Anda di halaman 1dari 2

Asal Muasal Pica dan Prevalensinya

KOMPAS.com - Pica merupakan bahasa latin untuk burung magpie, burung


pemakan segala yang memiliki kebiasaan makan tak lazim. Tak heran jika
kemudian pica digunakan sebagai istilah untuk kelainan makan benda aneh
yang biasa ditemui pada anak-anak. Tak hanya pada manusia, selain burung
magpie, kelainan makan pica juga ditemui pada anjing dan kucing.
Pica, kelainan makan benda seperti pasir, kapur, tanah, obat nyamuk, dan
benda lainnya yang tak lazim dimakan, tercatat secara medis sejak 1563.
Sebelumnya, pica direferensikan oleh orang Yunani dan Romawi pada abad
13. Di selatan Amerika Serikat, pada era 80-an, kaum budak mempraktikkan
geophagia. Geophagia sama dengan pica, di mana orang yang mengidapnya
memakan
tanah
liat.
Di ranah penelitian gangguan makan sejak abad 16 hingga abad 20, pica
lebih dikenal sebagai gejala kelainan lain bukan kelainan spesifik. Bahkan
hingga kini, pica diklasifikasikan sebagai perilaku normatif di beberapa
kebudayaan sebagai bagian dari keyakinan magis, metode penyembuhan,
dan
seremoni
keagamaan.
Dengan beragam defenisi yang berkembang mengenai pica, tak mudah
untuk mengetahui prevalensi gangguan makan ini. Tak hanya itu, faktor
keengganan pasien untuk melaporkan kelainan makan yang dimilikinya juga
berpengaruh.
Prevalensi pica menjadi sangat bervariasi, mulai delapan persen hingga 65
persen
tergantung
studi
yang
dijalankan.
Studi yang terbit pada 1994 mengungkapkan 8,1 persen wanita hamil Afrika
Amerika mengalami pagophagia. Mereka mengonsumsi es batu dalam
jumlah banyak. Sementara studi pada 1991 menemukan prevalensi pica 8,8
persen pada wanita hamil di Arab Saudi. Prevalensi pica pada wanita hamil
bervariasi di negara berkembang namun memiliki kecenderungan lebih
tinggi dengan estimasi 63,7 persen dan 74 persen di dua populasi berbeda di
Afrika.
Perbedaan angka prevalensi ini terkait dengan perbedaan norma kultural di
berbagai
negara,
selain
tingkat
malnutrisi
yang
tinggi.
Sementara, angka lain muncul dari buku pedoman Clinical Child
Psychology yang memperkirakan prevalensi pica bervariasi antara 4 persen
hingga 26 persen. Angka ini didapatkan dari populasi pada institusi tertentu.
Sementara data dari kasus individual sulit didapatkan, membuat estimasi
prevalensi
pica
yang
menyeluruh
tak
mudah
didapatkan.

Kesulitan mendefenisikan pica dalam satu persepsi yang sama juga


membuat petugas medis tak semudah itu mendiagnosa seseorang mengidap
pica.
Sebelum mendiagnosa seseorang mengidap pica, dokter biasanya akan
mengevaluasi kemungkinan gangguan lain seperti gangguan mental,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan perkembangan. Berbagai gangguan
ini merupakan penyebab pola makan aneh. Pola perilaku semacam ini
setidaknya terjadi selama satu bulan sebelum akhirnya pasien didiagnosa
pica.
Jika pasien diduga mengalami pica, pemeriksaan pun berlangsung secara
menyeluruh. Evaluasi medis menjadi penting. Pasien perlu dicek apakah
menderita anemia, masalah pencernaan atau kemungkinan keracunan dari
benda
yang
dimakannya.
Riwayat kesehatan pasien akan diperiksa dengan seksama, belum lagi
pemeriksaan fisik. Selain menjalani pemeriksaan x-ray, pasien yang diduga
pica juga akan menjalani tes darah. Tes untuk mengetahui apakah
kemungkinan terjadi infeksi juga dilakukan. Pasalnya beberapa benda yang
dimakan bisa saja mengandung bakteri atau organisme lainnya. Evaluasi
kebiasaan dan pola makan juga menjadi bagian dari rangkain pemeriksaan
pasien dengan dugaan pica.

Anda mungkin juga menyukai