Anda di halaman 1dari 15

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.1
2.2 Etiologi 1,2
1. Diabetes Melitus Tipe 1
a) Melalui proses imunologik
b) Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a) Defek genetik funsi sel-:
Kromosom 12, HNF-1 alfa (dahulu MODY 3)
Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
Kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu MODY 1)
DNA mitokondria
Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
HNF-1 (MODY 5)
NeuroD1 (MODY 6)
Subunits of ATP-sensitive potassium channel
Proinsulin or insulin conversion
b) Defek genetik kerja insulin:
Type A insulin resistance
Sindrom Rabson-Mendenhall
Sindrom Lipodystrophy
c) Penyakit eksokrin pankreas:
Pankreatitis
Trauma/pankreatektomi
Neoplasma
Kista fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus
d) Endokrinopati:
Akromegali
Sindrom cushing

e)

f)
g)
h)

Feokromositoma
Hipertiroidisme
Karena obat/zat kimia:
Vancor, interferon
Pentamidin, tiazin, dilatin
Asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid
Infeksi : rubella kongenital dan CMV
Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin
Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Kliniferter, Turner,

Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi.


4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)
2.3 Klasifikasi
2.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe
dependen insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia.
Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat
dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan
tidak diketahui sumbernya.3
2.3.2 Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset
maturitas dan tipe nondependen insulin. Obesitas sering dikaitkan dengan
penyakit ini.3,4

Nama lama

Type 1 (insulin dependent)

Type 2 (non-insulin dependent)

DM Juvenil

DM Dewasa

Epidemiologi Anak-anak/remaja(biasanya berumur Orang tua (biasanya berumur > 30


< 30 tahun)
tahun)
Berat badan

Biasanya kurus

Sering ebesitas

Heredity

HLA-DR3 or DR4 in > 90%

Tidak ada hubungan HLA

Patogenesis

Penyakit Autoimmune :

Tidak berhubungan dengan


autoimun

Islet cell autoantibodies


Insulitis

Insulin resistance

Klinikal

Defisiensi Insulin
Berhungan dengan ketoacidosis

Pengobatan

Insulin, diet, olah raga

Defisiensi Partial insulin


Berhubungan dengan
hyperosmolar
Diet, olah raga, tablet, insulin

Biochemical

Kemungkinan kehilangan peptida-C Persisten peptida-C

2.4 Manifestasi Klinis


2.4.1 Gejala Khas
1. Penurunan Berat Badan
Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat yang menyebabkan
penurunan prestasi di sekolah dan lapangan olah raga juga mencolok.
Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam
sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga.
Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari
cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita
kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.1
2. Banyak Kencing (Poliuria)
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan
banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan
sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam.
3. Banyak Minum (Polidipsia)
Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya
cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering
disalahtafsirkan. Dikiranya sebab rasa haus ialah udara yang panas
atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu
penderita minum banyak.
4. Banyak Makan (Polifagia)
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan
menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan,
oleh karena itu penderita selalu merasa lapar.1
2.4.2 Gejala Tidak Khas
1. Gangguan Saraf Tepi

2. Gangguan Penglihatan
3. Gatal / Bisul
4. Disfungsi Ereksi
5. Keputihan
2.5 Komplikasi Metabolik Akut Diabetes Melitus
Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya
dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa
glukosa darah kapiler.5 Beberapa komplikasi akut yang dapat terjadi pada
diabetes adalah:
2.5.1 Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik adalah

keadaan

dekompensasi

kekacauan

metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,


terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan
hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan
membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok.5
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatan
lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan
benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam
plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban
ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga
dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.3,6
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini

jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi
bahaya komplikasi ini dan pengobatan KAD dapat dilakukan sedini mungkin.3
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
dan hormon pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa
hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil
akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak
menentukan berat ringannya KAD.5
KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut:5
1. Kadar glukosa > 250 mg%
2. pH < 7,35
3. HCO3 rendah
4. Anion gap yang tinggi
5. Keton serum positif
Begitu masalah KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai.
Pengelolaan KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis
penyakit, merupakan terapi titerasi, sehingga sebaiknya dirawat diruang
perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:5
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan glukoneogenesis sel hati dengan
insulin
3. Mengatasi stres sebagi pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
2.5.2 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK)
ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis.
Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali
disertai gangguanneurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.5

Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu


tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas
meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan.
Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus.5
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor
pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan,
noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit
penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%). Compliance yang
buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%).5
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria.
Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang semakin memperberat derajat kehilangan air.
Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang
batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau
penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih
banyak dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada
tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat
resistensi insulin.5 Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan:5
1. Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan.
2.5.3 Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60
mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus
selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai

seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang
diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada
usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma dengan kejang. Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu gejala adrenergik dan gejala sistem saraf pusat.
a)

Hipoglikemia ringan
Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan

terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti


perspirasi, tremor, takhikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
b)

Hipoglikemia Sedang
Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak

mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda


gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan
berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse, penurunan daya ingat, mati rasa
didaerah bibir serta lidah, bicara rero, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan
emosional, perilaku yang tidak rasional, pengllihatan ganda, dan perasaan
ingin pingsan.
c)

Hipoglikemia Berat
Fungsi sitem saraf pusat menagalami gangguan yang sangat berat sehingga

pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi Hipoglikemia


yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan kehilangan
kesadaran.

2.6 Penatalaksanaan Komplikasi Metabolik Akut Diabetes Melitus

10

2.6.1 Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik5


1. Cairan
Dehidrasi dan hiperosmolaritas diatasi secepatnya dengan cairan garam
fisiologis. Pilihan berkisar antara NaCl 0,9% atau NaCl 0,45%
tergantung dari ada tidaknya hipotensi dan tnggi rendahnya kadar
natrium. Pada umumnya diperlukan 1-2 liter dalam jam pertama. Bila
kadar glukosa < 200mg% maka perlu diberikan larutan mengandung
glukosa (dekstrosa 5% atau 10%). Pedoman untuk menilai hidrasi adalah
turgor kulitjaringan, tekanan darah, keluaran urin, dan pemantauan
keseimbangan cairan.
2. Insulin
Insulin baru diberikan pada jam kedua. Pemberian insulin dosis rendah
terus menerus intravena dianjurkan karena pengontrollan dosis insulin
menjadi lebih mudah, penurunan kadar glukosalebih halus, efek insulin
cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, dan
komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih jarang. Sepuluh unit
diberikan sebagai bolus intravena, disusul dengan infuse larutan insulin
regular dengan laju 2-5 U/jam. Sebaiknya larutan 5U insulin dalam 50ml
NaCl 0,9% bermuara dalam larutan untuk rehidrasi dan dapat diatur laju
tetesnya secara terpisah. Bila kadar glukosa turun sampai 200mg/dl atau
kurang, laju larutan insulin dikurangi menjadi 1-2U/jam dan larutan
rehidrasi diganti dengan glukoa 5%. Pada waktu pasien dapat makan
lagi, diberikan sejumlah kalori sesuai kebutuhan dalam beberapa porsi.
Insulin regular diberikan subkutan 3 kali sehari secara bertahap sesuai
kadar glukosa darah.
3. Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K+ serum meningkat. Pemberian
cairan dan insulin segera mengatasi keadaan hiperkalemia. Perlu
diperhatikan terjadinya hipokalemia yang fatal selama pengobatan kad.
Untuk

mengantisipasi

masuknya

ion

K+

ke

dalamsel

serta

mempertahankan kadar K serum dalam batas normal, perlu diberikan


kalium. Pada pasien tanpa kelainan ginjal serta tidak ditemukan

11

gelombang T yang lancip pada gambaran EKG, pemberian kalium


segera dimulai setelah jumlah urin cukup adekuat.
4. Glukosa
Setelah rehidrasi awal dalam 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa
darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan
terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60mg% per jam. Bila kadar
glukosa mencapai 200 mg% maka dapat dimulai infuse yang
mengandung glukosa. Perlu diingat bahwa tujuan terapi KAD bukan
untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.
5. Bikarbonat
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH < 7,1 atau bikarbonat serum
< 9mEq/l. walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan
hiperkalemia yang mengancam tetap meruakan indikasi pemberian
bikarbonat. Pengobatan umum meliputi antibiotik yang adekat, oksigen
bila PO2 < 80 mgHg, heparin bila ada KID atau bila hiperosmolar berat
(> 380mOsm/l).
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD
mengingat

penyesuaian

terapi

perlu

dilakukan

selama

terapi

berlangsung. Untuk itu perlu pemeriksaan:


- Kadar glukosa darah per jam dengan alat glukometer.
- Elektrolit setiap 6 jam selam 24 jam selanjutnya tergantung
-

keadaan
Analisis gas darah, bila pH < 7 waktu masuk, periksa setiap 6 jam

sampai pH > 7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil.


Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, dan

temperature setiap jam.


Keadaan hidrasi, keseimbangan cairan
Kemungkinan KID

12

JAM KE
INFUS I

KOREKSI K+

INFUS II

KOREKSI HCO3

0
Bila pH
<7
7-7,1

2 kolf. jam
1 kolf. jam

>7,1

1
2 kolf

2
1 kolf

3
1 kolf

4
kolf

Pada jam ke-2: Bolus 180


mU/kg BB
Dilanjutkan dengan drip
insulin
90
mU/kgBB
dalam NaCl 0,9%
Bila gula darah <200
mg/dl, kecepatan dikurangi
45 mU/jam/kgBB

50 mEq/6 jam (dalam


infus)

100

50
0
mEq/HCO3

26
13
mEq K+ mEq K+

Bila kadar K+
<3 3-4,5 4,5-6 >6
75 50 25 0
mEq/ 6 jam

Bila gula darah stabil 200300 mg/dl selama 12 jam


dilakukan drip insulin 1-2
unit/jam
disamping
dilakukan sliding scale
setiap 6 jam, bila kadar
glukosa darah:
< 200
200-250
5U
250-300
10 U
300-350
15 U
>350
20 U
Bila stabil dilanjutkan
dengan sliding scale tiap 6
jam.
Bila gula darah <
200 mg/dl ganti
dextrose 5%
Chek CVP
Catatan: 1 kolf = 500
cc

Stelah sliding tiap 6 jam

Bila sudah sadar beri K+

bila pH meningkat

dapat

oral selama seminggu

K+ akan menurun

diperhitungkan

insulin sehari
3 x sehari
makan,
makan.

bila

oleh
sebelum
os

sudah

karena

itu

pemberian
bikarbonat
dengan
K

2.6.2 Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik 5


1. Cairan

disertai
pemberian

13

Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah


penggantian ciran yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan deficit cairan (biasanya 100 sampai 200
ml per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonic akan
dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi deficit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisi myelin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1 L normal saline per jam. Pada awal terapi, kadar glukosa
darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat
menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan.
Jika kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL
per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang
atau gangguan ginjal.
2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang
sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus
dipantai terus menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor.
Jika kadar kalium awal < 3.3 mEq per L, pemberian insulin ditunda dan
diberikan kalium sampai tercapai kadar kalium setidaknya 3.3 mEq per
L. Jika kadar kalium lebih besar dari 5.0 mEq per L, kadar kalium harus
diturunkan sampai di bawah 5.0 mEq per L.
3. Insulin
Hal yang terpenting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum
pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi
menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vascular atau kematian.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0.15 U/kgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0.1 U/kgBB per jam sampai kadar
glukosa darah turun antara 250 mg/dL sampai 300 mg/dL. Jika kadar
glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang

14

diberikan dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah sudah


mencapai di bawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya
kesadaran dan keadaan hyperosmolar.
2.6.3 Penatalaksanaan Hipoglikemia
Pemberian glukosa oral sesudah

diagnosis

ditegakan

dengan

pemeriksaan glukosa darah kapiler, 10-20 g harus segera diberikan. Idealnya


dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung
glukosa seperti jus buah dan non-diet cola. Sebaiknya jangan memberi coklat
karena gula akan dihambat penyerapannya oleh lemak dalam coklat. Bila
dalam 1-2 jam belum ada jadwal makan,dapat diberikan lagi 10-20 g
karbohidrat kompleks. Glukagon 1 mg IM dapat diberikan dan hasil akan
tampak dalam 10 menit. Bila pasien sudah sadar, pemberian glukagon diikuti
dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g
karbohidrat dalam bentuk tepung. Dalam keadaan puasa yang panjang atau
hipoglikemia yang diindukdi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak
efektif. Efektifitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang
terjadi. Pemberian 75-100 ml larutan glukosa IV 20 % juga efektif.

15

16

BAB 3
KESIMPULAN
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara
penyakit tidak menular yang akan meningkat di masa datang. Diabetes sudah
merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000
jumlah pengidab diabetes diatas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan
dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang. Prevalensi penyakit diabetes meningkat
karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang dimakan,
kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut.
Ketoasidosis Diabetik merupakan salah satu komplikasi akut diabetes
melitus akibat defisiensi (absolut ataupun relatif) hormon insulin yang tidak
dikenal dan bila tidak mendapat pengobatan segera akan menyebabkan
kematian.Faktor yang dapat menjadi pencetus keadaan ini adalah infeksi yang
merupakan pencetus paling sering, karena pada keadaan infeksi kebutuhan tubuh
akan insulin tiba-tiba meningkat.
Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM
secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya
komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk
mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik. Khusus mengenai pencegahan
KAD dan hipoglikemia, program edukasi perlu menekankan pada cara-cara
mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja
cepat, target kadar glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi,
memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang
mudah dicerna, yang paling penting ialah agar tidak menghentikan pemberian
insulin atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan
atau nasihat tenaga kesehatan yang professional.

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I. Penatalaksanaan Diabetes


Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hal: 161-178.
2. Fauci, A. S., Braunwald, E. K., Hauser, D. L., Stephen, L. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 17th Edition. McGraw-Hill Companies.
2008.
3. Price, S. A., Wilson, L. Patofisologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005. Hal: 886-888, 1262.
4. Kumar, P., Clark, M. Clinical Medicine. 6 edition. Saunders ltd. Elsevier.
2005.
5. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: IPD FKUI. 2006. Hal: 1870-1880.
6. Boon, N. A., Walker, B. Davidsons Principles and Practice of Medicine. 20th
Edition. Elsevier. 2006.

Anda mungkin juga menyukai