Proposal Disertasi - Kumpul 5 Agustus 2015
Proposal Disertasi - Kumpul 5 Agustus 2015
PENDAHULUAN
Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern
yang penting (Roberson, 2008). Dukungan atas pandangan ini dapat dilihat dari
fenomena trend penguatan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah oleh
pemerintah pusat yang terjadi baik pada negara dengan sistem pemerintahan federasi
maupun pemerintahan terpusat, terutama di era 1990-an (Inman, 2008).
Sebagai konsekuensinya, porsi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah terhadap total belanja pemerintah pusat merupakan pengeluaran pemerintah yang
signifikan. Sebagai contoh, dalam anggaran pemerintah federal Amerika Serikat pada
tahun 1996, transfer pemerintah federal menempati porsi sebesar 6 persen dari GDP dan
17 persen dari total pengeluaran publik
kewenangan pemerintah daerah tampak nyata setelah berakhirnya era orde baru di akhir
tahun 1990-an dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah ini, porsi belanja transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (dana
perimbangan) juga meningkat secara signifikan baik secara nominal maupun proporsinya
terhadap total belanja pemerintah.
Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan dana transfer merupakan suatu instrumen
untuk memastikan bahwa ketersediaan dan mutu layanan publik di seluruh wilayah dalam
suatu negara memenuhi tingkat/standar minimum yang ditetapkan melaui suatu alokasi
yang memenuhi kriteria normatif yaitu alokasi yang efisien dan berkeadilan/equity
(Roberson, 2008). Di samping itu, kebijakan dana transfer juga dapat membantu untuk
mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien untuk sektor pemerintahan melalui
internalisasi eksternalitas dalam suatu wilayah pemerintahan lokal (Hyman, 2010).
Selanjutnya Hyman (2010) menyatakan bahwa kegagalan menginternalisasi eksternalitas
dalam suatu wilayah pemerintahan lokal akan mengakibatkan penyediaan barang publik
yang tidak optimal.
Dalam praktiknya, kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu kebijakan
transfer tidak hanya merupakan proses teknokratik yang menekankan pada aspak tujuan
20
eknomi namun juga merupakan proses politik yang belum tentu selalu sejalan dengan
tujuan ekonomi (Bappenas, 2011). Proses teknokratis dalam perumusan suatu kebijakan
transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tampak dari perumusan kebijakan
dengan menggunakan formula untuk mendapatkan keputusan mengenai besaran dana
transfer dan penerima dana transfer.
Selain proses teknokratik, proses politik juga berperan penting dalam perumusan
kebijakan dana transfer. Di dalam suatu sistem demokrasi, proses politik merupakan satu
proses yang penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan merupakan
suatu kebijakan yang optimal (pareto efisien). Namun demikian, disadari bahwa, proses
politik juga dapat berperan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal (pareto
dominated) (Barry R. Weingast, 1981). Peneliti di bidang kebijakan publik telah berhasil
mengidentifikasi inefisiensi keputusan kebijakan publik yang bersumber antara lain dari
perilaku birokrasi, institusi legislatif, pengaruh kelompok kepentingan, keinginan politisi
untuk memenangkan pemilihan dan ilusi fiskal (Weingast et al, 1981).
Walaupun proses teknokratik, tampak sebagai mekanisme yang tidak mudah
diintervensi secara politik, namun sebenarnya politisi memiliki berbagai cara untuk
mempengaruhi keputusan alokasi dana transfer. Sebagai contoh dalam konteks alokasi
grant untuk federal highway aid program di Amerika Serikat yang merupakan satu
program yang dibiayai dari dana transfer pemerintah federal kepada pemerintah negara
bagian dengan sumber pembiayaan Federal Higway State Fund. Penentuan besaran dana
transfer tersebut menggunakan suatu formula sebagai dasar alokasi kepada negara bagian.
Namun demikian keputusan alokasi tersebut dapat dipengaruhi politisi antara lain dengan
cara usulan earmarked project oleh anggota kongres dan project tersebut dibiayai dari
Federal Highway State Fund. Cara kedua, yaitu anggota kongres atau senat dapat
mengusulkan program baru yang dibiayai dari Federal Higway State Fund. Cara lainnya
adalah dengan menggunakan pengaruh politik untuk membiayai proyek tertentu di negara
bagian yang merupakan daereh pemilihannya yang akan dibiayai oleh Federal Highway
State Fund (Knight, 2002).
Di samping faktor politik pada tingkat pemerintah pusat pada saat penentuan
alokasi dana transfer, interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
20
konteks kebijakan dana transfer juga berpengaruh terhadap hasil dari keputusankeputusan yang akan diambil baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
(Volden, 2007).
Pemahaman mengenai bagaimana variabel politik dapat mempengaruhi kebijakan
dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya alokasi dana
transfer) serta adanya keterkaitan antara keputusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam suatu kebijakan dana transfer akan merupakan area penelitian yang menarik
dan penting. Untuk konteks penelitian di Indonesia, penelitian yang mengenai bagaimana
variabel politik mempengaruhi alokasi dana perimbangan serta bagaimana respon
pemerintah daerah terhadap alokasi dana transfer dari pemerintah pusat akan menabah
pemahaman mengenai disain kebijakan dana transfer agar dapat mencapai tujuannya.
II.
PERMASALAHAN PENELITIAN
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan, disebutkan bahwa dana perimbangan terdiri atas 3 komponen yaitu Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada
penelitian ini, lingkupnya dibatasi pada kajian atas dana alokasi khusus (DAK). Secara
lebih spesifik, bidang yang akan diteliti adalah dana alokasi khusus bidang pendidikan.
Bappenas (2011) menyebutkan bahwa dari perspektif teori, DAK yang diterapkan
di Indonesia sejauh ini termasuk conditional, closed-ended, and binding constrain
matching grant. Artinya, DAK di Indonesia merupakan transfer bersyarat dengan tujuan
khusus yang besaran dananya (pagu) telah ditetapkan sejak semula. Dana alokasi khusus
(DAK) yang merupakan suatu bentuk dana transfer pemerintah pusat/dana perimbangan
yang bersifat earmarked, close ended, matching grant memiliki karakteristik belanja
yang rentan terhadap praktik distributive politics. Hal ini disebabkan karena belanja DAK
secara spesifik ditujukan untuk daerah geografis tertentu (dalam hal ini pemerintah
daerah).
Proses penetapan alokasi DAK melibatkan proses teknokratik dan juga proses
politik. Proses teknokratik merupakan suatu proses perencanaan yang terutama dilakukan
oleh eksekutif di tingkat pemerintah pusat dalam merancang arah kebijakan, dan
penetapan kriteria serta melakukan seleksi dan perhitungan besaran alokasi DAK yang
20
akan diterima oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk pencapaian tujuan prioritas
nasional yang sudah diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah dengan adanya
desentralisasi/otonomi daerah.
Kriteria daerah penerima DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55
tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Di dalam peraturan pemerintah tersebut,
disebutkan bahwa daerah penerima DAK adalah daerah yang memenuhi kriteria umum,
kriteria khusus dan kriteria teknis (pasal 51 ayat 2 dan pasal 54 ayat 2). Selanjutnya juga
ditegaskan dalam pasal 54 ayat 2 yang menyatakan bahwa daerah yang layak menerima
DAK harus memenuhi ketiga kriteria tersebut (kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria
teknis) secara parallel. Penentuan alokasi DAK dan besaran DAK bagi daerah penerima
pada tahapan proses teknokratik melibatkan kementrian teknis (dhi. Kementrian
Pendidikan), Kementrian Keuangan dan Bappenas. Proses teknokratik menghasilkan
daerah serta besaran alokasi DAK bagi daerah yang menerima DAK. Beberapa kajian
yang menekankan pada proses teknokratik untuk memilih daerah penerima DAK dan
menentukan alokasi DAK menyimpulkan bahwa mekanisme yang berlaku cenderung
kompleks (Bappenas, 2011).Sesuai pasal 58, keputusan definitif mengenai daerah
penerima DAK dan besaran DAK yang diterima oleh masing-masing daerah ditetapkan
melalui peraturan menteri keuangan.
Namun demikian, penetapan mengenai daerah penerima DAK dan besaran DAK
yang cenderung kompleks secara teknokratis tersebut juga harus melalui proses politik
yaitu adanya pembahasan mengenai daerah penerima DAK dan besaran DAK dengan
DPR. Pembahasan mengenai daerah penerima DAK dan besaran alokasi DAK dengan
DPR dilakukan pada pembahasan tingkat I nota keuangan dan rancangan APBN berupa
rapat komisi, rapat gabungan komisi dan rapat Badan Anggaran. Proses politik dalam
penetapan alokasi DAK merupakan proses di tingkat I melibatkan anggota legislatif DPR
RI (komisi X/bidang pendidikan, komisi XI/bidang keuangan dan Badan Anggaran) dan
eksekutif yaitu Kementrian Teknis, Bappenas, Kementrian Keuangan.
Adanya proses politik dalam penentuan daerah peneriman DAK dan besaran
alokasi DAK diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang pengalokasian dana
transfer daerah. Sebagai contoh untuk alokasi DAK tahun anggaran 2013 hal tersebut
20
20
penerima DAK yang diatur dalam peraturan menteri keuangan mengenai aloksi dana
DAK yang memperlakukan kriteria penerima DAK tidak harus memenuhi kriteria umum,
kriteria khusus dan kriteria teknis secara paralel. Sebagai ilustrasi, untuk alokasi DAK
tahun anggaran 2013 dan 2014, sebagaimana diatur oleh pasal 50 peraturan menteri
keuangan untuk alokasi DAK TA 2013 dan pasal 44 Peraturan Menteri Keuangan untuk
alokasi DAK TA 2014, dinyatakan bahwa walaupun suatu daerah tidak memenuhi kriteria
umum, namun masih dapat menerima DAK, jika daerah tersebut merupakan daerah
otonomi khusus yaitu Papua dan Papua Barat, daerah tertinggal, daerah dengan indeks
fiskal wilayah (IFW) di atas rata-rata IFW nasional, daerah indeks fiskal wilayah teknis
(IFWT) di atas rata-rata IFWT nasional. Ketentuan pasal 50 dan pasal 44 tersebut tidak
sejalan dengan ketentuan pasal 54 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005
tentang Dana Perimbangan. Kajian SMERU (2008) menyatakan bahwa proses politik
yang menghasilkan kompromi antara eksekutif (pemerintah) dengan legislatif (DPR)
dalam alokasi DAK bidang pendidikan mengakibatkan sebanyak 87 daerah penerima
DAK bidang pendidikan seharusnya tidak layak menerima DAK pada tahun anggaran
2007. Kuatnya intervensi proses politik dalam kebijakan DAK khususnya di bidang
pendidikan juga terlihat dari adanya keharusan bahwa petunjuk teknis DAK bidang
pendidikan harus terlebih dahulu dikonsultasikan/mendapatkan persetujuan Komisi X
DPR-RI yang membidangi pendidikan sebagaimana tercantum pada Pasal 27 UU Nomor
10 tahun 2010 tentang APBN.
teknokratis dalam penentuan alokasi DAK yang cenderung kompleks ini tidak akan
memberikan banyak makna jika proses penentuan alokasi DAK lebih didominasi oleh
proses politik dan pork-barrelling tidak dapat dihindarkan.
Selain itu, pemerintah daerah penerima alokasi DAK akan merespon penerimaan
DAK dari pemerintah pusat dengan melakukan alokasi belanja publik di tingkat
pemerintah daerah. Secara konseptual, pemilihan mekanisme matching grant seperti
DAK ditujukan untuk menginternalisasi eksternalitas antar wilayah geografis sehingga
mekanisme ini akan meningkatkan efisiensi alokasi belanja publik untuk sektor tertentu
yang mendapat matching grant (Hyman, 2010). Kegagalan menginternalisasi esternalitas
antar wilayah geografis akan mengakibatkan kurangnya penyediaan barang publik sesuai
yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pemberian matching grant oleh
20
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan mendorong alokasi yang lebih besar
untuk belanja publik sektor yang sama oleh pemerintah daerah. Sehingga, total belanja
publik untuk sektor yang menerima matching grant menjadi lebih besar. Asumsinya,
variabel matching grant diperlakukan sebagai variabel eksogen. Secara empiris, pendapat
ini sudah diuji dan dibuktikan dengan berbagai kajian antara lain oleh
Namun demikian, Knight (2002) membuktikan bahwa pemberian dana transfer
kepada pemerintah daerah dalan bentuk matching grant tidak selalu menstimulus
pengeluaran publik oleh pemerintah daerah, bahkan pemberian matching grant
berdampak crowd out belanja publik oleh pemerintah lokal/negara bagian. Dengan kata
lain, pemberian matching grant oleh pemerintah federal akan mengurangi alokasi belanja
publik pada sektor tersebut oleh pemerintah negara bagian. Knight (2002)
memperlakukan variabel matching grant untuk kasus Federal Highway Aid Program di
Amerika Serikat sebagai variabel endogen, dan bukan sebagai variabel eksogen. Knight
(2002) memandang bahwa baik pemberian matching grant oleh pemerintah federal
maupun alokasi belanja publik sektor yang diamati ditentukan melalui suatu proses
politik. Pada tingkat pemerintah federal, terjadi proses politik di kongres untuk
menentukan alokasi matching grant. Hasil dari kesepakatan politik tersebut
merefleksikan preferensi konstituen yang diukur berdasarkan keterwakilan negara bagian
tersebut pada komisi transportasi di kongres. Dengan mengoreksi permasalahan
endogeinitas antara variabel matching grant dengan belanja publik oleh pemeirntah
negara bagian, ternyata hubungan antara matching grant dengan belanja publik sektor
tersebut oleh pemerintah negara bagian menjadi berbanding terbalik. Hasil kajian Knigt
(2002) memberikan kontribusi untuk menjelaskan fenomena flypaper effect dimana
interaksi antara grant yang bersumber dari pemerintah pusat dengan respon belanja
publik oleh pemerintah daerah/lokal yang selalu berdampak stimulus dapat dijelaskan
melalui faktor politik.
Dalam konteks Indonesia, skema DAK, juga ditujukan untuk menstimulasi
pengeluaran publik oleh pemerintah daerah untuk sektor yang menjadi prioritas nasional
namun telah diserahkan menjadi urusan daerah melalui otonomi daerah. Dengan
demikian, pemerintah pusat menginginkan total kebutuhan belanja publik pada sektor
yang sebagian dibiayai dari DAK, akan dapat dipenuhi dengan tambahan alokasi belanja
20
publik yang bersumber dari APBD. Dengan kata lain, pemerintah pusat menginginkan
agar alokasi DAK untuk sektor pendidikan akan menstimulasi pengeluaran publik sektor
pendidikan oleh pemerintah daerah sehingga ketersediaan barang publik di sektor
pendidikan akan dapat tercukupi/optimal dengan kombinasi pembiayaan dari APBN dan
APBD. Hal ini tampak dari adanya kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan
dana pendamping bagi dana DAK yang disediakan oleh pemerintah pusat. Tujuannya
tentu penyediaan barang publik (dalam hal ini sektor pendidikan) yang telah menjadi
urusan pemerintah daerah akan terpenuhi sesuai kebutuhan dengan adanya tambahan
DAK bidang pendidikan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, proses penentuan alokasi DAK oleh
pemerintah pusat juga ternyata dipengaruhi oleh proses politik dengan DPR-RI terutama
di tingkat komisi dan badan anggaran. Di samping itu proses penentuan belanja publik
oleh pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh proses politik di tingkat lokal. Dengan
demikian pemerintah daerah tidak memandang alokasi DAK merupakan suatu variabel
eksogen ketika menentukan alokasi belanja publik.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas nasional yang sudah
menjadi urusan daerah pemerintah daerah melalui desetralisas/otonomi daerah. Dengan
demikian, pemerintah pusat masih tetap berperan penting untuk
Kajian empiris mengenai kebijakan tranfer DAK yang memasukkan variabel
politik serta saling keterkaitan antara antara proses penetapan alokasi DAK di tingkat
pemerintah pusat dengan penerimaan DAK oleh pemerintah daerah serta respon
pemerintah daerah dalam merancang alokasi belanja publik di tingkat lokal (APBD)
tampaknya belum ditemukan dalam konteks Indonesia. Pengetahuan mengenai hal ini
akan menambah literatur di bidang ini dalam konteks Indonesia serta dapat memberikan
implikasi kebijakan mengenai proses politik dan proses teknokratik dalam proses
penetapan alokasi DAK serta disain regulasi yang akan mendorong efisiensi alokasi DAK
di tingkat pusat serta alokasi belanja publik di tingkat daerah.
III.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan dampak dari faktor politik di tingkat
pemerintah pusat terhadap alokasi dana transfer kepada pemerintah daerah serta respon
20
pemerintah daerah dalam konteks alokasi dana transfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang memiliki karakteristik closed ended, matching grant. Secara
spesifik tujuan kedua dari penelitian ini adalah:
a. Melakukan evaluasi atas adanya interaksi antara aktor-aktor politik di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap keputusan
alokasi dana transfer (variabel g dalam model Volden, 2007) yang memiliki
karakteristik earmarked, closed ended, matching grant (dhi. DAK) oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah.
b. Melakukan evaluasi atas adanya interaksi antara aktor-aktor politik di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap respon
keputusan alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah sebagai respon atas alokasi
dana transfer (variabel qs dalam model Knight, 2002) yang memiliki karakteristik
earmarked, closed ended, matching grant (dhi. DAK) dari pemerintah pusat.
IV.
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai keterkaitan keputusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta faktor politik dalam konteks distribusi dana perimbangan oleh pemerintah
pusat yang memiliki karakteristik closed ended, matching grant dengan keputusan
alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah sudah cukup banyak dilakukan. Namun
demikian, penelitian empiris secara sistematis untuk konteks Indonesia tampaknya belum
banyak dilakukan. Terdapat setidaknya dua alasan mengenai masih kurangnya penelitian
dalam hal ini untuk konteks Indonesia. Alasan pertama, dana transfer pemerintah pusat
dengan karakteristik closed ended, matching grant baru mulai diimplementasikan pada
tahun 2003 dengan alokasi yang relatif kecil. Selanjutnya memang terjadi peningkatan
nilai alokasi secara dari sampai saat ini namun proporsi DAK terhadap total dana
perimbangan masih relatif kecil. Alokasi DAK yang relatif kecil dibanding total nilai
belanja dana perimbangan pemerintah pusat secara keseluruhan kemungkinan membuat
penelitian dalam hal ini dalam konteks Indonesia belum menjadi perhatian. Alasan kedua
yaitu implementasi dana perimbangan dan secara khusus dana alokasi khusus (DAK)
baru dimulai tahun. Di masa orde baru, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan
yang luas dalam pengelolaan sumber daya. Pengelolaan sumber daya keuangan negara
20
berada di tangan eksekutif pemerintah pusat. Distribusi sumber daya kepada pemerintah
daerah lebih banyak dalam bentuk dana inpres yang dalam konteks undang-undang yang
berlaku saat ini mirip dengan dana tugas pembantuan atau dana dekonsentrasi. Selain itu,
di masa pemerintah orde baru, kekuasaan dalam merancang dan memutuskan suatu
kebijakan publik didominasi oleh eksekutif sehingga variabel legislatif tampaknya tidak
banyak berpegaruh kepada pengambilan kebijakan. Dengan demikian, penelitian alokasi
DAK dengan mempertimbangkan variabel politik dalam hal ini lembaga legislatif
tampaknya tidak begitu signifikan di era orde baru.
Untuk memahami dampak saling keterkaitan antara keputusan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap alokasi DAK oleh pemerintah pusat
serta respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah, maka dilakukan reviu atas
literatur terkait. Secara garis besar, kelompok literatur yang akan dibahas pada bagian ini
adalah tiga kelompok besar yaitu literatur yang menekankan pada keputusan terkait
kebijakan dana transfer di tingkat pemerintah pusat (model distributive politics), literatur
yang menekankan pada keputusan respon penerimaan dana transfer oleh pemerintah
daerah (model kurva indifference keuangan publik klasik (Teori keuangan publik klasik)
dan model keputusan politik di tingkat pemerintah daerah) serta literatur yang
menekankan pada interaksi keputusan di tingkat pemerintah pusat dan keputusan di
tingkat pemerintah daerah atas kebijakan dana transfer (model principal-agent, dan
model game teori non-cooperative dan model endogenous grant).
Distributive Politics/Pork Barrel Politics
Secara garis besar model distributive politics dapat dikelompokkan atas dua
kelompok teori yaitu implicit distributive politics model dan eksplisit distributive politics
model (Volden, 2007). Model implisit dari distributive politics tidak memodelkan proses
bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik karena diasumsikan bahwa
politisi memiliki bias atas kepentingan politiknya yang mengakibatkan kebijakan
ekonomi yang dilakukan melalui suatu proses politik tidak efisien. Hal ini dikenal dengan
adanya permasalahan common pool problem (contoh model implisit distributive politics
dikembangkan oleh Weingast et al,1981). Sedangkan model eksplisit dari distributive
politics memodelkan proses bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik
20
(contoh
proses
yang
dimodelkan
adalah
proses
bargaining
dalam
lembaga
pengelompokan
model
distributive
politic
adalah
non-
ini
adalah
setiap
mendorong/mendukung
anggota
alokasi
legislatif
sumber
daya
memiliki
pemerintah
kecenderungan
pusat
untuk
untuk
daerah
pemilihannya baik secara implisit (common pool problem) maupun secara eksplisit
melalui proses legislative bargaining. Dengan demikian model non-partisan distributve
politics menekankan pada insentif bagi individu legislator dalam pengampilan keputusan
alokasi sumber daya publik (Levit dan Poterba, 1999).
Sedangkan partisan distributive politics theory menekankan pada efek strategi
partai
politik
dalam
rangka
mempertahankan
suara
konstituen
dengan
cara
20
sumber bias tersebut adalah adanya perbedaan definisi untuk suatu biaya dan manfaat
menurut definisi politik dan definisi ekonomi. Sumber bias kedua adalah mekanisme
pembagian wilayah pemilihan yang membagi suatu perekonomian menjadi sejumlah n
wilayah pemilihan (district). Sedangkan sumber bias ketiga adalah metode pembiayaan
bagi proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari pajak yang dipungut secara umum
yang tidak secara spesifik digunakan untuk membiayai setiap proyek yang akan dibiayai.
Selanjutnya Weingast et. al (1981) juga menyatakan bahwa mekanisme pemilihan
anggota legislatif yang mementingkan popularitas seorang anggota dewan untuk dapat
meningkatkan peluang elektabilitas seorang anggota legislatif juga berperan menambah
faktor bias dalam suatu pilihan politis yang tidak efisien. Hasil dari model menunjukkan
bahwa suatu keputusan politik oleh lembaga perwakilan akan menghasilkan alokasi
sumber daya yang tidak efisien (distributive politics/pork barrel politics) dan juga akan
mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang terlalu besar. Namun demikian, model
Weingast et. al (1981) tidak memperlihatkan bagaimana proses pengambilan keputusan
oleh legislator (legislative bargaining) karena diasumsikan bahwa pengambilan kebijakan
oleh legislatur menganut aturan universalism. Dengan norma universalism, setiap
anggota legislatif berperilaku sama yaitu memutuskan setiap proyek yang akan dibiayai
oleh anggaran pemerintah hanya untuk daerah pemilihannya saja dan selanjutnya pajak
yang ditetapkan untuk dapat membiayai seluruh pengeluaran yang ditetapkan. Dengan
demikian kebijakan pork barrel policy merupakan suatu permasalahan dalam setiap
penganggaran pemerintah oleh anggota legislatif (common pool problem).
Kajian Empiris dari Model Non-Partisan Distributive Politics
Model atau teori yang dikembangkan oleh Weingast et. al (1981) telah banyak
diuji dan dikonfirmasi melalui berbagai penelitian empiris. Beberapa penelitian empiris
menggunakan data Amerika Serikat yang merujuk pada model ini antara lain adalah
penelitian oleh Del Rossi dan Inman (1999) menemukan bahwa besarnya nilai proposal
untuk sektor air bersih yang dibiayai dari anggaran pemerintah federal akan menurun
secara signifikan ketika bagian pendanaan dari proyek yang bersumber dari keuangan
pemerintah negara bagian meningkat. Kajian empiris oleh Knight (2004) menemukan
bahwa
anggota
legislatif
kemungkinan
akan
memilih/mendukung
pengeluaran
pemerintah federal bagi daerah pemilihannya dibanding proposal pengenaan pajak yang
20
rendah namun hasil pungutan pajak tersebut akan dibelanjakan di luar daerah
pemilihannya. Baqir (2002) juga menemukan adanya hubungan positif antara besarnya
ukuran legislatif di tingkat kota dengan pengeluaran publik. Selanjutnya, kajian oleh
Gilligan dan Matsusaka (1995) dan Bradbury dan Crain (2001) juga menemukan
hubungan positif antara besarnya ukuran legislatif di tingkat negara bagian dengan
pengeluaran publik. Selain itu, Knight (2005) mengungkapkan bahwa anggota komisi
legislatif
menggunakan
kewenangannya
untuk
mengajukan
anggaran
untuk
20
Teori Klasik Keuangan Publik dan Teori Politik pada Pengambilan Keputusan di
tingkat Pemerintah daerah
Kajian teori yang menekankan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah
daerah terdiri atas dua kelompok teori yaitu teori keuangan publik klasik yang
memanfaatkan model kurva indifferens dengan kendala anggaran yang dikembangkan
antara lain oleh Scot (1952) dan Wilde, (1971) serta teori politik yang secara khusus
menekankan pada proses politik di tingkat pemerintah daerah yang dikembangkan antara
lain oleh (Romer, 1980).
Kajian Empiris untuk teori keuangan publik klasik dan teori politik pemerintah
daerah
Kajian empiris yang dilandasi oleh kelompok teori ini mempelajari bagaimana
pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan apakah suatu
pemerintah daerah menerima dana transfer dari pemerintah pusat serta respon pemerintah
daerah atas dana transfer yang diterimanya (Volden, 2007).
Kontribusi kajian-kajian empiris pada kelompok ini antara lain adalah adanya bukti
respon asimetris oleh pemerintah daerah akibat adanya kenaikan dan penurunan dana
bantuan pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara lain oleh Volden (1999) dan
Gamkhar (2000). Selain itu kajian empiris pada kelompok ini mengungkap adanya
fenomena fly paper effect yang menyatakan bahwa dampak transfer pemerintah pusat
terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah lebih besar dari dampak pendapatan
pajak daerah terhada belanja publik oleh pemerintah daerah (Volden, 1999). Berbagai
kajian mengenai fenomena fly paper effect antara lain oleh Inman (2008) ; Bailey dan
Connolly (1998). Inman (2008) melakukan evaluasi atas berbagai kajian mengenai
fenomena fly paper effect dan penjelasan mengenai fenomena tersebut. Terdapat 4
kemungkinan penjelasan mengenai fenomena fly paper effect yaitu:
a. Permasalah dengan data yang digunakan;
Terkait dengan hal ini, Inman (2008) menyebutkan bahwa peneliti kemungkinan
memperlakukan matching grant sebagai bantuan yang bersifat eksogen.
b. Permasalahan ekonometrika
20
menyatakan
secara
jujur
preferensinya
jika
hal
tersebut
akan
20
yang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori ini yaitu: Principal agent model yang
diusulkan oleh Chubb (1985), Non-cooperative game theoretic model oleh Volden (2007)
serta endogenous grant model oleh Knight (2002). Masing-masing model tersebut akan
diulas pada bagian ini.
Principal Agent Model
Salah
satu
model
kategori
ini
merujuk
pada
model
principal-agent
untuk
20
(1971). Knight (2002) menambahkan adanya endogeinity atau hubungan antara preferensi
dengan dana transfer yang diukur menggunakan variabel keterwakilan negara bagian
pada lembaga legislative di tingkat pmerintah federal. Endogeinity tersebut sudah mulai
dikembangkan di era awal tahun 1970-an. Model yang sederhana dikembangkan oleh
Bradford dan Oates (1971) yang memprediksi bahwa belanja publik yang merupakan
transfer dari pemerintah pusat akan mengakibatkan efek crowd out terhadap alokasi
belanja publik di tingkak pemerintah daerah. Model yang dikembangkan oleh Bradford
dan Oates ini memperlakukan transfer pemerintah pusat sebagai variabel eksogen bagi
pemerintah daerah penerima bantuan. Model ini telah banyak diuji secara empiris, namun
banyak hasil penelitian empiris hanya menemukan efek crowd out yang lemah bahkan
beberapa kajian menemukan bahwa transfer pemerintah pusat memberikan efek crowd in
terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah (Knight, 2002). Efek crowd in dari
belanja publik oleh pemerintah daerah sebagai respon dari belanja transfer oleh
pemerintah pusat disebut fly paper effect (Knight, 2008).
20
yang terpisah dan juga kekuatan politik dan harus merespon konstituen di tingkat lokal
yang dapat berbeda dengan keinginan politisi di tingkat pemerintah pusat.
Selanjutnya, Volden (2007) mengusulkan pendekatan berbeda untuk kelompok
teori kategori ini yaitu dengan menekankan pada aspek adanya kompetisi antara
pemerintah/politisi di tingkat pemerintah pusat dengan pemerintah/politisi di tingkat
daerah yang mempengaruhi sistem dan mekanisme transfer dana antar pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah merupakan dana transfer dengan kategori lump-sum grant.
Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern
yang penting dimana proses formulasi dan penetapan kebijakan transfer pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah melibatkan proses teknokratik dan proses politik. Peneliti di
bidang kebijakan publik telah berhasil mengidentifikasi inefisiensi keputusan kebijakan
publik yang bersumber antara lain dari perilaku birokrasi, institusi legislatif, pengaruh
kelompok kepentingan, keinginan politisi untuk memenangkan pemilihan dan ilusi fiskal
(Weingast et al, 1981).
Kajian empiris model endogeinity tranfers pemerintah pusat dengan alokasi belanja
publik oleh pemerintah daerah
Knight (2002) melakukan pengujian empiris atas model endogeinity belanja
transfer pemerintah federal di Amerika Serikat dengan alokasi belanja publik oleh
pemerintah negara bagian untuk program bantuan jalan pemerintah federal yang
merupakan suatu bentuk grant dengan karakteristik open ended, matching grant. Hasil
kajian ini menyimpulkan adanya fenomena crowd out pada alokasi belanja pemerintah
negara bagian dengan sebagai adanya endogeinity antara pemberian bantuan dengan
alokasi belanja pada pemerintah negara bagian.
V.
20
model yang dikembangkan oleh Volden (2007) menggunakan asumsi dana transfer lumpsum grant. Selanjutnya akan dikembangkan proposisi dari model yang diadaptasi
tersebut.
Di samping itu, pada kajian ini mengadopsi hasil kajian Knight (2002) untuk
mengevaluasi dampak pemberian dana transfer oleh pemerintah pusat terhadap alokasi
belanja publik oleh pemerintah daerah.
Model yang dikembangkan Volden (2007) menekankan pada adanya suatu
kompetisi antara politisi yang dipilih pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah untuk
dapat keuntungan politik dari kebijakan penyediaan barang dan jasa publik pada area
kebijakan tertentu, serta dari perannya untuk mengarahkan kebijakan pada area tersebut.
Keuntungan politik yang didapatkan oleh para politisi tersebut terjadi melalui pilihanpilihan arah kebijakan dalam suatu area kebijakan tertentu (misalnya area kebijakan di
sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain) serta para politisi berusaha
memenuhi keinginan konstituen di wilayah pemilihannya untuk meningkatkan peluang
keterpilihan kembali. Konstituen mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang dan
jasa publik untuk area kebijakan tertentu namun tidak menyukai konsekuensi
pembiayaannya yaitu membayar pajak. Preferensi konstituen juga dipengaruhi oleh
kemampuannya untuk ikut mempengaruhi arah kebijakan dana transfer oleh pemerintah
pusat.
Pemerintah daerah juga berkontribusi terhadap penyediaan barang dan jasa publik
pada area tertentu dan juga mempunyai otoritas untuk mengarahkan arah kebijakan pada
area tersebut. Sebagai contoh pemerintah daerah membelanjakan penghasilan pajak
daerah untuk tujuan pendidikan, kesehatan dan belanja lainnya. Selain itu pemerintah
daerah mengeluarkan seperangkat aturan bagi pengeluaran di area-area tersebut.
Pemerintah pusat dapat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk
mengarahkan kebijakan pada area tersebut (dalam konteks Indonesia menyerahkan
kewenangan tersebut sebagai urusan daerah), atau pemerintah pusat juga dapat
memberikan bantuan keuangan kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana transfer
dengan persyaratan tertentu (dalam konteks Indonesia pemerintah pusat memberikan
dukungan dana bagi pemerintah daerah untuk membiayai urusan daerah yang merupakan
prioritas nasional dalam bentuk dana alokasi khusus/DAK).
20
Proses tersebut diatas, oleh Volden (2007) dimodelkan melalui suatu permainan
yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Model ini mengasumsikan terdapat dua aktor yaitu politisi pemerintah pusat dan
politisi pemerintah daerah. Untuk pemerintah daerah diasumsikan terdapat hanya satu
representasi pemerintah daerah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai
kompetisi antara politisi di kedua tingkat pemerintahan. Dengan demikian model ini
mengabaikan suatu kemungkinan adanya kompetisi horizontal di antara pemerintah
daerah. Pada keseluruhan permainan, diasumsikan pemerintah daerah juga menyediakan
barang dan jasa publik yang berarti model ini tidak cocok diterapkan untuk area
kebijakan dimana peran pemerintah daerah merupakan peran yang terbatas (seperti area
pertahanan nasional yang merupakan urusan pemerintah pusat).
Pemerintah pusat mengambil keputusan lebih dulu yaitu memilih antara tidak
alternatif kebijakan yaitu:
1) tidak ikut menyediakan barang dan jasa publik di area tertentu (menyerahkan
sepenuhnya kepada pemerintah daerah;
Seandainya pemerintah pusat memutuskan untuk menyerahkan kewenangan
penyediaan barang dan jasa publik kepada pemerintah daerah, maka barang publik
seluruhnya akan disediakan oleh pemerintah daerah (qs) dan pemerintah daerah akan
20
menetapkan arah kebijakan bagi penyediaan baran dan jasa publik tersebut (y).
Parameter arah kebijakan (y) ini disimplifikasi sebagai suatu pilihan dari garis
kebijakan satu dimensi, dengan adanya kemungkinan bahwa arah kebijakan oleh
pemerintah daerah dapat berbeda dengan arah kebijakan oleh pemerintah pusat. Arah
kebijakan ini dimodelkan secara terpisah dari jumlah pengeluaran dan dapat
dipandang dapat menangkap preferensi yang berbeda mengenai bagaimana sumber
daya tersebut dibelanjakan. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat meningkatkan
gaji guru, sementara pemerintah pusat mungkin lebih menginginkan adanya
penyelenggaran ujian nasional, selain itu pemerintah di tingkat pusat dan daerah dapat
berbeda arah kebijakan mengenai bagaimana cara menurunkan tingkat polusi udara,
meningkatkan ketertiban publik atau meningkatkan jangkauan layanan kesehatan
publik.
2) ikut menyediakan barang dan jasa publik di area tertentu;
Jika pemerintah pusat memutuskan untuk secara bersama-sama pemerintah daerah
untuk penyediaan barang publik di area tertentu (qN dan qs), maka pemerintah pusat
dan pemerintah daerah secara berurutan memilih jumlah barang publik yang akan
disediakan (qN dan qs). Pada skema ini, pemerintah daerah masih dapat menentukan
arah kebijakan untuk barang publik yang disediakannya (y).
3) menawarkan bantuan dana transfer kepada pemerintah daerah untuk pembiayaan
barang dan jasa publik di area tertentu dengan persyaratan/ketentuan yang mengikat
pemerintah daerah;
Jika pemerintah pusat memutuskan untuk memberikan dana transfer bagi pemerintah
daerah maka, pemerintah pusat akan memutuskan besarnya dana transfer (g) dan
menetapkan syarat-syarat bagi pemberian bantuan dalam bentuk arah kebijakan (y).
Dalam model yang dibuat Volden (2007) ini diasumsikan bahwa bentuk dana transfer
adalah lumpsum grant. Selanjutnya, Volden (2007) menyebutkan bahwa model ini
dapat dikembangkan untuk dapat mengeksplorasi model untuk jenis grant lain seperti
block grant dan matching grant. Selanjutnya pemerintah daerah akan dapat menerima
atau menolak tawaran pemerintah pusat dengan mempertimbangkan arah kebijakan
yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Jika pemerintah daerah menerima tawaran
dana transfer tersebut, selanjutnya pemerintah daerah akan memutuskan jumlah
20
barang publik yang akan disediakan (qs), namun jika pemerintah menolak penawaran
dana transfer maka pemerintah daerah akan memutuskan jumlah barang publik yang
disediakan (qs) serta arah kebijakan (y).
Ketiga pilihan keputusan ini merupakan pilihan kebijakan pemerintah pusat yang lazim
dalam suatu sistem pemerintahan federasi.
Tujuan Politisi
Seperti telah diuraikan sebelumnya, baik politisi pemerintah pusat maupun politisi
pemerintah daerah sebenarnya merupakan aktor yang merepresentasikan konstituennya.
Politisi mendapatkan keuntungan politik untuk kebijakan penyediaan barang publik bagi
konstituennya, menetapkan tingkat pajak yang rendah dan menetapkan arah kebijakan
yang merefleksikan preferensi konstituennya. Secara spesifik, persamaan kepuasan
politisi pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
Us ( qs qN ) fC , sd (ts tN ) 2 fB , s y xs
UN ( qs qN ) fC , Nd (ts tN ) 2 fB , s y xN
Suku pertama dari persamaan (1) dan (2) adalah keuntungan politik yang didapatkan dari
penyediaan barang publik bagi politisi. Semakin banyak barang publik yang disediakan
(qs +qn) pada tingkat permintaan barang publik (d) maka politisi akan mendapatkan lebih
banyak keuntungan politik. Keuntungan politik tersebut dibagi kepada politisi di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Suku kedua dari persamaan (1) dan (2) adalah beban politik yang harus ditanggung oleh
politisi akibat mengenakan pajak kepada konstituen untuk pembiayaan barang publik.
Beban politik akan semakin besar secara kuadratik pada tingkat total pajak (t s + tN),
sehingga akan menurunkan tingkat kepuasan politisi jika pengenaan pajak terlalu tinggi.
Beban politik akan ditanggung oleh politisi pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(fB,N) dan (fB,s), Secara bersama, suku pertama dan suku kedua dari persamaan (1) dan (2)
merefleksikan suatu skema dimana terdapat suatu tingkat pengeluaran/belanja publik
antara nol sampai tidak terbatas. Pada tingkat yang ideal, pengurangan pengeluaran
publik akan menghasilkan pengurangan kepuasan untuk penyediaan barang publik , dan
peningkatan pengeluaran publik akan menghasilkan pengurangan kepuasan akibat
peningkatan pajak.
20
(3)
20
Pemerintah daerah yang menerima dana transfer tidak perlu meningkatkan pajak begitu
besar sehingga tingkat pajak menjadi :
ts= (msqs g/s)
(4)
20
Selanjutnya, bagian empiris dari penelitian ini adalah melakuan pengujian atas
alokasi dana transfer yang bersifat closed ended, matching grant oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah serta respon belanja publik oleh pemerintah daerah yang
mengacu dari model Volden (2007) yang telah diadaptasi untuk jenis belanja transfer
yang bersifat conditional, close-ended, matching grant untuk kasus Indonesia dengan
menggunakan data panel tahun 2004-2014.
VII.
20
Daftar Pustaka
Baron, D. a. (1989). Bargaining in Legislatures. Americal Political Sciences Review,
83(4), 1181-1206.
Barry R. Weingast, K. A. (1981, Augustus). The Political Economy of Benefits and Costs:
A Neoclassical Approach to Distributive Politics. Journal of Political Economy,
89(4), 642-664.
Bradbury J. and Crain, M. (2001, December). Legislative organization and government
spending: cross-country evidence . Journal of Public Economics, 82(3), 309-325.
Chubb, J. (1985). The political economy of federalism. American Political Science
Review, 79, 994-1015.
Coker, D. a. (1994). Legislative Committees as loyalty-generating institution. Public
Choce, 81(3-4), 195-221.
Connolly, S. J. (1998, June). The Flypaper Effect: Identifying Areas for Further Research.
Public Choice, 95(3/4), 335-361.
Cox, G. W. (1993). Legislative Leviathan: Party Government in the house. Berkeley,
California: University of California Press.
Del Rossi, A. a. (1999, Februari). Changing the price of pork: the impact of local cost
sharing on legislators' demand for distributive politics goods. Journal of Public
Economics, 72(2), 247-273.
Gamkhar, S. (2000). Is the response of state and local highway spending symmetric to
increase and decrease in federal highway grants? Public Finance Review, 24(1), 325.
Giligan, T. a. (1995, July). Deviations from constituent interest: the role of legislative
structure and political parties in the states . Economic Enquiry, 383-410.
Hyman, D. N. (2010). Public FInance : A Contemporary Application of Theory to Polici
(10th ed.). Joe Sabatino.
Knight, B. (2005, December). Estimating the value of proposal power. American
Economic Review, 95(5), 1639-1652.
Knight, B. (March 2002). Endogenous Federal Grants and Crowd-out of State
Government Spending: Theory and Evindence from the Federal Highway Aid
Program. The American Economic Review, 92(1), 71-92.
20
Levit S. and Poterba, J. (1999, April). Congressional Distributive Politics and State
Economic Performance. Public Choice, 185-216.
Levit S. and Snyder, J. (1997, February). The Impact of Federal Spending on House
Election Outcomes. Journal of Political Economy, 105(1), 30-53.
R, B. (2002, December). Districting and Government Overspending. Journal of Political
Economy, 110(6), 1318-1354.
Roberson, B. (2008, June). Pork-barrel Politics, Targetable Policies and Fiscal
Federalism. Journal of the European Economic Association, 6(4), 819-844.
Robert P, I. (December 2008). The Flypaper Effect. National Bureau of Economics
Research Working Paper, NBER Working Paper 14579.
Rohde, D. (1991). Parties and Leareds in the post-reform house. Chicago: University of
Chicago Press.
Romer, T. a. (1980). An Institutional theory of the effect of Intergovernmental grants.
National Tax Journal, 33, 451-458.
Scot, A. (1952). The Evaluation of Federal Grants. Econometrica, 19, 377-394.
Snyder, J. J. (1994). Safe seats, marginal seats and party platforms: The logic of platform
differentiation. Economics and Politics, 6(3), 201-213.
Volden, C. (1999). Asymmetric effects of intergovernmental grants: Analysis and
implications for U.S. welfare policy. Publius: The Journal of Federalism, 29(3),
51-73.
Volden, C. (2007, Spring). Intergovernmental Grants: A Formal Model of Interrelated
National and Subnational Politica Decisions. Publius, 37(2), 209-243.
Wilde, J. (1971). Grants-in-aid: The analytics of design and response. National Tax
Journal, 24, 143-156.
20
PROPOSAL
Oleh :
IMAN SUFRIAN
NPM. 1206313974
20
DAFTAR ISI
I
PERMASALAHAN UMUM
II
III
IV
TUJUAN PENELITIAN
9
REVIU LITERATUR
10
1. Literatur yang menekankan pada keputusan dana transfer di tingkat pemerintah 11
pusat
11
15
a. Model kurva indifference uangan publik klasik (Teori keuangan publik klasik);
b. Model keputusan politik di tingkat pemerintah daerah.
3. Literatur yang menekankan pada interaksi keputusan di tingkat pemerintah pusat 17
dan keputusan di tingkat pemerintah daerah dalam konteks kebijakan dana transfer
a. Model principal-agen;
b. Model game teori non-cooperative;
c. Model endogenous grant.
V
KERANGKA KONSEPTUAL
20
VI
26
26
20
20
politics
theory
pada
dasarnya
menekankan
pada
efek
20
2. Kajian teori yang menekankan pada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah (keputusan tiga dan empat);
Kajian teori yang menekankan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh
pemerintah daerah terdiri atas dua kelompok teori yaitu teori keuangan publik klasik
yang memanfaatkan model kurva indifferens dengan kendala anggaran yang
dikembangkan antara lain oleh Scot (1952) dan Wilde, (1971) serta teori politik yang
secara khusus menekankan pada proses politik di tingkat pemerintah daerah yang
dikembangkan antara lain oleh Romer (1980).
Kajian empiris yang dilandasi oleh kelompok teori ini mempelajari bagaimana
pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan apakah suatu
pemerintah daerah menerima dana transfer dari pemerintah pusat serta respon
pemerintah daerah atas dana transfer yang diterimanya (Volden, 2007). Kontribusi
kajian-kajian empiris pada kelompok ini antara lain adalah adanya bukti respon
asimetris oleh pemerintah daerah akibat adanya kenaikan dan penurunan dana
bantuan pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara lain oleh Volden (1999) dan
Gamkhar (2000). Selain itu kajian empiris pada kelompok ini mengungkap adanya
fenomena fly paper effect yang menyatakan bahwa dampak transfer pemerintah
pusat terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah lebih besar dari dampak
pendapatan pajak daerah terhada belanja publik oleh pemerintah daerah (Volden,
1999). Berbagai kajian mengenai fenomena fly paper effect antara lain oleh Inman
(2008) ; Bailey dan Connolly (1998). Inman (2008), menyatakan bahwa dari beberapa
kandidat yang dapat menjelaskan fly paper effect, faktor politiklah yang merupakan
penjelasan yang terbaik.
3. Kajian teori yang menggabungkan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah ke dalam satu model (keputusan satu sampai empat);
Kajian teori pada kelompok ini menggabungkan keputusan-keputusan di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam satu model. Salah satu model
kategori ini merujuk pada model principal-agent untuk menggambarkan interaksi
antara politisi pemerintah pusat dan birokrasi pemerintah pusat. Selanjutnya birokrasi
pemerintah pusat menyusun ketentuan terkait kebijakan dana transfer bagi pemerintah
20
daerah serta melakukan pemantauan atau pengawasan atas ketentuan oleh pemerintah
daerah seperti yang dikembangkan oleh Chubb (1985).
Chubb
(1985)
juga
melakukan
pengujian
empiris
untuk
model
yang
dikembangkannya untuk dua jenis dana transfer pemerintah pusat yaitu dana transfer
yang bersifat conditional, close-ended matching maupun conditional, close-ended
lump
sum.
Chubb
(1985)
menyimpulkan
bahwa
model
ekonomi
tanpa
pemberian dana transfer adalah faktor ideologi serta motivasi untuk memenuhi
permintaan konstituen pada tingkat pemerintah pusat baik oleh anggota kongres
maupun birokrat di tingkat pemerintah pusat.
Volden (2007), mengkritisi model-model yang hanya menekankan pada keputusan di
satu tingkat pemerintahan (pemerintah pusat/daerah secara terpisah). Hal ini
disebabkan karena model-model tersebut mengabaikan adanya keterkaitan dalam
keputusan-keputusan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Sebagai contoh besarnya dana transfer dan syarat-syarat yang dikenakan atas
penyaluran dana transfer oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh respon
pemerintah daerah serta kemungkinan respon oleh pemerintah daerah atas dana
transfer yang akan diberikan oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh formulasi
dana transfer yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Volden (2007) juga mengkritisi
keterkaitan keputusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pendekatan
prinsipal-agent model. Argumennya adalah pendekatan principal-agent model tidak
menggambarkan realitas hubungan antara peerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah pada suatu sistem federasi berbeda dengan birokrat di tingkat
pemerintah pusat yang menjalankan visi politisi tingkat pemerintah pusat. Pemerintah
daerah daerah juga memiliki sumber pembiayaan yang terpisah dan juga kekuatan
politik dan harus merespon konstituen di tingkat lokal yang dapat berbeda dengan
keinginan politisi di tingkat pemerintah pusat.
20
(2002)
memodifikasi
model
Bradford
dan
Oates
(1971)
dengan
20
publik oleh pemerintah daerah sebagai respon dari belanja transfer oleh pemerintah
pusat disebut fly paper effect (Knight, 2008).
Knight (2002) melakukan pengujian empiris atas model endogeinity belanja transfer
pemerintah federal di Amerika Serikat dengan alokasi belanja publik oleh pemerintah
negara bagian untuk program bantuan jalan pemerintah federal yang merupakan suatu
bentuk grant dengan karakteristik open ended, matching grant. Hasil kajian ini
menyimpulkan adanya fenomena crowd out pada alokasi belanja pemerintah negara
bagian dengan sebagai adanya endogeinity antara pemberian bantuan dengan alokasi
belanja pada pemerintah negara bagian.
20