Anda di halaman 1dari 7

MAFHUM MUKHALAFAH

A. Pengertian
Mafhum ( ) yakni pemahaman, pengertian, gambaran yang tidak tertulis di dalam nash
(tersirat). Sedangkan mukhalafah ( )yakni berbeda.

Artinya : Nash syari tidak mengandung pengertian hukum pada mafhum mukhalafahnya.

Mafhum mukhalafah adalah ketika dalam suatu nash syari terdapat hukum yang tidak
dibatasi oleh suatu batasan, sifat, batas maksimal (ghayah), syarat, batasan hitungan, dan batasan
nama (laqab). Sedangkan apabila nash syari menunjukkan suatu hukum yang dibatasi oleh suatu
batasan, sebagaimana disifati oleh suatu sifat, dibatasi oleh suau batas maksimal, disyarati oleh
suatu syarat, ataupun dibatasi dengan suatu hitungan, maka terdapat hukum pada nash tersebut,
dan disebut manthuq (yang dikatakan).
Pengertian secara garis kaidah ini adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebutkan
dalam nash (manthuq) karena tidak adanya batasan yang membatasi berlakunya hukum menurut
nash.
Firman Allah SWT :


Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisaa 4:4)
Dalam ayat tersebut suami boleh menerima maskawin isterinya dengan syarat apabila isterinya
tersebut memberikannya dengan senang hati, maka mafhum mukhalafahnya adalah apabila tidak
dengan senang hati, maka haram hukumnya.
Adapun tujuan dari mufham mukhalafah tersebut yaitu untuk menjadi hujjah atas suatu
hukum dari suatu nash, begitupun dengan kebalikan (mufham mukhalafah itu sendiri) juga
menjadi hujjah atas kebalikan hukumnya yang manthuq.
B. Pembagian
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi lima, sesuai dengan batasan yang membatasi manthuq
nashnya, antara lain :
1. Mafhum Sifat
Yakni menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan sifat yang telah ditetapkan
(manthuq) dalam nash. Sebagaimana Firman Allah SWT :


Artinya : ....maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin....
(QS. An-Nisaa :92)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa dalam membayar kifarat hendaknya memerdekakan
budak yang mukmin. Mafhum mukhalafahnya jika yang dimerdekakan bukan budak yang
mukmin (kafir) maka tidak sah.
2. Mafhum Syarat
Yakni menetapkan suatu hukum sesuai dengan syarat dalam nash. Sebagaimana Firman
Allah SWT :


Artinya : ....Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,..... (QS. Ath-Thalaaq :6)
Dalam ayat tersebut di atas mafhum mukhalafahnya adalah jika isteri yang ditalak tersebut
tidak sedang dalam keadaan hamil telah melahirkan, maka tidak wajib diberi nafkah.
3. Mafhum Ghayah (batasan maksimal)
Yakni menetapkan suatu hukum sampai batas tertentu dan berlaku sebaliknya jika batas
tersebut dilampaui. Allah SWT berfirman :


Artinya : .....dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar.... (QS. Al-Baqarah :187)
Dari penggalan ayat tersebut di atas dapat diketahui bahwa mafhum mukhalafahnya adalah
sampai batas terbit fajar. Maksudnya, ketika berpuasa (bulan Ramadhan) diperbolehkan makan
dan minum kecuali sampai terbit fajar.
4. Mafhum Adad (hitungan)
Yaitu menetapkan suatu hukum dengan bilangan tertentu.
Firman Allah SWT :

Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut terdapat keharusan adanya empat orang saksi, kemudian jika tidak ada, si
penuduh harus didera sebanyak delapan puluh kali. Maka mafhum mukhalafahnya adalah kurang
atau lebih dari empat orang saksi, dan lebih sedikit atau lebih banyak dari delapan puluh dera.
5. Mafhum Laqab
Yaitu menetapkan hukum dengan isim alam, nama jenis, dan lain sebagainya. Sebagaimana
Firman Allah SWT :


Artinya : Diharamkan atas kamu ibu-ibumu..... (QS. An-Nisaa:23)
Dari penggalan ayat tersebut di atas, mafhum mukhalafahnya adalah selain ibu.
Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Pada gandum ada (kewajiban) zakat.


Maka, mafhum mukhalafahnya adalah selain gandum.
Namun, para ahli Ushul fiqh bersepakat untuk tidak menggunakan nash dari mafhum laqab
untuk dijadikan sebagai hujjah. Karena seperti pada hadist tersebut di atas, bahwa lafazh burr
adalah nama bagi biji-bijian tertentu yang wajib zakat. Di sini tidak dapat difahami baik menurut
bahasa, syara, maupun adat kebiasaan bahwa mafhum mukhalafah dari hadits tersebut yakni
lafazh burr mengecualikan segala biji-bijian lainnya.

C. Pendapat Ulama
Para ulama ushul fiqh sepakat untuk tidak menggunakan hujjah atas dasar mafhum
mukhalafah dalam suatu bentuk, sepakat menggunakan bentuk tertentu, dan suatu bentuk lagi
terdapat perbedaan pendapat mengenai kehujjahannya.
1. Mafhum mukhalafah yang sepakat untuk tidak digunakan sebagai hujjah adalah mafhum laqab,
karena lafazh jamid yang ada di dalam nash itu merupakan substansi yang menjadi pokok
sandaran hukum yang manthuq dalam nash.
2. Mafhum mukhalafah yang disepakati untuk dipergunakan hujjahnya adalah mafhum sifat,
mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum adad. Namun hal tersebut hanya bagi nash selain
nash syari, misalnya perjanjian, perkataan manusia, ungkapan pengarang, ataupun peristilahan
para ahli fiqh.
3. Mafhum mukhalafah yang masih diperselisihkan penggunaan hujjahnya adalah mafhum
mukhalafah pada sifat, syarat, batas maksimal dan hitungan pada nash syariyyah secara khusus.
Jumhur ulama beristidlal terhadap pendapat tersebut di atas dengan beberapa dalil, yaitu :
1. Akan terdapat penetapan hukum dari mafhum mukhalafah jika keempat batasan itu ada dalam
nash. Dan sebaliknya, tidak ada penetapan hukum jika keempat batasan tersebut tidak ada dalam
nash.
2. Batasan-batasan yang ada dalam nash syari memiliki hikmah atau manfaat tersendiri. Batasan
tersebut juga harus menunjukan sifat, syarat, batas maksimal, dan hitungan. Batasan tidak
bertujuan untuk pengagungan, pujian, celaan, dan kebiasaan. Jika demikian, maka tidak dapat
ditetapkan hukum dan tidak dapat dijadikan hujjah.

MANTUQ DAN MAFHUM


DALAM ILMU USHUL FIQH
PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat),
dedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna
tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu
lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh
suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan
mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan,
tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah
(Q.S Al-Isra ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu
ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada
kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya
(juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi
pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
A. Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di tawilkan lagi, seperti
firman Allah SWT
Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud
dan menghendakinya kepada pentawilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai
wajah seperti manusia.
dan langit yang kami bangun dengan tangan (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai
tangan seperti manusia.

A. Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum
yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua
bagian:
a) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang
artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Katakata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti
memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah
SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya
dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang
diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jumat sebelum azan
dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jumat. Dalil Khitab ini
dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1. Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman
Allah SWT.
Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin (Q.S. AnNisa ayat 92)
2. Mafhum illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut illatnya. Mengharamkan
minuman keras karena memabukkan.
3. Mafhum adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah
SWT:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
4. Mafhum ghayah

yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan),
hingga lafaz ghayah ini adakalnya ilaa dan dengan hakta. Seperti firman
Allah SWT.
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
5. Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu adad diantara adat-adatnya.
Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi Karena
Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah.
6. Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fail, seperti sabda
Nabi SAW

SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH


syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie
dalam bukunya Ushul Fiqhi, sebagai berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq
maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan
(Q. S Isra ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum
mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali
dengan kebenaran (Q.S Isra ayat 33)
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan
pula engkau hardik (Q.S Isra ayat 23).

Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh


memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu
tidak boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu
(Q.S An-Nisa ayat 23).
Dan perkataan yang ada dalam pemeliharaanmu tidak boleh dipahamkan bahwa
yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik
dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits).
Dengan perkataan orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orangorang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut
dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang
Islam sendiri.
4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh:
Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf
di mesjid (Q.S Al-Baqarah ayat 187).
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri

Anda mungkin juga menyukai