Anda di halaman 1dari 26

1

I. Pendahuluan
Perkembangan paru janin adalah suatu waktu dimana terjadi suatu transisi untuk
bernafas udara pada saat aterm.1 Paru merupakan organ utama dari sistem
respirasi dan terdapat percabangan jalan nafas yang menjadi lebih pendek, lebar,
dan berpenetrasi ke dalam paru. Struktur trakeobronkial terdiri dari tiga tipe utama
jalan nafas yaitu kartilago bronkiolus, membranous cartilage, dan bronkiolus
respiratorius.2 Jalan nafas atas dan bronkiolus terminalis sebagai tempat jalannya
gas, dimana bronkiolus respiratorius dan ductus alveoli sebagai tempat konduksi
dan pertukaran gas.2 Dikarenakan ukuran yang kecil dan compliance yang tinggi,
distal dari jalan nafas sangat mudah menjadi tidak stabil dan mudah menutup pada
volume paru.2
Untuk mencegah struktur paru dari collapse (atelektasis), sel alveolar epitel
akan mensekresi surfaktan pulmoner yang terdistribusi ke lapisan cairan
permukaan dari distal epitel paru. Surfaktan fungsional akan mengurangi tegangan
permukaan dan menjaga patensi dari jalan nafas dan volume alveoli paru. 2
Perkembangan

organ

kompleks

dapat

diinterupsi

atau

terganggu

oleh

abnormalitas kehamilan secara primer berhubungan dengan prematuritas. Akibat


dari kehamilan yang berhubungan dengan abnormalitas dari perkembangan paru
dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan dari probabilitas fungsi paru
yang baik saat melahirkan. Klinisi mempunyai sejumlah pengobatan untuk
meningkatkan fungsi paru setelah persalinan abnormal, maka dari itu fungsi paru
tidak lagi membatasi tingkat kehidupan dari kebanyakan bayi premature.1
Keberhasilan dari pengobatan perinatal termasuk penggunaan kortikosteroid
antenatal untuk menurunkan insidens dari Respiratory Distress Syndrome (RDS),
pengobatan surfaktan untuk RDS, dan peningkatan strategi perawatan proses
respirasi. Keberhasilan ini berasal dari penelitian perkembangan dan maturasi
paru dimulai dengan korelasi penurunan level surfaktan dengan gagal nafas pada
janin preterm oleh Avery dan Mead pada tahun 1959. 3 Keuntungan klinis utama
yang dikembangkan oleh Gluck dan kawan-kawan pada tahun 1971 dari ratio
lecithin terhadap sphinomyelin menggunakan cairan amnion untuk memprediksi
risiko RDS pada janin preterm.4 Komponen surfaktan lain, fosfatidilgliserol,

kemudian dikembangkan untuk melihat maturitas paru. Banyak peneliti kemudian


mengembangkan surfaktan untuk pengobatan RDS dan penyakit paru neonatus
lainnya.1
II. Perkembangan Paru Normal
A. Fase Embrionik (3 7 minggu setelah konsepsi)1
Primordium paru muncul sebagai perkembangan dari endoderm foregut
sekitar 22 hari setelah konsepsi. Tunas paru muncul setelah 26 hari dan
berkembang menjadi surfaktan mesenkim mengelilingi foregut secara pararel
terhadap esophagus primitif. Tunas paru-turunan sel epitel membentuk tubulus
yang mengalami bifurkasi pada hari 28 menjadi bronkus utama kanan dan
kiri, dan percabangan berlanjut dengan inisiasi dari perkembangan pembuluh
darah paru. Pada saat akhir fase embryonik, pemisahan dari trakea dan
esophagus sempurna, dengan hubungan pembuluh darah antara atrium kanan
dan kiri. Faktor transkripsi dan sinyal molekul meregulasi proses ini, juga
diidentifikasi dengan system model transgenic dan system lainnya. Delesi dari
fibroblast growth factor-10 (FGF-10) atau delesi dari zinc finger DNA-binding
proteins Gli2 dan Gli3 akan mengganggu perkembangan trakea. Kekurangan
asam retinoat dapat mengganggu morfogenesis awal dari percabangan paru,
sama halnya dengan delesi dari reseptor asam retinoat. Sinyal dari asam
retinoat meregulasi dari ekspresi spatial dan temporal dari gen homeobox
(HOX) pada embryonik paru. Anggota keluarga FGF bekerja melalui reseptor
FGF spesifik juga memodulasi percabangan pernafasan, seperti diperlihatkan
dengan abnormalitas oleh abnormalitas struktur yang berasal dari kerusakan
persinyalan atau delesi. Abnormalitas dari perkembangan paru pada fase
embryonik berasal dari esophageal dan trakeal, fistula tracheal esophageal,
agenesis pulmo, dan kerusakan pada lobus paru.
B. Fase Pseudoglandular (5 sampai 17 minggu)1
Periode pseudoglandular mempunyai karakteristik dengan pembagian
progressif dari 15 sampai 20 generasi dari jalan nafas, tergantung dari panjang

segmen jalan nafas dan posisi lobar. Perkembangan jalan nafas sejajar dengan
sel kuboid simpleks yang berisi jumlah besar dari glikogen. Sel epitel
berdiferensiasi secara sentrifugal, maka distal tubulus sejajar dengan sel yang
tidak berdifferensiasi dengan progresifitas yang berbeda dari proximal sampai
distal dari jalan nafas.
Arteri pulmonalis berkembang menjadi konjungsi dari jalan nafas dan
prinsip dari arteri nampak pada usia gestasi 14 minggu. Mikrovaskular dari
paru berkembang mesenkim sekitar jalan nafas yang berkembang dengan
proses angiogenesis dan vaskulogenesis. Proses ini berada di bawah kontrol
faktor seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Vena pulmonalis
berkembang secara pararel dengan angiogenesis dan vaskulogenesis, tetapi
dengan pola demarkasi yang berbeda pada segmen dan subsegmen dari paru.
Pada akhir fase pseudoglandular, jalan nafas, arteri, dan vena berkembang
sesuai pola yang ditemukan pada dewasa. Diafragma membelah dari dada
sampai ke abdomen selama fase perkembangan paru ini, dan kegagalan dari
penutupan diafragma berakibat pada hernia diafragmatika dan hipoplasia
paru.18
C. Fase Kanalicular (16 sampai 26 minggu setelah konsepsi)1

Fase kanalikular menggambarkan transformasi dari paru yang previabel


menjadi

paru

yang

viable

yang

dapat

melakukan

pertukaran

gas

Gambar 1. Perkembangan morfologi dari paru manusia. Skematik mewakili


perkembangan dari fase. TB, Terminal bronkiale.
Dikutip dari Jobe1
Tabel 1
Fase

Perkembangan paru pada fetus manusia


Usia Fetus Gambaran struktur
Regulasi perkembangan

Abnormalitas

perkembangan
Embryonik

(Minggu)
3-7

Pseudo-

5-17

glandular

Formasi paru tunas,

paru dan differensiasi


TTF-1, FGF-10,

Fistula

trakea, bronkus

Gligenes, asam retinoat,

trakeoesofagus,

lobaris dan

gen HOX

agenesis paru,

segmental
Bronkus

TTF-1,

kerusakan lobus
Sekuestrasi,

subsegmental,

FGFs,FOXa1/a2,TGF-

malformasi

bronkus terminal,

, VEGF

adenomatoid

kelenjar mukus,

kistik,

otot polos,

limfangiektasis,

kartilago, pembuluh

hernia diafragma

darah awal, dan

kongenital

diferensiasi epitel,
Kanalikular

16-26

formasi diafragma
Bronkiolus

Glukokortikoid, VEGF

Hipoplasi

paru,

respiratori, sakul

kapiler-alveolus

asinar, penebalan

dysplasia

dari epitel kapiler,


sel epitel tipe 1 dan

Sakular

26-36

2
Pembagian dari

Glukokortikoid, VEGF

Hipoplasia

sakul asinar,

hipertensi

ekspansi

pulmonum

paru,

mikrovaskular,
peningkatan pada
area permukaan
Alveolar

32

sampai

dewasa

pertukaran gas
Septa dari alveoli,

Elastin, glukokortikoid,

SP-B, SP-C, dan

maturasi dari sel

asam retinoat, mediator

ABCA3,

tipe 2, surfaktan

inflamasi

defisiensi
trasporter,
hipertensi
pulmonum

Dikutip dari Jobe1

Ada 3 kejadian utama selama fase ini yaitu munculnya asinus,


perkembangan dari barrier udara-darah yang potensial, dan differensiasi sel
epitel dengan munculnya sintesis surfaktan yang dikenali oleh sel epitel tipe 2.
Distal dari asinus jalan nafas berawal dari sebuah bronkus terminalis.
Perkembangan awal adalah fase penting pertama dari perkembangan
pertukaran udara pada permukaan paru. Pembuluh darah mesenkim yang
menyelimuti jalan nafas menjadi lebih bervaskular dan sejajar dengan sel
epitel jalan nafas. Kapiler-kapiler awalnya adalah dua buah jaringan kapiler
diantara ruang udara kedepan. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung
membentuk suatu kapiler single diantara permukaan pertukaran gas kedepan.
Jika dua jaringan kapiler tidak bergabung, bayi akan mengalami hypoxemia
berat dan kapiler-alveolar dysplasia pada penemuan histoplatologi. Dengan
aposisi pembuluh darah secara dekat menuju dinding sakular dan involusi dari
mesenkim, membran pernafasan kapiler-alveoli mulai terbentuk pada minggu
ke 21. Total permukaan area yang ditempati oleh barrier dari udara-darah
meningkat secara eksponensial melalui fase kanalikular, dengan jatuhnya
resultan dari ketebalan dinding rata-rata dan dengan meningkatnya potensiasi
untuk pertukaran gas. Differensiasi dari sel epitel mempunyai karakteristik
penebalan dari proksimal sampai distal sel epitel dengan transformasi dari sel

kuboid menjadi sel tebal dengan tabung yang luas. Tabung tumbuh baik dari
segi panjang dan lebar dengan atuneasi ke mesenkim, yang mana bervaskular
secara simultan. Setelah usia gestasi 20 minggu pada fetus manusia, sel tipe 2
yang imatur berisi glikogen mulai mempunyai tubuh lamellar pada sitoplasma,
yang mengindikasi produksi surfaktan.1
D. Fase Sakular (Minggu 24 sampai 36 setelah konsepsi)1
Fase sakular adalah periode perkembangan paru ketika fetus preterm
berpotensial viable untuk dilahirkan. Sakus adalah elemen struktur terminal
dari paru janin, yang mana terbagi atau bersepta melalui tiga generasi dengan
formasi dari bronkiolus respirasi, dan tiga generasi kedepannya membentuk
ductus alveolus sebelum berinisiasi dengan septa sekunder dari sakus menjadi
alveoli. Selama fase sakular ini perkembangan paru, jumlah jarak paru
meningkat sekitar 65.000 pada 18 minggu menjadi 4 juta pada 32 sampai 36
minggu usia gestasi (Gambar 2). Microvaskular paru terus meningkat, sama
hal nya pertukaran gas pada permukaan paru. Paru janin sangat sensitif
terhadap pengobatan glukokortikoid ibu dan dapat merespon dengan
peningkatan sintesis surfaktan dan atenuasi mesenkim. Paru juga sensitif
dengan perkembangan dari hypoplasia paru. Septa sakus dan vaskularisasi
berhubungan dengan fase kritis dari perkembangan paru yang mana dapat
dipengaruhi oleh abnormalitas kehamilan dan dapat mempengaruhi fungsi
paru pada kelahiran preterm.1

Gambar 2. Percabangan jalan nafas, usia fetus, dan struktur distal selama
perkembangan paru.
Dikutip dari Jobe1

E. Fase Alveolar1
Alveolarisasi dimulai pada 32 sampai 36 minggu dari sakus terminal dengan
munculnya septa yang berisi kapiler, fiber elastin, dan fiber kolagen. Alveoli
baru secara cepat bersepta untuk menghasilkan 100 juta alveoli pada saat
aterm dan sekitar 500 juta alveoli pada manusia dewasa. Kecepatan
pembentukan alveoli maksimal pada usia gestasi 36 minggu dan beberapa
bulan setelah kelahiran, dan terus meningkat secara perlahan saat masa kanakkanak. Konsep penting bahwa perkembangan alveoli dimulai pada fase akhir
perkembangan fetus dan terus berkembang sampai setelah pelahiran pada
manusia. Proses septasi dari alveoli memerlukan fiber elastin untuk tunas dari
membrane respirasi kapiler-alveoli distal dengan jaringan double kapiler untuk
membentuk septa baru. Doubel kapiler kemudian menjadi kapiler tunggal
dengan pengurangan dari mesenkim untuk membentuk membrane kapiler

alveoli yang baru dan tebal. Proses ini memerlukan elastin, kolagen, dan
regulasi ekstraseluler matrix dengan Fibroblast Growth Factor dan reseptor
dan faktor transkripsi seperti FOXA2, TTF1, dan GATA6. Perkembangan paru
dari elemen regulasi yang sangat penting untuk perkembangan paru secara
embryonik dan kanalikuler juga penting selama perkembangan paru terminal.
Dengan septasi alveoli, walaupun dengan cara dan lokasi yang berbeda.
Sistem surfaktan sangat matur pada gestasi akhir karena kecukupan
surfaktan sangat penting untuk keberlangsungan hidup bayi baru lahir.
Maturasi surfaktan sempurna pada sakular paru, seperti alveolarisasi yang
muncul setelah kelahiran. Pada model tikus, baik kedua ibu dan fetus sama
berkontribusi untuk sinkronisasi dengan maturasi paru pada saat kelahiran
aterm. Abnormalitas kelainan genetik dari surfaktan dapat bermanifestasi
sebagai RDS setelah kelahiran aterm dikarenakan adaptasi respirasi yang
jelek. Hal ini termasuk abnormalitas pada protein surfaktan (SPs) SP-B dan
SP-C dan transporter intraseluler ABCA3 yang integral dengan simpanan
surfaktan pada tubuh lamellar.1,9 Tidak ada informasi pada manusia mengenai
variabilitas dari waktu individu untuk fase perkembangan paru pada populasi.

F. Cairan Paru Fetus


Jalan nafas fetus dipenuhi dengan cairan sampai kelahiran dan inisiasi dari
ventilasi. Informasi kuantitatif mengenai cairan paru janin telah datang dari
penelitian fetus lembu; sonografi dan patologi yang berkorelasi tersedia pada
manusia. Paru fetus yang mendekati aterm berisi cukup cairan untuk menjaga
jalan nafas berekspansi mendekati 25mL/kg berat badan, yang mana sama
dengan kapasitas residu fungsional ketika bernafas berlangsung. Komposisi
dari cairan paru janin sangat unik secara relatif terhadap cairan fetus lainnya.
Konten dari Klorida tinggi, kadar bicarbonate yang rendah, dan kadar protein
yang rendah karena epitel fetal secara esensial tidak permeable terhadap
protein. Transpor aktif klorida oleh sel epitel dengan pergerakan air secara

pasif menyebabkan produksi 4 sampai 5 mL/kg/jam cairan paru fetus pada


usia gestasi akhir. Produksi netto dari cairan paru fetus sekitar 400mL/hari
untuk 4 kg fetus domba. Pada manusia, sekitar separuh cairan ditelan dan
separuhnya bercampur dengan cairan amnion saat pernafasan fetus. Tekanan
pada trakea fetus mencapai sekitar 2 mmHg pada cairan amnion menghasilkan
suatu aliran yang resisten untuk menjaga volume cairan paru. Sekresi dari
cairan paru fetus secara primer adalah suatu fungsi metabolik intrinsik dari
perkembangan alveolus dan epitel jalan nafas, karena perubahan pada tekanan
hidrostatik vaskular, tekanan trakea, dan pergerakan pernafasan fetus tidak
mempunyai akibat besar pada produksi cairan fetus paru.1
Walaupun cairan fetus paru sangat penting untuk perkembangan normal
paru, klearens biasanya penting untuk adaptasi normal respirasi neonatus.
Produksi cairan paru fetus dapat berhenti secara sempurna dan absorbsi cairan
berinisiasi pada fetus domba cukup bulan dengan infus epinefrin yang
diberikan menjelang proses persalinan. Perubahan respon epinefrin pada epitel
udara dari sekresi cairan terhadap absorbsi cairan ditemukan absent pada
domba preterm, tetapi hal ini dapat diinduksi oleh pemberian kortisol jangka
pendek dan infus triiodotironin. Maka dari itu, pembersihan dari cairan fetus
paru sangat tergantung pada maturasi dan dapat diinduksi. Pada babi Guinea
aterm, inhibisi dari fungsi saluran natrium dapat menghambat fungsi klearens
dari cairan dan dapat menyebabkan distress pernafasan, menunjukkan bahwa
transport natrium sangat penting untuk klearens dari cairan jalan nafas setelah
kelahiran.1
Pada fetus domba, volume cairan paru berkurang pada hari tepat sebelum
proses persalinan sekita 65% dari volume maksimal selama kehidupan fetus.
Selama fase aktif persalinan dan persalinan, sekitar 30% cairan dibersihkan
dari jalan nafas dan alveoli, menyisalan sekitar 35% dari cairan paru fetus
untuk diabsorpsi dan dibersihkan dari paru-paru saat bernafas. Kebanyakan
dari cairan bergerak secara cepat ke interstitial dan bergerak secara langsung
ke vascular paru, dengan klearens kurang dari 20% dari cairan limpe
paru.Klearens cairan dari interstitial dapat terjadi beberapa jam/ Pre-

10

persalinan, persalinan, dan kelahiran adalah regulasi penting dari jumlah


cairan yang akan ada pada saat bernafas udara. Volume cairan alveoli pada
pernafasan normal udara sekitar 0.3 mL/kg.1
III. Efek Fisologis Surfaktan terhadap Paru Janin
A. Komposisi Surfaktan
Surfaktan pada paru semua spesies mamalia sekitar 70% sampai 80%
fosfolipid, sekitar 8% lipid netral, kolesterol primer (Gambar 3). 1,2,6,7 Spesies
fosfatidilkolin dari fosfolipid berkontribusi sekitar 70% dari berat surfaktan.
Komposisi dari fosfolipid pada surfaktan berbeda dengan komposisi lemak
dari jaringan paru atau organ lainnya. Sekitar 50% dari spesies fosfatidilkolin
bersaturasi,

asam

lemak

mengalami

esterifikasi

menjadi

backbone

gliserolfosfokoline adalah 16-carbon asam lemak asam palmitik yang


bersaturasi. Fosfatidilkolin yang bersaturasi adalah prinsip permukaan
komponen aktif dari surfaktan. Asam fosfolipid fosfatidilgliserol sekitar 4%
sampai 15% dari fosfolipid surfaktan dari berbagai spesies. Komposisi
fosfolipid pada kompleks lipoprotein surfaktan selama usia gestasi akhir.
Fosfolipid surfaktan dari fetus imatur atau bayi baru lahir berisi
fosfatidillinositol, dan jumlah ini berkurang ketika fosfatidilgliserol muncul
dengan maturitas paru. Walaupun fosfatidilgliserol adalah marker untuk
maturitas paru, kehadirannya tidak penting untuk fungsi surfaktan yang
normal.1
Banyak dari protein yang terisolasi dengan surfaktan dari lavase alveoli
adalah serum protein yang tidak spesifik terhadap surfaktan. Bagaimanapun, 4
SPs telah mempunyai karakteristik dan fungsinya sebagian terelusidasi.
Protein SP-A dan SP-D mempunyai struktur yang saling berikatan dan
diklasifikasi sebagai kolektin, karena mereka berikatan dengan lektin
karbohidrat di dalam kalsium yang terikat. 26-kDa monomer dari SP-A, yang
mana terglikosilasi, disusun dengan kompleks 6 tetramer dari sekitar 650kDa.
Protein mempunyai domain seperti kolagen yang memfasilitasi pembentukan
tetramer, dan pengenalan karbohidrat. SP-A adalah sel tipe II yang yang

11

terekspresi dan sel klara di dalam usia gestasi akhir dan paru yang matur. SPA berhubungan dengan surfaktan dan dibutuhkan untuk pembentukan myelin
tubular. SP-A dapat berkontribusi terhadap fungsi biofisik dari surfaktan
primer dengan membuat surfaktan lebih sedikit sensitif menjadi inaktivasi
dengan edema cairan dan produk inflamasi pada paru yang terluka.Tikus-tikus
yang kekurangan SP-A mempunyai fungsi normal surfaktan dan metabolisme,
jika tidak paru yang terluka.1,10
Fungsi SP-A secara primer pada host protein yang berikatan dengan
karbohidrat dan berinteraksi dengan sel imun di dalam paru. SP-A berikatan
dengan endotoxin, suatu gram positif spectrum luas dan organisme gram
negatif, fungi, dan organisme lainnya seperti mycobacteria dan Pneumocystis
carinii. SP-A mempromosikan fagositosis dan membunuh mikroorganisme
dengan makrofag alveolar, SP-A juga berinteraksi sebagai opsonin untuk
memfagositosis virus, seperti herpes simpleks, influenza A, dan virus
pernafasan sinsitial. Tikus dengan kekurangan SP-A lebih efektif untuk
membersihkan dan membunuh bakteri dan virus, dan infeksi lebih sering
menjadi sitemik. Kerusakan pada pertahanan host dapat dikoreksi dengan
mengobati kekurangan SP-A tikus dengan SP-A. Polimorfisme genetik pada
SP-A telah berhubungan dengan peningkatan dengan risiko RDS. Bayi baru
lahir dengan ratio SP-A yang rendah terhadap fosfolipid surfaktan mengalami
peningkatan risiko untuk kematian dan dysplasia bronkopulmoner. Level SP-A
juga randah pada model baboon preterm dari BPD, pada bayi dengan virus
pneumonia pernafasan sinsitial, dan pasien dengan RDS akut.1,10
Struktur dan fungsi SP-D juga sama dengan SP-A, tetapi ada beberapa
perbedaan. Monomer 43-kDa dari bentuk SP-D membentuk tetramer yang
berhubungan 560-kDa multimer. SP-D yang secara minimal berhubungan
dengan lemak surfaktan, diekspresi di paru oleh sel tipe II, sel Klara, dan sel
dan kelenjar pernafasan lainnya. Ekspresi pada paru meningkat pada usia
gestasi akhir, dan glukokortikoid, dan inflamasi dapat meningkatkan
ekspresinya. Pertahanan dari host yang berikatan dengan bakteria dan fungi,
dan mengagregasi virus dengan spesifisitas yang mengalami overlapping

12

dengan SP-A. SP-D menggerakkan opsonisasi dan fagositosis dengan


makrofag dan memodulasi respons proinflamasi dari leukositosis pada paru.
Sebagai kontras terhadap SP-A, SP-D meningkat dengan kerusakan paru akut.
Tikus yang kekurangan SP-D mempunyai peningkatan jaringan dan depo
alveolar dari lemak surfaktan dan perkembangan emfisema sesuai umur
mereka. Kekurangan SP-D pada tikus dapat meningkatkan respons inflamasi
terhadap virus respirasi sinsitial. Tidak ada defisiensi SP-D yang telah
diidentifikasi pada manusia dan berkontribusi terhadap pathogenesis BPD dan
infeksi paru terhadap bayi baru lahir.1,10
SP-B kecil, 79 asam amino homodimer sekitar 18 kDa yang mana sekitar
2% dari berat surfaktan. Ini dibutuhkan kemasan normal dari fosfolipid
surfaktan menjadi lamellar bodies untuk sekresi. 1,9 Pada tidak adanya SP-B,
sel tipe II tidak mempunyai lamellar bodies dan SP-C tidak terproses secara
sempurna. Maka dari itu, secara fungsional, defisiensi SP-B juga berasal dari
kekurangan SP-C tikus dan manusia yang kekurangan SP-B segera meninggal
setelah lahir dengan sindroma berat RDS. Pengobatan surfaktan yang tidak
efektif, karena tidak ada jalan untuk memproses ulang komponen
surfaktan.Kekurangan dari SP-B lebih sering terjadi karena mutasi frame-shift,
dengan frekuensi gen 1 per 1000 sampai 3000 idividu. Ada banyak juga
mutasi pada SP-B, dan mutasi defisiensi SP-B terhitung pada sekitar 30% bayi
baru lahir yang meninggal pada saat lahir dari kemungkinan genetic terhadap
gagal nafas. Diagnosa antenatal dari kekurangan SP-B dapat dibuat dengan
menggunakan cairan amnion. Beberapa mutasi berasal dari ekspresi SP-B
yang rendah dengan peningkatan pengobatan glukokortikoid. Bayi dengan
ekspresi rendah mungkin dapat memiliki penyakit paru progresif kronis yang
tidak dapat dibedakan dengan dysplasia bronkopulmoner.1,10
SP-C, 35-protein asam amino sekitar 2% surfaktan dari berat. SP-C
messenger RNA diekspresikan dengan ujung perkembangan dari percabangan
jalan nafas selama perkembangan awal paru. Pada fase akhir gestasi, SP-C
yang berekspresi, terproses, dan disekresi oleh sel tipe II, dengan SP-B dan
lemak surfaktan pada lamerlar bodies. Protein ini bersifat hidrofobic yang

13

menggerakkan adsropsi surfaktan. Kekurangan SP-C pada tikus meyebabkan


abnormalitas perkembangan paru atau fungsi surfaktan yang abnormal.
Bagaimanapun, tikus mendapatkan penyakit paru progresif interstitial yang
dapat muncul pada masa kanak-kanak dan dapat membuat individu
berkembang menjadi akut RDS. Kerusakan

paru akut akan menurunkan

ekspresi dari SP-C.1,10

Gambar 3. Kompisisi dari surfaktan. Komponen utama adalah fosfatidilkoline yang


tersaturasi. Protein surfaktan (SP) berkontribusi 8% terhadap massa surfaktan.
Dikutip dari Jobe1

B. Metabolisme surfaktan
Sel tipe II dan makrofag adalah sel yang bertanggung jawab untuk jalur utama
yang berikatan dengan metabolism surfaktan (Gambar 4). Jalur sintesa dan
sekresi dari sel tipe II adalah sequensi kompleks dari kejadian biokimia yang
berasal dari eksositosis dari lamellar bodies (berisi lemak surfaktan, SP-B, dan
SP-C) terhadap alveolus.2,8 Enzim spesifik dalam retikulum endoplasma dari
sel tipe II yang menggunakan glukosa, fosfat, dan asam lemak sebagai substrat
untuk sintesa fosfolipid. Fosfolipid utama dalam surfaktan disintesis oleh sel
tipe II sebagai molekul 2-acyl surfaktan yang tak tersaturasi, yang mana
permukaannya aktif minimal. Fosfatidilkolin kemudian diremodeling untuk
mendapatkan fosfatidilkolin dengan asam palmitik di dalam posisi 1-acyl dan
2-acyl. Sebagai fosfatidilkolin yang tersaturasi. Lemak ini pada permukaan

14

sangat aktif tetapi sangat solid pada suhu temperature tubuh. Fosfolipid
lainnya, seperti fosfatidilinositol dan fosfatidilgliserol, dan protein surfaktan
memfasilitasi permukaan protein adsorbsi dari fosfatidilkoline yang tersaturasi
dan fungsi surfaktan. Sekali sel tipe II telah cukup matur untuk memiliki
penyimpanan, sekresi dapat terstimulasi dari sel tipe II dengan

agonis,

oleh purin seperti adenosine trifosfat, dan oleh stimulasi mekanis, seperti
distensi paru dan hiperventilasi. Sekresi surfaktan muncul dengan inisiasi dari
ventilasi setelah melahirkan mungkin untuk dikombinasikan dengan efek dari
peningkatan katekolamin, purin dan ekspansi paru.1,8
Setelah Avery dan Mead mengobservasi bahwa ekstrak dari salin terhadap
paru bayi dengan RDS mempunyai tekanan minimal permukaan, penurunan
alveolar

dan

jaringan

surfaktan

didokumentasikan

pada

hewan

percobaan.Secara umum, ukuran kolam surfaktan berkorelasi dengan


komplians dari paru, walaupun factor lain seperti maturasi struktur, juga
berpengaruh terhadap pengukuran. Surfaktan dari bayi dengan RDS pada
permukaan kurang aktif dan lebih kearah inaktifasi oleh edema cairan protein
daripada surfaktan dari paru yang matur. Maturasi dari sistem surfaktan
termasuk dari munculnya penyimpanan surfaktan dan organel sekresi, sel tipe
II lamellar bodies, secara normal setelah 22 sampai 24 minggu usia gestasi.
Perubahan yang muncul ketika surfaktan yang immature termasuk
peningkatan fosfatidilkoline yang tersaturasi, penurunan fosfatidilinositol,
peningkatan fosfatidilgliserol (secara normal setelah usia gestasi 35 minggu),
dan peningkatan secara luas dari protein surfaktan. Dengan maturasi, jumlah
surfaktan yang muncul paru dewasa dengan sekitar 10 kali.1
Metabolisme surfaktan setelah kelahiran preterm membantu menjelaskan
secara klinis dari RDS.8 Pada monyet preterm yang terventilasi dengan RDS,
ukuran kolam surfaktan alveolar meningkat sekitar 5 mg/kg dari kelahiran
preterm, mendekati 100 mg/kg jika diukur pada monyet matur, dalam 3
sampai 4 hari. Walaupun tidak ada ukuran kolam yang dapat dibandingkan
dengan manusia, konsentrasi dari fosfatidilkoline yang tersaturasi dalam
sample bayi yang berhasil sembuh dari RDS meningkat sekitar 4 sampai 5 dari

15

periode untuk dapat diperbandingkan dengan nilai normal dari bayi yang
diterapi dengan surfaktan. Peningkatan secara rendah dari ukuran depo
menjelaskan mengapa RDS tanpa komplikasi bertahan 3 sampai 5 hari.
Pengukuran dari sekresi surfaktan kinetik dan klearens dari bayi baru lahir
menjelaskan peningkatan secara pelan dari ukuran depo pada bayi premature.5

Gambar 4. Metabolisme Surfaktan.


Dikutip dari Jobe1

Lemak yang berhubungan dengan protein surfaktan B (SP-B) dan SP-C (Arah
panah merah) yang dapat dilacak dengan sintesis lemak untuk sekresi dari
lamellar bodies. SP-A disekresi dan dikombinasikan dengan tubular myelin
dengan SP-B, SP-C, dan lemak.Permukaan film menunjukkan monolayer dari
lemak dengan SP-B. Fase hipo dari lemak bilayer dapat menjadi reservoir dari
surfaktan yang mana dapat menambah ke monolayer. SP-B dan SP-C
meninggalkan monolayer tanpa lemak dan dikatabolisme dengan makrofag.
Lemak meninggalkan monolayer sebagai kendaraan dan baik dikatabolisme atau
diolah kembali menjadi sel tipe II. Walaupun inkorporasi dari prekursor menjadi
fosfatidilkolin paru sangat cepat, ada keterlambatan lama antara sintesis dan
pergerakan dari komponen surfaktan pada badan lamellar untuk sekresi. Waktu
puncak untuk sekresi lemak surfaktan yang berlabel karbon 13 (dari C-glukosa)

16

sekitar 70 jam pada bayi dengan RDS (Gambar 5.A). Peningkatan secara lambat
pada depo surfaktan alveoli dengan sintesis de novo seimbang dengan
katabolisme pelan dan clearance. Fosfolipid surfaktan yang dimasukkan pada
ruang udara dari lembu aterm dibersihkan dari paru dengan waktu paruh sekitar 6
hari. Waktu paruh biologis dari lemak surfaktan pada bayi dengan RDS sekitar 35
jam (gambar 5.B). Paru preterm memerlukan beberapa hari untuk mencapai
ukuran depo normal surfaktan dan metabolisme.1
Surfaktan tidak tinggal statis dalam ruang udara. Fosfolipid surfaktan bergerak
dari ruang udara menjadi sel tipe II oleh endositosis menjadi badan multivesikuler.
(Gambar 5.D). Pada hamil cukup bulan dan paru preterm, sekitar 90% dari
fosfolipid didaur ulang kembali dari badan lamellar untuk di sekresi ulang ke
ruang udara. Pada paru dewasa, proses ini 25% efisien. Fosfolipid didaur ulang
sebagai molekul yang intak tanpa degradasi dan sintesis ulang. Pada paru dewasa,
makrofag mengkatabolisme sekitar 50% dari surfaktan. Ada beberapa makrofag
pada paru preterm, tetapi jumlah makrofag meningkat dengan usia postnatal,
inflamasi, dan kerusakan. Dinamika dari metabolism surfaktan berkomplikasi ke
depan dengan transisi dari kumpulan agregasi dari jarak alveoli. Transisi surfaktan
dari fosfatidilkolin dari sekresi oleh badan lamellar kearah depo myelin tubular,
yang merupakan reservoir dari fase hipo dimana permukaan dari film tetap
terjaga. Kandidat dari SP-A pada transisi ini. Area kompresi dari permukaan film
diduga mengalami konsentrasi pada fosfatidilkoline dengan peremasan dari lemak
dan protein surfaktan. Surfaktan baru diabsorbsi ke permukaan film dan
digunakan sebagai kendaraan kecil, yang mana dibersihkan dari ruang udara.1

17

Gambar 5. Pengukuran dari metabolisme surfaktan pada bayi preterm dengan RDS
menggunakan isotope yang stabil.
Dikutip dari Jobe1

C. Efek fisiologi surfaktan terhadap paru janin


Surfaktan adalah agen yang dapat mengurangi tegangan permukaan dengan
dua cara. Tegangan permukaan ini dapat diturunkan dengan adanya lapisan
tipis dari cairan yang dikenal sebagai surfaktan pulmoner yang merupakan
komponen essential dari paru manusia.1,8,9,11 Surfaktan yang disekresi oleh sel
alveolar tipe II ini juga membuat pertukaran gas menjadi lebih efisien dan
menjaga integritas struktural dari alveoli.10 Efek surfaktan untuk bayi dengan
kekurangan surfaktan pada paru diilustrasikan oleh hubungan volume-tekanan
selama quasi-static inflasi dan deflasi. Tekanan dibutuhkan untuk membuka
unit paru yang berhubungan dengan radius dari kurvatura dan tegangan
permukaan tinggi dan bervariasi. Paru yang tidak berinflasi berisi cairan
dengan radii yang berbeda. Pada paru yang kekurangan surfaktan, distal dari
untit jalan nafas dengan radii yang besar dan dengan tegangan permukaan

18

yang rendah terbuka pertama, membuat inflasi dari paru nonuniform. 21


Surfaktan

menurunkan

tegangan

permukaan

pada

paru

premature,

meningkatkan pertukaran gas, menurunkan insidens dari pneumothorak dan


menurunkan mortalitas.6 Kekurangan surfaktan pada paru kelinci preterm
tidak berinflasi sampai tekanan melampaui 25 cm H20 (Gambar 6).
Pengobatan surfaktan menurunkan tekanan pembukaan sekitar 15 cmH20.
Karena pengobatan tidak merubah radii dari jalan nafas, penurunan hasil dari
pembukaan tekanan adhesi dari surfkatan terhadap menisci. Inflasi lebih
uniform karena tegangan permukaan yang rendah membuat aerasi dari jalan
nafas sedikit tak terikat dengan ukuran jalan nafas. Lebih banyak unit yang
terbuka pada saat tekanan rendah, da nada sedikit distensi berlebihan dari unit
yang terbuka. Inflasi lebih seragam karena tegangan permukaan yang rendah
membuat aerasi jalan tergantung dari ukuran. Inflasi lebih seragam dengan
surfaktan yang cukup atau pengobatan surfaktan. Akibat dari surfaktan
terhadap defisit surfaktan pada paru sekita 2.5 kali meningkat pada volume
maksimal 35 cmH20 tekanan jalan nafas. Perbedaan dari volume gas paru
diakibatkan oleh pengobatan surfaktan yang bertlanslasi untuk meningkatkan
area permukaan untuk pertukaran gas. Surfaktan juga menstabilisasi paru pada
saat deflasi. Paru yang kekurangan surfaktan mengalami kollaps pada saat
tekananan transpulmonary. Paru yang mengalami pengobatan surfaktan
menyimpan sekitar 36% dari volume paru dengan deflasi sekitar 5 cm H 20.
Stabilitas dari deflasi menjelaskan peningkatan fungsi kapasitas residu pada
paru dengan surfaktan yang cukup. 1

19

Gambar 6. Hubungan volume-tekanan untuk inflasi dan deflasi dari kekurangan


surfaktan dan pengobatan surfaktan 27 hari paru kelinci preterm.
Dikutip dari Jobe1

D. Surfaktan untuk RDS1


Fujiwara dan teman pertama kali melaporkan pada tahun 1980 bahwa insilasi
dari jalan afas dengan surfaktan yang meningkatkan oksigenasi pada janin
dengan RDS berat. Surfaktan menyiapkan paru hewan menjadi tersedia untuk
pengobatan RDS pada 1990 setelah uji klinis yang luas. Karakteristik
metabolic dari surfaktan preterm adalah disukai untuk pengobatan surfaktan.
Pada janin dengan RDS, ukuran jaringan depo dan alveolar kecil, dan depo
alveoli meningkat secara pelan setelah lahir. Pengobatan secara cepat
meningkatkan depo jaringan dan alveoli karena surfaktan dimasukkan secara
eksogen dan diambil oleh sel tipe II dan diproses untuk di sekresi ulang.
Surfaktan yang diberikan untuk pengobatan dapat menjadi substrat metabolik
dari paru preterm, yang mana dapat meningkatkan fungsinya. Pengobatan
surfaktan dapat meningkatkan fungsinya. Pengobatan surfaktan tetap tinggal
di paru dan tidak terdegradasi secara cepat. Dosis pengobatan dari surfaktan
tidak menginhibisi dari sintesa secara endogen dari fosfatidilkolin yang
tersaturasi dari protein surfaktan oleh mekanisme umpan balik. Tidak ada

20

konsekuensi metabolik dari pengobatan surfaktan pada metabolisme surfaktan


endogen atau fungsi paru yang telah teridentifikasi.
Uji klinis dari pasien dengan RDS secara konsisten menunjukkan
penurunan mortalitas RDS dan angka moratalitas dari janin dengan
pengobatan surfaktan.(Gambar 7). Pengobatan juga menurunkan insidens dari
pneumothoraks, kebutuhan oksigen dan kebutuhan ventilasi pada beberapa
hari awal kehidupan. Ketidakcocokan telah menjadi kekurangan dari insidens
BPD yang berhasil bertahan dari RDS. Janin yang selamat oleh pengobatan
surfaktan paling sering berkembang menjadi BPD.Beruntungnya tingakat
keparahan dari BPD telah menurun dengan semakin immature dari janin yang
bertahan. Pengobatan surfaktan tampaknya tidak berakibat dengan komplikasi
pada paru terhadap prematuritas, seperti patent ductus arteriosus dan
pendarahan intraventricular.
Surfaktan dievaluasi untuk pengobatan janin yang berisiko RDS segera
setelah lahir, secara umum pada saat resusitasi, atau untuk pengobatan RDS
pada janin 6 sampai 24 jam setelah lahir. Pada praktek klinis, pengobatan
surfaktan ditunda sampai ada tanda awal dari RDS. Kebanyakan penelitian
percobaan menunjukkan gejala terhadap waktu pengobatan tidak merubah
hasil BPD dan pendarahan intraventricular. Penggunaan awal pada pengobatan
surfaktan mengizinkan janin preterm untuk menginisiasi ventilasi tanpa
intubasi atau tekanan ventilasi positif. Pada sejumlah penelitian, pendekatan
ini telah menurunkan kebutuhan akan surfaktan dan ventilasi mekanik ketika
mencapai equivalen atau hasil luaran yang lebih baik.
Janin dengan defisiensi surfaktan primer seharusnya berespons baik
terhadap surfaktan. Alasan untuk respons yang jelek termasuk kerusakan
untuk paru preterm dengan inflamasi atau kerusakan ventilasi sebelum
pengobatan surfaktan, hipoplasia pulmo yang tak dikenal, atau struktur paru
yang sangat tidak matur. Pengobatan antenatal kortikosteroid sebelum
kehamilan preterm nampkanya bekerja secara sinergis dengan surfaktan untuk
meningkatkan

luaran

janin

dengan

meningkatkan

fungsi

respirasi,

menurunkan pneumothoraks, pendarahan intraventrikuler, menurunkan angka

21

RDS, menurunkan angka kematian neonatus.12 Interaksi yang menguntungkan


secara multiple antara kortikosteroid antenatal dan pengobatan surfaktan
postnatal dapat dilihat pada model percobaan. Paparan kortikosteroid
meningkatkan surfaktan endogenous lebih resisten terhadap inhibisi protein
dan mediator inflamasi. Kortikosteroid yang diinduksi meningkatkan volume
ruang udara dan menurunkan permiabilitas dari epithelium jalan nafas
menurunkan dosis dari eksogen surfaktan yang diperlukan untuk meningkakan
funsgi paru dan inaktivasi penurunan surfaktan. Efek lain dari kortikosteroid
pada klearens cairan dan inflamasi juga berkontribusi terhadap respons klinis.
Aviabilitas dari pengobatan surfaktan adalah alasan untuk menahan
kortikosteroid antenatal pada wanita dengan risiko untuk persalinan preterm.

Gambar 7. Hasil dari meta-analisis dari delapan RCT dari surfaktan untuk pengobatan
dari sindroma RDS.
Dikutip dari Jobe1

E. Maturasi Paru yang diinduksi dan Hasil Luaran Paru


1. Kortikosteroid
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1972 yang menunjukkan
bahwa pemberian single dari kortikosteroid antenatal dapat meningktakan
maturasi fetus sebelum kelahiran preterm dan menurunkan angka RDS,
pendarahan

intrakranial,

dan

kematian

neonatal.

Pengobatan

ini

22

berdampak terhadap penurunan moralitas neonatus, sedikit kelainan


neurologis, dan komplikasi abdomen. Penggunaan dari steroid antenatal
paling efektif untuk menurunkan insidens RDS yang melahirkan setelah
24 jam pemberian dan sampai 7 hari setelah pemberian pada dosis kedua
kortikosteroid antenatal. Dosis pengulangan kortikosteroid menurunkan
RDS pada neonatus. Walaupun bayi yang terekspose kortikosteroid
menunjukkan penurunan pada beberapa pengukuran pertumbuhan.
Walaupun setelah dilakukan follow-up ke depannya tidak terlihat
perbedaan pada berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala. Sebuah
dosis single kortikosteroid antenatal yang diberikan pada usia gestasi 33
minggu dapat meningkatkan luaran neonatus dan telah dibuktikan tidak
ada risiko jangka pendek. Ada dua regimen kotikosteroid yang bias
digunaka yaitu 12 mg betametason yang diberikan intramuskuler selama
24 jam dan 4 kali dosis terbagi (6mg) dari dexametason yang diberikan
secara intramuscular selama 12 jam .12,13,14
Uji klinis dan hasil dari model pada tikus telah menjelaskan kortisol
endogen secara absolute diperlukan untuk perkembangan paru normal.
Transfer dari usia mid gestasi fetus differensiasi dan perkembangan sel
tipe II yang matur dan surfaktan dan absen dari glukokortikoid. Janin yang
lahir aterm tanpa fungsi dari hipotalamus-pituitary mempunyai paru yang
normal, yang mengindikasikan paru fetus dapat berkembang tanpa
produksi dari cortisol.16 Bagaimanapun, beberapa kortisol melewati
plasenta ke fetus, seperti dijelaskan pada hewan percobaan. Kerusakan
dari gen Corticotropin Releasing Hormone (CRH) berakibat tikus dewasa
dengan kadar plasma CRH yang rendah, dan mereka memerlukan
suplementasi kortikosterone untuk tetap berproduksi. Suplememtasi CRH
mencegah

perlambatan

perkembangan

dari

fetus

CRH

karena

glukokortikoid bocor ke fetus.Kadar rendah dari glukokortikoid fetus


cukup untuk membantu dari maturasi paru.1,15
Beberapa efek dari antenatal kortikosteroid termasuk perubahan pada
struktur paru dan peningkatan sintesa dari surfaktan (Tabel 2). Perubahan

23

ini meningkatkan fungsi paru setelah kelahiran preterm dan efek dari
pengobatan surfaktan terhadap maturasi dari paru. Pengobatan ibu dengan
kortikosteroid merubah funsgi paru dari fetus domba dalam 24 jam, tetapi
surfaktan tidak meningkat selama beberapa hari. Secara klinis, efek nya
adalah penurunan dari RDS dan kematian bayi, tetapi tidak ada penurunan
BPD, diasumsikan karena peningkatan keberhasilan dari bayi pada risiko
tinggi

BPD.17

Bagaimanapun

pengobatan

antenatal

kortikosteroid

menurunkan septa dari alveoli pada fetus domba dan primate, dan
pengobatan kortikosteroid postnatal dan perkembangan mikrovaskular
paru setelah lahir. Perubahan ini sama dengan perkembangan paru dengan
BPD. Pada fetus domba, efek samping dari maternal kortikosteroid
terbalik dengan perkembangan fetus kedepannya, tetapi pemanjangan dan
dosis tinggi dari paparan fetus mempengaruhi luaran.1
Tabel 2. Akibat dari antenatal kortikosteroid pada paru fetus
Anatomi dan Biochemistry

Penebalan dari mesenkim struktur alveoli-kapiler


Peningkatan sakular dan volume gas alveoli
Penurunan septa dari alveoli
Peningkatan enzim antioxidant
Peningkatan surfaktan

Fisiologi
Peningkatan komplayens
Perbaikan pertukaran gas
Penurunan permiabilitas epithelial
Proteksi terhadap paru premature dari kerusakan selama resusitasi
Interaksi dengan surfaktan endogen

Klinis

Peningkatan terhadap respon pengobatan surfaktan


Peningkatan terhadap kurva respon dosis surfaktan
Penurunan dari inaktivasi surfaktan

Penurunan insidens dari RDS


Tidak ada akibat dari insidens BPD
Penurunan mortalitas
Dikutip Dari Jobe1

2. Chorioamninitis dan Inflamasi Fetus

24

Hubungan utama antara kehamilan preterm dan persalinan adalah


chorioamnionitis, yang mana sering diam dan muncul hanya secara
histopatologi dari membran fetus. Sekitar 50% dari bayi preterm dengan
usia gestasi saat kelahiran kurang dari 30 minggu terekspose untuk
chorioamnionitis. Anak ini sering tidak mengalami RDS, tetapi mereka
mengalami risiko untuk BPD. Korelasi klinis dengan choriomamnionitis
secara histologi karena paparan dari inflamasi dikarenakan pathogen dapat
menyebabkan kerusakan pada paru, yang mana paparan terhadap pathogen
seperti Ureaplasma da Mycoplasma dapat mebuat paru matur dan
menurunkan RDS. Pada model domba, kolonisasi kronis dari cairan
ketuban dengan Ureaplsama menginduksi maturasi paru tanpa efek fetus
lainnya. Maturasi paru memerlukan kontak dari agonis proinflamasi dan
rekrutmen dari sel inflamasi terhadap paru fetus. Sitokin poten
proinflamasi Interleukin-1 adalah mediator utama dari maturasi paru yang
diinduksi oleh Escheria Coli lipoplisakarida. Respons maturasi dari
inflamasi intra amniotik lebih konsisten dan besar sebagai respons
terhadap kortikosteroid ibu. Pada praktik klinis, fetus yang terpapar
choriomanionitis pada kelahiran preterm teopapar terhadap kortikosteroid
antenatal. Efek dari dua paparan pada volume gas paru fetus, surfaktan,
dan pertahanan host dari protein SP-D dari domba fetus yang berinteraksi
terhadap peningkatan dari fungsi paru. (Gambar 8)

Gambar 8. Paparan fetus dari Intra-amniotic lipopolisakarida (LPS) dan maternal


betametason (Beta).

25

Dikutip dari Jobe1

IV. Ringkasan
Perkembangan paru janin adalah suatu waktu dimana terjadi suatu transisi
untuk bernafas udara pada saat aterm. Dimana paru merupakan organ utama
dari sistem respirasi. Sel alveolar tipe II yang disintesa di reticulum
endoplasma, dimodifikasi di aparatus golgi kemudian disimpan di lamellar
bodies akan menghasilkan surfaktan pulmoner yang terdistribusi ke lapisan
cairan permukaan dari distal epitel paru yang berfungsi untuk mengurangi
tegangan pada permukaan dan menjaga struktur integritas dari alveoli agar
tidak collapse sehingga bayi baru lahir dapat bernafas dengan upaya yang
minimal.1,2,3 Ada beberapa proses yang dapat mengakselerasi dari produksi
surfaktan

seperti

pemberian

kortikosteroid

antenatal,

infeksi,

dan

chorioamionitis. Hasil utama dari kelahiran preterm adalah Respiratory


Distress Syndrome (RDS) dan Broncho Pulmonary Dysplasia (BPD). Dengan
manajemen obstetrik dan neonatal terbaru, angka keberlangsungan hidup dari
bayi-bayi dengan kelahiran preterm dapat lebih baik.

RUJUKAN
1.

Jobe AH, Rayne BD. Fetal Lung Development and Surfactant in Creasy & Resniks

2.

Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. Elsevier 2014; 175-186.
Tavana H, Huh D, Grotberg JB, Microfluidics, Lung Surfactant, and Respiratory

3.

Disorders. Labmedicine. 2009,40:4; 203-9.


Halliday HL, Surfactants: past, present and future. Journal of Perinatology. Nature

4.

Publishing Group. 2008. 47-56.


Cunningham, Leveno, Bloom, et al. Preterm Labor in Williams Obstetrics. 24 th edition.

5.

McGrawHill. 1359-71.
Berghella V. Prevention of preterm birth in Obstetrics Evidence Base Guidelines.
Maternal Fetal Medicine. Informa Healthcare. 2007; 116-134.

26

6.

Santano CR, Mielgo V, Gastiasoro E, et al. Effect of Surfactant and Partial Liquid
Ventilation Treatment on Gas Exchange and Lung Mechanics in Immature Lambs :

7.

Influence of Gestational Age. Plosone. February 8(2); 2013. E56127.


Puntorieri V, Hiansen JQ, McCaig LA, et al. The effects of exogenous surfactant
administration on ventilation-induced inflammation in mouse model of lung injury.

8.

BioMed Central. 2013. 13:67.


Uhliavora B, Svec M, Calkovska A. Surfactant and its role in the upper respiratory
system and eusthacian tube. Department of Physiology. Comenius University. Medica

9.

Martiniana. 2012.
Anzueto A. Exogenous surfactant in acute respiratory distress syndrome : more is better.

Eur Respir J 19:2002. 787-9.


10. Akella A, Deshpande SB. Pulmonary surfactants and their role in pathophysiology of
lung disorders. Indian Journal of Experimental Biology Vol.51. January 2013. 5-22.
11. Sosnowski TR, Gradon L, Skoczek M, et al. Experimental Evalution of the Importance of
the Pulmonary Surfactant for Oxygen Transfer Rate in Human Lungs. International
Journal of Occupational Safety and Ergonomics. Vol 4 1998(4).391-409.
12. Obsterics and Midwifery. Antenatal Corticosteroids to reduce neonatal morbidity and
mortality. Perth Western Australia. November 2016.
13. Lawson SJ. Surfactant administration in the neonate. RE Educational Consulting
Services, Inc. www.RCECS.com
14. Brownfoot FC, Crowther CA, Middleton P. Different corticosteroid and regimens for
accelerating fetal lung maturation for women at risk of preterm birth (Review). The
Cochrane collaboration. 2008. Issue 4.
15. Gruyter W. Guideline for the use of antenatal corticosteroids for fetal maturation. J.
Perinat. Med. 36. 2008 191-6.
16. Antenatal Corticosteroids to Reduce Neonatal Morbidity and Mortality. Royal College of
Obstetrics and Gynaecologist. October 2010.
17. Kambawafwile JM, Cousens W, Hasen T, et al. Antenatal steroids in preterm labour for
the prevention deaths due to compilcation of preterm birth. International Journal of
Epidemiology 2010:22-33.
18. George TN, Miakotina OL, Goss KL, et al. Mechanism of all trans-retinoic acid and
glucocorticoid regulation of surfactant protein mRNA. American Journal of Physiology
Lung Cellular and Molecular Physiology. 1998.
19. Verbrugge SJC, Bohm SH, Gommers D. Surfactant impairment after mechanical
ventilation with large alveolar surface area changes effects of positive end-expiratory
pressure. British Journal of Anaesthesia 1998;80:360-4.
20. Hillman N, Suhas G, Jobe A. Physiology of Transition from intrauterine to extrauterine
life. Clin Perinatol. December. 2012;39(4) 769-783.
Heil M, Hazel Al, Smith JA. The mechanics of airway closure. Elsevier

21.

2008;214-221.

Anda mungkin juga menyukai