Anda di halaman 1dari 3

NATO dan Arab Spring

Seiring terjadinya tragedi Arab Spring, maka secara kasat miata

menunjukkan adanya pergeseran kekuatan ke Timur Tengah. Pernyataan ini jelas


masih menimbulkan banyak perdebatan dan juga pertanyaan yang timbul. Tragedi
yang terjadi di Tunisia, telah meninggalkan kegemparan dari segi politik di Timur
Tengah. Peristiwa Arab Spring muncul sebagai suatu bentuk perubahan rezim di
Tunisia dan juga Mesir, kemunculan gerakan pemberontakan terhadam rezim
Gaddafi, memicu adanya intervensi militer yang dilakukan oleh NATO untuk
menyetir pemimpin Libya dan para rombongannya dari kekuasaannya 1.
Arab Spring merupakan sebuah catutan sejarah perpolitikan di Timur
Tengah akan tetapi termasuk ke dalam kategori long-term impact yang tidak dapat
diduga2. Artinya, pergolakan politik ataupun huru hara perpolitikan yang terjadi
bisa saja terulang secara tidak terduga. NATO (North Atlantic Treaty
Organization) merupakan salah satu organisasi regional yang fokus dibidang
keamanan. Dengan di pimpin oleh Amerika Serikat, NATO diharapkan mampu
menjaga stabilitas keamanan, terutama di kawasan regional yang merupakan
kawasan operasinya.

Keterlibatan NATO dalam Konflik Libya


Arab Spring tahun 2011, merupakan sebuah tragedi dramatis yang terjadi di

kawasan lingkar Selatan Mediterania. Mulai dari negara Mesir hingga Libya
mengalami perubahan politik yang signifikan. Tragedi tersebut tentu saja
menimbulkan kehebohan dan juga konflik bersenjata pada akhirnya, hal ini
seperti yang dilakukan dalam operasi NATO. Mengikuti perkembangan kerusuhan
yang terjadi, mulai pada 17 Februari lalu di Benghazi, The United Nations
Security Council (UNSC) mulai mengadopsi Resolusi tahun 1970, dimana
memberlakukan embargo, membekukan asset pribadi milik pemimpin Libya, dan
menjatuhkan larangan perjalanan wisata3.

1 Dodge Toby, 2014. An article with the tittle Conclusion: the Middle East After Arab
Spring
2 Ibid

Kemudian, pada 17 Maret UNSC mengadopsi Resolusi tahun 1973 yang


menghimbau kepada negara anggotanya serta kepada organisasi regional lainnya
untuk mengambil tindakan yang dibutuhkan guna melindungi warga Libya.
Negara anggota NATO yang lainnya dengan segera mengikuti panggilan dari
United Nations (UN) terkait penyelenggaraan Operasi NATO untuk melakukan
embargo senjata pada 23 Maret. Sebagai tambahannya, pada 24 Maret, NATO
memutuskan untuk menyelenggarakan perintah UN dengan mengeluarkan
kebijakan larangan zona terbang di Libya atas dasar Resolusi yang dikeluarkan
oleh UNSC terkecuali bagi penerbangan untuk kegiatan sosial ataupun bantuan
untuk mencegah serangan udara yang dilakukan oleh otoritas Libya4.
Operasi yang dilaksanakan oleh NATO di Libya atau yang disebut dengan
Operation Unified Protector memiliki agenda dengan tujuan untuk melindungi
warga negara ataupun populasi warga negara di sekitar area tersebut. NATO
mengambil langkah tersebut sebagai bagian dari peran di internasional dan juga
mengindikasikan adanya keinginan untuk bekerjasama dengan partner di kawasan
regional tersebut. Operasi tersebut diakui keabsahannya atau bersifat legal
berdasarkan Resolusi UNSC tahun 1973 untuk melakukan adanya intervensi
militer di Libya. Lebih dari itu, dukungan dari negara-negara Arab terhadap
operasi tersebut semakin memperkuat legitimasi bagi NATO secara politik untuk
melakukan intervensi5.
Sejak situasi di Libya menjadi sangat mudah berubah, NATO harus
mempersiapkan strategi untuk meninjau Libya dalam konteks The Chicago
Summit 2012. Negara-negara aliansi mungkin tidak akan lama dalam memimpin
masa peralihan di Libya pada Mei 2012, peristiwa tersebut akan tetap menjadi
pembelajaran, dan sebagai sarana untuk share. Terlebih dari itu, NATO akan
memiliki peran penting untuk mendukung stabilitas dan rekonstruksi di Libya
serta di kawasan regional. Hal tersebut akan sangat berguna bagi negara-negara
3 Francois Isabelle, 2011. Transatlantic Current: NATO and the Arab Spring, Institute for
National Strategic Studies, National Defense University, hlm. 1
4 Ibid
5 Ibid, hlm. 2

aliansi untuk melanjutkan dan mengajak partner kawasan dalam membangun


kerjasama yang lebih.
Operasi yang dilakukan NATO di Libya menghadapi tantangan berupa sulitnya
mencapai konsensus dari negara-negara aliansi, dimana NATO sendiri
menghadapi adanya perbedaan kepentingan politik yang dimiliki oleh negaranegara aliansi (Notabennya adanya Perancis, Jerman, dan Turki). Kesulitan dalam
mencapai konsesus lebih mengarahkan NATO beserta negara aliansinya untuk
membuat aturan ketimbang pengecualian. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa
apabila NATO melancarkan operasi, hanya beberapa negara saja yang dapat
dihitung untuk berkontribusi dalam operasi tersebut.6
Faktanya, operasi yang dilancarkan oleh NATO di Libya dapat dilihat sebagai
simbol bagaimana Amerika berhasil meyakinkan aliansinya bahwa Eropa dapat
mengambil peranan lebih besar sebagai penyampai aspirasi atas beban yang
dirasakan serta mengasumsikan sebagai penanggung jawab atas keamanan di
Eropa dan negara luar. Operasi tersebut juga merupakan kali pertamanya dimana
Amerika Serikat setuju dan bermain sangat penting dan berperan mendukung
sementara Eropa tengah memimpin operasi tersebut. Ini merupakan salah satu
contoh terbaik dimana kekuatan Amerika beserta asetnya menjadi lebih mudah
memasuki Eropa melalui NATO untuk menutupin kekurangan dari negara aliansi
terkait senjata yang diperlukan beserta amunisinya untuk menyelesaikan misi7.

6 Ibid, hlm. 3
7 Ibid

Anda mungkin juga menyukai