Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa transisi yang penting. Masa ini dapat menjadi
waktu dimana remaja melakukan disorientasi dan penemuan jati diri. Masa transisi
ini membawa issue yang harus diselesaikan oleh remaja yakni kemandirian, selfidentity; memilih dan terlibat dalam berbagai macam pilihan seperti fokus kepada
sekolah, seksualitas, alkohol, narkoba, hingga kehidupan sosial. Proses-proses
perubahan yang terjadi pada diri remaja mengakibatkan remaja mengalami tekanantekanan, baik itu tekanan dari dalam dirinya maupun tekanan dari orang-orang di
sekitarnya, terutama teman sebayanya. Hal ini membuat remaja rentan terlibat dalam
tindakan-tindakan kekerasan (Pellergini & Bartini, 2000 dalam Li, 2005).
Bullying adalah perilaku yang sengaja dilakukan oleh seseorang untuk
merugikan dan mempermalukan orang lain. Bullying sebagai bentuk dari peer
victimization, berbeda dengan bentuk agresi lain antara anak-anak (e.g., konflik
antar teman sebaya) (Espelage, Holt, & Henkel, 2003; Olweus, 1993, 2001; Olweus,
Limber, & Mihalic, 1999; Pellegrini, 2002). Maka dari itu perilaku bullying
didefinisikan sebagai perilaku agresif yang sengaja dilakukan oleh suatu kelompok
atau individu secara berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu untuk melawan
seorang korban yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya sendiri (Olweus,
1993). Bullying menurut Olwues memiliki tiga karakteristik yakni intention to
harm/agresivity (niat untuk menyakiti/agresifitas), repetition (pengulangan), dan
power imbalance (ketidakseimbangan kekuatan). Karakteristik ini memberikan
perbedaan mengenai pengertian bullying dan perilaku kekerasan lainnya antara
individu seperti perkelahian antar teman, mengejek, memukul, maupun perilaku
lainnya yang hanya dilakukan dalam sekali waktu dan tidak memenuhi karakteristik
lainnya.
Bullying disekolah adalah masalah utama yang muncul di beberapa negara
(e.g. Borntrager et al. 2009; Eslea et al. 2004). Di Indonesia sendiri dilansir melalui
Republika.co.id, kasus bullying merupakan kasus yang menduduki tingkat utama

dalam pengaduan masyarakat ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di


sektor pendidikan. Sejak Januari 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat sebesar
369 pengaduan terkait kasus bullying. Pengaduan mengenai bullying ini
mengalahkan pengaduan berbagai kasus disekolah lainnya seperti tawuran antar
pelajar, diskriminasi pendidikan, atau pungutan liar.
Kasus bullying di Indonesia yang sempat menghebohkan datang dari sebuah
Sekolah Dasar Swasta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Perlakuan kekerasan
bullying yang dilakukan oleh anak SD tersebut berhasil terkekam dalam sebuah
video yang diunggah melalui youtube. Dalam video tersebut terlihat seorang anak
perempuan berjilbab dipojok ruang kelas yang sedang ditendang dan dipukuli oleh
teman-teman lelakinya secara bergantian. Korban hanya dapat diam dan menangis
pada kejadian tersebut. Kasus lainnya dilakukan oleh siswa kelas 3, SMA 82 kota
Jakarta. Seorang siswa kelas 1 bernama Ade Fauzan menjadi korban kekerasan
tersebut dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jl. Kiai Maja,
Jakarta Selatan. Kejadian bermula saat Ade ingin mengambil bukunya yang
tertinggal di suatu ruangan kelas. Ade menuju ruangan kelas tersebut melalui sebuah
koridor yang ternyata tidak boleh dilalui oleh siswa kelas 1 dan 2. Setelah itu, tibatiba Ade disergap dan ditonjok oleh siswa kelas 3 SMA tersebut. Kekerasan
berlanjut ketika Ade kembali diminta untuk pergi ke sebuah warung yang berjarak
50 meter dari SMA tersebut dan berakhir dengan pemukulan yang dilakukan oleh 30
siswa kelas 3 SMA kepadanya sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri dan dilarikan
ke rumah sakit. Kasus-kasus ini merupakan sedikit dari kasus bullying lainnya yang
terus terjadi disekitar kita dan pelakunya merupakan anak-anak hingga remaja.
Selain bullying dengan bentuk yang biasa kita temui di kehidupan seharihari, bullying memiliki beberapa jenis dan bentuk. Menurut psikolog Andrew
Mellor, bullying adalah pengalaman yang terjadi ketika seseorang merasa teraniaya
oleh tindakan orang lain dan ia takut apabila perilaku buruk tersebut akan terjadi
lagi sedangkan korban merasa tidak berdaya untuk mencegahnya. Bullying tidak
lepas dari adanya kesenjangan power/kekuatan antara korban dan pelaku serta
diikuti pola repetisi (pengulangan perilaku). Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada

beberapa jenis bullying, yakni: (1) bullying fisik, yaitu jenis bullying yang
melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban. Perilaku yang termasuk, antara
lain:

memukul,

menendang,

meludahi,

mendorong,

mencekik,

melukai

menggunakan benda, memaksa korban melakukan aktivitas fisik tertentu,


menjambak, merusak benda milik korban, dan lain-lain. Bullying fisik adalah jenis
yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi dibandingkan bullying jenis
lainnya; (2) bullying verbal melibatkan bahasa verbal yang bertujuan menyakiti hati
seseorang. Perilaku yang termasuk, antara lain: mengejek, memberi nama julukan
yang tidak pantas, memfitnah, pernyataan seksual yang melecehkan, meneror, dan
lain-lain. Kasus bullying verbal termasuk jenis bullying yang sering terjadi dalam
keseharian namun seringkali tidak disadari; (3) bullying relasi sosial adalah jenis
bullying bertujuan menolak dan memutus relasi sosial korban dengan orang lain,
meliputi pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian,
pengucilan atau penghindaran. Contoh bullying sosial antara lain: menyebarkan
rumor, mempermalukan seseorang di depan umum, menghasut untuk menjauhi
seseorang, menertawakan, menghancurkan reputasi seseorang, menggunakan bahasa
tubuh yang merendahkan, mengakhiri hubungan tanpa alasan, dan lain-lain; (4)
bullying elektronik merupakan merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan
melalui media elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting
room, e-mail, SMS, dan lain-lain. Perilaku yang termasuk antara lain menggunakan
tulisan, gambar dan video yang bertujuan untuk mengintimidasi, menakuti, dan
menyakiti korban. Bullying elektronik ini adalah bentuk penindasan jenis baru yang
dapat kita sebut dengan cyberbullying.
Cyberbullying memiliki arti yang sama dengan bullying konvensional
namun dengan penambahan detail tertentu. Hinduja & Patchin (2009), Li (2006),
dan Smith, dkk (2008) mengadaptasi karakteristik yang sama dari bullying seperti
halnya Olweus. Cyberbullying memiliki tiga karakteristik yakni intention to
harm/agresivity (niat untuk menyakiti/agresifitas), repetition (pengulangan), dan
power imbalance (ketidakseimbangan kekuatan) yang dilakukan individu atau
kelompok dengan menggunakan berbagai media elektronik untuk menyerang orang

yang menjadi target penindasan tersebut. Cyberbullying biasanya adalah


perpanjangan dari bullying berbentuk konvensional dan pelakunya biasanya adalah
orang yang dikenali oleh korban di kehidupan nyata (Wollak, Mitchell, & Finkelhor,
2007). Karena dilakukan secara online, bullying dengan bentuk ini dapat terjadi
dimana saja dan kapan saja selama 24 jam tanpa henti serta terus menerus
berkembang.
Jurnal cyberbullying pertama yang dijadikan tambahan refrensi berjudul
Extending the School Grounds? Bullying Experiences in Cyberspace. Jurnal
pertama ini bertujuan untuk mencari persamaan bullying yang terjadi di sekolah dan
di internet atau biasa dikenal sebagai cyberbullying. Penelitian dalam jurnal tersebut
melakukan teknik pengumpulan data survei dengan cara meletakkan link di sebuah
situs yang sering dikunjungi remaja. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak
73%

pengguna aktif internet dari responden pernah menerima perlakuan

cyberbullying. Selain itu, dari jurnal juga dapat diketahui bahwa pelaku
cyberbullying adalah orang orang yang mendapatkan perlakuan bullying di
sekolah dan didapatkan kemungkinan bahwa seseorang yang mengalami distress
akan melakukan perilaku cyberbullying kepada teman atau orang yang baru
ditemuinya di internet.
Meskipun tujuan utama jurnal pertama ingin mencari tahu mengenai
persamaan cyberbullying dan bullying yang ada di sekolah, peneliti dalam jurnal
Extending the School Grounds? Bullying Experiences in Cyberspace. tidak
mencari data melalui pihak sekolah. Sehingga hasil jurnal hanya mengacu pada
cyberbullying tanpa melakukan survei secara langsung ke sekolah sekolah.
Kelemahan yang lain dari jurnal adalah penggunaan sosial media yang sudah jarang
digunakan saat ini.
Jurnal kedua yang dapat dijadikan refrensi dapat membedakan intimidasi
tradisional dengan cyberbullying yang sedang marak dibicarakan dengan judul yaitu
Cyberbullying : A review of the Literature. Jurnal bertujuan mengumpulkan

berbagai pendapat tokoh dan penelitian untuk mengetahui perbandingan jenis


kelamin yang berhubungan dengan cyberbullying. Hasil dari jurnal menunjukkan
bahwa banyak remaja menyaksikan dan melaporkan seseorang yang melakukan
bullying secara online melalui beberapa yaitu email, online chat room, situs jejaring
sosial, telepon seluler, dan situs situs lainnya yang mengatakan MSN massanger
sebagai alat cyberbullying. Selain itu, ditemukan hasil bahwa perilaku cyberbullying
lebih banyak dilakukan oleh wanita sebanyak 38 % dan laki laki 26%.
Banyak jurnal cyberbullying yang membahas mengenai korban selain jurnal
yang sebelumnya, juga terdapat jurnal yang berjudul Cyberbullying di Kalangan
Remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cyberbullying pada
kalangan remaja di Surabaya serta apa saja bentuknya. Tipe penelitian yang
digunakan ialah kualitatif. Penggalian informasi menggunakan wawancara
mendalam atau indept interview dan studi pustaka atau data sekunder. Menggunakan
indept interview bertujuan agar subjek dapat menceritakan dengan jelas dan lengkap
sehingga peneliti bisa mendapatkan jawaban yang bermacam-macam dan akurat.
Sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari penelitian terdahulu yang
dapat mendukung topik yang sedang dibahas. Untuk menganalisis data, penelitian
ini menggunakan teknik analisis transkrip, reduksi data, penyajian data, dan
kesimpulan/verifikasi.
Cyberbullying awalnya muncul karena penggunaan internet pada kalangan
remaja di Surabaya yang sangat meningkat serta munculnya media sosial yang
digunakan oleh para remaja. Data menunjukkan bahwa bentuk-bentuk cyberbullying
yang terjadi pada remaja Surabaya kebanyakan melalui media sosial, seperti hack
facebook bahkan sampai mengolokkan di media sosial. Tindakan-tindakan tersebut
merupakan bentuk Cyberbullying Direct Attact dan Cyberbullying by Proxy.
Maksud dari cyberbullying direct attact ialah membuat website yang bertujuan
untuk menghina, ataupun mengirmikan sesuatu yang memalukan melalu email
ataupun pesan teks. Sedangkan cyberbullying by proxy ialah menyamar sebagai
korban lalu mengirimkan pesan yang menyakiti orang lain sehingga orang lain akan

berpikiran bahwa korban adalah orang yang jahat. Data menunjukkan bahwa
tindakan yang dilakukan remaja di Surabaya tidak hanya cyberbullying direct attact
saja tetapi cyberbullying by proxy juga, sehingga hal ini membuktikan bahwa pelaku
lebih pintar dalam hal teknologi informasi sehingga mereka dengan mudah
menggunakan account korban.
Jurnal selanjutnya juga membahas mengenai cyberbullying yang dialami
oleh siswa dan melihat permasalahan melalui prespektif korban dan berjudul
Cyberbullying, School Bullying, and Psychological Distress : A regional Census of
High School Student. Tetapi berbeda dengan jurnal sebelumnya, dalam jurnal ini
menggunakan sampel yang jelas yaitu murid SMA. Tujuan dari jurnal ini adalah
untuk mencari tahu hubungan antara korban dari cyberbullying, bullying yang
dilakukan di sekolah dengan distress yang dirasakan korban. Pada jurnal ini
ditemukan bahwa kedua korban dari bullying yang ada di sekolah dan cyberbullying
sama sama merasakan akibat distress.
Refrensi jurnal selanjutnya ingin menjelaskan apakah pelecehan secara
online (online harassment) dapat dikategorikan sebagai bentuk bullying dengan
membandingkan kateristik pada remaja yang dilecehkan, kejadian pelecehan secara
online, dan distress yang terjadi pada pelecehan online berdasarkan identitas dari
pelaku pelecehan (teman yang dikenal secara langsung vs hanya kenal secara
online). Judul dari jurnal Does Online Harassment Constitute Bullying? An
Exploration of Online Harassment by Known Peers and Online-Only Contacts
mengumpulkan data dengan cara survei telepon secara nasional kepada 1500 remaja
pengguna internet dengan usia 10 hingga 17 tahun yang dilakukan diantara bulan
Maret dan Juni tahun 2005.
Penjelasan mengenai pertanyaan Apakah pelecehan secara online dapat
dikategorikan sebagai bentuk bullying? dijawab melalui jurnal ini dengan tiga
karakteristik bullying, yang pertama adalah agresivitas yang terdiri dari perilaku
agresif beserta perkataan yang dilakukan dengan niatan untuk menyakititetapi dalam

penelitian ini tidak dapat menyimpulkan pelecehan online manakah yang ditujukan
sebagai bentuk agresivitas. Karakteristik bullying yang selanjutnya adalah terjadinya
pengulangan atau mendapatkan bentuk pelecahan secara berulang ulang dari
pelaku yang sama. Karakteristik bullying yang terakhir adalah ditemukannya
ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban, hasil presentase dari jurnal
adalah 25% remaja yang mendapatkan pelecehan dari teman yang ia kenali dan 21%
yang mendapatkan pelecehan dari teman dunia maya memenuhi kategori
ketidakseimbangan kekuatan.
Melalui temuan tersebut disimpulkan bahwa tidak semua pelecehan yang
terjadi secara online merupakan bullying atau dapat disebut cyberbullying karena
tidak memenuhi syarat atau kriteria bullying yang ada pada school-based research
yakni agresi, pengulangan, dan ketidakseimbangan kekuatan. Selain itu, penulis
mengungkapkan bahwa apabila pelecehan tersebut bukan merupakan perpanjangan
dari bentuk bullying di kehidupan nyata, istilah yang di gunakan seharusnya ialah
online harassment. Online harassment mengacu pada pelecehan yang terjadi
seluruhnya secara online tanpa perpanjangan dari bully yang dilakukan dikehidupan
nyata. Namun, hal ini bisa jadi dipicu oleh kejadian di sekolah, hubungan yang
dimiliki korban, dan memiliki akibat bagi korban.
Penelitian Does Online Harassment Constitute Bullying? An Exploration
of Online Harassment by Known Peers and Online-Only Contacts ingin
menjabarkan mengenai pelecehan online manakah yang merupakan bentuk bullying.
Manfaat penelitian ini dapat memberikan limit atau batasan yang jelas mengenai
bullying secara online atau yang biasa disebut cyberbullying. Kekurangannya,
penelitian ini menggunakan tiga kriteria bullying berdasar school-based research
sebagai dasarnya tetapi terdapat kriteria yang tidak dapat digali yakni agresivitas.
Meluasnya perilaku cyberbullying tidak lepas dari peningkatan kualitas
pelayanan yang memudahkan orang-orang untuk mengakses internet. Berbagai
provider internet berlomba-lomba untuk memberikan terobosan baru dalam layanan
pengaksesan. Internet tak ayal telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat abad

ke-21. Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa menggunakannya untuk berbagai


keperluan. Mereka menggunakannya

untuk berbisnis, mengerjakan tugas,

berkomunikasi, bermain game, hingga berbelanja. Asosiasi Penyelenggara Internet


Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) Universitas Indonesia
menccoba melakukan riset kerjasama untuk menunjukkan peningkatan pengguna
internet di Indonesia. Jika, pada tahun 2012 pengguna Internet di Indonesia
mencapai presentase 24,3% (APJII, 2012),

di tahun 2014 presentase ini naik

sebesar 10,67% menjadi 34,9%. Selanjutnya diungkapkan bahwa 84% pengakses


internet Indonesia menggunakan internet setidaknya sekali dalam sehari dengan
presentase lama penggunaan terbanyak ada pada 1 hingga 3 jam. Tiga alasan utama
dalam mengakses internet adalah 71.7% sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi,
65,3% sebagai sumber informasi harian, dan 51,2% untuk mengikuti perkembangan
zaman. Hal yang dilakukan saat mengakses internet adalah penggunaan media sosial
(87,4%), mencari info/searching/browsing (68,7%), dan instant messaging (59.9%).
Menggunakan media sosial, browsing internet, dan instant messaging berupa
chat merupakan kegiatan harian yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat
pengguna internet termasuk para remaja sekarang. Sejak trend smart-phone dan
media sosial Facebook meledak berbagai media sosial lain pun ikut bermunculan
dan menjamur. Sebut saja, twitter, instagram, LINE, snap-chat, ask-fm, periscope,
path, 17, dan masih banyak lagi lainnya yang belum disebutkan dan mungkin segera
akan booming. Media-media sosial seperti inilah yang rawan digunakan remaja
sebagai tempat melakukan cyberbullying.
Kesadaran akan konsep cyberbullying masih rendah di Indonesia. Berbeda
dengan kampanye melawan bullying konvensional yang sering terdengar diberbagai
media massa. Padahal cyberbullying sebenarnya sudah banyak terjadi di antara
remaja Indonesia. Postingan-postingan bernada sindiran, cemohan, dan menjelekan
suatu nama di media sosial telah banyak beredar. Konsep yang masih jarang
terdengar ini padahal memiliki dampak yang sama merugikannya dengan bullying
bentuk biasa. Melalui sebuah jurnal mengenai cyberbullying yang dialami siswa,
jurnal berjudul Cyberbullying, School Bullying, and Psychological Distress : A

regional Census of High School Student mencoba melihat permasalahan melalui


prespektif korban. Ditemukan bahwa baik korban dari bullying yang ada di sekolah
dan cyberbullying sama sama merasakan distress karena perlakuan yang ia terima.
1.2 Identifikasi Masalah
Terdapat banyak penelitian mengenai cyberbullying. Berdasarkan beberapa
sumber yang telah dijelaskan sebelumnya penelitian kebanyakan masih terbatas
pada korban yang mengalami cyberbullying. Topik yang diangkat dari jurnal-jurnal
penelitian yang kami temukan diantaranya efek dari cyberbullying kepada korban,
perbandingan pengaruh yang ditimbulkan oleh bullying konvensional dan
cyberbullying pada korban, perbedaan gender dan kecenderungan melakukan atau
menerima cyberbullying, berbagai bentuk cyberbullying, cara pencegahan yang
dilakukan, dan masih banyak lagi yang kebanyakan mengangkat topic dari
perspektif korban. Penulis pada akhirnya tertarik untuk mengangkat tema penelitian
dari sisi pelaku.
Pelaku cyberbullying memiliki berbagai karakteristik. Willard dalam
bukunya yang berjudul Cyberbullying and Cyberthreats mengungkapkan 11
karakteristik dari pelaku cyberbullying tersebut. Salah satunya adalah bersikap antisosial. Definisi dari perilaku anti-sosial adalah tindakan mengganggu ditandai
dengan permusuhan terselubung maupun terbuka dan agresi yang disengaja terhadap
orang lain. Perilaku antisosial ada bersamaan dengan sebuah rangkaian keparahan
yang termasuk didalamnya yakni pelanggaran berulang terhadap peraturan sosial,
penentangan terhadap otoritas dan hak dari orang lain, kecurangan, pencurian, dan
pengabaian akan diri sendiri dan orang lain. Perilaku anti-sosial dapat dikenali pada
anak sejak usia tiga atau empat tahun. Penjelasan lebih lanjut mengenai perilaku
anti-sosial dapat ditelaah melalui DSM-IV. Kekhawatiran yang timbul adalah
apabila pola perilaku menindas ini dibiarkan tanpa penanganan ia akan menetap dan
meningkat keparahannya seiring dengan berlalunya waktu, menjadi gangguan
perilaku yang kronis.

Perilaku anti-sosial dihubungkan oleh penulis dengan pelaku cyberbullying.


Kedua variable ini belum pernah diangkat dalam penelitian sebelumnya. Pertanyaan
yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah apakah perilaku anti-sosial
mempengaruhi pelaku cyberbullying? Penelitian bersifat komparatif dengan
metode pemberian skala anti-sosial dan cyberbullying. Hasil skala anti-sosial yang
didapatkan nantinya akan dibandingkan antar subyek mana yang memiliki perilaku
anti sosial tinggi dan rendah lalu dihubungkan dengan kecenderungannya
melakukan perilaku cyberbullying. Penelitian ini akan dilakukan kepada siswa kelas
__ SMA ___ di Surabaya dengan usia di bawah 18 tahun karena cyberbullying
hanya bisa disebut sebagai cyberbullying bila baik pelaku dan korban berusia
dibawah 18 tahun. Apabila salah satunya berusia 18 tahun maupun lebih hal ini
digolongkan sebagai cybercrime (potretonline.com, 29 September 2015).
1.3 Batasan Masalah
Cyberbullying adalah Mengirimkan atau mengumumkan bahan yang
berbahaya atau mengikutsertakan dalam bentuk lain berbagai agresi sosial
menggunakan internet atau teknologi digital yang lain. Pesan yang merusak dan
gambar yang disebarluaskan dan tidak mungkin bisa dihilangkan. Salah satu
karakteristik pembully yang dikemukakan oleh Nancy E. Willard (2007) adalah
gangguan antisosial. Antisosial menurut Ben Tidak mampu menjalin suatu
hubungan agar bertahan lama, meski tidak ada halangan atau kesulitan untuk
mengembangkannya.Toleransi terhadap frustasi sangat rendah dan toleransi yang
rendah tersebut mengarah kepada kekerasan (agresi) yang mengarah menyakiti
diri sendiri.Tidak merasa salah atau menarik manfaat dari pengelaman. Dan juga
lebih cenderung menyalahkan orang lain net (2006) yait
1.4 Rumusan Masalah
Apakah kecenderungan antisosial yang dialami seseorang berhubungan dengan
munculnya perilaku cyberbullying?
1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk mengukur hubungan ganguan antisosial


dengan munculnya perilaku cyberbullying.
1.6 Manfaat Penelitian

Teoritis
Menambah pengetahuan bagi peneliti dan pembaca mengenai teori
cyberbullying.
Memberikan perluasan teori di bidang psikologi klinis, khususnya
mengenai

hubungan

antara

perilaku

anti-sosial

pada

pelaku

cyberbullying.
Memperkaya sumber kepustakaan penelitian dalam ranah psikologi
klinis dan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk penelitian lebih
lanjut.

Praktis
Dapat dijadikan alat ukur untuk mengetahui ukuran hubungan gangguan
antisosial yang terjadi pada seseorang dengan perilaku cyberbullying.
Hasil jawaban responden dapat menjadi bahan refleksi dan evaluasi terhadap
perilaku cyberbullying yang dilakukan terhadap orang lain maupun dirinya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai