I. Pendahuluan
Perkembangan paru janin adalah suatu waktu dimana terjadi suatu transisi untuk
bernafas udara pada saat aterm.1 Paru merupakan organ utama dari sistem
respirasi dan terdapat percabangan jalan nafas yang menjadi lebih pendek, lebar,
dan berpenetrasi ke dalam paru. Struktur trakeobronkial terdiri dari tiga tipe utama
jalan nafas yaitu kartilago bronkiolus, membranous cartilage, dan bronkiolus
respiratorius.2 Jalan nafas atas dan bronkiolus terminalis sebagai tempat jalannya
gas, dimana bronkiolus respiratorius dan ductus alveoli sebagai tempat konduksi
dan pertukaran gas.2 Dikarenakan ukuran yang kecil dan compliance yang tinggi,
distal dari jalan nafas sangat mudah menjadi tidak stabil dan mudah menutup pada
volume paru.2
Untuk mencegah struktur paru dari collapse (atelektasis), sel alveolar epitel
akan mensekresi surfaktan pulmoner yang terdistribusi ke lapisan cairan
permukaan dari distal epitel paru. Surfaktan fungsional akan mengurangi tegangan
permukaan dan menjaga patensi dari jalan nafas dan volume alveoli paru. 2
Perkembangan
organ
kompleks
dapat
diinterupsi
atau
terganggu
oleh
segmen jalan nafas dan posisi lobar. Perkembangan jalan nafas sejajar dengan
sel kuboid simpleks yang berisi jumlah besar dari glikogen. Sel epitel
berdiferensiasi secara sentrifugal, maka distal tubulus sejajar dengan sel yang
tidak berdifferensiasi dengan progresifitas yang berbeda dari proximal sampai
distal dari jalan nafas.
Arteri pulmonalis berkembang menjadi konjungsi dari jalan nafas dan
prinsip dari arteri nampak pada usia gestasi 14 minggu. Mikrovaskular dari
paru berkembang mesenkim sekitar jalan nafas yang berkembang dengan
proses angiogenesis dan vaskulogenesis. Proses ini berada di bawah kontrol
faktor seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Vena pulmonalis
berkembang secara pararel dengan angiogenesis dan vaskulogenesis, tetapi
dengan pola demarkasi yang berbeda pada segmen dan subsegmen dari paru.
Pada akhir fase pseudoglandular, jalan nafas, arteri, dan vena berkembang
sesuai pola yang ditemukan pada dewasa. Diafragma membelah dari dada
sampai ke abdomen selama fase perkembangan paru ini, dan kegagalan dari
penutupan diafragma berakibat pada hernia diafragmatika dan hipoplasia
paru.18
C. Fase Kanalicular (16 sampai 26 minggu setelah konsepsi)1
paru
yang
viable
yang
dapat
melakukan
pertukaran
gas
Abnormalitas
perkembangan
Embryonik
(Minggu)
3-7
Pseudo-
5-17
glandular
Fistula
trakea, bronkus
trakeoesofagus,
lobaris dan
gen HOX
agenesis paru,
segmental
Bronkus
TTF-1,
kerusakan lobus
Sekuestrasi,
subsegmental,
FGFs,FOXa1/a2,TGF-
malformasi
bronkus terminal,
, VEGF
adenomatoid
kelenjar mukus,
kistik,
otot polos,
limfangiektasis,
kartilago, pembuluh
hernia diafragma
kongenital
diferensiasi epitel,
Kanalikular
16-26
formasi diafragma
Bronkiolus
Glukokortikoid, VEGF
Hipoplasi
paru,
respiratori, sakul
kapiler-alveolus
asinar, penebalan
dysplasia
Sakular
26-36
2
Pembagian dari
Glukokortikoid, VEGF
Hipoplasia
sakul asinar,
hipertensi
ekspansi
pulmonum
paru,
mikrovaskular,
peningkatan pada
area permukaan
Alveolar
32
sampai
dewasa
pertukaran gas
Septa dari alveoli,
Elastin, glukokortikoid,
ABCA3,
tipe 2, surfaktan
inflamasi
defisiensi
trasporter,
hipertensi
pulmonum
kuboid menjadi sel tebal dengan tabung yang luas. Tabung tumbuh baik dari
segi panjang dan lebar dengan atuneasi ke mesenkim, yang mana bervaskular
secara simultan. Setelah usia gestasi 20 minggu pada fetus manusia, sel tipe 2
yang imatur berisi glikogen mulai mempunyai tubuh lamellar pada sitoplasma,
yang mengindikasi produksi surfaktan.1
D. Fase Sakular (Minggu 24 sampai 36 setelah konsepsi)1
Fase sakular adalah periode perkembangan paru ketika fetus preterm
berpotensial viable untuk dilahirkan. Sakus adalah elemen struktur terminal
dari paru janin, yang mana terbagi atau bersepta melalui tiga generasi dengan
formasi dari bronkiolus respirasi, dan tiga generasi kedepannya membentuk
ductus alveolus sebelum berinisiasi dengan septa sekunder dari sakus menjadi
alveoli. Selama fase sakular ini perkembangan paru, jumlah jarak paru
meningkat sekitar 65.000 pada 18 minggu menjadi 4 juta pada 32 sampai 36
minggu usia gestasi (Gambar 2). Microvaskular paru terus meningkat, sama
hal nya pertukaran gas pada permukaan paru. Paru janin sangat sensitif
terhadap pengobatan glukokortikoid ibu dan dapat merespon dengan
peningkatan sintesis surfaktan dan atenuasi mesenkim. Paru juga sensitif
dengan perkembangan dari hypoplasia paru. Septa sakus dan vaskularisasi
berhubungan dengan fase kritis dari perkembangan paru yang mana dapat
dipengaruhi oleh abnormalitas kehamilan dan dapat mempengaruhi fungsi
paru pada kelahiran preterm.1
Gambar 2. Percabangan jalan nafas, usia fetus, dan struktur distal selama
perkembangan paru.
Dikutip dari Jobe1
E. Fase Alveolar1
Alveolarisasi dimulai pada 32 sampai 36 minggu dari sakus terminal dengan
munculnya septa yang berisi kapiler, fiber elastin, dan fiber kolagen. Alveoli
baru secara cepat bersepta untuk menghasilkan 100 juta alveoli pada saat
aterm dan sekitar 500 juta alveoli pada manusia dewasa. Kecepatan
pembentukan alveoli maksimal pada usia gestasi 36 minggu dan beberapa
bulan setelah kelahiran, dan terus meningkat secara perlahan saat masa kanakkanak. Konsep penting bahwa perkembangan alveoli dimulai pada fase akhir
perkembangan fetus dan terus berkembang sampai setelah pelahiran pada
manusia. Proses septasi dari alveoli memerlukan fiber elastin untuk tunas dari
membrane respirasi kapiler-alveoli distal dengan jaringan double kapiler untuk
membentuk septa baru. Doubel kapiler kemudian menjadi kapiler tunggal
dengan pengurangan dari mesenkim untuk membentuk membrane kapiler
alveoli yang baru dan tebal. Proses ini memerlukan elastin, kolagen, dan
regulasi ekstraseluler matrix dengan Fibroblast Growth Factor dan reseptor
dan faktor transkripsi seperti FOXA2, TTF1, dan GATA6. Perkembangan paru
dari elemen regulasi yang sangat penting untuk perkembangan paru secara
embryonik dan kanalikuler juga penting selama perkembangan paru terminal.
Dengan septasi alveoli, walaupun dengan cara dan lokasi yang berbeda.
Sistem surfaktan sangat matur pada gestasi akhir karena kecukupan
surfaktan sangat penting untuk keberlangsungan hidup bayi baru lahir.
Maturasi surfaktan sempurna pada sakular paru, seperti alveolarisasi yang
muncul setelah kelahiran. Pada model tikus, baik kedua ibu dan fetus sama
berkontribusi untuk sinkronisasi dengan maturasi paru pada saat kelahiran
aterm. Abnormalitas kelainan genetik dari surfaktan dapat bermanifestasi
sebagai RDS setelah kelahiran aterm dikarenakan adaptasi respirasi yang
jelek. Hal ini termasuk abnormalitas pada protein surfaktan (SPs) SP-B dan
SP-C dan transporter intraseluler ABCA3 yang integral dengan simpanan
surfaktan pada tubuh lamellar.1,9 Tidak ada informasi pada manusia mengenai
variabilitas dari waktu individu untuk fase perkembangan paru pada populasi.
10
asam
lemak
mengalami
esterifikasi
menjadi
backbone
11
terekspresi dan sel klara di dalam usia gestasi akhir dan paru yang matur. SPA berhubungan dengan surfaktan dan dibutuhkan untuk pembentukan myelin
tubular. SP-A dapat berkontribusi terhadap fungsi biofisik dari surfaktan
primer dengan membuat surfaktan lebih sedikit sensitif menjadi inaktivasi
dengan edema cairan dan produk inflamasi pada paru yang terluka.Tikus-tikus
yang kekurangan SP-A mempunyai fungsi normal surfaktan dan metabolisme,
jika tidak paru yang terluka.1,10
Fungsi SP-A secara primer pada host protein yang berikatan dengan
karbohidrat dan berinteraksi dengan sel imun di dalam paru. SP-A berikatan
dengan endotoxin, suatu gram positif spectrum luas dan organisme gram
negatif, fungi, dan organisme lainnya seperti mycobacteria dan Pneumocystis
carinii. SP-A mempromosikan fagositosis dan membunuh mikroorganisme
dengan makrofag alveolar, SP-A juga berinteraksi sebagai opsonin untuk
memfagositosis virus, seperti herpes simpleks, influenza A, dan virus
pernafasan sinsitial. Tikus dengan kekurangan SP-A lebih efektif untuk
membersihkan dan membunuh bakteri dan virus, dan infeksi lebih sering
menjadi sitemik. Kerusakan pada pertahanan host dapat dikoreksi dengan
mengobati kekurangan SP-A tikus dengan SP-A. Polimorfisme genetik pada
SP-A telah berhubungan dengan peningkatan dengan risiko RDS. Bayi baru
lahir dengan ratio SP-A yang rendah terhadap fosfolipid surfaktan mengalami
peningkatan risiko untuk kematian dan dysplasia bronkopulmoner. Level SP-A
juga randah pada model baboon preterm dari BPD, pada bayi dengan virus
pneumonia pernafasan sinsitial, dan pasien dengan RDS akut.1,10
Struktur dan fungsi SP-D juga sama dengan SP-A, tetapi ada beberapa
perbedaan. Monomer 43-kDa dari bentuk SP-D membentuk tetramer yang
berhubungan 560-kDa multimer. SP-D yang secara minimal berhubungan
dengan lemak surfaktan, diekspresi di paru oleh sel tipe II, sel Klara, dan sel
dan kelenjar pernafasan lainnya. Ekspresi pada paru meningkat pada usia
gestasi akhir, dan glukokortikoid, dan inflamasi dapat meningkatkan
ekspresinya. Pertahanan dari host yang berikatan dengan bakteria dan fungi,
dan mengagregasi virus dengan spesifisitas yang mengalami overlapping
12
13
B. Metabolisme surfaktan
Sel tipe II dan makrofag adalah sel yang bertanggung jawab untuk jalur utama
yang berikatan dengan metabolism surfaktan (Gambar 4). Jalur sintesa dan
sekresi dari sel tipe II adalah sequensi kompleks dari kejadian biokimia yang
berasal dari eksositosis dari lamellar bodies (berisi lemak surfaktan, SP-B, dan
SP-C) terhadap alveolus.2,8 Enzim spesifik dalam retikulum endoplasma dari
sel tipe II yang menggunakan glukosa, fosfat, dan asam lemak sebagai substrat
untuk sintesa fosfolipid. Fosfolipid utama dalam surfaktan disintesis oleh sel
tipe II sebagai molekul 2-acyl surfaktan yang tak tersaturasi, yang mana
permukaannya aktif minimal. Fosfatidilkolin kemudian diremodeling untuk
mendapatkan fosfatidilkolin dengan asam palmitik di dalam posisi 1-acyl dan
2-acyl. Sebagai fosfatidilkolin yang tersaturasi. Lemak ini pada permukaan
14
sangat aktif tetapi sangat solid pada suhu temperature tubuh. Fosfolipid
lainnya, seperti fosfatidilinositol dan fosfatidilgliserol, dan protein surfaktan
memfasilitasi permukaan protein adsorbsi dari fosfatidilkoline yang tersaturasi
dan fungsi surfaktan. Sekali sel tipe II telah cukup matur untuk memiliki
penyimpanan, sekresi dapat terstimulasi dari sel tipe II dengan
agonis,
oleh purin seperti adenosine trifosfat, dan oleh stimulasi mekanis, seperti
distensi paru dan hiperventilasi. Sekresi surfaktan muncul dengan inisiasi dari
ventilasi setelah melahirkan mungkin untuk dikombinasikan dengan efek dari
peningkatan katekolamin, purin dan ekspansi paru.1,8
Setelah Avery dan Mead mengobservasi bahwa ekstrak dari salin terhadap
paru bayi dengan RDS mempunyai tekanan minimal permukaan, penurunan
alveolar
dan
jaringan
surfaktan
didokumentasikan
pada
hewan
15
periode untuk dapat diperbandingkan dengan nilai normal dari bayi yang
diterapi dengan surfaktan. Peningkatan secara rendah dari ukuran depo
menjelaskan mengapa RDS tanpa komplikasi bertahan 3 sampai 5 hari.
Pengukuran dari sekresi surfaktan kinetik dan klearens dari bayi baru lahir
menjelaskan peningkatan secara pelan dari ukuran depo pada bayi premature.5
Lemak yang berhubungan dengan protein surfaktan B (SP-B) dan SP-C (Arah
panah merah) yang dapat dilacak dengan sintesis lemak untuk sekresi dari
lamellar bodies. SP-A disekresi dan dikombinasikan dengan tubular myelin
dengan SP-B, SP-C, dan lemak.Permukaan film menunjukkan monolayer dari
lemak dengan SP-B. Fase hipo dari lemak bilayer dapat menjadi reservoir dari
surfaktan yang mana dapat menambah ke monolayer. SP-B dan SP-C
meninggalkan monolayer tanpa lemak dan dikatabolisme dengan makrofag.
Lemak meninggalkan monolayer sebagai kendaraan dan baik dikatabolisme atau
diolah kembali menjadi sel tipe II. Walaupun inkorporasi dari prekursor menjadi
fosfatidilkolin paru sangat cepat, ada keterlambatan lama antara sintesis dan
pergerakan dari komponen surfaktan pada badan lamellar untuk sekresi. Waktu
puncak untuk sekresi lemak surfaktan yang berlabel karbon 13 (dari C-glukosa)
16
sekitar 70 jam pada bayi dengan RDS (Gambar 5.A). Peningkatan secara lambat
pada depo surfaktan alveoli dengan sintesis de novo seimbang dengan
katabolisme pelan dan clearance. Fosfolipid surfaktan yang dimasukkan pada
ruang udara dari lembu aterm dibersihkan dari paru dengan waktu paruh sekitar 6
hari. Waktu paruh biologis dari lemak surfaktan pada bayi dengan RDS sekitar 35
jam (gambar 5.B). Paru preterm memerlukan beberapa hari untuk mencapai
ukuran depo normal surfaktan dan metabolisme.1
Surfaktan tidak tinggal statis dalam ruang udara. Fosfolipid surfaktan bergerak
dari ruang udara menjadi sel tipe II oleh endositosis menjadi badan multivesikuler.
(Gambar 5.D). Pada hamil cukup bulan dan paru preterm, sekitar 90% dari
fosfolipid didaur ulang kembali dari badan lamellar untuk di sekresi ulang ke
ruang udara. Pada paru dewasa, proses ini 25% efisien. Fosfolipid didaur ulang
sebagai molekul yang intak tanpa degradasi dan sintesis ulang. Pada paru dewasa,
makrofag mengkatabolisme sekitar 50% dari surfaktan. Ada beberapa makrofag
pada paru preterm, tetapi jumlah makrofag meningkat dengan usia postnatal,
inflamasi, dan kerusakan. Dinamika dari metabolism surfaktan berkomplikasi ke
depan dengan transisi dari kumpulan agregasi dari jarak alveoli. Transisi surfaktan
dari fosfatidilkolin dari sekresi oleh badan lamellar kearah depo myelin tubular,
yang merupakan reservoir dari fase hipo dimana permukaan dari film tetap
terjaga. Kandidat dari SP-A pada transisi ini. Area kompresi dari permukaan film
diduga mengalami konsentrasi pada fosfatidilkoline dengan peremasan dari lemak
dan protein surfaktan. Surfaktan baru diabsorbsi ke permukaan film dan
digunakan sebagai kendaraan kecil, yang mana dibersihkan dari ruang udara.1
17
Gambar 5. Pengukuran dari metabolisme surfaktan pada bayi preterm dengan RDS
menggunakan isotope yang stabil.
Dikutip dari Jobe1
18
menurunkan
tegangan
permukaan
pada
paru
premature,
19
20
luaran
janin
dengan
meningkatkan
fungsi
respirasi,
21
Gambar 7. Hasil dari meta-analisis dari delapan RCT dari surfaktan untuk pengobatan
dari sindroma RDS.
Dikutip dari Jobe1
intrakranial,
dan
kematian
neonatal.
Pengobatan
ini
22
perlambatan
perkembangan
dari
fetus
CRH
karena
23
ini meningkatkan fungsi paru setelah kelahiran preterm dan efek dari
pengobatan surfaktan terhadap maturasi dari paru. Pengobatan ibu dengan
kortikosteroid merubah funsgi paru dari fetus domba dalam 24 jam, tetapi
surfaktan tidak meningkat selama beberapa hari. Secara klinis, efek nya
adalah penurunan dari RDS dan kematian bayi, tetapi tidak ada penurunan
BPD, diasumsikan karena peningkatan keberhasilan dari bayi pada risiko
tinggi
BPD.17
Bagaimanapun
pengobatan
antenatal
kortikosteroid
menurunkan septa dari alveoli pada fetus domba dan primate, dan
pengobatan kortikosteroid postnatal dan perkembangan mikrovaskular
paru setelah lahir. Perubahan ini sama dengan perkembangan paru dengan
BPD. Pada fetus domba, efek samping dari maternal kortikosteroid
terbalik dengan perkembangan fetus kedepannya, tetapi pemanjangan dan
dosis tinggi dari paparan fetus mempengaruhi luaran.1
Tabel 2. Akibat dari antenatal kortikosteroid pada paru fetus
Anatomi dan Biochemistry
Fisiologi
Peningkatan komplayens
Perbaikan pertukaran gas
Penurunan permiabilitas epithelial
Proteksi terhadap paru premature dari kerusakan selama resusitasi
Interaksi dengan surfaktan endogen
Klinis
24
25
IV. Ringkasan
Perkembangan paru janin adalah suatu waktu dimana terjadi suatu transisi
untuk bernafas udara pada saat aterm. Dimana paru merupakan organ utama
dari sistem respirasi. Sel alveolar tipe II yang disintesa di reticulum
endoplasma, dimodifikasi di aparatus golgi kemudian disimpan di lamellar
bodies akan menghasilkan surfaktan pulmoner yang terdistribusi ke lapisan
cairan permukaan dari distal epitel paru yang berfungsi untuk mengurangi
tegangan pada permukaan dan menjaga struktur integritas dari alveoli agar
tidak collapse sehingga bayi baru lahir dapat bernafas dengan upaya yang
minimal.1,2,3 Ada beberapa proses yang dapat mengakselerasi dari produksi
surfaktan
seperti
pemberian
kortikosteroid
antenatal,
infeksi,
dan
RUJUKAN
1.
Jobe AH, Rayne BD. Fetal Lung Development and Surfactant in Creasy & Resniks
2.
Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. Elsevier 2014; 175-186.
Tavana H, Huh D, Grotberg JB, Microfluidics, Lung Surfactant, and Respiratory
3.
4.
5.
McGrawHill. 1359-71.
Berghella V. Prevention of preterm birth in Obstetrics Evidence Base Guidelines.
Maternal Fetal Medicine. Informa Healthcare. 2007; 116-134.
26
6.
Santano CR, Mielgo V, Gastiasoro E, et al. Effect of Surfactant and Partial Liquid
Ventilation Treatment on Gas Exchange and Lung Mechanics in Immature Lambs :
7.
8.
9.
Martiniana. 2012.
Anzueto A. Exogenous surfactant in acute respiratory distress syndrome : more is better.
21.
2008;214-221.