PENDAHULUAN
Menurut buku Sinopsis Psikiatri, gangguan depresi merupakan bagian dari
gangguan mood. Sedangkan menurut Sinopsis Psikitari, mood adalah keadaan
emosional internal yang meresap dari seseorang. Emosi adalah kompleksitas
perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan
afek dan mood.2 Menurut Buku Ajar Psikiatri, mood adalah subjektivitas
peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh
orang lain, termasuk depresi, elasi dan marah.3 Afek adalah ekspresi eksternal dari
isi emosional saat itu.2
Dua gangguan mood, yaitu gangguan depresi berat dan gangguan bipolar I
yang sering disebut dengan gangguan afektif. Depresi merupakan satu masa
terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih
dan gejala penyerta.2
Pasien depresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir untuk mati dan
bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif (termasuk tidur, aktivitas seksual
dan ritme biologi yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan. Neurotransmitter yang mungkin
berkurang pada gangguan depresi adalah norepineprin, dopamin, dan serotonin.3
Gangguan depresi paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15%. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini
diduga adanya perbedaan hormon. Rata-rata usia penderita sekitar 40 tahun. Data
terkini menunjukkan, gangguan depress berat diusia kurang dari 20 tahun, yang
mungkin
berhubungan
dengan
meningkatnya
pengguna
alkohol
dan
penyalahgunaan zat.3
Pengobatan yang diberikan adalah terapi farmakologis, yaitu obat
antidepresan, seperti obat trisiklik, tetrasiklik, Monoamine oxidase inhibitors
(MAOIs) atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs), perawatan di
1
rumah sakit, dan terapi psikososial, termasuk terapi kognitif, terapi interpersonal,
terapi keluarga, terapi perilaku, dan terapi berorientasi psikoanalitis. 2 Gangguan
depresi cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh.3
Gangguan depresi merupakan gangguan yang banyak kita jumpai dalam
praktik sehari-hari dan dapat mengenai semua usia. Sehingga penulis ingin
membahas lebih lanjut mengenai gangguan ini.
BAB II
STATUS PASIEN
I.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
IDENTIFIKASI PASIEN
Nama
: Tn. C
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 51 tahun
Status perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Tingkat pendidikan
: Tamat STM
Warga negara
: Indonesia
Alamat
: Siring agung, IB I, Palembang
II. ANAMNESIS
A. ALLOANAMNESIS
Diperoleh dari
Jenis kelamin
Umur
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Hubungan dengan pasien
: Ny. A
: Perempuan
: 48 tahun
: Siring agung, IB I, Palembang
: Tamat SMA
: PRT
: Istri OS
a. Sebab utama
: Os kesal dengan penyakit yang diderita
b. Keluhan utama
: sesak nafas
c. Riwayat perjalanan penyakit
Sejak 2 tahun yang lalu os mengeluh batuk berdahak yang tidak
kunjung sembuh, os berobat ke rumah sakit dan setelah dilakukan
beberapa pemeriksaan os dikatakan sakit TB paru. Os mengkonsumsi
obat selama 1 tahun 2 bulan secara teratur. Os datang ke rumah sakit
untuk kontrol ulang dan disuruh untuk melakukan kultur dahak, sambil
menunggu hasil, obat os dihentikan sementara. Namun, sampai sekarang
hasil kultur belum ada sehingga os merasa kesal.
Sejak 1 minggu SMRS os mengeluh sesak dan berobat ke IGD
RSMH. Setelah dilakukan pemeriksaan os dikatakan menderita MDR TB
paru.Os merasa tertekan karena didiagnosa MDR TB paru dan harus
minum obat dalam jangka panjang.Os merasa kesal karena tidak ada
keluarga os yang peduli dengan os yang sakit.Os merasa sedih karena
tidak bisa merawat ibu os yang sedang sakit dikampung, os juga merasa
3
e. Riwayat premorbid
- Lahir
: lahir spontan, langsung menangis
- Bayi
: tumbuh kembang baik
- Anak-anak : ramah, sosialisasi baik
- Remaja
: ramah, sosialisasi baik
- Dewasa
: ramah, sosialisasi baik
f. Riwayat perkembangan organobiologi
- Riwayat kejang (-)
- Riwayat demam tinggi yang lama (-)
- Riwayat trauma kepala (-)
- Riwayat asma (-)
- Riwayat sakit ginjal (-)
g. Riwayat merokok, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang
-
h. Riwayat pendidikan
Pasien tamat STM.
i. Riwayat pekerjaan
Pasien adalah tukang ojek
j. Riwayat perkawinan
Pasien sudah menikah selama 20 tahun.
k. Keadaan sosial ekonomi
Pasien tinggal bersama keluarga dengan keadaan sosial ekonomi
menengah ke bawah.
4
l. Riwayat keluarga
- Riwayat keluarga dengan gangguan kejiwaan disangkal
- Pedigree:
Pasien
( Pada observasi awal terlihat
pasien tampak sesak dan
tertekan)
Pagi
(Pasien menatap mata
pemeriksa dan menjabat
tangan pemeriksa kemudian os
menghadap ke bawah seperti
menahan sakit)
yo (pasien mengangguk)
cek mat
50
Pakjo
Rabu
Rumah sakit
Istri
Intrepretasi
(Psikologi)
Compos mentis terganggu
Hipotimik
Perhatian ada
Kooperatif
Kontak fisik ada
Kontak mata ada
Kontak verbal ada
Ani
Sesak dari tadi
Seminggu ini
Taun 2013 pertamo kali sesek
itu.
(Pasien diam sejenak, seperti
menahan sakit karena sesak)
Dak katek
Ojek
pak ?
(Pasien diam)
Yo
Iyo masih.
Pernah kadang-kadang tu
dak pernah
io dok baru seminggu ini lah
tepikir, kesal dak sembuhsembuh sesek ini
Katek
Katek
Dak pernah
Idak
Iyo, masih
Yo makasih dek yo
III.PEMERIKSAAN
A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
Sensorium
: Compos mentis
Frekuensi nadi : 101 x/menit
Tekanan darah : 170/80 mmHg
Suhu
Frekuensi napas
: 37,10C
: 33 x/menit
B. STATUS NEUROLOGIKUS
1)
2)
3)
4)
Lengan
Kanan
Kiri
Luas
luas
5
5
Eutoni
eutoni
+
+
Tungkai
Kanan
Kiri
luas
luas
5
5
eutoni
eutoni
+
+
-
6) Sensibilitas
: normal
7) Susunan syaraf vegetatif: tidak ada kelainan
8) Fungsi luhur
: tidak ada kelainan
9) Kelainan khusus
: tidak ada
C. STATUS PSIKIATRIKUS
KEADAAN UMUM
a. Sensorium
: Compos Mentis
b. Perhatian
: atensi adekuat
c. Sikap
: kooperatif
d. Inisiatif
: ada
e. Tingkah laku motorik : normoaktif
f. Ekspresi fasial
: wajar
g. Verbalisasi
: baik
h. Cara bicara
: lancar
i. Kontak psikis
Kontak fisik
: ada, adekuat
Kontak mata
: ada, adekuat
Kontak verbal
: ada, adekuat
KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)
a. Keadaan afektif
Afek
: tampak sedih
Mood
: hipotimik
b. Hidup emosi
Stabilitas
: stabil
Echt-unecht
: echt
Dalam-dangkal
: normal
Skala diferensiasi
: normal
Pengendalian
Einfuhlung
terkendali
Adekuat-Inadekuat
: bisa
dirabarasakan
: adekuat
Arus emosi
: normal
: baik
Daya konsentrasi
: baik
: sesuai
Discriminative judgement
: baik
Discriminative insight
: baik
: baik
: tidak ada
Halusinasi
: tidak ada
: baik
Arus pikiran
- Flight of ideas
- Inkoherensi
Sirkumstansial
Tangensial
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
Isi pikiran
-
Waham
Pola Sentral
Fobia
Konfabulasi
Perasaan inferior
Kecurigaan
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
10
Pemilikan pikiran
-
Obsesi
Aliensi
: tidak ada
: tidak ada
Bentuk pikiran
-
Autistik
Simbolik
Dereistik
Simetrik
Paralogik
Konkritisasi
Overinklusif
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
11
g. Kecemasan
: ada
h. Dekorum
- Kebersihan
- Cara berpakaian
- Sopan santun
: baik
: baik
: baik
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
:
No Pemeriksaan
HEMATOLOGI
1 Hemoglobin
2 Eritrosit
3 Leukosit
4 Hematokrit
5 Trombosit
Hitungjenis
Hasil
Nilai Normal
Interpretasi
12,6
4,94
16,4
38
472
13,2-17,3 g/dl
4,20-4,87 106/mm3
4,5-11,0 103/mm3
43-49 %
150-400 103/L
Menurun
Meningkat
Meningkat
Menurun
Meningkat
Basofil
0-1
Eusinofil
1-6
Neutrofil
83
Limfosit
25-40
2-8
Monosit
KIMIA KLINIK
Menurun
HATI
7
AST/SGOT
38
0-38 UL
ALT/SGPT
20
0-41 UL
METABOLISME KARBOHIDRAT
9
GDS
224
<200 mg/dl
Meningkat
12
GINJAL
10
Ureum
39
16,6-48,5 mg/dl
11
Kreatinin
1,0
0,7-1,2 mg/dl
ELEKTROLIT
12
Calsium
9,1
13
Natrium
139
135-155 meq/l
14
Kalium
6,1
3,5-5,5 meq/l
Meningkat
3,5-5,5 meq/l
Menurun
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
1
Kalium
4,4
13
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEPRESI
3.1.1 Definisi Depresi
Depresi merupakan salah satu gangguan mood. Gangguan mood dianggap
sebagai sindrom, yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala bertahan selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan yang menunjukkan penyimpangan nyata fungsi
habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh, sering dalam bentuk periodik
atau siklik.1 Pasien dengan mood terdepresi (yaitu, depresi) merasakan hilangnya
energi dan minat, perasan bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, dan
pikiran tentang kematian atau bunuh diri.2
Episode depresi berat harus harus ada setidaknya 2 minggu dan seseorang
yang didiagnosis memiliki episode depresif berat terutama juga harus mengalami
empat gejala dari daftar yang mencakup perubahan berat badan dan nafsu makan,
14
perubahan tidur dan aktivitas, tidak ada energi, rasa bersalah, masalah da;a, berpikir
dan membuat keputusan, serta pikiran berulang mengenai kematian dan bunuh diri.1
3.1.2 Epidemiologi
Gangguan depresif berat adalah suat gangguan yang sering, dengan prevalensi
seumur hidup adalah kira-kira 15 persen, kemungkinan setinggi 25 persen pada
wanita. Prevalensi gangguan depresif pada wanita dua kali lebih besar dibandingkan
laki-laki.2 Alasan perbedaan ini yang telah di hipotesiskan antara lain perbedaan
hormonal, pengaruh kelahiran anak, stressor psikososial yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan, serta model perilaku ketergantungan yang dipelajari.1
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi berat kira-kira 40 tahun, 50 %
dari semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun. 2 Beberapa data
epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan depresi berat
mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun. Jika
pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan
alkohol dan zat-zat lain pada kelompok usia tersebut. 2Pada umumnya gangguan
depresi berat terjadi paling sering pada orang tua yang tidak memiliki hubungan
interpersonal yang erat atau berpisah. 1,2
3.1.3 Etiologi dan Patofisiologi
a. Faktor organobiologi
Hipotesis yang paling konsisten mengenai gangguan mood ini berhubungan
dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik. Norepinefrin dan serotonin adalah
dua neurotransmitter yang paling terlibat dalam patofisiologi dalam gangguan mood.3
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik antidepresan
mungkin merupakan peran langsung system noradrenergik dalam depresi. Bukti lain
yang melibatkan reseptor 2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan reseptor
yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin. Reseptor 2presinaptik juga terletak pada neuron serotonergic dan mengatur pelepasan serotonin.3
15
16
juga
sering
ditemukan,
khususnya
pada
pasien
usia
lanjut.
18
Gejala lainnya:
o
o
o
o
o
o
o
19
Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.
(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2)
tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.
Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka
yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau
bau kotoran.Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
3.1.6 Tatalaksana
20
dan
optimistik.
Bantu
pasien
mengindentifikasi
dan
opipramol.
Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin dan amoxapine.
21
(efek klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24
jam serta waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).3
Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:
1. Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu
I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III
dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
2. Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis
efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari
selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan
minggu IV 300 mg/hari.
3. Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan.
Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan
sampai dosis pemeliharaan.
4. Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemeliharaan dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
5. Tapering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating
dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari 100 mg/hari selama 1 minggu,
100 mg/hari 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari 50 mg/hari selama 1
minggu, 50 mg/hari 25 mg/hari selama 1 minggu.
Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau kemudian
sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya.
Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single
dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan
22
SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan.Pemberian obat anti
depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena addiction potential-nya
sangat minimal.
Efek Samping obat anti depresi adalah:5
Tricyclic antidepressants.
Obat-obatan yang termasuk kedalam kelompok ini (misal Amitryptiline)
sudah dipakai bertahun tahun dan telah terbukti tidak kalah manjur dibandingkan
dengan obat anti depresi yang lebih baru.Hanya saja, karena banyaknya dan lebih
kerasnya efek samping obat, maka obat tricyclic antidepressant biasanya tidak
diberikan sebelum obat jenis SSRI dicoba dan tidak berhasil mengobati depresi. Efek
samping obat ini antara lain: penglihatan kabur, mulut kering, gangguan buang air
besar dan gangguan kencing, detak jantung cepat dan bingung. Obat jenis ini juga
sering menyebabkan penambahan berat badan.5
Tetracyclic.
Obat-obatan yang termasuk kedalam kelompok ini misalnya Maproptiline
(Ludiomil) efek sampingnya seperti TCA; efek samping otonomik, kardiologik relatif
lebih kecil, efek sedasi lebih kuat diberikan pada pasien yang kondisinya kurang
tahan terhadap efek otonomik dan kardiologik (usia lanjut) dan sindrom depresi
dengan gejala anxietas dan insomnia yang menonjol.6
Selective serotonine reuptake inhibitors (SSRI).
Banyak dokter yang memulai pengobatan depresi dengan SSRI.Efek samping
yang paling sering adalah menurunnya dorongan seksual dan sulitnya mencapai
orgasme.Berbagai efek samping lainnya biasanya menghilang sejalan dengan
penyesuaian tubuh terhadap obat-obatan tersebut.Beberapa efek samping SSRI yang
sering adalah: sakit kepala, sulit tidur, gangguan pencernaan, dan resah/ gelisah.5
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs).
Obat obatan dalam kelompok ini biasanya merupakan pilihan terakhir bila
obat dari kelompok lain sudah tidak mempan mengobati depresi. Obat obatan dalam
kelompok ini bisa menimbulkan efek samping yang serius, bahkan bisa menyebabkan
23
24
samping lithium dapat terjadi di semua sistem organ dengan tingkat keparahan
yang bervariasi. Pemberian lithium dengan antipsikotik tipikal juga perlu
mendapat
perhatian
serius
karena
interaksi
antara
keduanya
bisa
27
28
Ket :
Cs : Sikloserin
Lfx : Levoflokasasin
Eto : Ethionamid
Hubungan terjadinya gangguan depresi dengan penyakit Tuberculosis
29
plasma akibat interaksi obat dengan isoniazid atau pemberian obat TB (isoniazid).
30
biogenik.
Norepinephrine
dan
serotonin
adalah
dua
31
CR
stressor
Hipotalamus
Hipofisis
Korteks adrenal
32
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn.C, laki-laki, berusia 51 tahun, dikonsulkan ke bagian poliklinik Psikiatri
RSMH Palembang dikarenakan gelisah dan tidak bisa diam di tempat tidur.
Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 27 Mei 2015, pukul 09.45 WIB di RSMH
Palembang. Penampilan Os dengan posisi duduk di atas tempat tidur sambil terus
menundukkan kepalanya. Wawancara dilakukan pemeriksa dan Os yang duduk di
atas tempat tidur. Wawancara dilakukan dalam bahasa Palembang dan bahasa
Indonesia.
Sejak 2 tahun yang lalu os mengeluh batuk berdahak yang tidak kunjung
sembuh, os berobat ke rumah sakit dan setelah dilakukan beberapa pemeriksaan os
dikatakan sakit TB paru. Os mengkonsumsi obat selama 1 tahun 2 bulan secara
teratur. Os datang ke rumah sakit untuk kontrol ulang dan disuruh untuk melakukan
kultur dahak, sambil menunggu hasil, obat os dihentikan sementara. Namun, sampai
sekarang hasil kultur belum ada sehingga os merasa kesal.
Sejak 1 minggu SMRS os mengeluh sesak dan berobat ke IGD RSMH.
Setelah dilakukan pemeriksaan os dikatakan menderita MDR TB paru.Os merasa
tertekan karena didiagnosa MDR TB paru dan harus minum obat dalam jangka
panjang.Os merasa kesal karena tidak ada keluarga os yang peduli dengan os yang
sakit.Os merasa sedih karena tidak bisa merawat ibu os yang sedang sakit dikampung,
os juga merasa terbebani karena penyakit tidak sembuh-sembuh sehingga os tidak
dapat menafkahi keluarga.Os pernah terpikir untuk melakukan bunuh diri namun
hanya sebatas ide, os tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri.Riwayat sering
berbicara sendiri, mudah curiga, sering marah, dan mendengar bisikan disangkal.
Dari riwayat premorbid tidak ditemukan adanya perubahan perilaku, os masih
bersosialisasi. Dari autoanamnesis diperoleh yakni kesadaran os kompos mentis,
perhatian os baik, ekspresi fasial echt, verbalisasi jelas, dan kontak mata ada, daya
33
ingat baik, orientasi tempat, waktu, dan orang baik, diskriminatif insight baik, dan
perhatian yang adekuat.
Pada status internus terdapat kelainan pada os berupa MDR TB paru. Pada
status neurologikus semua dalam batas normal.
Pada status psikiatrikus pada keadaan umum didapatkan kesadaran kompos
mentis, perhatian adekuat, sikap kooperatif, inisiatif ada, tingkah laku motorik
normoaktif, ekspresi fasial wajar, verbalisasi jelas, cara bicara lancar, ada kontak
fisik, mata, dan verbal. Pada keadaan khusus ditemukan afek hipotimik, hidup emosi
stabil, pengendalian terkendali, adekuat, echt, skala diferensiasi normal, einfuhlung
bisa dirabarasakan, arus emosi normal. Keadaan dan fungsi intelek semua dalam
batas normal. Tidak ditemukan kelainan sensasi dan persepsi. Ada ganggan pada isi
pikiran yaitu ditemukan perasaan berdosa/bersalah dan ide untuk bunuh diri. Keadaan
proses berpikir, pemilikan pikiran, bentuk pikiran, keadaan dorongan instinktual dan
perbuatan dalam batas normal. RTA tidak terganggu.
Berdasarkan alloanamnesa dan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis
berupa cemas dan perubahan prilaku seperti perubahan tidur, iritabilitas, kurang
bersemangat. Pasien juga merasa kesal dan marah atas apa yang terjadi pada dirinya.
Pasien juga merasa stress terhaap penyakit yang dideritanya.Keadaaan ini
menimbulkan distres bagi pasien dan keluarganya, pasien menjadi cemas, sedih, tidur
terganggu, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Gangguan jiwa.
Berdasarkan pemeriksaan status mental tidak didapatkan halusinasi dan waham
sehingga dikategorikan Gangguan jiwa non psikotik. Pada riwayat penyakit
sebelumnya dan pemeriksaan status interna dan neurologis tidak ditemukan adanya
kelainan yang mengindikasi gangguan medis umum yang menimbulkan gangguan
fungsi otak serta dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang diderita pasien saat ini,
sehingga diagnosa Gangguan mental dapat disingkirkan dan didiagnosa
Gangguan Jiwa Non Psikotik Non-organik.
Dari autoanamnesa dan pemeriksaan pada status mental ditemukan adanya
gejala cemas dan sedih akan penyakit yang dideritanya. Pasien juga mengalami
insomnia. Pada pasien juga ditemukan afek depresif, kehilangan minat dan
34
kegembiraan dan berkurangnya energi / rasa lelah yang nyata dan menurunnya
aktivitas. Serta gejala lainnya seperti harga diri dan kepercayaan diri berkurang,
pandangan akan masa depan yang suram dan tidak berguna, tidur terganggu, dan ada
pikiran untuk bunuh diri. Gejala tersebut dirasakan bertambah saat satu minggu
terakhir.Maka berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III) di diagnosa dengan Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
(F32.2).
Berdasarkan PPDGJ III dapat ditegakkan diagnosisAksis I F 32.2 Episode
Depresif Berat tanpa Gejala Psikosis. Aksis II tidak ada diagnosis, Aksis III MDR TB
paru, Aksis IV masalah kesehatan dan Aksis V GAF Scale 50-41.
Depresi adalah keadaan emosional yang ditunjukkan dengan kesedihan,
berkecil hati, perasaan bersalah, penurunan harga diri, ketidakberdayaan dan
keputusasaan.
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III),
gejala utama episode depresif adalah
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
Depresi juga mempunyai gejala lainnya antara lain
-
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.Pasien juga merasa kesal dan
marah atas apa yang terjadi pada dirinya. Pasien juga merasa stress terhadap penyakit
yang dideritanya, pasien terlihat cemas, kehilangan minat dan kegembiraan dan
35
berkurangnya energi / rasa lelah yang nyata dan menurunnya aktivitas. Serta gejala
lainnya seperti kepercayaan diri berkurang, pandangan akan masa depan yang suram
dan tidak berguna, dan tidur terganggu. Serta ditambah gejala lain berupa kesulitan
untuk tidur, serta adanya ide untuk bunuh diri, seluruh episode berlangsung lebih
kurang 1 minggu. Gejala tersebut mendukung untuk ditegakkannya diagnosis episode
depresif berat.
Gangguan depresi pada penderita MDR TB paru dapat timbul akibat berbagai
faktor baik internal maupun eksternal, seperti dukungan keluarga yang kurang,
adanya halangan bagi penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta halangan
untuk berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor
lain seperti adanya perasaan menolak kenyataan mengenai penyakitnya, merasa
penyakit yang diderita tidak sembuh-sembuh sehingga dapat memicu adanya
perasaan putus asa. Keadaan inilah yang membuat pasien menjadi depresi.
Terapi yang akan diberikan pada pasien ini yakni meliputi psikofarmaka,
psikoterapi serta sosioterapi. Psikofarmaka berupa antidepresan, antiansietas, dan
antipsikotik. Pemilihan antidepresan didasari oleh keadaan fisik os. Maka obat yang
dipilih adalah Fluoxetine dengan dosis 1x20 mg. Pada os ditemukan gejala berupa
retardasi psikomotorik (agitasi), dan rasa bersalah yang berlebihan. Selanjutnya pada
pasien ini ditemukan gejala berupa perasaan cemas, maka diberikan antiansietas
golongan Benzidiazepine, yaitu Diazepam 1x5 mg. Obat ini terserap dengan baik
secara per oral dengan waktu paruh 6-12 jam. Pada pengobatan disertai juga dengan
diberikannya antipsikotik yaitu Risperidon 2x1 mg.
Psikoterapi berupa suportif, kognitif, keluarga, dan religius. Diantaranya yaitu
memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi masalah,
memotivasi pasien agar meminum obat secara teratur, menerangkan tentang gejala
penyakit pasien yang timbul akibat cara berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan
sikapnya terhadap masalah yang dihadapi, memberikan penyuluhan bersama dengan
pasien yang diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan
pasien, dan memotivasi pasien untuk rutin beribadah.
36
37
KERANGKA KONSEP
Stressor:
Masalah kesehatan
Alloa-auto-namnesis:
Murung,
Rasa sedih
Kesal
Sulit tidur
Ada keinginan bunuh diri
Tatalaksana
Psikofarmaka:
Risperidon 2x1mg
Fluoxetine 1x20mg
Diazepam 1x5 mg
Psikoterapi:
Suportif
Kognitif
Keluarga
Religius
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb Ja. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatri.
9th ed. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins: 2003
2. Kaplan HI, BJ Sadock, JA Grebb. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1, Jakarta Barat:
Bina Rupa Aksara,2012. Hal: 813-816
3. Psikiatri UI
4. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta; 2001.
5. Jiwo T. Pusat Pemulihan dan Pelatihan Penderita Gangguan Jiwa.
6. Tomb DA, Buku Saku Psikiatri.Edisi 6, Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2004. Hal : 47-63
7. Junaldi I. Anomali Jiwa. Dalam: Gangguan Kecemasan. Edisi 1.
Yogyakarta:Percetakan Andi, 2012. Hal:124-141
39