PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terus meningkat
seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk. Ketergantungan manusia terhadap pangan yang tinggi tanpa
diimbangi dengan jumlah produksi pangan yang memadai akan mengakibatkan terjadinya
kerawanan sosial berupa kelaparan. Salah satu upaya untuk memenuhi kecukupan
pangan
BAB II
PEMBAHASAN
Secara fisik, tanah yang baik untuk bercocok tanaman kentang adalah yang berstruktur
remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah
tanah yang dalam. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas dan sumber utama nitrogen,
fosfor dan belerang. Bahan organik cenderung mampu meningkatkan jumlah air yang dapat
ditahan di dalam tanah dan jumlah air yang tersedia pada tanaman. Bahan organic juga
merupakan sumber energi bagi jasad mikro. Tanpa bahan organik semua kegiatan biokimia akan
terhenti (Doeswono, 1983). Sifat fisik tanah yang baik akan menjamin ketersediaan oksigen di
dalam tanah. Berdasarkan hasil penelitian Setiyo et al. (2011), perlakuan pemberian kompos
dengan dosis 12 ton per ha di
porositas tanah sampai mendekati 25 %. dan kapasitas lapang 57% d.b. Penelitian tersebut di
atas masih belum tuntas, karena dampak pemberian kompos dan pupuk kimia terhadap
perubahan sifat kimia tanah yang berkaitan dengan produktivitas tanaman belum dilakukan.
Di Indonesia kentang biasanya diusahakan di dataran tinggi, lebih kurang 1000 meter di
atas permukaan laut. Dimana rata-rata hasil yang dicapai secara nasional masih rendah yaitu 14
ton ha-1. Hasil ini masih rendah bila dibandingkan negara lain seperti Amerika Serikat 29,20 ton
ha-1, Swiss, Belanda, Inggris dan Jerman diatas 20 ton ha-1. Rendahnya produksi Indonesia ini
disebabkan belum banyaknya petani penghasil (seed grower) bibit kentang bermutu, sehingga
permintaan bibit kentang tidak dapat dipenuhi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan atau
pembiakan mikro kentang. Dengan tehnik ini dapat dihasilkan benih berjumlah banyak dalam
waktu relatif singkat dan bebas dari penyakit sistemik, terutama virus (Hidayat 1991). Media
merupakan salah satu faktor yang menetukan keberhasilan dalam teknbik kultur jaringan. Media
kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrisi makro, unsur mikro,
sumber tenaga (pada umumnya sukrosa), vitamin, zat pengatur tumbuh, dan pengkelat. Terdapat
tiga jenis media dalam kultur invitro, yaitu media padat, media cair, dan media semi padat.
Propagula in vitro yang banyak digunakan dalam usaha menghasilkan benih kentang
bermutu adalah tunas mikro dan umbi mikro. Propagula ini dapat digunakan untuk produksi
umbi mini, yaitu umbi dengan bobot 1 10 gram yang diinduksi dalam rumah kaca atau ketat
serangga (screen hause). Umbi mini diinduksi secara in vitro sehingga biayanya lebih murah.
Umbi mikro adalah umbi kecil dengan bobot basah 50-150 mg/umbi yang dihasilkan secara in
vitro (aseptik). Kriteria umbi mikro berkualitas baik adalah umbi dengan bobot basah lebih dari
100 mg per umbi dan atau berdiameter 5-10 mm serta mempunyai bahan kering lebih dari 14%.
Pembentukan umbi mikro dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu jenis eksplan, media yang
digunakan, lingkungan kultur (temperatur dan periode cahaya), konsentrasi sukrosa, zat pengatur
tumbuh (ZPT), dan metode pengumbian mikro (Wattimena, 1992).
Teknik kultur jaringan pada tanaman kentang dilakukan beberapa tahap: aklimatisasi
awal, aklimatisasi lanjutan dan perbanyakan tunas setek, pembentukan umbi mini. Pada
aklimatisasi awal dilakukan pemindahan planlet dari lingkungan in vitro ke lingkungan semi
steril dalam medium greenleaf yang steril dengan penambahan unsur-unsur hara dari larutan stok
MS. Pada tahap ini planlet diadaptasikan dari lingkungan heterotrof kelingkungan autorotrof
dan induksi untuk membentuk tunas sebagai bahan setek yang siap ditanam. Sebelum ditanam,
setek mikro (planlet) tersebut dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa medium kultur (agar)
yang melekat pada akar dengan cara mencucinya di bawah air mengalir. Kemudian planlet
ditanam pada medium greenleaf yang ditempatkan pada bak-bak aklimatisasi yang ditutup kain
kasa dan dipelihara selama 2 minggu.
Tahap awal aklimatisasi adalah menyediakan media tanam dari campuran tanah topsoil
dan kompos dengan perbandingan 1 : 1 yang telah disterilkan dengan sistem penguapan panas
dalam kukusan. Medium tanam selanjutnya dimasukkan dalam bak-bak penanaman berukuran
40 x 32 x 8 cm. Pemeliharaan selama aklimatisasi meliputi penyiraman, pembuangan tanaman
yang mati serta penyulaman. Penyiraman dilakukan setiap hari dengan menggunakan
handprayer. Untuk menjaga pertumbuhan yang baik tanaman disemprot dengan larutan pupuk
NPK(3g L-1) dan bayfolan (2ml L-1).
Setek-setek yang dihasilkan pada tahap aklimatisasi lanjutan dipindahkan ke lapangan, di
dalam rumah ketat serangga (screen house) untuk menginduksi terbentuknya umbi mini. Pada
tahap ini dilakukan serangkaian kegiatan:
1.
2.
Stek mikro berasal dari perbanyakan stek buku tunggal pada media MS padat tanpa ZPT.
Stek mikro dapat digunakan untuk memproduksi umbi bibit atau umbi mini. Hussey dan Stacey
(1981) menyatakan bahwa laju perpanjangan dan penebalan batang, jumlah buku, dan morfologi
tunas mikro dipengaruhi oleh panjang hari , intensitas cahaya dan suhu. Selanjutnya Hutabarat
(1994) menyatakan bahwa kondisi suhu optimum pembentukan buku adalah 20-25C dengan
penyinaran terus-menerus. Semakin lama penyinaran akan membuat batang tunas mikro kentang
semakin tebal dan pendek. Batang yang tebal dan pendek lebih muda disubkultur daripada
batang yang panjang dan kurus. Stek mikro kentang mempunyai kemampuan multiplikasi yang
sangat besar. Dari satu stek mikro bisa dihasilkan sekitar 50-60 stek mini tergantung dari media
dan pupuk daun yang diberikan (Wattimena, 2000).
Setelah dilakukan perbanyakan setek di screen house ternyata pertumbuhannya sangat
baik. Pertumbuhan setek ini dipengaruhi oleh genetik bibit yang digunakan dan lingkungan
pertumbuhannya. Meningkatnya pertumbuhan setek disebabkan karena lingkungan tumbuh
memang sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Jumlah dan
ukuran daun yang terbentuk tergantung dari genetik dan lingkungan seperti suhu, cahaya dan
faktor lain, tetapi lebih dikendalikan genetik (Gardner 1991). Dalam teknik kultur jaringan ini
terdapat berbagai tantangan yang menghambat proses produksi tanaman kentang yaitu media
yang digunakan, dan hama penyakit yang menyerang tananaman kentang, dan lain- lainnya.
Masalah yang sering muncul dalam perbanyakan kentang secara in vitro adalah
kontaminasi. Syarat utama keberhasilan kultur in vitro adalah terciptanya kondisi aseptik yaitu
terbebas dari mikroorganisme. Proses sterilisasi merupakan langkah awal untuk menciptakan
kondisi aseptic terutama pada eksplan yang digunakan. Hasil penelitian Badoni dan Chauhan
(2010) menghasilkan bahwa sterilisasi eksplan dengan menggunakan Sodium Hypochlorite
(NaOCl) selama 8 menit kemudian di masukkan ke dalam larutan etanol 30 detik dan dibilas
dengan akuades sebanyak 2x merupakan perlakuan terbaik dan tidak menimbulkan dampak pada
eksplan dalam jangka panjang.
Permasalahan stek mikro adalah kendala transportasi, apalagi jika jarak antara lab kultur
jaringan dan tempat aklimatisasi letaknya berjauhan. Transportasi plantlet dengan botol kultur
adalah memakan tempat dan tidak praktis, sehingga dikembangkan sistem transportasi TAS
(Toples Arang Sekam) dan TIAS (Tisu Arang Sekam). Pada sistem TAS, plantlet dipindahkan
kedalam toples yang berisi media arang sekam dan diprakondisi di dalam lab selama 3 hari. Di
tempat pembibitan stek mikro yang berada di toples berfungsi sebagai stek mini, selanjutnya tiap
satu minggu stek dapat dipanen sampai 8 minggu tergantung kesuburan media yang ada di toples
(Wattimena, 2000). Selain itu juga terdapat teknik pengemasan yang dikembangkan dengan
enkapsulasi tunas.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian hormon GA3 0.10 mg/l dan spermidin
dengan konsentrasi 4.00 mg/l dapat meningkatkan saat muncul tunas dan tinggi tanaman
enkapsulasi kentang. Penyakit yang disebabkan oleh virus dapat terbawa dalam umbi kentang
dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan belum ditemukan obat pengendali virus. Pada
tanaman kentang ditemukan sekitar 50 jenis virus. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
memproduksi propagul kentang bebas virus yaitu dengan kultur meristem dengan menggunakan
eksplant berupa jaringan meristematik (0,11-0,25 mm). Hasil penelitian Sanavy dan Moeini
(2003) menunjukkan pemberian NAA dan BAP serta media tanam serbuk lumut dan pasir
dengan perbandingan 4:1 adalah media yang baik untuk pertumbuhan plantlet kentang kultivar
Agria dan Marvona hasil kultur meristem. Sedangkan plantletnya dihasilkan dengan
menggunakan media MS dengan 0.25 mg/l GA3 and 0.01 mg/l NAA. Kemudian Plantlet
ditumbuhkan pada suhu 250C and 16 h photoperiod dengan intensitas cahaya 2000 selama 1
bulan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan kultur jaringan pada
tanaman kentang sudah sedemikian berkembang. Perbanyakan secara in vitro ditujukan untuk
mendapatkan teknik yang efisien dan murah harganya sehingga propagul yang dihasilkan
menjadi lebih kompetitif. Kemudian teknik untuk mentransportasikan hasil stek mikro juga bisa
dilakukan dengan sistem TAS maupun TIAS, bahkan saat ini juga sudah dilakukan dengan
enkapsulasi. Sedangkan penggunaan kultur jaringan untuk menghasilkan kultivar baru juga
sudah banyak dilakukan baik melalui seleksi in vitro maupun melalui rekayasa genetik.
DAFTAR PUSTAKA