Anda di halaman 1dari 6

1.

Definisi
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa rasa nyeri pada ulu hati atau rasa tidak nyaman
di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman ini bisa dirasakan seseorang dalam bentuk rasa penuh di
perut bagian atas, rasa cepat kenyang, rasa terbakar, kembung, bersendawa, mual dan muntah
yang bersifat akut, berulang ataupun kronis. Meskipun jarang terjadi, dispepsia dapat
dijadikan sebagai tanda adanya masalah serius misalnya penyakit radang yang parah pada
lambung ataupun kanker lambung, sehingga harus ditangani dengan serius (Asma, 2012;
Djojoningrat, 2006b).
Gejala biasanya sudah berlangsung bertahun-tahun. Faktor gaya hidup seperti merokok,
alkohol, berat badan dan stres relevan dengan terjadinya refluks. Insidensi kanker meningkat
dengan bertambahnya usia, dan signifikan hanya pada usia diatas 45 tahun. Adanya disfagia dan
penurunan berat badan merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan segera (Davey, 2003).
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering di jumpai sehari-hari.Istilah
dispepsia mulai gencar di kemukakan sejak akhir tahun 80-an (Djojoningrat, 2006a). Dispepsia
merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala. Banyak definisi
tentang dispepsia, berdasarkan kriteria Rome II tahun 1999-2000 dispepsia bukanlah suatu
penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya (Djojoningrat, 2006b).
Keluhan-keluhan ini tidak selalu semua ada pada setiap pasien, bahkan pada satu pasien
pun keluhan dapat bervariasi dari waktu ke waktu dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya
(Djojoningrat, 2006b; Harahap, 2007). Definisi dispepsia di atas menunjukkan bahwa penyebab
timbulnya gejala-gejala berasal dari Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) khususnya lambung dan
duodenum (Harahap, 2007).
2. Etiologi
Penyebab dari sindrom dispepsia adalah (Djojoningrat, 2006b) :
1. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak gaster/duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
2. Obat-obatan: seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis
antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya.
3. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier: hepatitis, pankreatitis, kolesistitis kronik.
4. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit jantung koroner.
5. Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak didapat adanya
kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus.
3. Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapat bahwa 15-30% orang dewasa
pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Dari data di negara barat didapat angka

prevalensinya berkisar antara 7-41% tetapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis.
Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 1-8%. Dan belum ada data epidemiologi di
Indonesia (Djojoningrat, 2006a).
4. Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia terbagi atas
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dikatakan dispepsia organik bila penyebab dispepsia
sudah jelas misal adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung dan kholelithiasis yang bisa
ditemukan dengan mudah. Dan dikatakan dispepsia fungsional bila penyebabnya tidak diketahui
atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak
ditemukannya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Tarigan, 2003).
1. Dispepsia organik
Dispepsia organik baru bisa dipastikan bila penyebabnya sudah jelas. Yang dapat
digolongkan dispepsia organik, yaitu (Hadi, 2002) :
a. Dispepsia tukak (ulcer-like dispepsia)
Keluhan yang sering dirasakan ialah rasa nyeri pada ulu hati. Berkurang atau
bertambahnya nyeri ada hubungannya dengan makanan, sering terbangun saat tengah
malam karena nyeri pada ulu hati. Hanya dengan endoskopi dan radiologi baru bisa
dipastikan tukak di lambung atau duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak
Keluhannya mirip dengan dispepsia tukak, biasa ditemukan pada gastritis dan
duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal
Gejala yang sering ditemukan adalah rasa panas di dada dan regurgitasi masam,
terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan ini disertai keluhan sindroma
dispepsia lainnya maka dapat disebut dispepsia refluks gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu
Sindroma dispepsia biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dari
perut kanan atas atau ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.
e. Karsinoma
Karsinoma saluran cerna (esofagus, lambung, pankreas dan kolon) sering
menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering dijumpai yaitu rasa nyeri di
perut, keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
f. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak dan menjalar ke punggung. Perut terasa makin tegang
dan kembung. Dan didapat juga keluhan lain dari sindroma dispepsia.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorpsi

Pada penderita ini selain menderita nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus dan
kembung juga didapat diare profus yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak obat-obatan yang bisa menimbulkan rasa nyeri atau tidak enak pada ulu hati
tanpa atau disertai mual dan muntah, misalnya obat golongan NSAID (non
steroidal anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin
dan eritromisin), alkohol dan lain-lain. Oleh karena itu perlu ditanyakan obat yang
dikonsumsi sebelum timbul keluhan dispepsia.
i. Gangguan metabolisme
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung
yang lambat sehingga timbul nausea, vomitus dan rasa cepat kenyang.
Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan nyeri di perut dan vomitus, sedangkan
hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin
disertai nyeri di perut, nausea, vomitus dan anoreksia.
j. Penyakit lain
Penyakit jantung iskemik sering didapat keluhan perut kembung dan rasa cepat
kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering memberi keluhan nyeri
perut pada bagian atas, mual dan kembung. Kadang penderita angina memiliki keluhan
menyerupai refluks gastroesofageal.
Penyakit vaskuler kolagen terutama pada skleroderma di lambung atau usus halus
sering memberi keluhan sindrom dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada
penderita SLE terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
2. Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada
kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan. Penderita dengan
dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung. Kelainan psikis, stres
dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional (Hadi, 2002).
5. Gejala klinis
Keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh atau begah(Djojoningrat, 2006b; Asma,
2012). Keluhan ini tidak selalu semua ada pada setiap pasien, dan bahkan pada beberapa pasien
pun keluhan dapat berganti atau bervariasi dari hari ke hari baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitasnya (Djojoningrat, 2006b).
6.

Diagnosis
Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu (Djojoningrat, 2006b) :

a. Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik

dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan bisa bersifat lokal atau bisa sebagai
manifestasi dari gangguan sistemik. Harus menyamakan persepsi antara dokter dengan pasien
untuk menginterpretasikan keluhan tersebut.
b. Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat
misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsangan
peritoneal/peritonitis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi seperti lekositosis,
pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran cerna.
d. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan seperti: batu kandung
empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
e. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan bila dispepsia itu
disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu adanya penurunan berat badan,
anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan
sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat
mengarah pada gangguan organik terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi
diagnosis secepatnya. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan
struktural atau organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ulkus,
tumor dan sebagainya, juga dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan
yang dicurigai untuk memperoleh gambaran histopatologiknya atau untuk keperluan lain
seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori.
f. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran yang mengarah ke tumor. Pemeriksaan
ini bermanfaat terutama pada kelainan yang bersifat penyempitan/stenotik/obstruktif dimana
skop endoskopi tidak dapat melewatinya.
7. Penatalaksanaan
a. Antasida
Antasida digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Mekanisme kerjanya menetralkan
asam lambung secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare
sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan kombinasi keduanya saling menghilangkan
pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi (Muyassaroh, 2009).
b. Histamine-2 receptor antagonist
Golongan obat ini antara lain: simetidin, renitidin, famotidin, roksatidin, nizatidin dan lainlain (Tarigan, 2003) Kerja antagonis H2 yang paling penting adalah menghambat sekresi asam
lambung yang dirangsang histamin, gastrin, obat-obat kolinomimetik, dan rangsang vagal.
Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel parietal
tidak terangsang untuk mengeluarkan asam lambung (Muyassaroh, 2009).
c. Anti kolinergik

Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu selektif (Tarigan,
2003).
d. Penghambat pompa asam
Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna bagian atas yang
berhubungan dengan asam lambung. Kombinasi antibiotik dan metronidazol memberikan hasil
yang memuaskan (Tarigan, 2003).
e. Prokinetik
Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia yang disebabkan
gangguan motilitas, jenis obat ini antara lain: metoklopamid, domperidonedan cisapride
(Tarigan, 2003).
f. Golongan lain
Obat-obat seperti sukraflat dan bismuth subsitrat mempunyai efek membunuhhelicobacter
pylori (Tarigan, 2003).
7. Psikofarmakoterapi
Terapi ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia fungsional, memberi hasil
yang cukup memuaskan terutama untuk mengurangi atau menghilangkan gejala/keluhan. Pada
kasus ini terapi dengan anti depresan atau anti anxietas dapat membantu mengurangi gejala
klinis.
Preparat dan dosis anti depresan yaitu sebagai berikut (Tarigan, 2003) :
a. Siklik antidepresan:
Anti depresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine dan memiliki
sedikit kegunaan. Digunakan sejak tahun 1950. Trisiklik seperti amitriptiline, imipramine,
trimipramine, dan dispramine dengan dosis 150-300 mg/hari. Amoxapine dan trazodone
dosis efektif secara klinis 150-600 mg/hari. Efek samping yang sering dijumpai: sedasi,
mulut kering, konstipasi dan hipotensi postural.
b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)
MAOI memiliki kekurangan dimana pasien harus diet bebas tiramine, untuk
menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju (chese-reaction).
c. Selective Serotonin re-uptake Inhibitors (SSRI)
Yang termasuk SSRI adalah fluoxetin, fluvoxamine, sertraline, citalopram dan
paroxetine.
8. Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau melebar tergantung
berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat mengakibatkan kanker pada
lambung (Asma, 2012).
9. Prognosis

Prognosis tidak diketahui, dan para pasien ini sebaiknya dipantau untuk mengetahui
kemungkinan timbulnya komplikasi seperti penyakit tukak peptik dan esofagitis refluks
(Schwartz, 2005).
10. Daftar Pustaka
Asma, M. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny.N Dengan Dispepsia di Ruang Instalasi Rawat
Inap di RS Dr. Reksodiwiryo Padang. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia. [online].
http://www.scribd.com/doc/78583982/askep-dispepsia [diakses tanggal 14 maret 2012].
Davey, P. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta, Erlangga.
Djojoningrat, D. 2006a. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I;
Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid1. Edisi ke-4.
Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Djojoningrat, D. 2006b. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam: Sudoyo, A.W;
Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid1. Edisi ke-4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Hadi, S. 2002. Gastroenterologi. Bandung, P.T. Alumni.
Harahap, Y. 2007. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska
Medan. Skripsi,
Universitas
Sumatera
Utara. USU
Digital
Library. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14681 [diakses tanggal 20 maret
2012].
Muyassaroh, A. 2009. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien Tukak Peptik
(Peptic Ulcer Disease) Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Islam Kustati
Surakarta Tahun 2008. Skripsi. http://etd.eprints.ums.ac.id/6175/1/K100050217.pdf
[diakses tanggal 19 maret 2012]
Schwartz, M.W. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta, EGC.
Tarigan, C.J. 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional Dan Dispepsia
Organik.
Tesis,
Universitas
Sumatera
Utara. USU
Digital
Library.http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6365 [diakses tanggal 23 februari
2012].

Anda mungkin juga menyukai