PENDAHULUAN
Gagal napas merupakan suatu keadaan yang mengancam jiwa karena sistem
pernapasan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Hal ini dapat terjadi
akut maupun kronik. Akut berarti keadaan gagal napas akut berjalan progresif, sedangkan
yang kronik masih terjadi kompensasi dari tubuh sehingga keadaan pasien tampak baik
walaupun secara metabolisme tubuh sudah terjadi defek.
Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat. Hipoksemia yang
disebabkan oleh sumbatan jalan napas terjadi paling cepat dibandingkan dengan hipoksemia
akibat gangguan fungsi organ yang lain. Oleh karena itu pencegahan hipoksemia merupakan
prioritas utama dengan cara jalan napas dipertahankan terbuka, ventilasi adekuat dan berikan
oksigen. Gangguan jalan napas dapat mendadak, perlahan-lahan progresif, total atau parsial
dan berulang karena itu perlu re-evaluasi dari waktu ke waktu.
Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan napas adalah bahwa
penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan napas, keterlambatan memberikan
pertolongan, kesulitan teknik dan kurangnya keterampilan.
Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita tidak sadar,
obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya, stroke, radang otak),
trauma/kecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala, keracunan). Tetapi apapun
penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya tetap sama.
Berdasarkan hal itu, maka pada kasus ini, pasien dapat mengalami sumbatan jalan
napas akibat tindakan anestesi sehingga akan dibahas tentang manajemen jalan napas pada
operasi tonsilektomi anak.
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
B. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS
karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di
Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek
dan teknik tidak sulit.
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama
5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi
tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi
dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun
2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir
(2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan
penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.
C. Embriologi dan Anatomi Tonsil
Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial II ke dinding
faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian
dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami
invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta
tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada
bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6,
yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada
bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan
tonsil.
Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian
terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah
tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar
dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium
tuba eustachius.
a. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang cabang A. karotis eksterna, yaitu :
- A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina
-
asenden;
A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden;
A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal;
A. faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi
oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A.
palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.
b. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal
profunda
(deep
jugular
node)
bagian
superior
di
bawah
M.
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
d. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil
adalah 50% : 50%, sedangkan di darah 55-75% : 15-30%. Pada tonsil terdapat sistim
imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs
(antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel
limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ
utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
D. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih
utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
- Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
3.
4.
5.
6.
penyulit
metabolik
lain
H. Teknik Anestesi
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di
bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit
pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk
tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan
untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak
menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan
untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang
dewasa. Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu
dan mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga
pasien dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan
peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat,
murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot
yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.
Macam-macam Teknik Anestesi Umum
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
Semi open drop method:
Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari
minimal volume udara semenit.
Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang
dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar
zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke
udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan
kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan
volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance,
dan lain-lain.
I. Pengamatan Selama Operasi
Selama operasi yang harus dipantau : Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik
tidak
mengganggu
operasi,
pernapasan
dan
gerak
dada
cukup
(kalau ada) saturasi oksigen di atas 95%, denyut nadi yang teratur, jumlah perdarahan dan
jumlah cairan infus yang masuk.
Alat monitoring tambahan yang dianjurkan adalah pulse oxymetri
7
Partial
Total
Tanda-Tanda Sumbatan Jalan Napas
Pada keadaaan penderita yang masih bernapas, mengenali ada tidaknya sumbatan
jalan napas dapat dilakukan dengan cara Lihat (look), Dengar (listen), dan Raba (feel).
Lihat (Look)
Melihat apakah penderita mengalami agitasi atau penurunan kesadaran. Agitasi memberi
kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena sumbatan jalan napas,
sedangkan penurunan kesadaran memberikan kesan adanya hiperkabia yang mungkin
disebabkan oleh hipoventilasi akibat sumbatan jalan napas.
Melakukan penilaian pada pergerakan dada dan perut waktu bernapas, normalnya pada
posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada bergerak keatas dinding-dinding perut
bergerak keatas dan waktu ekspirasi dinding dada turun dinding perut juga turun. Pada
sumbatan jalan napas total atau partial berat, waktu inspirasi dinding dada bergerak turun
tapi dinding perut bergerak naik, sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak
napas ini disebut see saw atau rocking respiration.
Adanya retraksi sela iga, supraklavikular atau subkostal merupakan tanda tambahan
adanya sumbatan jalan napas. Sianosis yang terlihat dikuku atau bibir menunjukan adanya
hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekuat. Pada penderita perlu dilihat adanya
deformitas daerah maksilofasial atau leher serta adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi
Raba (Feel)
Meraba hawa ekspirasi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada tidaknya
getaran dileher waktu bernapas. Adanya getaran dileher menunjukkan sumbatan partial
ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah adanya fraktur didaerah maksilofasial
dan bagaimana posisi trakhea penderita.
10
Jaw Thrust
Naso-Pharyngeal Airway
Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan menahan
jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.
Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita. Pada waktu
memasang pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah yang ada di
11
rongga hidung. Alat ini lebih dapat di terima oleh penderita dan lebih kecil
kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan napas oropharyngeal.
Alat ini berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang ditengahnya
dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah
kalau penderita menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin.
Alat ini juga dipasang bersama pipa trachea atau sungkup laring untuk menjaga
patensi kedua alat tersebut dari gigitan pasien.
12
14
Surgical Airway
Prosedur ini dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi endotrakheal
yang dapat berupa
o Krikotiroidotomi (penusukan needle canula) ke trahkea kearah distal pada
membrane krikotiroidea. Cara ini disebut jet insufflations untuk memberikan
oksigen dengan cepat.
o Krikotiroidotomi dengan
krikotiroidea
dan
pembedahan,
kemudian
dimasukan
dilakukan
kanula
insisi
pada
trakheostomi
membrane
atau
pipa
endotracheal.
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
15
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Agama
Tanggal masuk RS
Tanggal Operasi
II.
: An. MR
: Laki-laki
: 5 tahun
: Jl. Cemara I no. 128B
: Siswa
: Islam
: 21 April 2015
: 22 April 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama
: Nyeri tenggorokan
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri tenggorokan
disertai sulit menelan yang dialami 1 minggu sebelum
masuk RS. Keluhan ini disertai demam (+), batuk (+) tidak
berdahak. Beringus (-), Nyeri kepala (-), pusing (-), Nyeri
pada telinga
PEMERIKSAAN FISIK
a. Status General
Keadaan Umum : Baik
Gizi
: Cukup, BB : 30 Kg
Kesadaran
: Compos mentis (GCS E4M6V5)
b. Tanda vital
TD
: 120/80 mmHg
RR
: 20x/menit
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5C
c. Kepala-leher
: Konjungtiva anemis -/-, Sclera ikterus -/-, pupil isokor.
Tonsil T3-T3, hiperemis (-), detritus (+). Faring tidak hiperemis
16
d. Thorax
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
: Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), vocal fremitus kanan=kiri
: Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar SIC VI LMD, batas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin :
WBC : 9.8 x 103 L
(5-14.5)
RBC
: 4.35 x 106 L
(4.11-5.95)
Hb
PLT
HCT
BT
CT
: 9.6 g/dl
: 398 x 103 L
: 32.7 %
: 3
: 8
(11.5-13.5)
(150-500)
(34-40)
(1-3)
(5-11)
b. Foto thoraks PA :
Kesan : Tidak tampak kelainan pada foto thorax
17
V.
DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronik
VI.
KESIMPULAN
Berdasarkan status fisik, diklasifikasikan dalam PS ASA I (pasien tanpa disertai
gangguan organik, biokimia, maupun psikiatrik yang membutuhkan operasi). ACC
operasi dengan anestesi umum.
VII.
PENATALAKSANAAN
IVFD RL 18 tpm
Drips adona 1 amp dalam 500 ml RL
Inj. Ceftriaxone 500mg/12jam/iv
Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Rencana Tonsilektomi
Informed Consent Operasi
Konsul ke Bagian Anestesi
Informed Consent Pembiusan
cuff(+)
Mulai Anestesi
Mulai Operasi
Premedikasi
Induksi
Intubasi
Maintanance
Relaksasi
Respirasi
Posisi
Cairan Durante Operasi
Pemantauan HR
Selesai operasi
: Tonsilitis Kronik
: Tonsilitis Kronik
: IVFD RL 500 cc + adona 1 amp.
:
: Tonsilektomi
: General anesthesia
: Intubasi semi-closed Endotracheal Tube No. 5
: 22 April 2015, pukul 09.55 WITA
: 22 April 2015, pukul 10.00 WITA
: Sedacum (midazolam) 2 mg, petidin 30 mg
: Propofol 100 mg
: ETT no. 5
: O2, Sevoflurane
: Atracurium 10 mg
: Spontan Respirasi
: Supine
: RL 500 ml + drips adona 1 ampul
: Terlampir
: 11.00 WITA
Tanggal 22 April 2015 pukul 09.05, An. MR, 5 tahun tiba di ruang operasi dengan
terpasang infus RL + drips adona 18 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan
tanda-tanda vital 120/80 mmHg, nadi 88x/menit, dan SpO 2 99%. Pukul 09.55 diberikan
premedikasi dengan injeksi sedacum (midazolam) 2 mg secara intravena dan petidin 30
18
mg. Setelah diberikan premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi propofol 100 mg
intravena. Kemudian dilakukan injeksi atracurium 10 mg intravena. Setelah itu dipasang
sungkup muka untuk mengalirkan oksigen dan juga menunggu kerja dari atracurium
sebagai relaksan otot sehingga ketika pemasangan endotrakeal tube akan lebih mudah.
Setelah pasien terinduksi, diberikan oksigen 7 liter/menit dengan menggunakan
sungkup. Setelah itu dilakukan pemasangan ETT (endotracheal tube) no.5 dengan
menggunakan laringoskop dengan blade no. 2. Setelah intubasi dilakukan, ETT dikunci
dan dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O 2 sebesar 5 liter per menit.
Setelah itu dilakukan auskultasi paru kanan dan kiri untuk mengetahui apakah ETT
sudah terpasang dengan benar. Intubasi dilakukan pada keadaan anestesia, antara lain;
induksi dengan anestesia inhalasi, teknik GA, laringoskop, setelah itu lakukan intubasi
ETT.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2 dan sevoflurane.
Pada pasien ini diberikan O2 5 liter/menit. Maintenance sevoflurane dapat diatur baik
diturunkan maupun dinaikkan sesuai kebutuhan pasien. Ventilasi dilakukan dengan
respirasi spontan hingga operasi selesai. Selama maintenance diperhatikan monitor
tanda-tanda vital, vital sign dicatat setiap 5 menit.
80
60
40
20
0
mulai anestesi 09:55
10:10
10:25
10:40
10:55
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien anak dengan tonsillitis kronik yang dilakukan anestesi umum
membutuhkan manajemen airway (jalan napas) agar selama operasi kebutuhan jaringan
oksigen tetap terpenuhi. Pada pasien tonsillitis kronik memungkinkan adanya kesulitan
mempertahankan patensi jalan napas akibat obstruksi saluran pernapasan yang diakibatkan
oleh adanya pembesaran tonsil.
Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah dilakukan induksi General
Anesthesia menggunakan sevofluran. Sevofluran merupakan anastesi inhalasi. Pemilihan
intubasi endotrakheal dimaksudkan sebagai pemasangan jalan napas secara definitif, Tujuan
pemasangan jalan napas definitiv untuk mempertahankan jalan napas, pemberian ventilasi,
oksigenasi dan pencegahan aspirasi.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal. Intubasi endotrakheal
adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam trachea melalui rima glottis, sehingga
20
ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trachea antara pita suara dan bifurkasio
trachea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut :
o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas,
dan lain-lainnya.
o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi
jangka panjang.
o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Pada pasien ini indikasi pemasangan intubasi endotrakheal yaitu untuk menjaga
patensi jalan napas, mempermudah ventilasi dan oksigenasi sesuai dengan referensi yang ada.
Pemasangan Guedel atau yang lebih dikenal dengan Oro-Pharyngeal Airway yaitu untuk
mencegah dan menahan lidah agar tidak jatuh menutup hipofaring tidak dilakukan selama
dilakukan operasi, berkaitan dengan terhalangnya lapangan operasi jika digunakan.
Endotracheal tube (ETT) yang digunakan pada pasien ini adalah ETT no. 5 dengan
cuff. Berdasarkan teori, pemilihan ETT saat intubasi disesuaikan dengan umur pasien, dimana
untuk ETT dengan cuff digunakan rumus: 3 + umur (tahun) / 4. Berdasarkan rumus tersebut
sebenarnya digunakan ETT no. 4 dengan cuff. Perbedaan ini kemungkinan disesuaikan
dengan saluran pernapasan pasien.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),
dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang oropharyngeal
airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup. Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien
sudah sadar, dimana jalan napas sudah terjaga bebas (intact protective airway reflexes).
21