Kepada Yth:
Fakhrurrazi
Induksi Sputum
Pendahuluan
Sejak 1980 induksi sputum menggunakan inhalasi saline hipertonik (HS)
telah
berhasil
digunakan
untuk
mendiagnosis
Pneumocystis
Carinii
pada penderita asma, dan ini adalah studi pertama untuk mencoba
menggunakan
dimana dengan induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas
bawah2 Dalam beberapa tahun terakhir induksi sputum dengan SH dan
pengolahan selanjutnya telah disempurnakan sebagai penelitian non invasif
yang dapat memberikan informasi penting tentang peristiwa inflamasi di saluran
pernafasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa induksi sputum aman dan
dapat dilakukan pada orang sehat maupun
Induksi
3%. Temuan ini menunjukkan bahwa mengukur peradangan saluran napas dapat
menyediakan panduan yang lebih baik untuk kebutuhan pengobatan kortikosteroid
dibandingkan penilaian fungsional. 6
Asma dikaitkan dengan peningkatan eosinofilia sputum. Ada beberapa
bukti bahwa jumlah eosinofil sputum meningkat saat terpapar dalam asma. Salah
satu aplikasi induksi sputum dengan
paru
obstruktif
kronik
adalah
penyakit
yang
ditandai
11
12
Namun,
Metode ini memiliki sensitivitas rendah dan kurang ber nilai pada pasien yang
tidak dapat menghasilkan dahak secara spontan. Walaupun demikian diagnosis TB
pada pasien ini sulit, dan dalam kebanyakan kasus diperlakukan secara empiris
atas dasar klinis dan
mengakibatkan biaya yang tidak perlu dan toksisitas. Induksi sputum adalah alat
yang berharga untuk mendiagnosis tuberkulosis paru-paru. 13
Conde dkk. (2000) membandingkan induksi sputum dengan bronkoskopi
fiberoptik dalam diagnosis TB di pusat rujukan di Rio de Janeiro Brasil. Mereka
menemukan bahwa induksi sputum merupakan prosedur yang aman dengan
hasil diagnostik tinggi dan keselarasan tinggi dari Hasil bronkoskopi fiberoptik,
untuk diagnosis TB pada HIV-negatif dan pasien HIV-seropositif. Di daerah
di mana serat optik bronkoskopi tidak mudah tersedia, dan sebagai bagian dari
work up yang diduga TBC sebelum bronkoskopi, induksi sputum sebagai
alternatif atau tambahan pendekatan untuk diagnosis sputum BTA positif dan akan
meningkatkan ensitivitas diagnostik dalam area dengan sumber daya miskin. 13
Anderson et al. (1995) membandingkan
bayi
dan
anak
terinfeksi
HIV
dan
tidak
terinfeksi
15
17
aktivasi onkogen spesifik dan supresor tumor deteksi gen, serta ketidakstabilan
genomik dan metilasi abnormal. Seperti itu Studi dengan jelas menunjukkan
bahwa sampel sputum yang baik memungkinkan analisis genetik yang rumit yang
akan dilakukan, sehingga memberikan lebih dorongan untuk mengingat sputum
teknik sebagai alat untuk screening kanker paru-paru. 5
Pneumonia carinii Pneumonia
Pneumocystis carinii penyebab morbiditas dan mortalitas signifikan pada
orang yang terinfeksi HIV menyebabkan klinis pneumonia pada pasien
imunosupresi. Klinis ditandai dengan demam, sesak napas, sesak substernal, dan
batuk produktif. Gejala dapat relatif ringan dan progresif lambat, sehingga ada
keterlambatan diagnosis19Transbronkial biopsi dan lavage bronchoalveolar telah
terbukti memiliki 98-100% untuk diagnosis Pneumocystis carinii pneumonia.
Meskipun ini dianggap sebagai standar emas, induksi sputum mungkin memiliki
peran dalam mendiagnosis Pneumocystis carinii pneumonia.
Dilaporkan di pertengahan 1980-an bahwa Pemeriksaan dahak melalui
inhalasi larutan garam hipertonik sering untuk diagnostik Pneumocystis carinii
pneumonia.
19
Pneumocystis carinii pneumonia. Pada anak yang lebih tua yang tidak bisa secara
meludah dahak spontan, induksi dapat menjadi membantu alat diagnostik.
Metode Induksi Sputum
Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari
saluran napas individu yang tidak dapat mengeluarkan secara spontan.
Pemeriksaan ini berguna untuk menilai inflamasi saluran napas pasien asma dan
gangguan pernapasan lainnya. Metode induksi sputum dilakukan dengan nebuliser
ultrasonik. Hal ini dilakukan sejak nebuliser jenis lain tidak menghasilkan aerosol
larutan salin yang cukup. Penggunaan 2 agonist kerja singkat sebelum dilakukan
induksi sputum mencegah bronkopsame yang dapat terjadi dimana menggunakan
cairan HS dan penggunaan spirometri dilakukan untuk menilai kemampuan
saluran napas dan untuk menghindari terjadinya bronkokonstriksi yang berlebihan
selama inhalasi larutan salin. Tidak ada perbedaan hasil komposisi sel akibat
perbedaan konsentrasi salin. Prosedur harus dipimpin oleh teknisi yang
berpengalaman dibawah supervisi dokter yang berpengalaman.
Belum ada metode baku standar induksi sputum. Prinsip yang ada pada
berbagai metode ialah :
1. Konsentrasi cairan salin umumnya 3%, 4% atau 5%.
2. Pengobatan awal dengan bronkodilator ialah salbutamol
3. Monitoring faal paru
4. Nebulisasi dengan nebuliser ultrasonic
Prosedur induksi sputum dijelaskan gambar 1.
20
21
saluran napas dibuat menjadi sampel pada titik waktu yang berbeda selama
induksi sputum. Contohnya saluran napas atas dibuat sampel lebih awal
sedangkan saluran napas perifer dan alveoli dibuat sampel akhir. Waktu inhalasi
pendek t memiliki kemungkinan keberhasilan yang sama dengan waktu inhalasi
lebih panjang kurang lebih 30 menit.
Tidak terdapat perbedaan kompososi sel sputum yang diinduksi dengan
menggunakan salin normal atau hipertonik. Hanya satu penelitian menunjukkan
bahwa meningkatkan konsentrasi salin memiliki keuntungan lebih daripada
konsentrasi tunggal. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa salin hipertonik
3% sama berhasilnya dengan menggunakan salin 3-5% yang dinaikkan secara
bertahap. 21
berpotensi dapat memertahankan efek osmotic lebih lama darai HS. 22,23
Studi in Vitro efek HS pada sillia, menyatakan bahwa konsentrasi HS
harus dibatasi sampai 7 %, garam konsentrasi tinggi mengakibatkan perlmabatan
silia dan transien silia statis. Pada konsentrasi garam yang sangat tinggii, seperti
14,4% dapat terjadi. 22
Nebulisasi
Nebuliser ultrasonik direkomendasikan karena jenis nebuliser lain
biasanya tidak menghasilkan aerosol salin yang memadai. Hal ini diindikasikan
dengan penghitungan cytospin, beratnya sputum dan total hitung sel. Pengunaan
nebuliser ultrasonik lebih berhasil dibandingkan dengan nebuliser jet. 20,24
Perlu dilakukan pengukuran total volume inhalasi. Ukuran partikel
mempengaruhi deposisi dan diistribusi saluran udara. Pengaruh set up nebuliser
yang berbeda (panjang pipa, katup, dan sebagainya) belum dievaluasi secara
Mekanisme terjadinya
konstriksi saluran napas pada inhalasi salin hipertonik tidak diketahui, mungkin
melibatkan aktivasi sel mast saluran napas atau ujung saraf sensoris neuro
peptida.25-27
Demi keamanan dalam melaksanakan prosedur induksi sputum maka
direkomendasikan
inhaler (MDI) standar. Praterapi dengan salbutamol dosis tinggi tidak efektif
secara universal dalam mencegah bronkokonstriksi yang diinduksi oleh salin
hipertonik. Bronkospasme berulang dapat menjadi semakin parah atau semakin
sulit diatasi, oleh karena itu dosis tunggal salbutamol 200 g direkomendasikan
dengan pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebelum dan
setelah 10 menit. Beberapa penulis memilih dosis sebesar 400 g dengan alasan
bahwa bronkospasme sering terjadi pada dosis sebesar 200 g, namun hal ini
belum diteliti secara resmi.25-27
Faktorfaktor prediksi pada bronkospasme yang berhubungan dengan
induksi , dua penelitian melaporkan tentang prediktor bronkoskonstriksi berat
yaitu
tingkat
10
saluran napas terhadap metakolin atau histamin tetapi 2 penelitian tersebut gagal
dalam memastikan nilai prediktifnya. Dua penelitian lain melaporkan terdapat
korelasi kuat antara penggunaan agonis-2 kerja singkat yang berlebihan dengan
besarnya penurunan VEP1 setelah induksi sputum. Terdapat bukti bahwa
penggunaan agonis2 secara terus menerus menyebabkan penurunan efek
bronkoprotektif
penggunaan agonis-2 kerja singkat yang berlebihan atau karena tidak adanya
perlindungan terhadap konstriksi saluran napas berat setelah pajanan salin
hipertonis. 25-27
Data keamanan dan kemudahan induksi sputum pada pasien dengan asma
berat dan sulit dikontrol masih terbatas, demikian juga data tentang toleransi efek
bronkoprotektif dan keamanan pada pasien yang regular menggunakan agonis-2
kerja lama masih jarang. Hal lainnya adalah prediktor objektif untuk penyempitan
saluran napas berat belum dibuat walaupun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa tingkat hambatan saluran napas, hiperesponsif saluran napas dan
penggunaan agonis-2 kerja singkat yang berlebihan dapat memiliki beberapa
nilai prediktif. 25-27
Pengawasan fungsi paru selama induksi dan durasi prosedur
Pengawasan fungsi paru selama induksi penting demi keamanan terhadap
resiko bronkokonstriksi berlebihan selama prosedur induksi dilakukan . Tidak ada
pendekatan baku untuk mengawasi fungsi paru selama induksi sputum tetapi
sebuah protokol telah diajukan. Banyak peneliti melakukan pengukuran fungsi
paru setiap 5-10 menit dengan pemeriksaan lebih lanjut jika timbul gejala
bronkokonstriksi. Beberapa metode telah dilakukan
bronkospasme dapat terjadi secara dini selama inhalasi, mungkin perlu dilakukan
pengukuran fungsi paru pada menit pertama nebulisasi untuk mendeteksi subjek
yang sangat sensitif terhadap SH. Durasi interval pengawasan berkisar antara 1
sampai 10 menit. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) perlu dimonitor
11
dengan interval 5 menit selama inhalasi. Penting bahwa setiap subjek diawasi
ketat sepanjang prosedur terhadap terjadinya perubahan gejala saat induksi
sputum dan pengukuran aliran udara dibuat lebih sering mengingat potensi bahaya
terjadinya bronkonstriksi yang berat disebabkan inhalasi salin hipertonik 25-27
Perbedaan pendapat mengenai kapan menghentikan
induksi sputum
12
13
Daftar Pustaka
1. Pitchenik A, Ganjei P, Torres A, Evans DA, Rubin E, Baier H. Sputum
examination for the diagnosis of Pneumocystis carinii pneumonia in the
acquired immunodeficiency syndrome. Am Rev Respir Dis
1986;133(2):226-9.
2. Pin I, Gibson PG, Kolendowicz R, Use of induced sputum cell counts to
investigate airway inflammation in asthma. Thorax 1992;47(1):25-9.
3. Djukanovic R, Sterk PJ, Fahy JV, Hargreave FE. Standardised
methodology of sputum induction and processing. Eur Respir J 2002;
37(Suppl):1s-2s.
4. Grootendorst DC, Sont JK, Willems LN, et al. Comparison of
inflammatory cell counts in asthma: induced sputum vs bronchoalveolar
lavage and bronchial biopsies. Clin Exp Allergy 1997;27(7):769-79.
5. Vignola AM, Rennard SI, Hargrave FE, et al. Future directions. Eur Respir
J 2002;20(Suppl 37):51s-55s.
6. Pavord ID, Sterk PJ, Hargreave FE, et al. Clinical applications of
assessment of airway inflammation using induced sputum. Eur Respir J
2002;37(Suppl):40s-3s. Kelly MG, Brown V, Martin SL, Ennis
7. Kelly MG, Brown V, Martin SL, Ennis M, Elborn JS. Comparison of
sputum induction using high-output and low-output ultrasonic nebulizers
in normal subjects and patients with COPD. Chest 2002;122(3):955-9
8. Peleman RA, Rytil PH, Kips JC, Joos GF, Pauwels RA. The cellular
composition of induced sputum in chronic obstructive pulmonary disease.
Eur Respir J 1999;13(4):839-43.
9. Cosio MG, Majo J, Cosio MG. Inflammation of the airways and lung
parenchyma in COPD: role of T cells. Chest 2002;121(5 Suppl):160S-5S.
10. Confalonieri M, Mainardi E, Della Porta R, et al. Inhaled corticosteroids
reduce neutrophilic bronchial inflammation in patients with chronic
obstructive pulmonary disease. Thorax 1998;53(7):583-5.
14
15
16
identifikasi eosinofil dan neutrofil pada sputum dan cairan lavase bronkial.
Eosinofil protein kationik (ECP) yang digunakan secara luas, tidak spesifik
terhadap eosinofil. Eosinofil protein kationik (ECP) dapat dideteksi oleh
imunositokimia pada eosinofil dan neutrofil. Rentang normal sputum assay
dijelaskan pada tabel 5.14
Konsentrasi EPO dan eosinofil pada sputum pasien PPOK dan asma lebih tinggi
daripada kelompok percobaan lain. Konsentrasi MPO dan HNL lebih tinggi pada
penderita PPOK daripada penderita asma dan subjek sehat.14
18