di halaman 1dari 8

Nama: Dhani Aristyawan

NIM

: 14041184041

Matkul

: Pengantar Ilmu Politik / B

PERSPEKTIF G30/S/PKI 65
Gerakan 30 September selalu memiliki kaitan erat dengan PKI,
bahkan hingga kini masyrakat beranggapan bahwa yang bersalah dalam
kasus ini adalah PKI, kebenaran mengenai PKI atau bukan pelakunya pun
masih ditutupi baik oleh pemerintah maupun dari keturunan PKI sendiri.
Diskriminasi terhaadap anggota keluarga maupun simpatisan PKI pun
masih terasa kental hingga sekarang. Tidak dapat dipungkiri doktrin yang
ditanamkan pemerintah masa orde baru saat itu benar-benar terasa saat
ini, meskipun sudah banyak prespektif yang melawan prespektif
pemerintah.
Kejadian Gerakan 30 September 1965 Menurut Prespektif
Pemerintah
Pada hari kamis malam tanggal 30 Spetember 1965, sekelompok
pasukan angkatan darat bergerak kearah kediaman tujuh perwira tinggi
angkatan darat, dalam aksinya gerakan itu hanya berhasil menculik 6
jenderal saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen.
Suprapto, Mayjen. S. Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I
Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan
Jenderal Nasution, sementara jendral Nasution sendiri berhasil meloloskan
diri kerumah perdana menteri Irak yang berada disebelah rumah jendral
Nasution, namun putri jendral Nasution Ade Irma Suryani tidak dapat
diselamatkan dan mati tertembak di kediaman Jendral Nasution.
Kemudian pada malam itu pula mereka membawa keenam jendral dan
seorang lettu tersebut kearah selatan ibu kota yang kemudian mereka
dibunuh disana kemudian di masukkan kedalam sumur tua yang
kemudian disebut dengan lubang buaya.
Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan
Revolusi diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI).
Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri
dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden
Soekarno dari aksi coup detat. Menurut mereka, coup dtat ini sejatinya
akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober
1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20. Empat hari
kemudian, saat jenazah para jendral tersebut ditemukan di lubang buaya,
ditengah-tengah acara tersebut Soeharto mengumumkan dalang dibalik
1

pembunuhan ini adalah PKI, karena pada saat itu PKI tengah berusaha
mempengaruhi Presiden Soekarno. Tidak kalah mengerikannya PKI
melakukan penyiksaan yang sangat parah para wanita PKI atau yang
biasa disebut Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu telah mencukil
mata jenderal dan memotong kemaluan para jendral tersebut, di relief
monument pancasila sakti pun dijelaskan bahwa saat para jendral
tersebut dibunuh mereka menari-nari telnjang dihadapan para jendral dan
para PKI laki-laki tersebut.
Program yang dilakukan oleh presiden Soeharto saat itu adalah
Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan
Simpati-san PKI di Daerah. Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan
PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan pembunuhan secara
massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi
massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput dari
kasus ini. Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadangkadang oleh sipil, orang-orang Islam atau lainnya. Di sini, tentara
merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban
propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan
PKI. Di beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok
lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantai-an
massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali
melaku-kan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di
sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di
masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian
yang terpendam sekian lama (Bonnie Triyana : hal 1)
Kejadian Gerakan 30 September 1965 Menurut Prespektif
Tandingan Pemerintah
Masyarakat pada umumnya dan komunitas pendidikan di tingkat
persekolahan pada khususnya memiliki persepsi dan interpretasi yang
relatif seragam dalam melihat peristiwa G30/S 1965. Peristiwa itu, yang
ditandai oleh pembunuhan para Jendral TNI AD (Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat), jelas didalangi oleh PKI (Partai Komunis
Indonesia). Dengan menyebar isyu adanya Dewan Jendral yang akan
melakukan kup terhadap Presiden Soekarno, PKI berhasil membujuk para
perwira menengah dalam TNI AD yang dinilai kiri untuk menculik para
jendral itu. Dengan cara seperti itu, demikian buku sejarah di tingkat
persekolahan menyatakan, maka PKI bisa berbuat lempar batu sembunyi
tangan. Sehingga, pada gilirannya nanti, PKI dapat menguasai Indonesia
dan menggantikan ideologi Pancasila dengan komunisme.
Bahwa PKI merupakan dalang utama dibalik peristiwa G30/S 1965
itu, jelas merupakan versi pemerintah Orde Baru yang disosialisasikan
2

sedemikian rupa kepada masyarakat termasuk kepada dunia pendidikan


baik melalui pidato resmi pejabat, buku-buku, film, dan media massa
lainnya. Versi itu, sebenarnya, merupakan hasil rekonstruksi dari seorang
sejarawan militer, (Kolonel) Nugroho Notosusanto, dan seorang militer
yang meminati hukum, (Letnan Kolonel) Ismail Saleh, yang disusun sejak
tahun 1968 dan sangat berkepentingan dengan eksistensi dan legitimasi
pemerintah Orde Baru. Hampir selama 30 tahun dunia pendidikan di
Indonesia, khususnya di tingkat persekolahan, didominasi oleh interpretasi
versi pemerintah Orde Baru dalam memaknai peristiwa itu sehingga
oleh pemerintah peristiwa itu lebih dipopulerkan menjadi G30/S/PKI
atau Gestapu PKI.
Namun setiap ada dominasi makna dari negara akan muncul pula
penolakan makna secara kritis oleh sebagian anggota masyarakat. Dalam
hal ini komunitas sejarawan akademis dan iluwan sosial lainnya yang kritis
termasuk ke dalam anggota masyarakat yang menolak dominasi negara
dalam memaknai peristiwa G 30 S 1965 itu. Hal itu dilakukan sematamata untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah dari suatu
peristiwa sejarah yang sebenarnya kompleks.
Hingga kini, interpretasi terhadap peristiwa G30/S 1965 itu cukup
beragam. Selain versi pemerintah Orde Baru, yang disebutkan di atas,
paling tidak ada empat versi lain dalam memaknai peristiwa itu.
diantaranya:
Pertama, versi para akademisi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat,
yang kemudian terkenal dengan sebutan Cornell Paper.6 Menurut versi ini,
peristiwa G30/S 1965 jelas merupakan masalah intern dalam tubuh AD,
khususnya kelompok militer yang berasal dari Divisi Diponegoro, Jawa
Tengah. Peristiwa itu, menurut Cornell Paper, lebih merupakan revolusi
perwira menengah (Mayor, Letnan Kolonel, dan Kolonel) yang berasal dari
Divisi Diponegoro terhadap para perwira tinggi AD (Brigjen, Mayjen,
Letjen, dan Jendral) yang juga berasal dari Divisi Diponegoro.
Ketidakpuasan para perwira menengah terhadap para perwira tinggi AD
itu menyangkut nilai-nilai, etika, dan semangat revolusi 45 dimana
kesederhanaan, kejujuran, solidaritas, kesetiaan, dan nilai-nilai hidup ideal
lainnya merupakan tolok ukur utama bagi perwira sejati di manapun dan
kapan pun ia berada.
Dalam pandangan para perwira menengah, para perwira tinggi AD itu
setelah pindah ke ibukota Jakarta pola hidupnya sudah menyimpang dari
nilai-nilai 45. Hal itu dipertegas oleh pernyataan Letkol Untung sendiri,
setelah ia berhasil membentuk dan mengumumkan adanya Dewan
Revolusi pada tanggal 1 Oktober 1965, bahwa tujuan G30/S adalah: Untuk
mengikis habis pengaruh Dewan Jendral dan kakitangannya dalam AD.
3

yang gila kuasa, yang menterlantarkan nasib anak buah, yang di atas
tumpukan penderitaan anak buah hidup bermewah-mewah dan berfoyafoya, menghina kaum wanita, dan menghambur-hamburkan uang negara.
Dengan begitu, demikian Cornell Paper, disangsikan bahwa PKI
merupakan dalang utama dalam peristiwa G30/S 1965 mengingat posisi
partai ini sudah sangat diuntungkan oleh sistem politik Demokrasi
Terpimpin dan gagasan NASAKOM-nya Soekarno.
Kedua, versi dari seorang sejarawan Barat, Antonie C.A. Dake, yang
menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan dalang utama dari
peristiwa G30/S 1965 itu adalah Presiden Soekarno sendiri. Bahwa AD
selalu berseteru, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, dengan
Presiden Soekarno sudah menjadi rahasia umum sejak zaman revolusi
Indonesia. Jendral Soedirman sendiri, panglima TNI pada masa revolusi,
sudah menunjukkan perilaku politiknya yang dalam banyak hal
bertentangan dengan pemerintah dan politisi sipil, termasuk dengan
Presiden Soekarno sendiri. Begitu juga dengan perilaku politik para
perwira TNI AD pada tahun 1950an dan awal tahun 1960an, seringkali
bertentangan dengan kepemimpinan dan kepentingan politik Presiden
Soekarno.
Dalam hal ini ketika Presiden Soekarno melakukan politik konfrontasi
dengan Malaysia pada tahun 1964, secara diam-diam AD termasuk yang
menolaknya. Sebagai panglima tertinggi ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia), sesuai dengan konstitusi UUD 1945, Presiden
Soekarno merasa perlu menjewer para jendral AD yang membangkang
itu. Itulah sebabnya Soekarno merestui tindakan Letkol Untung untuk
mengamankan para Jendral AD pada 30 September 1965. Soekarno juga
pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di daerah Halim, tempat para pelaku
utama G30/S itu bermarkas. Dan ketika Brigjen Soepardjo, salah seorang
pelaku utama G30/S 1965, melaporkan bahwa para Jendral AD itu sudah
dibereskan, Soekarno segera memeluk perwira tinggi itu dengan
menepuk-nepuk punggungnya. Dalam setiap kesempatan, setelah
peristiwa G30/S itu berlalu, Soekarno menyatakan bahwa peristiwa itu
merupakan riak kecil dalam sebuah gelombang samudera revolusi
Indonesia yang dahsyat. Soekarno juga tidak menunjukkan sikap empati
atas kematian para jendral AD dengan tidak menghadiri prosesi
pemakamannya dan tidak mau mengutuk PKI sebagai dalang utama
peristiwa itu sebagaimana dituntut oleh pihak AD.
Ketiga, versi dari seorang sosiolog dan sejarawan Belanda, W.F.
Wertheim, yang menyatakan bahwa dalang dari peristiwa G30/S 1965 itu
adalah Jendral Soeharto. Hal itu dibuktikan, menurut Wertheim, bahwa
ketiga pelaku utama G30/S yaitu Kolonel Untung, Letkol Latief, dan Syam
4

Kamaruzaman adalah bekas anak buah dan teman baik Soeharto sejak
zaman revolusi Indonesia. Ketika Untung melangsungkan pernikahannya
pada tahun 1950-an, Soehartolah yang bertindak sebagai walinya.
Soeharto pula yang didatangi oleh Latief, pada tanggal 30 September
1965, yang melaporkan akan adanya G30/S walaupun dalam
perkembagan kemudian Soeharto membantahnya. Sementara itu Syam
Kamaruzzaman juga dianggap sebagai intel dwi-fungsi yang melayani
kepentingan intelejen baik untuk PKI maupun AD. Bahkan menurut
Wertheim, tokoh intel ini sengaja disusupkan oleh AD untuk
memprovokasi tindakan PKI yang sudah lama menjadi musuh AD.
Keempat, versi dari seorang mantan pejabat intelejen Amerika Serikat,
Peter Dale Scott, yang menyatakan bahwa peristiwa G30/S 1965, yang
pada gilirannya menjatuhkan Presiden Soekarno itu, didalangi oleh CIA
(Central of Intelligence Agency). Menurut P.D. Scott, sejak Soekarno
mengemukakan gagasan tentang perlunya sistem politik Demokrasi
Terpimpin (1956), meminta bantuan Uni Sovyet untuk membebaskan Irian
Barat (1962), membetuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan melakukan
konfrontasi dengan Malaysia (1964), Amerika Serikat tidak senang dengan
tindakan-tindakan Soekarno yang ingin menjadi pemimpin baru bagi
negara-negara Asia, Afrika, dan Latin Amerika itu.
Ketidaksenangan Amerika Serikat itu nampak dari dukungan dan
bantuan yang diberikan kepada para pemberontak PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan PERMESTA (Perjuangan
Semesta) di Sulawesi yang menentang pemerintah pusat (Presiden
Soekarno) pada tahun 1957/1958. Sementara Soekarno menyatakan go
to hell with your aids kepada Amerika Serikat pada tahun 1960-an, negeri
Paman Sam itu malah memberikan bantuan logistik, persenjataan,
pendidikan, dan latihan kepada para perwira AD secara rahasia. Bahkan
bantuan logistik dan keuangan itu nampak jelas ketika AD dan mahasiswa
anti komunis pada tahun 1966 melakukan unjuk kekuatan untuk
memberantas PKI di satu sisi, dan menentang kepemimpinan Presiden
Soekarno di sisi lain. Hal itu diakui secara terus terang oleh Marshall
Green, duta besar Amerika Serikat pada waktu itu.
Dari penjelasan di atas, lantas pendapat dan perspektif mana yang
paling benar? Mungkin tidak ada yang paling benar dan tidak ada yang
salah sama sekali. Peristiwanya begitu kompleks dan para pelaku yang
terlibat dalam peristiwa itu demikian banyak. Mengutamakan peran tokoh
tertentu akan berarti mengabaikan peran tokoh yang lain, padahal sama
pentingnya. Dalam hal ini pendapatnya M.C. Ricklefs, sejarawan
Indonesianist dari Australia, dalam menanggapi peristiwa G30/S 1965 itu
penting juga disimak bahwa:
Oleh karena rumitnya situasi politik,
5

hubungan-hubungan dan perasaan-perasaan benci yang mempertalikan


sebagian besar para pelaku utamanya satu sama lain, serta sifat yang
mencurigakan dari sebagian besar bukti-bukti, [maka] tidak akan pernah
diketahui kebenaran yang sepenuhnya. Tampaknya mustahil bahwa hanya
ada satu dalang yang mengendalikan semua peristiwa itu, dan tafsirantafsiran yang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian tersebut secara
[tunggal] itu harus dipertimbangkan secara hati-hati.
PASKA G 30/S
Keesokan harinya semua media pers di Indonesia ditutup. Dan kala
itu hanya pers Militer yang boleh beroprasi. Dan ketika itu media banyak
yang memberitakan bahwa telah terjadi percobaan kudeta oleh PKI. Dan
semua yang diberitakan seolah-olah menyudutkan PKI. Mulai dari
penyayatan alat kelamin oleh gerwani, dan wanita yang menari telanjang
saat di lubang buaya. Hal itu semata-mata untuk menimbulkan kebencian
rakyak kepada PKI dan para pengikutnya. Dengan mengkampanyekan
gerakan antikomunis Angkatan Bersenjata tidak segan-segan untuk
menghabiskan PKI sampai ke akar-akarnya. Sampai beberapa sumber
menyatakan bahwa ada setengah jiwa melayang dalam pembantaian saat
itu. PKI seperti pihak yang dikorbankan dalam peristiwa ini. Dengan
menuduh bahwa merekalah dalang dari semua itu, padahal sampai
sekarang hal itu belum bisa dibuktikan.
Soeharto menjadi orang yang paling diuntungkan dalam peristiwa
ini. Seperti sudah tau apa yang terjadi, iapun segera tampil untuk
membawa slogan anti komunis. Masyarakat yang tidak tahu apa-apapun
tersihir dan terhipnotis akan propagandanya. Bahkan pada tanggal 5
Oktober 1965 Angkatan Baersenjata sudah mengeluarkan buku mengenai
pemberontakan PKI yang terjadi pada 30 September 1965. Dari situlah
Soeharto mulai menancaapkan kuku kekuasaannya di Indonesia. Serta
memulai rezim baru yang bertahan sampai 32 tahun sebelum akhirnya
digulingkan oleh mahasiswa yang sudah tidak puas akan sikap
otoriternya.
Sejarah kelam G 30/S banyak dipelintir oleh pemerintah pada rezim
orde baru. Mulai dari pemutaran secara serentak film pemberontakan
G30/S/PKI yang wajib ditayangkan oleh seluruh saluran televise nasional.
Sampai buku-buku sejarah yang digunakan untuk belajar mengajar
diceritakan bahwa seolah-olah semua itu adalah salah PKI. Pemerintah
melakukan hal tersebut dengan cara menarik buku-buku sejarah yang
tidak memakai G30/S/PKI. Hal tersebut merupakan penanaman sejak dini
tentang sejarah yang salah.

Pelaku pelanggaran HAM 65


Dari berbagai sumber yang telah diperoleh oleh penulis (tidak bisa
dimasukkan semua) semua bukti yang ada mengacu kepada PKI jika
dilihat dari luarnya saja, tetapi jika dilihat lebih dekat lagi terdapat
kejanggalan-kejanggalan yang saling berhubungan dimana Augustus
C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport dimana memiliki
kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long
juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan
Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan
kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen
labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah
satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul
oleh kebijakan Soekarno ini. Augustus C.Long amat marah terhadap
Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan
secepatnya. Dalam surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan
informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan bahwa dalam
waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Lisa menjelaskan maksud
dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai
komunis. Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport
Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan
puncak Erstberg di Papua.
Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari
1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para penglima tinggi
dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat itu,
bila Presiden Soekarno meninggal. Namun kelompok yang dipimpin
Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh dari rencana itu.
Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih
kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA
Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang
benar adanya. Maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai
tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Sukarno melalui
Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh proSuharto sebagai G-30/S-PKI dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan
Tiga Puluh) September oleh pro-Sukarno. Setelah pecahnya peristiwa
Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total.
Terjadi kudeta yang telah direncanakan dengan memelintir dan
mengubah isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, yang pada
akhirnya isi dari surat perintah itu disalahartikan. Dalam Supersemar,
Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan
negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru menjadikannya
menjadi seorang presiden.
7

Dalam Sidang IPT yang dilakukan di Denhag, Belanda di peroleh


data bahwa militer juga menjadi pelaku dalam kejahatan HAM diantaranya
pembunuhan tanpa pengeadilan, penyiksaan fisik maupun psikis,
pelecehan seksual, perbudakan terhadap anggota PKI di pelosok bahkan
orang yang tidak bersalah di paksa untuk mengakui kejahatan yang tidak
mereka lakukan, serta korban PKI yang hanya bergabung demi
mendapatkan alat pertanian juga tidak luput menjadi korban militer.
Militer dan polisi lokal juga memerintahkan penduduk sipil untuk ikutserta
dalam pembunuhan dan mengancam membunuh keluarga mereka jika
mereka menolak untuk bekerja sama.
Seperti yang dikutip dari hasil IPT Majelis Hakim berpendapat
bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab bagi terjadinya kejahatan
terhadap
kemanusiaan
seperti
itu,
karena
rantai
komando
diselenggarakan dari atas ke bawah seperti sebuah lembaga
institusional. (1965tribunal.org)
Bisa dikatakan pelaku dari tragedy G30/S tidak hanya berasal dari
gejolak kekuasan di dalam negeri tetapi banyak dipengaruhi oleh pihak
luar dengan berbagai macam kepentingan untuk memperoleh kekuasaan
dari segi politik maupun kekayaan alam, karena jika dilihat sejak
perpindahan kekuasaan Indonesia menjadi sangat tergantung terhadap
amerika hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.

Pelanggaran HAM yang terjadi


Pelanggaran HAM yang terjadi yakni hilangnya sama sekali HAM dari
masayarakat Indonesia waktu itu dimana ketika G30/S meletus Suharto
dan militernya memiliki kekuatan dan kuasa penuh untuk membunuh
setiap anggota PKI tidak terkecuali keluarga mereka. Kejadian ini
memakan korban yang tak terhitung jumlahnya ratusan ribu meniggal
mungkin sampai jutaan orang mengingat anggota PKI berjumlah 3 juta
lebih, dan itu belum termasuk korban salah tangkap (korban sipil) yang di
penjara maupun di rampas HAM nya dengan berbagai cara mulai dari
pembunuhan, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kejahatan seksual,
persekusi (persekusi melalui propaganda), atau penghilangan paksa.

Anda mungkin juga menyukai