Anda di halaman 1dari 35

I.

PENDAHULUAN
Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern
yang penting (Roberson, 2008). Dukungan atas pandangan ini dapat dilihat dari
fenomena trend penguatan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah oleh
pemerintah pusat yang terjadi baik pada negara dengan sistem pemerintahan federasi
maupun pemerintahan terpusat, terutama di era 1990-an (Inman, 2008).
Sebagai konsekuensinya, porsi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah terhadap total belanja pemerintah pusat merupakan pengeluaran pemerintah yang
signifikan. Sebagai contoh, dalam anggaran pemerintah federal Amerika Serikat pada
tahun 1996, transfer pemerintah federal menempati porsi sebesar 6 persen dari GDP dan
17 persen dari total pengeluaran publik

(Knight 2002)). Di Indonesia, penguatan

kewenangan pemerintah daerah tampak nyata setelah berakhirnya era orde baru di akhir
tahun 1990-an dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah ini, porsi belanja transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (dana
perimbangan) juga meningkat secara signifikan baik secara nominal maupun proporsinya
terhadap total belanja pemerintah.
Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan dana transfer merupakan suatu instrumen
untuk memastikan bahwa ketersediaan dan mutu layanan publik di seluruh wilayah dalam
suatu negara memenuhi tingkat/standar minimum yang ditetapkan melaui suatu alokasi
yang memenuhi kriteria normatif yaitu alokasi yang efisien dan berkeadilan/equity
(Roberson, 2008). Di samping itu, kebijakan dana transfer juga dapat membantu untuk
mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien untuk sektor pemerintahan melalui
internalisasi eksternalitas dalam suatu wilayah pemerintahan lokal (Hyman, 2010).
Selanjutnya Hyman (2010) menyatakan bahwa kegagalan menginternalisasi eksternalitas
dalam suatu wilayah pemerintahan lokal akan mengakibatkan penyediaan barang publik
yang tidak optimal.
Dalam praktiknya, kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu kebijakan
transfer tidak hanya merupakan proses teknokratik yang menekankan pada aspak tujuan

20

eknomi namun juga merupakan proses politik yang belum tentu selalu sejalan dengan
tujuan ekonomi (Bappenas, 2011). Proses teknokratis dalam perumusan suatu kebijakan
transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tampak dari perumusan kebijakan
dengan menggunakan formula untuk mendapatkan keputusan mengenai besaran dana
transfer dan penerima dana transfer.
Selain proses teknokratik, proses politik juga berperan penting dalam perumusan
kebijakan dana transfer. Di dalam suatu sistem demokrasi, proses politik merupakan satu
proses yang penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan merupakan
suatu kebijakan yang optimal (pareto efisien). Namun demikian, disadari bahwa, proses
politik juga dapat berperan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal (pareto
dominated) (Barry R. Weingast, 1981). Peneliti di bidang kebijakan publik telah berhasil
mengidentifikasi inefisiensi keputusan kebijakan publik yang bersumber antara lain dari
perilaku birokrasi, institusi legislatif, pengaruh kelompok kepentingan, keinginan politisi
untuk memenangkan pemilihan dan ilusi fiskal (Weingast et al, 1981).
Walaupun proses teknokratik, tampak sebagai mekanisme yang tidak mudah
diintervensi secara politik, namun sebenarnya politisi memiliki berbagai cara untuk
mempengaruhi keputusan alokasi dana transfer. Sebagai contoh dalam konteks alokasi
grant untuk federal highway aid program di Amerika Serikat yang merupakan satu
program yang dibiayai dari dana transfer pemerintah federal kepada pemerintah negara
bagian dengan sumber pembiayaan Federal Higway State Fund. Penentuan besaran dana
transfer tersebut menggunakan suatu formula sebagai dasar alokasi kepada negara bagian.
Namun demikian keputusan alokasi tersebut dapat dipengaruhi politisi antara lain dengan
cara usulan earmarked project oleh anggota kongres dan project tersebut dibiayai dari
Federal Highway State Fund. Cara kedua, yaitu anggota kongres atau senat dapat
mengusulkan program baru yang dibiayai dari Federal Higway State Fund. Cara lainnya
adalah dengan menggunakan pengaruh politik untuk membiayai proyek tertentu di negara
bagian yang merupakan daereh pemilihannya yang akan dibiayai oleh Federal Highway
State Fund (Knight, 2002).
Di samping faktor politik pada tingkat pemerintah pusat pada saat penentuan
alokasi dana transfer, interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

20

konteks kebijakan dana transfer juga berpengaruh terhadap hasil dari keputusankeputusan yang akan diambil baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
(Volden, 2007).
Pemahaman mengenai bagaimana variabel politik dapat mempengaruhi kebijakan
dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya alokasi dana
transfer) serta adanya keterkaitan antara keputusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam suatu kebijakan dana transfer akan merupakan area penelitian yang menarik
dan penting. Untuk konteks penelitian di Indonesia, penelitian yang mengenai bagaimana
variabel politik mempengaruhi alokasi dana perimbangan serta bagaimana respon
pemerintah daerah terhadap alokasi dana transfer dari pemerintah pusat akan menabah
pemahaman mengenai disain kebijakan dana transfer agar dapat mencapai tujuannya.
II.

PERMASALAHAN PENELITIAN
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan, disebutkan bahwa dana perimbangan terdiri atas 3 komponen yaitu Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada
penelitian ini, lingkupnya dibatasi pada kajian atas dana alokasi khusus (DAK). Secara
lebih spesifik, bidang yang akan diteliti adalah dana alokasi khusus bidang pendidikan.
Bappenas (2011) menyebutkan bahwa dari perspektif teori, DAK yang diterapkan
di Indonesia sejauh ini termasuk conditional, closed-ended, and binding constrain
matching grant. Artinya, DAK di Indonesia merupakan transfer bersyarat dengan tujuan
khusus yang besaran dananya (pagu) telah ditetapkan sejak semula. Dana alokasi khusus
(DAK) yang merupakan suatu bentuk dana transfer pemerintah pusat/dana perimbangan
yang bersifat earmarked, close ended, matching grant memiliki karakteristik belanja
yang rentan terhadap praktik distributive politics. Hal ini disebabkan karena belanja DAK
secara spesifik ditujukan untuk daerah geografis tertentu (dalam hal ini pemerintah
daerah).
Proses penetapan alokasi DAK melibatkan proses teknokratik dan juga proses
politik. Proses teknokratik merupakan suatu proses perencanaan yang terutama dilakukan
oleh eksekutif di tingkat pemerintah pusat dalam merancang arah kebijakan, dan
penetapan kriteria serta melakukan seleksi dan perhitungan besaran alokasi DAK yang

20

akan diterima oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk pencapaian tujuan prioritas
nasional yang sudah diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah dengan adanya
desentralisasi/otonomi daerah.
Kriteria daerah penerima DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55
tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Di dalam peraturan pemerintah tersebut,
disebutkan bahwa daerah penerima DAK adalah daerah yang memenuhi kriteria umum,
kriteria khusus dan kriteria teknis (pasal 51 ayat 2 dan pasal 54 ayat 2). Selanjutnya juga
ditegaskan dalam pasal 54 ayat 2 yang menyatakan bahwa daerah yang layak menerima
DAK harus memenuhi ketiga kriteria tersebut (kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria
teknis) secara parallel. Penentuan alokasi DAK dan besaran DAK bagi daerah penerima
pada tahapan proses teknokratik melibatkan kementrian teknis (dhi. Kementrian
Pendidikan), Kementrian Keuangan dan Bappenas. Proses teknokratik menghasilkan
daerah serta besaran alokasi DAK bagi daerah yang menerima DAK. Beberapa kajian
yang menekankan pada proses teknokratik untuk memilih daerah penerima DAK dan
menentukan alokasi DAK menyimpulkan bahwa mekanisme yang berlaku cenderung
kompleks (Bappenas, 2011).Sesuai pasal 58, keputusan definitif mengenai daerah
penerima DAK dan besaran DAK yang diterima oleh masing-masing daerah ditetapkan
melalui peraturan menteri keuangan.
Namun demikian, penetapan mengenai daerah penerima DAK dan besaran DAK
yang cenderung kompleks secara teknokratis tersebut juga harus melalui proses politik
yaitu adanya pembahasan mengenai daerah penerima DAK dan besaran DAK dengan
DPR. Pembahasan mengenai daerah penerima DAK dan besaran alokasi DAK dengan
DPR dilakukan pada pembahasan tingkat I nota keuangan dan rancangan APBN berupa
rapat komisi, rapat gabungan komisi dan rapat Badan Anggaran. Proses politik dalam
penetapan alokasi DAK merupakan proses di tingkat I melibatkan anggota legislatif DPR
RI (komisi X/bidang pendidikan, komisi XI/bidang keuangan dan Badan Anggaran) dan
eksekutif yaitu Kementrian Teknis, Bappenas, Kementrian Keuangan.
Adanya proses politik dalam penentuan daerah peneriman DAK dan besaran
alokasi DAK diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang pengalokasian dana
transfer daerah. Sebagai contoh untuk alokasi DAK tahun anggaran 2013 hal tersebut

20

disebutkan pada pasal 52 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 165/PMK.7/2012


tentang Pengalokasian Dana Transfer Daerah Tahun Anggaran 2013 dan pasal 46
Perturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.7/2013 tentangn
Pengalokasi Anggran Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2014. Pembahasan mengenai
daerah penerima DAK dan besaran alokasi DAK dengan DPR untuk alokasi tahun
anggaran lain dapat dilihat dari konsideran peraturan/keputusan menteri keuangan
mengenai alokasi anggaran transfer ke daerah untuk tahun anggaran bersangkutan.
Proses politik dalam penentuan daerah peneriman dan alokasi dana transfer
pemerintah pusat tentunya tidak harus selalu dipandang negatif. Keterlibatan anggota
legislatif dalam proses penentuan alokasi dana transfer akan berkontribusi untuk
mendorong alokasi dana transfer yang efisien jika proses politik dapat memastikan bahwa
proses teknokratik dapat membawa alokasi sumber daya ke daerah-daerah dengan excess
demand yang tinggi untuk barang publik sektor tertentu (dhi. Barang publik sektor
pendidikan). Dengan kata lain, ketika suatu daerah yang diwakili oleh legislator pada
komisi bidang pendidikan mengalami kondisi kekurangan barang publik bidang
pendidikan yang besar, maka peran legislator yang mewakili daerah pemilihan di daerah
tersebut untuk mengalokasikan dana transfer bidang pendidikan yang besar ke daerah
pemilihannya memang sejalan dengan tujuan kebijakan dana transfer. Namun demikian,
penempatan anggota legislatif pada alat kelengkapan dewan legislatif (komisi dan badan
anggaran) tidak hanya mempertimbangkan kondisi obyektif daerah pemilihan seorang
legislator (excess demand untuk barang publik tertentu yaitu barang publik sektor
pendidikan). Penempatan anggota dewan dalam komisi atau badan anggaran juga
ditentukan oleh faktor lain melalui proses internal di dalam partai politik.
Dalam realitasnya, politisi dan partai politik di lembaga legislatif memiliki
motivasi lain yaitu berusaha mempengaruhi alokasi DAK untuk memenuhi tujuannya
keuntungan politik seperti pemenangan pemilihan umum sehingga dapat mendistorsi
tujuan kebijakan DAK yaitu mencapai sasaran program prioritas nasional yang sudah
dijabarkan dalam rencana kerja pemerintah (RKP). Jika pengaruh politisi dan partai
politik menjadi sangat kuat dan mendistorsi kebijakan alokasi DAK maka alokasi yang
dihasilkan melalui kesepakatan antaran eksekutif dan legislatif di tingkat pemerintah
pusat menjadi tidak efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari mekanisme pemilihan daerah

20

penerima DAK yang diatur dalam peraturan menteri keuangan mengenai aloksi dana
DAK yang memperlakukan kriteria penerima DAK tidak harus memenuhi kriteria umum,
kriteria khusus dan kriteria teknis secara paralel. Sebagai ilustrasi, untuk alokasi DAK
tahun anggaran 2013 dan 2014, sebagaimana diatur oleh pasal 50 peraturan menteri
keuangan untuk alokasi DAK TA 2013 dan pasal 44 Peraturan Menteri Keuangan untuk
alokasi DAK TA 2014, dinyatakan bahwa walaupun suatu daerah tidak memenuhi kriteria
umum, namun masih dapat menerima DAK, jika daerah tersebut merupakan daerah
otonomi khusus yaitu Papua dan Papua Barat, daerah tertinggal, daerah dengan indeks
fiskal wilayah (IFW) di atas rata-rata IFW nasional, daerah indeks fiskal wilayah teknis
(IFWT) di atas rata-rata IFWT nasional. Ketentuan pasal 50 dan pasal 44 tersebut tidak
sejalan dengan ketentuan pasal 54 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005
tentang Dana Perimbangan. Kajian SMERU (2008) menyatakan bahwa proses politik
yang menghasilkan kompromi antara eksekutif (pemerintah) dengan legislatif (DPR)
dalam alokasi DAK bidang pendidikan mengakibatkan sebanyak 87 daerah penerima
DAK bidang pendidikan seharusnya tidak layak menerima DAK pada tahun anggaran
2007. Kuatnya intervensi proses politik dalam kebijakan DAK khususnya di bidang
pendidikan juga terlihat dari adanya keharusan bahwa petunjuk teknis DAK bidang
pendidikan harus terlebih dahulu dikonsultasikan/mendapatkan persetujuan Komisi X
DPR-RI yang membidangi pendidikan sebagaimana tercantum pada Pasal 27 UU Nomor
10 tahun 2010 tentang APBN.

Bappenas (2011) juga menyebutkan bahwa proses

teknokratis dalam penentuan alokasi DAK yang cenderung kompleks ini tidak akan
memberikan banyak makna jika proses penentuan alokasi DAK lebih didominasi oleh
proses politik dan pork-barrelling tidak dapat dihindarkan.
Selain itu, pemerintah daerah penerima alokasi DAK akan merespon penerimaan
DAK dari pemerintah pusat dengan melakukan alokasi belanja publik di tingkat
pemerintah daerah. Secara konseptual, pemilihan mekanisme matching grant seperti
DAK ditujukan untuk menginternalisasi eksternalitas antar wilayah geografis sehingga
mekanisme ini akan meningkatkan efisiensi alokasi belanja publik untuk sektor tertentu
yang mendapat matching grant (Hyman, 2010). Kegagalan menginternalisasi esternalitas
antar wilayah geografis akan mengakibatkan kurangnya penyediaan barang publik sesuai
yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pemberian matching grant oleh

20

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan mendorong alokasi yang lebih besar
untuk belanja publik sektor yang sama oleh pemerintah daerah. Sehingga, total belanja
publik untuk sektor yang menerima matching grant menjadi lebih besar. Asumsinya,
variabel matching grant diperlakukan sebagai variabel eksogen. Secara empiris, pendapat
ini sudah diuji dan dibuktikan dengan berbagai kajian antara lain oleh
Namun demikian, Knight (2002) membuktikan bahwa pemberian dana transfer
kepada pemerintah daerah dalan bentuk matching grant tidak selalu menstimulus
pengeluaran publik oleh pemerintah daerah, bahkan pemberian matching grant
berdampak crowd out belanja publik oleh pemerintah lokal/negara bagian. Dengan kata
lain, pemberian matching grant oleh pemerintah federal akan mengurangi alokasi belanja
publik pada sektor tersebut oleh pemerintah negara bagian. Knight (2002)
memperlakukan variabel matching grant untuk kasus Federal Highway Aid Program di
Amerika Serikat sebagai variabel endogen, dan bukan sebagai variabel eksogen. Knight
(2002) memandang bahwa baik pemberian matching grant oleh pemerintah federal
maupun alokasi belanja publik sektor yang diamati ditentukan melalui suatu proses
politik. Pada tingkat pemerintah federal, terjadi proses politik di kongres untuk
menentukan alokasi matching grant. Hasil dari kesepakatan politik tersebut
merefleksikan preferensi konstituen yang diukur berdasarkan keterwakilan negara bagian
tersebut pada komisi transportasi di kongres. Dengan mengoreksi permasalahan
endogeinitas antara variabel matching grant dengan belanja publik oleh pemeirntah
negara bagian, ternyata hubungan antara matching grant dengan belanja publik sektor
tersebut oleh pemerintah negara bagian menjadi berbanding terbalik. Hasil kajian Knigt
(2002) memberikan kontribusi untuk menjelaskan fenomena flypaper effect dimana
interaksi antara grant yang bersumber dari pemerintah pusat dengan respon belanja
publik oleh pemerintah daerah/lokal yang selalu berdampak stimulus dapat dijelaskan
melalui faktor politik.
Dalam konteks Indonesia, skema DAK, juga ditujukan untuk menstimulasi
pengeluaran publik oleh pemerintah daerah untuk sektor yang menjadi prioritas nasional
namun telah diserahkan menjadi urusan daerah melalui otonomi daerah. Dengan
demikian, pemerintah pusat menginginkan total kebutuhan belanja publik pada sektor
yang sebagian dibiayai dari DAK, akan dapat dipenuhi dengan tambahan alokasi belanja

20

publik yang bersumber dari APBD. Dengan kata lain, pemerintah pusat menginginkan
agar alokasi DAK untuk sektor pendidikan akan menstimulasi pengeluaran publik sektor
pendidikan oleh pemerintah daerah sehingga ketersediaan barang publik di sektor
pendidikan akan dapat tercukupi/optimal dengan kombinasi pembiayaan dari APBN dan
APBD. Hal ini tampak dari adanya kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan
dana pendamping bagi dana DAK yang disediakan oleh pemerintah pusat. Tujuannya
tentu penyediaan barang publik (dalam hal ini sektor pendidikan) yang telah menjadi
urusan pemerintah daerah akan terpenuhi sesuai kebutuhan dengan adanya tambahan
DAK bidang pendidikan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, proses penentuan alokasi DAK oleh
pemerintah pusat juga ternyata dipengaruhi oleh proses politik dengan DPR-RI terutama
di tingkat komisi dan badan anggaran. Di samping itu proses penentuan belanja publik
oleh pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh proses politik di tingkat lokal. Dengan
demikian pemerintah daerah tidak memandang alokasi DAK merupakan suatu variabel
eksogen ketika menentukan alokasi belanja publik.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas nasional yang sudah
menjadi urusan daerah pemerintah daerah melalui desetralisas/otonomi daerah. Dengan
demikian, pemerintah pusat masih tetap berperan penting untuk
Kajian empiris mengenai kebijakan tranfer DAK yang memasukkan variabel
politik serta saling keterkaitan antara antara proses penetapan alokasi DAK di tingkat
pemerintah pusat dengan penerimaan DAK oleh pemerintah daerah serta respon
pemerintah daerah dalam merancang alokasi belanja publik di tingkat lokal (APBD)
tampaknya belum ditemukan dalam konteks Indonesia. Pengetahuan mengenai hal ini
akan menambah literatur di bidang ini dalam konteks Indonesia serta dapat memberikan
implikasi kebijakan mengenai proses politik dan proses teknokratik dalam proses
penetapan alokasi DAK serta disain regulasi yang akan mendorong efisiensi alokasi DAK
di tingkat pusat serta alokasi belanja publik di tingkat daerah.
III.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan dampak dari faktor politik di tingkat
pemerintah pusat terhadap alokasi dana transfer kepada pemerintah daerah serta respon

20

pemerintah daerah dalam konteks alokasi dana transfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang memiliki karakteristik closed ended, matching grant. Secara
spesifik tujuan kedua dari penelitian ini adalah:
a. Melakukan evaluasi atas adanya interaksi antara aktor-aktor politik di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap keputusan
alokasi dana transfer (variabel g dalam model Volden, 2007) yang memiliki
karakteristik earmarked, closed ended, matching grant (dhi. DAK) oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah.
b. Melakukan evaluasi atas adanya interaksi antara aktor-aktor politik di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap respon
keputusan alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah sebagai respon atas alokasi
dana transfer (variabel qs dalam model Knight, 2002) yang memiliki karakteristik
earmarked, closed ended, matching grant (dhi. DAK) dari pemerintah pusat.
IV.

Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai keterkaitan keputusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta faktor politik dalam konteks distribusi dana perimbangan oleh pemerintah
pusat yang memiliki karakteristik closed ended, matching grant dengan keputusan
alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah sudah cukup banyak dilakukan. Namun
demikian, penelitian empiris secara sistematis untuk konteks Indonesia tampaknya belum
banyak dilakukan. Terdapat setidaknya dua alasan mengenai masih kurangnya penelitian
dalam hal ini untuk konteks Indonesia. Alasan pertama, dana transfer pemerintah pusat
dengan karakteristik closed ended, matching grant baru mulai diimplementasikan pada
tahun 2003 dengan alokasi yang relatif kecil. Selanjutnya memang terjadi peningkatan
nilai alokasi secara dari sampai saat ini namun proporsi DAK terhadap total dana
perimbangan masih relatif kecil. Alokasi DAK yang relatif kecil dibanding total nilai
belanja dana perimbangan pemerintah pusat secara keseluruhan kemungkinan membuat
penelitian dalam hal ini dalam konteks Indonesia belum menjadi perhatian. Alasan kedua
yaitu implementasi dana perimbangan dan secara khusus dana alokasi khusus (DAK)
baru dimulai tahun. Di masa orde baru, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan
yang luas dalam pengelolaan sumber daya. Pengelolaan sumber daya keuangan negara

20

berada di tangan eksekutif pemerintah pusat. Distribusi sumber daya kepada pemerintah
daerah lebih banyak dalam bentuk dana inpres yang dalam konteks undang-undang yang
berlaku saat ini mirip dengan dana tugas pembantuan atau dana dekonsentrasi. Selain itu,
di masa pemerintah orde baru, kekuasaan dalam merancang dan memutuskan suatu
kebijakan publik didominasi oleh eksekutif sehingga variabel legislatif tampaknya tidak
banyak berpegaruh kepada pengambilan kebijakan. Dengan demikian, penelitian alokasi
DAK dengan mempertimbangkan variabel politik dalam hal ini lembaga legislatif
tampaknya tidak begitu signifikan di era orde baru.
Untuk memahami dampak saling keterkaitan antara keputusan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap alokasi DAK oleh pemerintah pusat
serta respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah, maka dilakukan reviu atas
literatur terkait. Secara garis besar, kelompok literatur yang akan dibahas pada bagian ini
adalah tiga kelompok besar yaitu literatur yang menekankan pada keputusan terkait
kebijakan dana transfer di tingkat pemerintah pusat (model distributive politics), literatur
yang menekankan pada keputusan respon penerimaan dana transfer oleh pemerintah
daerah (model kurva indifference keuangan publik klasik (Teori keuangan publik klasik)
dan model keputusan politik di tingkat pemerintah daerah) serta literatur yang
menekankan pada interaksi keputusan di tingkat pemerintah pusat dan keputusan di
tingkat pemerintah daerah atas kebijakan dana transfer (model principal-agent, dan
model game teori non-cooperative dan model endogenous grant).
Distributive Politics/Pork Barrel Politics
Secara garis besar model distributive politics dapat dikelompokkan atas dua
kelompok teori yaitu implicit distributive politics model dan eksplisit distributive politics
model (Volden, 2007). Model implisit dari distributive politics tidak memodelkan proses
bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik karena diasumsikan bahwa
politisi memiliki bias atas kepentingan politiknya yang mengakibatkan kebijakan
ekonomi yang dilakukan melalui suatu proses politik tidak efisien. Hal ini dikenal dengan
adanya permasalahan common pool problem (contoh model implisit distributive politics
dikembangkan oleh Weingast et al,1981). Sedangkan model eksplisit dari distributive
politics memodelkan proses bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik

20

(contoh

proses

yang

dimodelkan

adalah

proses

bargaining

dalam

lembaga

perwakilan/legislatif atau legislative bargaining yang dikembangkan oleh (Baron, 1989)).


Alternatif

pengelompokan

model

distributive

politic

adalah

non-

partisan/representative distributive politics theory dan partisan distritubutive politics


theory (Levit dan Poterba, 1999). Non-partisan distributive politics theory pada dasarnya
menekankan pada efek keterwakilan/representativeness dalam lembaga legislative
terhadap distribusi dana pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Asumsi utama dari
model

ini

adalah

setiap

mendorong/mendukung

anggota

alokasi

legislatif

sumber

daya

memiliki
pemerintah

kecenderungan
pusat

untuk

untuk
daerah

pemilihannya baik secara implisit (common pool problem) maupun secara eksplisit
melalui proses legislative bargaining. Dengan demikian model non-partisan distributve
politics menekankan pada insentif bagi individu legislator dalam pengampilan keputusan
alokasi sumber daya publik (Levit dan Poterba, 1999).
Sedangkan partisan distributive politics theory menekankan pada efek strategi
partai

politik

dalam

rangka

mempertahankan

suara

konstituen

dengan

cara

mempengaruhi alokasi sumber daya pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.


Berbeda dengan model sebelumnya, model partisan distributive politics menekankan
pada kepentingan partai politik dalam rangka mempertahankan konstituen di daerah
pemilihan tertentu (Levit dan Poterba, 1999).
Non-partisan Distributive Politics Theory
Model pengambilan keputusan oleh lembaga perwakilan yang dibuat oleh
Weingast, Shepsle dan Johnsen (1981) merupakan model non-partisan distributive
politics yang banyak dirujuk oleh peneliti lain untuk pengujian empiris. Model yang
dibangun ini merupakan suatu model statis. Prediksi model ini menunjukkan bahwa
lembaga perwakilan akan secara sistematis mengambil keputusan yang bias dalam
keputusan publik serta mengakibatkan alokasi sumber daya publik menjadi tidak efisien
melalui kebijakan yang disebut distributive policy/pork barrel politics. Yang
dimaksudkan dengan distributive policy adalah alokasi sumber daya publik untuk proyekproyek, program dan bantuan yang hanya memberikan manfaat kepada konstituen pada
suatu wilayah geografis tertentu (pork barrel politics). Weingast et al (1981)
mengidentifikasi 3 sumber bias dari keputusan politik oleh lembaga perwakilan. Ketiga

20

sumber bias tersebut adalah adanya perbedaan definisi untuk suatu biaya dan manfaat
menurut definisi politik dan definisi ekonomi. Sumber bias kedua adalah mekanisme
pembagian wilayah pemilihan yang membagi suatu perekonomian menjadi sejumlah n
wilayah pemilihan (district). Sedangkan sumber bias ketiga adalah metode pembiayaan
bagi proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari pajak yang dipungut secara umum
yang tidak secara spesifik digunakan untuk membiayai setiap proyek yang akan dibiayai.
Selanjutnya Weingast et. al (1981) juga menyatakan bahwa mekanisme pemilihan
anggota legislatif yang mementingkan popularitas seorang anggota dewan untuk dapat
meningkatkan peluang elektabilitas seorang anggota legislatif juga berperan menambah
faktor bias dalam suatu pilihan politis yang tidak efisien. Hasil dari model menunjukkan
bahwa suatu keputusan politik oleh lembaga perwakilan akan menghasilkan alokasi
sumber daya yang tidak efisien (distributive politics/pork barrel politics) dan juga akan
mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang terlalu besar. Namun demikian, model
Weingast et. al (1981) tidak memperlihatkan bagaimana proses pengambilan keputusan
oleh legislator (legislative bargaining) karena diasumsikan bahwa pengambilan kebijakan
oleh legislatur menganut aturan universalism. Dengan norma universalism, setiap
anggota legislatif berperilaku sama yaitu memutuskan setiap proyek yang akan dibiayai
oleh anggaran pemerintah hanya untuk daerah pemilihannya saja dan selanjutnya pajak
yang ditetapkan untuk dapat membiayai seluruh pengeluaran yang ditetapkan. Dengan
demikian kebijakan pork barrel policy merupakan suatu permasalahan dalam setiap
penganggaran pemerintah oleh anggota legislatif (common pool problem).
Kajian Empiris dari Model Non-Partisan Distributive Politics
Model atau teori yang dikembangkan oleh Weingast et. al (1981) telah banyak
diuji dan dikonfirmasi melalui berbagai penelitian empiris. Beberapa penelitian empiris
menggunakan data Amerika Serikat yang merujuk pada model ini antara lain adalah
penelitian oleh Del Rossi dan Inman (1999) menemukan bahwa besarnya nilai proposal
untuk sektor air bersih yang dibiayai dari anggaran pemerintah federal akan menurun
secara signifikan ketika bagian pendanaan dari proyek yang bersumber dari keuangan
pemerintah negara bagian meningkat. Kajian empiris oleh Knight (2004) menemukan
bahwa

anggota

legislatif

kemungkinan

akan

memilih/mendukung

pengeluaran

pemerintah federal bagi daerah pemilihannya dibanding proposal pengenaan pajak yang

20

rendah namun hasil pungutan pajak tersebut akan dibelanjakan di luar daerah
pemilihannya. Baqir (2002) juga menemukan adanya hubungan positif antara besarnya
ukuran legislatif di tingkat kota dengan pengeluaran publik. Selanjutnya, kajian oleh
Gilligan dan Matsusaka (1995) dan Bradbury dan Crain (2001) juga menemukan
hubungan positif antara besarnya ukuran legislatif di tingkat negara bagian dengan
pengeluaran publik. Selain itu, Knight (2005) mengungkapkan bahwa anggota komisi
legislatif

menggunakan

kewenangannya

untuk

mengajukan

anggaran

untuk

mempengaruhi proyek di bidang transportasi secara tidak proporsional untuk wilayah


pemilihannya. Levitt dan Snyder (1997) menyatakan bahwa daerah pemilihan yang
memiliki banyak konstituen Partai Demokrat mendapatkan lebih banyak anggaran
pemerintah federal antara tahun 1984 dan 1990, dimana pada masa itu Partai Demokrat
menguasai kongres. Levitt dan Poterba (1999) juga menemukan bahwa negara bagian
yang diwakili oleh anggota legislatif yang berpengalaman menikmati pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat dibanding negara bagian lain, walaupun hal ini tidak dapat
dijelaskan melalui pengeluaran pemerintah federal untuk negara-negara bagian.
Partisan Distributive Politics Theory
Model partisan distributive politics antara lain dikembangkan oleh Coker dan Crain
(1994), Cox dan McCubbins (1993), Rohde (1991) dan Snyder (1994). Perbedaan model
ini dengan model non-partisan menekankan pentingnya peran partai politik dibanding
peran individu anggota legislatif dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya
publik pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian prediksi alokasi
sumber daya publik akan berbeda dengan model sebelumnya (model non-partisan
distributive politics).
Kajian Empiris Model Partisan Distributive Politics
Model partisan distributive politics telah diuji antara lain oleh Levit dan Poterba (1999)
dan menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara memiliki tingkat persaingan politik
yang ketat di Amerika Serikat dengan tingkat pertumbuhan per kapita di negara bagian
tersebut. Namun demikian penelitan Levit dan Poterba (1999) tidak menemukan
hubungan antara tingkat persaingan politik di negara bagian dengan alokasi sumber daya
oleh pemerintah federal.

20

Teori Klasik Keuangan Publik dan Teori Politik pada Pengambilan Keputusan di
tingkat Pemerintah daerah
Kajian teori yang menekankan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah
daerah terdiri atas dua kelompok teori yaitu teori keuangan publik klasik yang
memanfaatkan model kurva indifferens dengan kendala anggaran yang dikembangkan
antara lain oleh Scot (1952) dan Wilde, (1971) serta teori politik yang secara khusus
menekankan pada proses politik di tingkat pemerintah daerah yang dikembangkan antara
lain oleh (Romer, 1980).
Kajian Empiris untuk teori keuangan publik klasik dan teori politik pemerintah
daerah
Kajian empiris yang dilandasi oleh kelompok teori ini mempelajari bagaimana
pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan apakah suatu
pemerintah daerah menerima dana transfer dari pemerintah pusat serta respon pemerintah
daerah atas dana transfer yang diterimanya (Volden, 2007).
Kontribusi kajian-kajian empiris pada kelompok ini antara lain adalah adanya bukti
respon asimetris oleh pemerintah daerah akibat adanya kenaikan dan penurunan dana
bantuan pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara lain oleh Volden (1999) dan
Gamkhar (2000). Selain itu kajian empiris pada kelompok ini mengungkap adanya
fenomena fly paper effect yang menyatakan bahwa dampak transfer pemerintah pusat
terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah lebih besar dari dampak pendapatan
pajak daerah terhada belanja publik oleh pemerintah daerah (Volden, 1999). Berbagai
kajian mengenai fenomena fly paper effect antara lain oleh Inman (2008) ; Bailey dan
Connolly (1998). Inman (2008) melakukan evaluasi atas berbagai kajian mengenai
fenomena fly paper effect dan penjelasan mengenai fenomena tersebut. Terdapat 4
kemungkinan penjelasan mengenai fenomena fly paper effect yaitu:
a. Permasalah dengan data yang digunakan;
Terkait dengan hal ini, Inman (2008) menyebutkan bahwa peneliti kemungkinan
memperlakukan matching grant sebagai bantuan yang bersifat eksogen.
b. Permasalahan ekonometrika

20

Bantuan yang bersifat eksogen berkorelasi dengan variabel-variabel yang tidak


dimasukkan ke dalam model sehingga akan mengakibatkan bias estimasi yang terlalu
rendah untuk efek pendapatan daerah dari dana transfer serta bias estimasi yang
terlalu tinggi untuk efek dari dana transfer.
c. Permasalahan spesifikasi model
Representasi dari konstituen (biasanya diasumsikan sebagai median voter) bisa saja
tidak mendapatkan informasi mengenai dana transfer yang bersifat lumpsum atau
kalaupn mendapat informasi mengenai dana transfer pemerintah pusat namun salah
dalam mempersepsikan dampak dana transfer dengan dengan estimasi sebesar ratarata efek substitusi atau kalaupun konstituen melihat dan memahami dampak dana
transfer terhadap anggaran pemerintah daerah, respon alokasi dari angaran daerah
untuk keperluan publik atau privat dilakukan melalui bagian-bagian yang
terpisah.
d. Politik
Melalui pendekatan ini, diasumsikan bahwa konstituen (median voter) memiliki
informasi yang cukup mengenai efek suatu dana transfer pemerintah pusat namun
tidak

menyatakan

secara

jujur

preferensinya

jika

hal

tersebut

akan

menguntungkannya. Perilaku seperti ini mensyaratkan adanya institusi yang tidak


efisien sehingga memungkinkan tidak terungkapnya preferensi voter secara lengkap
yang tampak dalam bentuk adanya suatu lembaga perwakian (lembaga legislatif) atau
adanya suatu mekanisme/aturan pengambilan keputusan melalui suara terbanyak
(majority voting rules).
Inman (2008), menyatakan bahwa faktor politiklah yang merupakan penjelasan yang
terbaik di antara penjelasan lain untuk menjelaskan fenomena fly paper effect.
Kajian teori yang menggabungkan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah ke dalam satu model (Principal-Agent Model, Non-cooperative
game theoretic model dan Endogenous Grant Model)
Kajian teori pada kelompok ini menggabungkan keputusan-keputusan di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam satu model. Terdapat beberapa model

20

yang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori ini yaitu: Principal agent model yang
diusulkan oleh Chubb (1985), Non-cooperative game theoretic model oleh Volden (2007)
serta endogenous grant model oleh Knight (2002). Masing-masing model tersebut akan
diulas pada bagian ini.
Principal Agent Model
Salah

satu

model

kategori

ini

merujuk

pada

model

principal-agent

untuk

menggambarkan interaksi antara politisi pemerintah pusat dan birokrasi pemerintah


pusat. Selanjutnya birokrasi pemerintah pusat menyusun ketentuan terkait kebijakan dana
transfer bagi pemerintah daerah serta melakukan pemantauan atau pengawasan atas
ketentuan oleh pemerintah daerah seperti yang dikembangkan oleh Chubb (1985).
Chubb (1985) juga melakukan pengujian empiris untuk model yang dikembangkannya
untuk dua jenis dana transfer pemerintah pusat yaitu dana transfer yang bersifat
conditional, close-ended matching maupun conditional, close-ended lump sum. Chubb
(1985) menyimpulkan bahwa model ekonomi tanpa memperhitungkan faktor politik tidak
dapat secara baik menjelaskan dampak pemberian dana transfer pemerintah pusat
terhadap keputusan alokasi belanja pemerintah daerah. Faktor politik yang diidentifikasi
berperan dalam keputusan pemberian dana transfer adalah faktor ideologi serta motivasi
untuk memenuhi permintaan konstituen pada tingkat pemerintah pusat baik oleh anggota
kongres maupun birokrat di tingkat pemerintah pusat.
Endogenous Grant Model
Knight (2002) memodifikasi model Bradford dan Oates (1971) dengan
mengasumsikan bahwa terjadi endogeinity antara pemberian grant oleh pemerintah pusat
dengan respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah.
Volden (2007) memandang kajian Knight (2002) sebagai kajian dengan kategori
yang berbeda dari 3 kelompok teori yang mengkaji kebijakan dana transfer karena mode
yang dikembangkan memasukkan unsur hubungan simultan pemerintah pusat dan
pemerindah daerah namun tidak dalam bentuk hubungan principal agent seperti yang
dikembangkan oleh Chub (1985). Knight menggunakan rujukan model mengenai
keterkaitan antara belanja transfer pemerintah pusat dengan alokasi belanja publik oleh
pemerintah daerah penerima bantuan yang dikembangkan oleh Bradford dan Oates

20

(1971). Knight (2002) menambahkan adanya endogeinity atau hubungan antara preferensi
dengan dana transfer yang diukur menggunakan variabel keterwakilan negara bagian
pada lembaga legislative di tingkat pmerintah federal. Endogeinity tersebut sudah mulai
dikembangkan di era awal tahun 1970-an. Model yang sederhana dikembangkan oleh
Bradford dan Oates (1971) yang memprediksi bahwa belanja publik yang merupakan
transfer dari pemerintah pusat akan mengakibatkan efek crowd out terhadap alokasi
belanja publik di tingkak pemerintah daerah. Model yang dikembangkan oleh Bradford
dan Oates ini memperlakukan transfer pemerintah pusat sebagai variabel eksogen bagi
pemerintah daerah penerima bantuan. Model ini telah banyak diuji secara empiris, namun
banyak hasil penelitian empiris hanya menemukan efek crowd out yang lemah bahkan
beberapa kajian menemukan bahwa transfer pemerintah pusat memberikan efek crowd in
terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah (Knight, 2002). Efek crowd in dari
belanja publik oleh pemerintah daerah sebagai respon dari belanja transfer oleh
pemerintah pusat disebut fly paper effect (Knight, 2008).

Non-Cooperative Game Theoritic Model


Volden (2007), mengkritisi model-model yang hanya menekankan pada keputusan di
satu tingkat pemerintahan (pemerintah pusat/daerah secara terpisah). Hal ini disebabkan
karena model-model tersebut mengabaikan adanya keterkaitan dalam keputusankeputusan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sebagai contoh besarnya dana transfer dan syarat-syarat yang dikenakan atas penyaluran
dana transfer oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh respon pemerintah daerah serta
kemungkinan respon oleh pemerintah daerah atas dana transfer yang akan diberikan oleh
pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh formulasi dana transfer yang ditentukan oleh
pemerintah pusat. Volden (2007) juga mengkritisi keterkaitan keputusan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dengan pendekatan prinsipal-agent model. Argumennya adalah
pendekatan prinsipal-agent model tidak menggambarkan realitas hubungan antara
peerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah pada suatu sistem federasi
berbeda dengan birokrat di tingkat pemerintah pusat yang menjalankan visi politisi
tingkat pemerintah pusat. Pemerintah daerah daerah juga memiliki sumber pembiayaan

20

yang terpisah dan juga kekuatan politik dan harus merespon konstituen di tingkat lokal
yang dapat berbeda dengan keinginan politisi di tingkat pemerintah pusat.
Selanjutnya, Volden (2007) mengusulkan pendekatan berbeda untuk kelompok
teori kategori ini yaitu dengan menekankan pada aspek adanya kompetisi antara
pemerintah/politisi di tingkat pemerintah pusat dengan pemerintah/politisi di tingkat
daerah yang mempengaruhi sistem dan mekanisme transfer dana antar pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah merupakan dana transfer dengan kategori lump-sum grant.
Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern
yang penting dimana proses formulasi dan penetapan kebijakan transfer pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah melibatkan proses teknokratik dan proses politik. Peneliti di
bidang kebijakan publik telah berhasil mengidentifikasi inefisiensi keputusan kebijakan
publik yang bersumber antara lain dari perilaku birokrasi, institusi legislatif, pengaruh
kelompok kepentingan, keinginan politisi untuk memenangkan pemilihan dan ilusi fiskal
(Weingast et al, 1981).
Kajian empiris model endogeinity tranfers pemerintah pusat dengan alokasi belanja
publik oleh pemerintah daerah
Knight (2002) melakukan pengujian empiris atas model endogeinity belanja
transfer pemerintah federal di Amerika Serikat dengan alokasi belanja publik oleh
pemerintah negara bagian untuk program bantuan jalan pemerintah federal yang
merupakan suatu bentuk grant dengan karakteristik open ended, matching grant. Hasil
kajian ini menyimpulkan adanya fenomena crowd out pada alokasi belanja pemerintah
negara bagian dengan sebagai adanya endogeinity antara pemberian bantuan dengan
alokasi belanja pada pemerintah negara bagian.
V.

Kerangka Konseptual (Conceptual Framework)


Kerangka konseptual dalam kajian ini mengadaptasi hasil kajian Volden (2007)
pengujian empiris kebijakan alokasi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Model yang dikembangkan oleh Volden (2007) diadaptasi untuk jenis grant yang
bersifat conditional, closed ended , matching grant ( sesuai karakteristik DAK) karena

20

model yang dikembangkan oleh Volden (2007) menggunakan asumsi dana transfer lumpsum grant. Selanjutnya akan dikembangkan proposisi dari model yang diadaptasi
tersebut.
Di samping itu, pada kajian ini mengadopsi hasil kajian Knight (2002) untuk
mengevaluasi dampak pemberian dana transfer oleh pemerintah pusat terhadap alokasi
belanja publik oleh pemerintah daerah.
Model yang dikembangkan Volden (2007) menekankan pada adanya suatu
kompetisi antara politisi yang dipilih pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah untuk
dapat keuntungan politik dari kebijakan penyediaan barang dan jasa publik pada area
kebijakan tertentu, serta dari perannya untuk mengarahkan kebijakan pada area tersebut.
Keuntungan politik yang didapatkan oleh para politisi tersebut terjadi melalui pilihanpilihan arah kebijakan dalam suatu area kebijakan tertentu (misalnya area kebijakan di
sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain) serta para politisi berusaha
memenuhi keinginan konstituen di wilayah pemilihannya untuk meningkatkan peluang
keterpilihan kembali. Konstituen mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang dan
jasa publik untuk area kebijakan tertentu namun tidak menyukai konsekuensi
pembiayaannya yaitu membayar pajak. Preferensi konstituen juga dipengaruhi oleh
kemampuannya untuk ikut mempengaruhi arah kebijakan dana transfer oleh pemerintah
pusat.
Pemerintah daerah juga berkontribusi terhadap penyediaan barang dan jasa publik
pada area tertentu dan juga mempunyai otoritas untuk mengarahkan arah kebijakan pada
area tersebut. Sebagai contoh pemerintah daerah membelanjakan penghasilan pajak
daerah untuk tujuan pendidikan, kesehatan dan belanja lainnya. Selain itu pemerintah
daerah mengeluarkan seperangkat aturan bagi pengeluaran di area-area tersebut.
Pemerintah pusat dapat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk
mengarahkan kebijakan pada area tersebut (dalam konteks Indonesia menyerahkan
kewenangan tersebut sebagai urusan daerah), atau pemerintah pusat juga dapat
memberikan bantuan keuangan kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana transfer
dengan persyaratan tertentu (dalam konteks Indonesia pemerintah pusat memberikan
dukungan dana bagi pemerintah daerah untuk membiayai urusan daerah yang merupakan
prioritas nasional dalam bentuk dana alokasi khusus/DAK).

20

Proses tersebut diatas, oleh Volden (2007) dimodelkan melalui suatu permainan
yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Model ini mengasumsikan terdapat dua aktor yaitu politisi pemerintah pusat dan
politisi pemerintah daerah. Untuk pemerintah daerah diasumsikan terdapat hanya satu
representasi pemerintah daerah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai
kompetisi antara politisi di kedua tingkat pemerintahan. Dengan demikian model ini
mengabaikan suatu kemungkinan adanya kompetisi horizontal di antara pemerintah
daerah. Pada keseluruhan permainan, diasumsikan pemerintah daerah juga menyediakan
barang dan jasa publik yang berarti model ini tidak cocok diterapkan untuk area
kebijakan dimana peran pemerintah daerah merupakan peran yang terbatas (seperti area
pertahanan nasional yang merupakan urusan pemerintah pusat).
Pemerintah pusat mengambil keputusan lebih dulu yaitu memilih antara tidak
alternatif kebijakan yaitu:
1) tidak ikut menyediakan barang dan jasa publik di area tertentu (menyerahkan
sepenuhnya kepada pemerintah daerah;
Seandainya pemerintah pusat memutuskan untuk menyerahkan kewenangan
penyediaan barang dan jasa publik kepada pemerintah daerah, maka barang publik
seluruhnya akan disediakan oleh pemerintah daerah (qs) dan pemerintah daerah akan

20

menetapkan arah kebijakan bagi penyediaan baran dan jasa publik tersebut (y).
Parameter arah kebijakan (y) ini disimplifikasi sebagai suatu pilihan dari garis
kebijakan satu dimensi, dengan adanya kemungkinan bahwa arah kebijakan oleh
pemerintah daerah dapat berbeda dengan arah kebijakan oleh pemerintah pusat. Arah
kebijakan ini dimodelkan secara terpisah dari jumlah pengeluaran dan dapat
dipandang dapat menangkap preferensi yang berbeda mengenai bagaimana sumber
daya tersebut dibelanjakan. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat meningkatkan
gaji guru, sementara pemerintah pusat mungkin lebih menginginkan adanya
penyelenggaran ujian nasional, selain itu pemerintah di tingkat pusat dan daerah dapat
berbeda arah kebijakan mengenai bagaimana cara menurunkan tingkat polusi udara,
meningkatkan ketertiban publik atau meningkatkan jangkauan layanan kesehatan
publik.
2) ikut menyediakan barang dan jasa publik di area tertentu;
Jika pemerintah pusat memutuskan untuk secara bersama-sama pemerintah daerah
untuk penyediaan barang publik di area tertentu (qN dan qs), maka pemerintah pusat
dan pemerintah daerah secara berurutan memilih jumlah barang publik yang akan
disediakan (qN dan qs). Pada skema ini, pemerintah daerah masih dapat menentukan
arah kebijakan untuk barang publik yang disediakannya (y).
3) menawarkan bantuan dana transfer kepada pemerintah daerah untuk pembiayaan
barang dan jasa publik di area tertentu dengan persyaratan/ketentuan yang mengikat
pemerintah daerah;
Jika pemerintah pusat memutuskan untuk memberikan dana transfer bagi pemerintah
daerah maka, pemerintah pusat akan memutuskan besarnya dana transfer (g) dan
menetapkan syarat-syarat bagi pemberian bantuan dalam bentuk arah kebijakan (y).
Dalam model yang dibuat Volden (2007) ini diasumsikan bahwa bentuk dana transfer
adalah lumpsum grant. Selanjutnya, Volden (2007) menyebutkan bahwa model ini
dapat dikembangkan untuk dapat mengeksplorasi model untuk jenis grant lain seperti
block grant dan matching grant. Selanjutnya pemerintah daerah akan dapat menerima
atau menolak tawaran pemerintah pusat dengan mempertimbangkan arah kebijakan
yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Jika pemerintah daerah menerima tawaran
dana transfer tersebut, selanjutnya pemerintah daerah akan memutuskan jumlah

20

barang publik yang akan disediakan (qs), namun jika pemerintah menolak penawaran
dana transfer maka pemerintah daerah akan memutuskan jumlah barang publik yang
disediakan (qs) serta arah kebijakan (y).
Ketiga pilihan keputusan ini merupakan pilihan kebijakan pemerintah pusat yang lazim
dalam suatu sistem pemerintahan federasi.
Tujuan Politisi
Seperti telah diuraikan sebelumnya, baik politisi pemerintah pusat maupun politisi
pemerintah daerah sebenarnya merupakan aktor yang merepresentasikan konstituennya.
Politisi mendapatkan keuntungan politik untuk kebijakan penyediaan barang publik bagi
konstituennya, menetapkan tingkat pajak yang rendah dan menetapkan arah kebijakan
yang merefleksikan preferensi konstituennya. Secara spesifik, persamaan kepuasan
politisi pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
Us ( qs qN ) fC , sd (ts tN ) 2 fB , s y xs
UN ( qs qN ) fC , Nd (ts tN ) 2 fB , s y xN
Suku pertama dari persamaan (1) dan (2) adalah keuntungan politik yang didapatkan dari
penyediaan barang publik bagi politisi. Semakin banyak barang publik yang disediakan
(qs +qn) pada tingkat permintaan barang publik (d) maka politisi akan mendapatkan lebih
banyak keuntungan politik. Keuntungan politik tersebut dibagi kepada politisi di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Suku kedua dari persamaan (1) dan (2) adalah beban politik yang harus ditanggung oleh
politisi akibat mengenakan pajak kepada konstituen untuk pembiayaan barang publik.
Beban politik akan semakin besar secara kuadratik pada tingkat total pajak (t s + tN),
sehingga akan menurunkan tingkat kepuasan politisi jika pengenaan pajak terlalu tinggi.
Beban politik akan ditanggung oleh politisi pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(fB,N) dan (fB,s), Secara bersama, suku pertama dan suku kedua dari persamaan (1) dan (2)
merefleksikan suatu skema dimana terdapat suatu tingkat pengeluaran/belanja publik
antara nol sampai tidak terbatas. Pada tingkat yang ideal, pengurangan pengeluaran
publik akan menghasilkan pengurangan kepuasan untuk penyediaan barang publik , dan
peningkatan pengeluaran publik akan menghasilkan pengurangan kepuasan akibat
peningkatan pajak.

20

Suku ketiga dari persamaan kepuasan politisi menangkap pengurangan kepuasan


politisi yang berkaitan dengan arah kebijakan yang berbeda dengan arah kebijakan yang
diinginkan oleh politisi. Masing-masing pemerintah memiliki suatu posisi kebijakan yang
ideal yaitu xn bagi pemerintah pusat maupun xs bagi pemerintah daerah. Masing-masing
pemerintah akan mendapatkan tambahan kepuasan dari arah kebijakan dana transfer (y)
yang mendekati posisi kebijakan idealnya. Volden (2007) mengasumsikan xn xs = 0.
Adanya konflik antara tujuan pemeritah pusat dengan pemerintah daerah ditunjukkan
dengan nilai xn yang besar (xn >> 0).
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, maka variabel-variabel kebijakan meliputi
jumlah barang publik yang disediakan, arah kebijakan dan besarnya dana transfer (q, y,
dan g). Pilihan tingkat pajak didapatkan melalui asumsi anggaran berimbang (balanced
budget) sehingga pajak yang dikenakan akan mampu membiayai pengeluaran publik atau
tingkat dana transfer. Secara spesifik, dalam model, barang publik diasumsikan memiliki
biaya marginal yang tetap, yang dapat berbeda antara pemerintah pusat (m n) dengan
pemerintah daerah (ms) bergantung pada kemampuan masing-masing pemerintah
menyediakan barang publik tersebut. Pembiayaan barang publik berasal dari pajak
dimana untuk pemerintah pusat tn=mNqN/N dan untuk pemerintah daerah ts=msqs/s.
Parameter (0 < 1) menunjukkan tingkat efisiensi masing-masing pemerintah dalam
memungut pajak. Nilai yang kecil dari parameter menunjukkan inefisiensi pemerintah
dalam memungut pajak dan nilai 1 menunjukkan kemampuan pemerintah memungut
pajak secara efisien. Model ini dapat membedakan kemampuan memungut pajak yang
berbeda bagi setiap tingkat pemerintah.
Model ini tidak secara eksplisit memasukkan adanya perbedaan preferensi belanja,
namun secara implisit masuk dalam biaya marginal (m) dan efisiensi pemungutan pajak
(). Pemerintah yang dapat menyediakan barang publik lebih murah atau memungut
pajak lebih efisien lebih menyukai tingkat pajak dan pengeluaran yang lebih besar.
Untuk kasus skema dana transfer (g>0), maka barang publik yang langsung diadakan
oleh pemerintah pusat menjadi nol (qN =0) dan tingkat pajak yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat berdasarkan besarnya dana transfer yang diberikan adalah:
tN = g/N

(3)

20

Pemerintah daerah yang menerima dana transfer tidak perlu meningkatkan pajak begitu
besar sehingga tingkat pajak menjadi :
ts= (msqs g/s)

(4)

Pertimbangan Alokasi Transfer oleh Pemerintah Pusat


Sejalan dengan tujuan partai politik dan anggota legislatif di tingkat pemerintah pusat,
maka pertimbangan alokasi transfer oleh pemerintah pusat adalah alokasi yang dapat
memaksimumkan fungsi tujuan partai politik maupun anggota legislatif di tingkat
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pertimbangan Alokasi Belanja Publik oleh Pemerintah Daerah
Proses yang terjadi di tingkat pemerintah daerah adalah menerima/tidak menerima
bantuan serta keputusan alokasi belanja publik di tingkat pemerintah daerah. Proses yang
terjadi di pemerintah daerah juga melibatkan proses teknoktratik dan proses politik di
tingkat lokal. Dengan demikian juga melibatkan suatu fungsi tujuan pengambil kebijakan
publik di tingkat lokal dengan kendala sumber daya yang tersedia.
Keseimbangan Model/Keseimbangan Politik
Keseimbangan model adalah keseimbangan politik terjadi ketika strategi yang dipilih
oleh merupakan respon terbaik oleh pemerintah daerah dan strategi tersebut
mamaksimumkan fungsi tujuan masing-masing pemerintah.
Model yang dibangun Volden ini merupakan suatu model dengan informasi lengkap
(complete information) dan tidak berulang (non-repeated). Solusi dari model ini adalah
solusi subperfect equilibrium (SPNE) yang didapatkan melalui backward induction.
VI.

Metode dan Prosedur Penelitian


Fokus bagian teori dari penelitian ini adalah melakukan modifikasi atas model
interaksi keputusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam keputusan politik
alokasi dana transfer yang diusulkan oleh Volden (2007). Pada model yang dibangun oleh
Volden (2007) diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah merupakan dana transfer yang bersifat lumpsum (lump sum grant). Bagian teori
dalam penelitian ini mengeksplorasi penggunaan closed ended matching grant dalam
konteks model ini.

20

Selanjutnya, bagian empiris dari penelitian ini adalah melakuan pengujian atas
alokasi dana transfer yang bersifat closed ended, matching grant oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah serta respon belanja publik oleh pemerintah daerah yang
mengacu dari model Volden (2007) yang telah diadaptasi untuk jenis belanja transfer
yang bersifat conditional, close-ended, matching grant untuk kasus Indonesia dengan
menggunakan data panel tahun 2004-2014.
VII.

Jenis dan Sumber Data


Data yang dibutuhkan dalam kajian ini adalah alokasi DAK untuk setiap
pemerintah daerah untuk setiap tahun anggaran mulai tahun anggaran 2005-2014. Data
ini didapatkan dari dokumen penetapan alokasi DAK per bidang oleh Menteri Keuangan.
Selain itu juga dibutuhkan data anggota dewan di tingkat pusat (DPR) untuk
setiap daerah pemilihan di tingkat pemerintah daerah untuk periode 2004-2009 serta
perioade 2009-2014. Data ini ditapatkan dari dokumen penetapan anggota legislatif hasil
pemilihan legislatif DPR RI oleh KPU.
Selanjutnya juga dibutuhkan data alokasi belanja publik di tingkat pemerintah
daerah untuk periode tahun anggaran terutama untuk bidang pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur selama tahun anggaran 2005-2014.

20

Daftar Pustaka
Baron, D. a. (1989). Bargaining in Legislatures. Americal Political Sciences Review,
83(4), 1181-1206.
Barry R. Weingast, K. A. (1981, Augustus). The Political Economy of Benefits and Costs:
A Neoclassical Approach to Distributive Politics. Journal of Political Economy,
89(4), 642-664.
Bradbury J. and Crain, M. (2001, December). Legislative organization and government
spending: cross-country evidence . Journal of Public Economics, 82(3), 309-325.
Chubb, J. (1985). The political economy of federalism. American Political Science
Review, 79, 994-1015.
Coker, D. a. (1994). Legislative Committees as loyalty-generating institution. Public
Choce, 81(3-4), 195-221.
Connolly, S. J. (1998, June). The Flypaper Effect: Identifying Areas for Further Research.
Public Choice, 95(3/4), 335-361.
Cox, G. W. (1993). Legislative Leviathan: Party Government in the house. Berkeley,
California: University of California Press.
Del Rossi, A. a. (1999, Februari). Changing the price of pork: the impact of local cost
sharing on legislators' demand for distributive politics goods. Journal of Public
Economics, 72(2), 247-273.
Gamkhar, S. (2000). Is the response of state and local highway spending symmetric to
increase and decrease in federal highway grants? Public Finance Review, 24(1), 325.
Giligan, T. a. (1995, July). Deviations from constituent interest: the role of legislative
structure and political parties in the states . Economic Enquiry, 383-410.
Hyman, D. N. (2010). Public FInance : A Contemporary Application of Theory to Polici
(10th ed.). Joe Sabatino.
Knight, B. (2005, December). Estimating the value of proposal power. American
Economic Review, 95(5), 1639-1652.
Knight, B. (March 2002). Endogenous Federal Grants and Crowd-out of State
Government Spending: Theory and Evindence from the Federal Highway Aid
Program. The American Economic Review, 92(1), 71-92.

20

Levit S. and Poterba, J. (1999, April). Congressional Distributive Politics and State
Economic Performance. Public Choice, 185-216.
Levit S. and Snyder, J. (1997, February). The Impact of Federal Spending on House
Election Outcomes. Journal of Political Economy, 105(1), 30-53.
R, B. (2002, December). Districting and Government Overspending. Journal of Political
Economy, 110(6), 1318-1354.
Roberson, B. (2008, June). Pork-barrel Politics, Targetable Policies and Fiscal
Federalism. Journal of the European Economic Association, 6(4), 819-844.
Robert P, I. (December 2008). The Flypaper Effect. National Bureau of Economics
Research Working Paper, NBER Working Paper 14579.
Rohde, D. (1991). Parties and Leareds in the post-reform house. Chicago: University of
Chicago Press.
Romer, T. a. (1980). An Institutional theory of the effect of Intergovernmental grants.
National Tax Journal, 33, 451-458.
Scot, A. (1952). The Evaluation of Federal Grants. Econometrica, 19, 377-394.
Snyder, J. J. (1994). Safe seats, marginal seats and party platforms: The logic of platform
differentiation. Economics and Politics, 6(3), 201-213.
Volden, C. (1999). Asymmetric effects of intergovernmental grants: Analysis and
implications for U.S. welfare policy. Publius: The Journal of Federalism, 29(3),
51-73.
Volden, C. (2007, Spring). Intergovernmental Grants: A Formal Model of Interrelated
National and Subnational Politica Decisions. Publius, 37(2), 209-243.
Wilde, J. (1971). Grants-in-aid: The analytics of design and response. National Tax
Journal, 24, 143-156.

20

Politik Ekonomi Belanja Transfer:


Kajian atas Matching Grant di Indonesia

PROPOSAL

Oleh :
IMAN SUFRIAN
NPM. 1206313974

Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi


Fakultas Ekonomi
UNIVERSITAS INDONESIA
2015

20

DAFTAR ISI
I

PERMASALAHAN UMUM

II

PERUMUSAN MASALAH (PERMASALAHAN PENELITAN)

III
IV

TUJUAN PENELITIAN
9
REVIU LITERATUR
10
1. Literatur yang menekankan pada keputusan dana transfer di tingkat pemerintah 11
pusat

11

a. Model Distributive Politics;


2. Literatur yang menekankan pada keputusan pemerintah daerah sebagai respon
penerimaan dana transfer

15

a. Model kurva indifference uangan publik klasik (Teori keuangan publik klasik);
b. Model keputusan politik di tingkat pemerintah daerah.
3. Literatur yang menekankan pada interaksi keputusan di tingkat pemerintah pusat 17
dan keputusan di tingkat pemerintah daerah dalam konteks kebijakan dana transfer
a. Model principal-agen;
b. Model game teori non-cooperative;
c. Model endogenous grant.
V

KERANGKA KONSEPTUAL

20

VI

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

26

VII JENIS DAN SUMBER DATA

26

20

Volden (2007) mengidentifikasi setidaknya 4 keputusan yang berbeda namun


saling terkait dalam proses kebijakan dana transfer yang dilakukan oleh pemerintah baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Masing-masing keputusan tersebut telah
banyak dikaji baik secara teoritis maupun empiris. Keputusan-keputusan tersebut adalah:
1. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah pusat menetapkan alokasi dana transfer
kepada pemerintah daerah;
2. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah pusat menentukan syarat dan ketentuan
yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah yang akan menerima dana transfer;
3. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah daerah memutuskan menerima/menolak
dana transfer pemerintah pusat;
4. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah daerah menetapkan kebijakan alokasi
belanja di tingkat pemerintah daerah.
Selanjutnya Volden (2007) juga mengklasifikasikan landasan teoritis untuk ke-empat
jenis keputusan di atas yang terbagi atas 3 kelompok teori yaitu:
1. Kajian teori yang menekankan pada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
(keputusan satu dan dua);
Model penting yang dilandasi oleh kajian teori kelompok ini adalah model
distributive politics. (Volden, 2007) mengkategorikan model distributive politics atas
dua jenis yaitu model implisit dari distributive politics maupun model eksplisit dari
distributive politics. Model implisit dari distributive politics tidak memodelkan proses
bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik karena diasumsikan bahwa
politisi memiliki bias atas kepentingan politiknya yang mengakibatkan kebijakan
ekonomi yang dilakukan melalui suatu proses politik tidak efisien. Hal ini dikenal
dengan adanya permasalahan common pool problem (contoh model implisit
distributive politics dikembangkan oleh Weingast et al,1981). Sedangkan model
eksplisit dari distributive politics memodelkan proses bargaining dalam suatu
pengambilan keputusan politik (contoh proses yang dimodelkan adalah proses
bargaining dalam lembaga perwakilan/legislatif atau legislative bargaining yang
dikembangkan oleh (Baron, 1989)).

20

Alternatif pengelompokan model distributive politics adalah non-partisan distributive


politics dan partisan distributive politics (Levit dan Poterba,1999). Non-partisan
distributive

politics

theory

pada

dasarnya

menekankan

pada

efek

keterwakilan/representativeness dalam lembaga legislative terhadap distribusi dana


pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Asumsi utama dari model ini adalah
setiap anggota legislatif memiliki kecenderungan untuk mendorong/mendukung
alokasi sumber daya pemerintah pusat untuk daerah pemilihannya baik secara implisit
(common pool problem) maupun secara eksplisit melalui proses legislative
bargaining. Dengan demikian model non-partisan distributve politics menekankan
pada insentif bagi individu legislator dalam pengampilan keputusan alokasi sumber
daya publik (Levit dan Poterba, 1999). Sedangkan partisan distributive politics
theory menekankan pada efek strategi partai politik dalam rangka mempertahankan
suara konstituen dengan cara mempengaruhi alokasi sumber daya pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Berbeda dengan model sebelumnya, model partisan
distributive politics menekankan pada kepentingan partai politik dalam rangka
mempertahankan konstituen di daerah pemilihan tertentu (Levit dan Poterba, 1999).
Berbagai kajian empiris telah dilakukan dengan model distributive politics sebagai
landasan teorinya. Sebagai contoh, kajian-kajian mengenai keputusan alokasi bantuan
pemerintah federal/pemerintah pusat kepada pemerintah negara bagian/pemerintah
daerah melalui suatu proses politik pada lembaga perwakilan/legislatif dipengaruhi
antara lain oleh variabel-variabel koalisi, posisi kunci anggota legislatif dan pimpinan
partai politik, serta hal lain yang menjadi perhatian di tingkat pemerintah pusat seperti
persaingan di antara partai politik (Volden, 2007). Model distributive politics juga
digunakan sebagai landasan teori untuk kajian terkait bagaimana pemerintah pusat
menetapkan syarat dan ketentuan terhadap suatu alokasi dana transfer kepada
pemerintah daerah. Sebagai contoh alokasi dana jalan bebas hambatan (highway
funds) kepada negara bagian di Amerika Serikat dikaitkan dengan ketentuan batas
kecepatan berkendara yang ditetapkan oleh pemerintah negara bagian (Volden, 2007).
Volden (2007) memandang bahwa kegunaan model distributive politics mampu
menjelaskan kapan, dimana dan bagaimana ketentuan dana bantuan pemerintah pusat
dialokasikan kepada pemerintah daerah.

20

2. Kajian teori yang menekankan pada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah (keputusan tiga dan empat);
Kajian teori yang menekankan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh
pemerintah daerah terdiri atas dua kelompok teori yaitu teori keuangan publik klasik
yang memanfaatkan model kurva indifferens dengan kendala anggaran yang
dikembangkan antara lain oleh Scot (1952) dan Wilde, (1971) serta teori politik yang
secara khusus menekankan pada proses politik di tingkat pemerintah daerah yang
dikembangkan antara lain oleh Romer (1980).
Kajian empiris yang dilandasi oleh kelompok teori ini mempelajari bagaimana
pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan apakah suatu
pemerintah daerah menerima dana transfer dari pemerintah pusat serta respon
pemerintah daerah atas dana transfer yang diterimanya (Volden, 2007). Kontribusi
kajian-kajian empiris pada kelompok ini antara lain adalah adanya bukti respon
asimetris oleh pemerintah daerah akibat adanya kenaikan dan penurunan dana
bantuan pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara lain oleh Volden (1999) dan
Gamkhar (2000). Selain itu kajian empiris pada kelompok ini mengungkap adanya
fenomena fly paper effect yang menyatakan bahwa dampak transfer pemerintah
pusat terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah lebih besar dari dampak
pendapatan pajak daerah terhada belanja publik oleh pemerintah daerah (Volden,
1999). Berbagai kajian mengenai fenomena fly paper effect antara lain oleh Inman
(2008) ; Bailey dan Connolly (1998). Inman (2008), menyatakan bahwa dari beberapa
kandidat yang dapat menjelaskan fly paper effect, faktor politiklah yang merupakan
penjelasan yang terbaik.
3. Kajian teori yang menggabungkan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah ke dalam satu model (keputusan satu sampai empat);
Kajian teori pada kelompok ini menggabungkan keputusan-keputusan di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam satu model. Salah satu model
kategori ini merujuk pada model principal-agent untuk menggambarkan interaksi
antara politisi pemerintah pusat dan birokrasi pemerintah pusat. Selanjutnya birokrasi
pemerintah pusat menyusun ketentuan terkait kebijakan dana transfer bagi pemerintah

20

daerah serta melakukan pemantauan atau pengawasan atas ketentuan oleh pemerintah
daerah seperti yang dikembangkan oleh Chubb (1985).
Chubb

(1985)

juga

melakukan

pengujian

empiris

untuk

model

yang

dikembangkannya untuk dua jenis dana transfer pemerintah pusat yaitu dana transfer
yang bersifat conditional, close-ended matching maupun conditional, close-ended
lump

sum.

Chubb

(1985)

menyimpulkan

bahwa

model

ekonomi

tanpa

memperhitungkan faktor politik tidak dapat secara baik menjelaskan dampak


pemberian dana transfer pemerintah pusat terhadap keputusan alokasi belanja
pemerintah daerah.

Faktor politik yang diidentifikasi berperan dalam keputusan

pemberian dana transfer adalah faktor ideologi serta motivasi untuk memenuhi
permintaan konstituen pada tingkat pemerintah pusat baik oleh anggota kongres
maupun birokrat di tingkat pemerintah pusat.
Volden (2007), mengkritisi model-model yang hanya menekankan pada keputusan di
satu tingkat pemerintahan (pemerintah pusat/daerah secara terpisah). Hal ini
disebabkan karena model-model tersebut mengabaikan adanya keterkaitan dalam
keputusan-keputusan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Sebagai contoh besarnya dana transfer dan syarat-syarat yang dikenakan atas
penyaluran dana transfer oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh respon
pemerintah daerah serta kemungkinan respon oleh pemerintah daerah atas dana
transfer yang akan diberikan oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh formulasi
dana transfer yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Volden (2007) juga mengkritisi
keterkaitan keputusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pendekatan
prinsipal-agent model. Argumennya adalah pendekatan principal-agent model tidak
menggambarkan realitas hubungan antara peerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah pada suatu sistem federasi berbeda dengan birokrat di tingkat
pemerintah pusat yang menjalankan visi politisi tingkat pemerintah pusat. Pemerintah
daerah daerah juga memiliki sumber pembiayaan yang terpisah dan juga kekuatan
politik dan harus merespon konstituen di tingkat lokal yang dapat berbeda dengan
keinginan politisi di tingkat pemerintah pusat.

20

Selanjutnya, Volden (2007) mengusulkan pendekatan berbeda untuk kelompok teori


kategori ini yaitu dengan menekankan pada aspek adanya kompetisi antara
pemerintah/politisi di tingkat pemerintah pusat dengan pemerintah/politisi di tingkat
daerah yang mempengaruhi sistem dan mekanisme transfer dana antar pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah merupakan dana transfer dengan kategori lump-sum grant.
Knight

(2002)

memodifikasi

model

Bradford

dan

Oates

(1971)

dengan

mengasumsikan bahwa terjadi endogeinity antara pemberian grant oleh pemerintah


pusat dengan respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah.Volden (2007)
memandang kajian Knight (2002) sebagai kajian dengan kategori yang berbeda dari 3
kelompok teori yang mengkaji kebijakan dana transfer karena model yang
dikembangkan memasukkan unsur hubungan simultan pemerintah pusat dan
pemerindah daerah namun tidak dalam bentuk hubungan principal agent seperti
yang dikembangkan oleh Chub (1985). Knight menggunakan rujukan model
mengenai keterkaitan antara belanja transfer pemerintah pusat dengan alokasi belanja
publik oleh pemerintah daerah penerima bantuan yang dikembangkan oleh Bradford
dan Oates (1971). Knight (2002) menambahkan adanya endogeinity atau hubungan
antara variabel preferensi politisi pada pemerintah federal dengan alokasi dana
transfer kepada pemerintah negara bagian di Amerika Serikat melalui variabel
keterwakilan negara bagian pada lembaga legislatif di tingkat pemerintah federal.
Endogeinity tersebut sudah mulai dikembangkan di era awal tahun 1970-an. Model
yang sederhana dikembangkan oleh Bradford dan Oates (1971) yang memprediksi
bahwa belanja publik yang merupakan transfer dari pemerintah pusat akan
mengakibatkan efek crowd out terhadap alokasi belanja publik di tingkak pemerintah
daerah. Model yang dikembangkan oleh Bradford dan Oates ini memperlakukan
transfer pemerintah pusat sebagai variabel eksogen bagi pemerintah daerah penerima
bantuan. Model ini telah banyak diuji secara empiris, namun banyak hasil penelitian
empiris hanya menemukan efek crowd out yang lemah bahkan beberapa kajian
menemukan bahwa transfer pemerintah pusat memberikan efek crowd in terhadap
belanja publik oleh pemerintah daerah (Knight, 2002). Efek crowd in dari belanja

20

publik oleh pemerintah daerah sebagai respon dari belanja transfer oleh pemerintah
pusat disebut fly paper effect (Knight, 2008).
Knight (2002) melakukan pengujian empiris atas model endogeinity belanja transfer
pemerintah federal di Amerika Serikat dengan alokasi belanja publik oleh pemerintah
negara bagian untuk program bantuan jalan pemerintah federal yang merupakan suatu
bentuk grant dengan karakteristik open ended, matching grant. Hasil kajian ini
menyimpulkan adanya fenomena crowd out pada alokasi belanja pemerintah negara
bagian dengan sebagai adanya endogeinity antara pemberian bantuan dengan alokasi
belanja pada pemerintah negara bagian.

20

Anda mungkin juga menyukai