Anda di halaman 1dari 12

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS


DALAM RANGKA MENDUKUNG PROGRAM KECUKUPAN
DAGING SAPI 2010
SJAMSUL BAHRI1 dan ENY MARTINDAH2
1

Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta


2
Puslitbang Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151

ABSTRAK
Program kecukupan daging sapi 2010 yang telah dicanangkan oleh pemerintah perlu didukung oleh
peningkatan produktivitas ternak yang optimal. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas
ternak adalah kesehatan hewan dan pengendalian penyakit ternak. Sasaran kesehatan hewan untuk tahun
2007-2010 yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan dalam mendukung kecukupan daging sapi
2010, adalah: menekan angka kematian sapi potong < 2,39%, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas
dengan angka kelahiran > 17,85%, meningkatkan jumlah unit pelayanan keswan yang terakreditasi dan
kemampuan deteksi dini penyakit hewan menular (PHM), serta meningkatkan jumlah wilayah bebas PHM
strategis tertentu khususnya di kantong ternak sapi potong. Pada prinsipnya pengendalian dan pemberantasan
PHM menjadi tugas pemerintah pusat dan saat ini diprioritaskan pada 13 (tigabelas) jenis PHM strategis
dimana situasi penyakit-penyakit tersebut wajib dilaporkan ke pusat tiap bulan. Dari 13 jenis penyakit
tersebut terdapat 5 (lima) jenis penyakit pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus,
yaitu: penyakit brucellosis, anthrax, Jembrana, SE dan IBR. Penyakit-penyakit tersebut jika mewabah dapat
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dan berdampak pada kesehatan masyarakat. Kebijakan
pemerintah dalam upaya pengendalian ke-5 jenis penyakit PHM strategis tersebut berikut masalah yang telah
diidentifikasi dan upaya penyelesaiannya diuraikan dalam tulisan ini.
Kata Kunci: Penyakit hewan menular strategis, kebijakan, pengendalian, pemberantasan.

PENDAHULUAN
Sub sektor peternakan merupakan bagian
penting dari sektor pertanian, dan berperan
sangat besar dalam ketahanan pangan terutama
penyediaan bahan pangan asal ternak untuk
memenuhi
konsumsi
protein
hewani
masyarakat Indonesia yang masih tergolong
rendah. Program Kecukupan Daging oleh
Pemerintah Republik Indonesia melalui
Departemen Pertanian telah ditargetkan akan
dicapai pada tahun 2010. Untuk mendukung
program
Kecukupan
Daging
tersebut
produktivitas ternak perlu dioptimalkan. Salah
satu faktor yang dapat meningkatkan
produktivitas ternak adalah masalah kesehatan
hewan dan pengendalian penyakit ternak. Oleh
karena itu status dan kondisi kesehatan hewan
harusnya dapat dikendalikan.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan telah menetapkan visi dan
misinya dalam pembangunan kesehatan hewan
untuk periode tahun 2005-2009 (ANONIMUS,

12

2005). Secara khusus visi pembangunan


kesehatan
hewan
adalah
mewujudkan
masyarakat sehat dan produktif melalui
pelayanan kesehatan hewan yang profesional,
maju efektif dan efisien. Sementara itu, misi
yang diemban oleh Kesehatan Hewan adalah:
1. Melindungi hewan dari penyakit yang
mengancam kelestarian sumberdaya
hewan
dan
lingkungan
dengan
memanfaatkan
kemajuan
ilmu
pengetahuan dan teknologi
2. Melindungi masyarakat dari resiko yang
berkaitan dengan hewan dan produknya
dan memberikan sumbangan baru bagi
ilmu pengetahuan biologik dan medik
3. Melindungi kehidupan lingkungan serta
mempertahankan kelestarian sumberdaya
genetika
4. Memfasilitasi
perdagangan
dengan
mewujudkan pelayanan kesehatan hewan
secara profesional demi menjamin
kestabilan usaha bidang peternakan yang
lestari dan berdaya saing.

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Dengan visi dan misi tersebut, tujuan yang


ingin dicapai dari pembangunan kesehatan
hewan 2005-2009 dirumuskan sebagai berikut:
1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
hewan
2. Meningkatkan
kepedulian
terhadap
kesehatan
hewan
dan
penerapan
biosekuriti
3. Meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan
kredibilitas surveilans
4. Meningkatkan kapasitas kerjasama dan
koordinasi dalam pengendalian dan
pemberantasan penyakit hewan menular
5. Meningkatkan
kapabilitas
kesiagaan
darurat terhadap penyakit hewan menular
dan eksotik
6. Meningkatkan jaminan mutu komoditas
hewan dan obat hewan.
Sasaran yang akan dicapai dari kesehatan
hewan yaitu:
1. Menurunnya angka kesakitan dan angka
kematian serta meningkatnya angka
kelahiran
2. Meningkatnya angka produktivitas ternak
3. Meningkatnya deteksi dini penyakit
hewan
4. Meningkatnya jumlah wilayah yang
bebas penyakit hewan menular
5. Meningkatnya kemampuan merespon
timbulnya wabah penyakit hewan
menular dan eksotik
6. Meningkatnya jumlah unit pelayanan
keswan yang terakreditasi.
Agar sasaran tersebut dapat tercapai maka
pendekatan yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan hewan adalah kesehatan kelompok
(herd health) melalui pengelolaan penyakit
dalam populasi (Disease management in
population), dan sesuai tanggung jawab
pemerintah,
pelayanan
yang
diberikan
mencakup pencegahan penyakit hewan
(Preventive veterinary medical services)
dengan tetap memperhatikan aspek pelayanan
kesehatan masyarakat veteriner (Veterinary
public health services). Sementara itu, sasaran
kesehatan hewan 4 (empat) tahun kedepan (th
2007-2010) dalam mendukung kecukupan
daging sapi 2010, adalah:
1. Mempertahankan angka kematian sapi
potong < 2,39% (parameter tahun 2005).
2. Meningkatkan
produktivitas
dan
reproduktivitas dengan angka kelahiran >
17,85%.

3. Meningkatkan jumlah unit pelayanan


keswan
yang
terakreditasi
serta
kemampuan deteksi dini penyakit hewan
menular (PHM)
4. Meningkatkan jumlah wilayah yang bebas
PHM strategis tertentu khususnya kantong
ternak sapi potong.
Deteksi penyakit hewan secara dini
merupakan bagian terpenting dalam upaya
untuk
mengantisipasi
masuk
dan
berkembangnya penyakit-penyakit hewan di
Indonesia. Hal ini telah diuraikan oleh BAHRI
(1998) bahwa dalam menghadapi era
perdagangan
bebas,
maka
Institusi
(Laboratorium) Veteriner di Indonesia harus
dapat
mengembangkan
diri
dalam
kemampuannya mendeteksi penyakit hewan
secara dini.
PENGENDALIAN PENYAKIT HEWAN
MENULAR (PHM) STRATEGIS PADA
RUMINANSIA BESAR
Pengendalian merupakan suatu usaha yang
terorganisir di daerah atau pusat untuk
mengurangi kejadian (incidence) atau kerugian
suatu penyakit sampai pada tingkat terkendali
(tidak mempunyai dampak serius terhadap
kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat).
Sedangkan pemberantasan adalah suatu usaha
yang terorganisir untuk menghilangkan atau
mengeliminasi suatu penyakit pada suatu
daerah tertentu sampai tidak terjadi lagi.
Kebijaksanaan dalam program pengendalian
dan pemberantasan penyakit hewan menular
dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas
terhadap penyakit hewan strategis, yaitu
penyakit hewan yang berdampak kerugian
ekonomi tinggi karena bersifat menular,
menyebar dengan cepat sehingga angka
morbiditas dan mortalitasnya tinggi, atau
berpotensi mengancam kesehatan masyarakat.
Kebijakan
operasional
dalam
penanggulangan wabah penyakit menular
(infeksius) eksotis maupun endemis yang dapat
terjadi kapan dan dimana saja yang dampaknya
berskala nasional, regional atau lintas propinsi
akan diperjuangkan dan disiapkan dana
bencana alam lingkup Departemen Pertanian.
Dalam jangka panjang, setiap muncul wabah
penyakit hewan agar dapat ditanggulangi
dengan cepat secara sistematis dan konseptual,

13

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

hal ini perlu didukung perangkat peraturan


perundangan yang kuat berupa UndangUndang Penanggulangan Wabah Penyakit
Hewan. Penyakit hewan menular strategis
secara nasional (Keputusan Dirjen Peternakan
Th. 1997) ada 11 (sebelas) jenis dan telah
ditambah 2 jenis lagi oleh komisi ahli Keswan,
adalah sebagai berikut:
1. Rabies
2. Brucellosis
3. Anthrax
4. Jembrana
5. Bovine Viral Diarrhae (BVD)
6. Septicemia Epizootica (SE)
7. Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR)
8. Clasical Swine Fever (Hog Cholera)
9. Newcastle Disease
10. Infectious Bursal Disease
11. Salmonellosis
12. Trypanosomiasis
13. Avian Influenza (AI)
Dua penyakit terakhir (nomor 12 dan 13)
merupakan tambahan yang diusulkan oleh
Komisi Ahli Kesehatan Hewan. Dari 13
(tigabelas) jenis penyakit strategis tersebut,
dalam
program
pengendalian
dan
pemberantasan penyakit hewan menular di
tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis
penyakit hewan menular strategis pada
ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan
perhatian khusus karena kerugian ekonomi dan
dampak
kesehatan
masyarakat
yang
ditimbulkan. Kelima jenis penyakit tersebut
adalah:
1. Penyakit keluron menular (Brucellosis)
pada sapi potong dan sapi perah
2. Penyakit radang limpa (Anthrax) pada
ruminansia
3. Penyakit Jembrana
4. Penyakit SE dan
5. Penyakit IBR.
Penyakit-penyakit ini sering berubah sifat
dari situasi yang endemik di suatu daerah
menjadi mewabah dan menimbulkan kerugian
yang cukup besar.
Penyakit hewan menular pada ternak bibit
pun mendapat perhatian khusus, penyakit yang
harus bebas pada ternak bibit adalah
Brucellosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR), Bovine Viral Diarrhae (BVD), Bovine
Genital
Champilobacteriosis
(BGC),
Tubercullosis (TBC), Enzootic Bovine
Leucosis
(EBL),
Trichomoniasis,

14

Leptospirosis, Babesiosis, Anaplasmosis, dan


Theileriasis (ANONIMUS, 2005). Aplikasi
kesehatan hewan pada ternak bibit adalah:
1. Dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan
secara reguler dan terdokumentasi agar
penyakit dapat dimonitor.
2. Dokumentasi
dilaksanakan
dibawah
pengawasan Dokter Hewan dan harus
tetap disimpan minimal 1 (satu) tahun
setelah ternak tidak ada di peternakan.
3. Setiap ternak baru yang akan masuk ke
areal peternakan harus ditempatkan di
kandang karantina selama 3 minggu.
4. Dilarang memasukkan dan memelihara
ternak bukan bibit di areal peternakan, (v)
Pengujian diagnostik penyakit dilakukan
di laboratorium yang terakreditasi atau di
Laboratorium lain di bawah pengawasan
Laboratorium terakreditasi.
Landasan hukum pengaturan kebijakan
dalam pengendalian penyakit hewan menular
strategis berdasarkan:
1. Staatblad Tahun 1912 campur tangan
pemerintah dalam bidang kehewanan.
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967
a. Urusan Kesehatan Hewan (Dalam
lapangan
ekonomi)
yaitu
meningkatkan
produksi
dengan
memperbaiki kesehatan hewan dan
mengurangi kerugian karena penyakit
b. Urusan
Kesehatan
Masyarakat
Veteriner (Dalam lapangan sosial)
yaitu menjaga agar kesehatan
masyarakat jangan terganggu karena
penularan penyakit Anthropozoonosa
atau kontak dengan bahan yang
tertular
maupun
mengkonsumsi
makanan asal hewan
3. Peraturan Pemerintah:
a. PP Nomor 15 Tahun 1977 tentang
Penolakan,
Pencegahan,
Pemberantasan
dan
Pengobatan
Penyakit Hewan
b. PP Nomor 16 Tahun 1977 tentang
Usaha Peternakan
c. PP Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesmavet
d. PP Nomor 82 Tahun 1992 tentang
Obat Hewan
e. PP Nomor 25 TH 2000 tentang
Kewenangan
Pemerintah
dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

4. Peraturan-peraturan pelaksanaan
Mentan, dan lain-lain).

(Kep

PENETAPAN NORMA DAN STANDAR


TEKNIS PEMBERANTASAN PENYAKIT
HEWAN DALAM ERA OTDA
Pada prinsipnya pengendalian penyakit
hewan menular menjadi tugas pemerintah
pusat terutama fokus pada penyakit yang
bersifat wabah dan menyebar lintas propinsi,
Regional dan Nasional, berdampak ekonomis
dan Zoonosis (Ancaman bagi kesehatan dan
kehidupan manusia). Saat ini pengendalian dan
pemberantasan diprioritaskan pada 13 jenis

PHM strategis, dimana situasi penyakitpenyakit tersebut wajib dilaporkan ke Pusat


setiap bulan. Prioritas pemberantasan di tingkat
nasional saat ini ditujukan untuk ternak besar
selain wabah Avian Influenza. Sementara itu,
penyakit
endemis/sporadis
lintas
kabupaten/kota menjadi tugas Pemerintah
Propinsi, untuk penyakit endemis/sporadis
lokal di kabupaten/kota menjadi tugas
Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Penyakit
produksi dan yang sifatnya individual
diarahkan
pada
upaya
peningkatan
kemandirian
peternak
(swadaya).
Penanggulangan wabah penyakit hewan dalam
era OTDA dapat dilihat pada skema berikut
ini:

Penanggulangan wabah
U.U. No. 22 Th 1999
yo. No. 32 Th 2004
tentang Pemerintahan Daerah
P.P. No.25 Th 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom

BAB II
Pasal 2 ayat (4)
Penanggulangan wabah dan bencana
yang berskala nasional

U.U. No.6 Th 1963 tentang


Ketentuan-ketentuan pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan

P.P. No. 15 Th 1977 tentang


Penolakan, Pencegahan,
Pemberantasan dan Pengobatan
Penyakit Hewan Menular

SK Mentan No. 487 Tahun 1981


tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Pengobatan Penyakit Hewan Menular

Kewenangan Propinsi

U.U. No. 22 Th 1999 kemudian U.U. No.32 Th 34 tentang Pemerintah Daerah


P.P. No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom
Bab II
Pasal 3 ayat (5)
STATUS PHM STRATEGIS PADA
1.g. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit hewan menular lintas
RUMINANSIA BESAR
kabupaten/kota

15

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Penyakit Brucellosis
Penyakit Brucellosis disebabkan oleh
bakteri dari genus Brucella yang dapat
menyebabkan keluron (keguguran) pada ternak
ruminansia dan bersifat zoonosis. Pada sapi
disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella
abortus; dan diketahui ada 7 biotipe B. Abortus
yaitu biottipe 1-6 dan biotipe 9 (ALTON, et al.
1988). Di Indonesia Brucellosis pada sapi
terutama disebabkan oleh infeksi B. Abortus
biotipe 1, kemudian biotipe 2 dan biotipe 3
(SUDIBYO, 1994).
Di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi,
secara ekonomi dan sosial menimbulkan
kerugian besar. Jika pengendalian tidak
dilakukan kerugian ekonomi akibat penyakit
ini dapat mencapai 385 milyar per tahun.
Sampai saat ini wilayah yang bebas dari
penyakit Brucellosis adalah Propinsi Bali,
sedangkan Pulau lombok telah berhasil
dibebaskan pada tahun 2002 dan P. Sumbawa
bebas pada awal tahun 2006. Meskipun
demikian, kemungkinan timbulnya wabah
Brucellosis harus tetap diwaspadai karena
pemberantasan penyakit yang tidak optimal
dan seksama akan memperluas penyebaran
penyakit.
Di DKI Jakarta, sedikitnya 201 ekor sapi di
38 peternakan terserang brucellosis (SUDIBYO,
1995a.), selain itu Brucellosis pada sapi perah
telah menyebabkan tingginya kasus keguguran
(62,5%), kematian dini (9,8%) dan lahir lemah
(15,2%). Brucellosis pada sapi perah di DKI
Jakarta mengakibatkan tingginya kontaminasi
susu oleh B. Abortus; sehingga susu dan cairan
uterus
merupakan
sumber
penularan
brucellosis yang potensial (SUDIBYO, 1996a).
Prevalensi di P. Jawa < 2% dengan
menerapkan program test and sloughter, dan
diharapkan dapat bebas pada th 2012. Sampai
saat ini P. Sumatera kecuali Propinsi NAD dan
Propinsi Lampung dengan kebijakan test and
sloughter yang diterapkan tidak ditemui kasus
Brucellosis dalam 5 tahun terakhir, demikian
pula dengan Propinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan laporan surveilans BPPV Reg.V,
prevalensi Brucellosis di Propinsi Kalimantan
Timur (1998-2005) kurang dari 0,07% dan
rencana bebas tahun 2008. Daerah-daerah yang
saat ini menerapkan program vaksinasi adalah
Propinsi NAD, Sulawesi Selatan dan Tenggara,

16

P. Flores dan Propisi Maluku dengan


prevalensi penyakit Brucellosis lebih dari 2%.
Dalam rangka mengamankan lingkungan
budidaya ternak telah ditetapkan kebijakan
pengendalian Brucellosis sebagai salah satu
prioritas nasional.
PELAKSANAAN KEGIATAN
PENGENDALIAN BRUCELLOSIS
Pemerintah Pusat secara kelembagaan
berperan antara lain dengan membuat
Pedoman, Surat Edaran ke Daerah dan
koordinasi bersama instansi terkait untuk
mendukung program termasuk aspek kesehatan
masyarakat
(zoonosis).
Kebijakan
pengendalian dan pemberantasan brucellosis
didasarkan kepada tingkat prevalensi penyakit
suatu wilayah (NAIPOSPOS, 2005). Untuk
mengoptimalkan sasaran serta evaluasi
pelaksanaan kegiatan di daerah dilakukan
melalui sosialisasi dan komunikasi langsung,
serta pembuatan poster penyakit sebagai
pedoman dan antisipasi masyarakat dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya wabah
penyakit.
Peranan UPT BBVet/BPPV regional adalah
melakukan
surveilans
penyakit
untuk
memastikan Prevalensi/zoning, monitoring dan
evaluasi bersama Dinas dan pengujian sampel
terhadap RBT dan CFT bersama Lab. Keswan
lain yang ditunjuk. Berdasarkan laporan 3
tahun terakhir, kasus CFT Positif terbesar pada
sapi perah terdapat di Jawa Timur, Jawa Barat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan untuk sapi
potong di Sulawesi Selatan, NTT dan Nangro
Aceh Darussalam (NAD). Pelaksanaan
kegiatan oleh daerah dengan melakukan:
Pengujian dan Vaksinasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Semua populasi sapi/kerbau


Melaporkan setiap bulan dengan form
standar
Menggunakan Antigen RBT produksi
Pusat Veterinaria Farma
Sampel dikirim ke BBVet/BPPVR/
Lab.Keswan yang ditunjuk
Vaksinasi untuk prevalensi di atas 2%
Pemotongan Reaktor
Tes positif Brusellosis ------ diberi tanda
khusus

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

8.

Isolasi dan sloughter -------hewan tidak


boleh dipasarkan
9. Positif CFT harus dipotong di RPH,
dengan
kompensasi
APBN
(dekonsentrasi) APBD I dan II, Koperasi
maupun swadaya masyarakat.
10. Lalu lintas Ternak
11. RBT dan CFT Negatif sertifikat uji
berlaku
1
tahun
dan
ternak
ditransportasikan terbatas
12. Pengawasan ketat dokumen lalu lintas
ternak.
Program pengendalian dan pemberantasan
brucellosis di berbagai negara umumnya
menggunakan vaksin aktif B. Abortus S19
karena mampu memberikan perlindungan
sebesar 70% selama masa produksi (ALTON,
1978). Namun demikian, pengendalian dan
pemberantasan brucellosis dengan vaksin
B.abortus S 19 dapat menimbulkan infeksi
laten dan titer antibodi berkepanjangan yang
sulit dibedakan secara serologis dengan infeksi
alami, sehingga dapat mengacaukan diagnosis
(SUDIBYO, 1996b). Oleh karenanya perlu
tindakan hati-hati untuk menetapkan sapi yang
harus dipotong paksa atau diafkir. Tingkat
kekeliruan diagnosis serologis terhadap
brucellosis akan dapat ditekan dengan
dikembangkannya
uji
ELISA-Kompetitif
(SUDIBYO,
1995b),
karena
dengan
menggunakan uji konvensional RBPT dan CFT
saja ternyata tidak mampu membedakan secara
serologis antara sapi yang mendapat infeksi
alami dan yang divaksinasi B.abortus S19.
PENYAKIT ANTHRAX
Penyakit anthrax (radang limpa) merupakan
salah satu penyakit yang fatal dan bersifat
zoonosis, disebabkan oleh Bacillus anthracis.
Ruminansia seperti sapi, kambing dan domba
adalah hewan yang sangat rentan/mudah
terserang, dibandingkan dengan kuda dan babi
(ANONIM, 2000). Beberapa daerah dari
beberapa propimsi di Indonesia dikenal sebagai
daerah endemis anthrax, dan kejadiannya
secara klinis masih sering dilaporkan
(DITKESWAN, 1990; HARDJOUTOMO, 1990;
NURHADI et al., 1996). DEPKES RI (2004)
mencatat 11 dareah endemis anthrax, yaitu:
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, NTB, NTT, Sumatera Barat,

Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan


dan Papua. Nusa Tenggara Barat merupakan
propinsi di Indonesia yang paling sering terjadi
kasus anthrax, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat
et
al.,
1995;
(POERWADIKARTA,
HARDJOUTOMO, et al., 1996 ). Kantong
penyakit anthrax di Propinsi NTB adalah P.
Sumbawa, namun demikian berdasarkan data
kasus anthrax selama 11 tahun (tahun 19841994) kasus anthrax di NTB terjadi hampir
setiap tahun meskipun kejadiannya cenderung
menurun (MARTINDAH dan WAHYUWARDANI,
1998). Sementara itu, kajian retrospektif
kejadian anthrax selama 20 tahun (1974-1995)
menunjukkan pola letupan anthrax di 5
kabupaten di Jawa Barat pada berbagai jenis
hewan terjadi setiap 3-4 tahun sekali, dengan
interval puncak kurva selang 14 tahun
(MARTINDAH, et al., 1995). Tahun 2004 kasus
anthrax telah berulang kembali di Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, dan telah menelan korban
manusia. Hasil kajian KURNIAWATI, et al.
(2005) menunjukkan bahwa faktor yang
dominan terhadap kejadian penyakit anthrax
pada manusia adalah riwayat makan daging
ternak yang dinyatakan positif terkena kuman
B. Anthracis, jarak kandang dengan rumah, dan
saluran pembuangan air limbah, tetapi tidak
ada hubungan antara faktor vaksinasi anthrax
terhadap kejadian penyakit anthrax pada
manusia.
PENGENDALIAN PENYAKIT ANTHRAX
Pengendalian penyakit anthrax mendapat
prioritas secara nasional. Upaya pengendalian
penyakit Antrax telah ditetapkan dan
didasarkan pada azas pewilayahan/zoning
(NIPOSPOS, 2005), sebagai berikut:
1. Bagi daerah bebas Anthrax, didasarkan
kepada pengawasan ketat pemasukan
hewan ternak ke daerah tersebut
2. Bagi daerah endemik Anthrax didasarkan
pada pelaksanaan vaksinasi ternak secara
rutin diikuti monitoring.
3. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan
penyuntikan antibiotik dan 2 minggu
kemudian disusul dengan vaksinasi
anthrax.
Pelaksanaan langkah-langkah operasional
strategis dalam upaya mengendalikan penyakit
anthrax adalah sebagai berikut:

17

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

1.

Pelaksanaan
pengamatan
untuk
meningkatkan kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan munculnya kasus pada
ternak khususnya di daerah endemis yang
setiap tahun ada kecenderungan muncul,
serta terus memantau secara intensif
daerah dan lokasi endemis yang ada.
2. Pelaksanaan vaksinasi massal untuk
mengoptimalkan cakupan vak sinasi
setiap tahun pada ternak sapi, kerbau,
kambing dan domba di lokasi-lokasi
endemis anthrax.
3. Penelitian untuk dapat menghasilkan
vaksin yang lebih baik yaitu mempunyai
potensi atau tingkat kekebalan yang
cukup lama, aman terhadap semua jenis
ternak dan murah.
4. Memproduksi vaksin dalam jumlah
cukup untuk kesiap-siagaan apabila
terjadi wabah minimal sebesar 600 juta
dosis dan untuk memberikan subsidi bagi
daerah yang masih kekurangan vaksin.
5. Pelaksanaan pengawasan lalu lintas
ternak yang keluar dan masuk lokasi
endemis bekerjasama dengan aparat
karantina hewan dan instansi terkait lain.
6. Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum
maupun
setelah
ternak
dipotong
(ante/post mortum) di Rumah Potong
Hewan.
7. Sosialisasi
untuk
meningkatkan
pemahaman kepada masyarakat tentang
bahaya
anthrax
serta
upaya
penanggulangannya dengan bekerjasama
seluruh instansi dan pihak terkait lain
termasuk pemuka masyarakat/agama,
LSM, kader desa melalui berbagai cara
seperti pencetakan brosur, leaflet,
spanduk, sosialisasi melalui berbagai
media (elektronik dan cetak) serta
pertemuan-pertemuan informal.
8. Pertemuan
koordinasi
untuk
meningkatkan koordinasi dengan seluruh
instansi terkait khususnya dengan
Departemen Kesehatan beserta jajarannya
sampai ke tingkat kecamatan/Puskesmas
khususnya apabila dicurigai adanya kasus
penularan pada manusia.
Tingkat endemisitas penyakit Antrax sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Praktek-praktek sosial dalam masyarakat
peternakan, termasuk pertukaran ternak
sapi

18

2.
3.
4.

Disposal karkas yang tidak memadai


Makan daging terkontaminasi
Penggembalaan yang berlebihan
Vaksinasi yang kurang memadai. Menurut
WHO (1998) sebaiknya vaksinasi anthrax
diberikan kepada hewan yang tidak sedang
diobati dengan antibiotika, misalnya pada sapi
yang mendapat pengobatan antibiotoika
terhadap mastitis, karena pemberian vaksin
menjadi tidak effektif. Dianjurkan pula
setidaknya 6 (enam) minggu sebelum dipotong
dan dikonsumsi, ternak agar lebih dulu
divaksinasi anti anthrax.
PENYAKIT JEMBRANA

Di
Indonesia
Penyakit
Jembrana
merupakan masalah penyakit yang unik sebab
hanya patogen pada sapi Bali, disebabkan oleh
Jembrana disease virus (JDV) yang
diidentifikasi
sebagai
lentivirus
(HARTANINGSIH, et al., 1993; BARBONI, et al.,
2001). Penyakit Jembrana dikenal sejak tahun
1964 di Kabupaten Jembrana, Bali. Tahun
1978 terjadi di Banyuwangi dan Jawa Timur.
Wabah awal yang terjadi di Bali diperkirakan
telah menimbulkan kematian sekitar 70.000
ekor sapi Bali, dengan tingkat kematian 98,9%
(RAMACHANDRAN, 1997). Di Lampung kasus
Jembrana muncul pertama tahun 1976, di
Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 2001
dan 2002 di Kabupaten Lampung Tengah dan
Lampung Selatan dilakukan vaksinasi masingmasing sebanyak 2.000 dosis dan 3000 dosis.
Di Pulau Kalimantan survei serologi penyakit
Jembrana dilakukan dengan metoda uji ELISA,
hasil prevalensi sero positif antibodi Jembrana
cukup tinggi (43,3%).
Sumber sapi Bali yaitu di NTB dan NTT
masih bebas penyakit Jembrana. Sehubungan
dengan outbreak tahun 1964, Direktorat
Kesehatan Hewan telah melarang sapi export
dari Bali ke pulau-pulau lain di Indonesia
kecuali ke Jakarta sebagai ternak potong
(RAMACHANDRAN, 1997). Namun, penyebaran
penyakit Jembrana saat ini sudah meliputi P.
Bali, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pada
tahun 2003 di Sulawesi Selatan telah
dilaporkan serologi positif. Sebaran kasus
Jembrana periode 1989-2003 disajikan pada
Tabel 1.

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Tabel 1. Sebaran kasus Jembrana 1989-2003


PERIODE
PROPINSI

1989-1992

1993-1997

1998-1999

2000-2003

2.849

558

87

168

Sumatera Barat

92

61

Kalimantan Selatan

32

75

Kalimantan Tengah

28

Riau

321

Sumatera Selatan

19
95

Bali
Lampung

Bengkulu

39

Jawa Barat

Jambi

32

Nanggro Aceh Darussalam

Sulawesi Selatan

2.976

1.043

132

319

Jumlah

Sumber: Data situasi Penyakit hewan menular di Indonesia 1989-2003, Ditkeswan, Jakarta.

Pengendalian Penyakit Jembrana


1. Pengendalian lalulintas:
a. Tindak karantina
b. Sapi bali dari daerah tertular penyakit
Jembrana disyaratkan harus sudah
divaksinasi
terhadap
penyakit
Jembrana.
2. Jika terjadi wabah maka harus dilakukan
a. Tindak penutupan daerah oleh kepala
daerah,
pemberantasan
vektor,
pengobatan
penunjang,
isolasi
dan observasi ternak sakit, dan
vaksinasi seluruh ternak beresiko di
daerah wabah
b. Monitoring titer antibodi untuk
mengukur kekebalan populasi
c. Penyuluhan kepada masyarakat.
3. Pengendalian di daerah endemis adalah:
1. Vaksinasi seluruh ternak sehat
2. Monitoring titer antibodi untuk
mengukur kekebalan populasi
3. Penyuluhan kepada masyarakat.
4. Pengamatan dan surveilans
a. Pengamatan
dilakukan
melalui
pelayanan kesehatan hewan oleh dinas
yang
membidangi
kesehatan
hewan/Poskeswan

b.

Surveilans pada populasi dilakukan


oleh BPPV Regional dengan sampel
terstruktur.

PERKEMBANGAN IPTEK PENYIDIKAN


AGEN PENYAKIT DAN UPAYA
PRODUKSI VAKSIN JEMBRANA
Penyidikan penyakit Jembrana telah
dilakukan 2 (dua) tahap:
1. Penyidikan tahap I (1983-1986). Tahap awal
penyebab penyakit diduga Rickettsia. Tahap
akhir diduga Erlichia.
2. Penyidikan
Tahap
II
(1987-1992).
Ditemukan penyebab adalah virus yang
mengakibatkan reaksi Imunologis yang
abnormal antara lain menurunnya respon
terhadap vaksin SE dan Brucella. Mencari
alternatif diagnosa yang paling murah dan
akurat (ELISA, Western Immunoblotting,
IHK/Immuno Histokimia, ISH dan PCR)
dan dibuat Manual Diagnosa Laboratorium.
3. Peran IPTEK dalam upaya produksi vaksin.
Sejak tahun 2001 telah dirintis penelitian
vaksin rekombinan DNA (waktu yang
dibutuhkan kurang lebih 3-5 tahun) oleh
BPPV R-VI dengan bantuan Proyek ACIAR
dan LIPI). Pada saatnya nanti produksi

19

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

vaksin
massal
hendaknya
dilaksanakan oleh Pusvetma.

dapat

TUJUH REKOMENDASI ACIAR


(APRIL 2004) BERKAITAN DENGAN
PENYAKIT JEMBRANA DI INDONESIA
1.

2.

3.

4.

5.
6.

7.

Rekomendasi umum: Program kerjasama


studi Test Diagnostik JDV, Antibodi dan
vaksin yang mujarab (24 bulan).
Ditjen
Peternakan
mengembangkan
Program Pengembangan kualitas Tes dan
Reagen (12 bulan)
Studi lanjut bidang molekuler untuk
deteksi
carrier
dan
differensiasi
penyebaran Lentivirus di Indonesia
dengan PCR dan lain-lain (18 bulan)
Evaluasi percobaan vaksin rekombinan
JD secara lengkap sampai diperoleh
vaksin definitif yang efisien dan aman
sebelum dikembangkan secara komersial
(24 bulan)
Memulai uji lapang vaksin rekombinan
(12 bulan)
Transfer teknologi & reagen untuk tes
diagnostik dan fasilitas vaksin komersial
(6 bulan)
Finalisasi vaksin DNA untuk kegunaan
Proof of Concept yang establish (9
bulan).

penyebaran ke daerah yang lebih luas. Sasaran


program pengendalian dan pengendalian
penyakit SE adalah:
1. Wilayah bebas diusahakan tetap bebas,
2. Wilayah tertular ringan/bersifat sporadis
diusahakan ditekan sampai tingkat 0 (Nol)
3. Wilayah
tertular
ringan
enzootis
diusahakan ditekan kearah sporadis dan
akhirnya ditekan sampai tingkat 0 (Nol).
Pengendalian dilakukan dengan pengobatan
dan vaksinasi di daerah endemis di seluruh
Propinsi. Jika terjadi wabah dilakukan
penutupan
daerah.
Sementara
itu,
pemberantasan sudah dilakukan di beberapa
wilayah yakni:
1.
P. Lombok Nusa Tenggara Barat (telah
bebas)
2.
P. Sumbawa Nusa Tenggara Barat
(Program pembebasan)
3.
P. Nusa Penida Bali (bebas kasus)
4.
P. Sumba Nusa Tenggara Timur
(Program pembebasan).
Dalam kaitannya dengan deteksi penyakit
SE, (NATALIA dan PRIADI, 1998) menyarankan
agar pengambilan sampel darah untuk
keperluan
uji
serologis
dilapangan
menggunakan kertas saring. Teknik ini terbukti
lebih mudah, praktis dan biaya pengambilan
dan pengiriman sampel 100 kali lebih murah,
dibandingkan dengan pengambilan darah
dengan tabung.

PENYAKIT SE
Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorragic
Septicaemia (HS) yang juga disebut penyakit
ngorok adalah penyakit yang menyerang ternak
sapi dan kerbau, bersifat akut dan mempunyai
tingkat kematian yang tinggi. Gejala yang
menyolok adalah demam yang disertai
gangguan pernafasan dan kebengkaan leher
yang meluas sampai daerah dada. Kerbau lebih
peka terhadap SE. Hal ini terbukti pada
pengamatan patogenesis SE bahwa kematian
pada kerbau lebih cepat daripada sapi,
demikian pula perubahan patologi (post
mortem) menunjukkan bahwa lesi pada kerbau
lebih parah dibandingkan dengan pada sapi
(PRIADI dan NATALIA, 2000).
Program pengendalian dan pemberantasan
penyakit SE bertujuan untuk menghilangkan
atau menekan kasus di daerah tertular ke
tingkat seminimal mungkin dan mencegah

20

PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE


RHINOTRACHEITIS (IBR)
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)
merupakan penyakit viral menural yang
menyerang sapi dan kerbau. Penyakit ini dapat
mengakibatkan
gangguan
pad
organ
reproduksi, pernafasan, susunan syaraf dan
pencernaan (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977).
Survei yang dilakukan pada sapi perah di Jawa
Tengah dan Jawa Barat menunjukkan bahwa
prevalensi IBR pada sapi perah lebih menonjol
dibanding penyakit reproduksi lainnya, dan
1996).
bersifat
laten
(SUDARISMAN,
Pengendalian penyakit IBR telah diupayakan
dengan:
1. Ternak bibit harus berasal dari kelompok
yang bebas IBR,
2. Pada
saat
pemberangkatan,
tidak
ditemukan tanda klinis IBR pada ternak,

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Telah ditempatkan di stasiun karantina


daerah
asal
30
hari
sebelum
pemberangkatan.
Telah dilakukan uji serologi 2 kali dengan
metoda Virus Netralisasi (VN) atau
ELISA dengan hasil negatif. Selang
waktu antara uji pertama dengan uji
kedua tidak kurang dari 21 hari.

3.

Program Surveilans IBR


1. Semua ternak bibit atau pejantan
dilakukan uji serologi dengan metoda VN
atau ELISA 2 kali dengan selang waktu
paling lama 12 bulan dengan hasil
negatif.
2. Uji dari sampel susu ternak yang laktasi 2
kali dengan selang waktu 6 bulan dengan
hasil negatif
3. Ternak sapi yang keguguran pada
kebuntingan lebih dari 3 bulan dilakukan
uji serologi dengan metoda VN atau
ELISA dengan hasil NEGATIF
4. Ternak yang positif IBR harus dipotong
dan tidak diizinkan digunakan untuk
ternak bibit
5. Semen dan embrio/ova yang berasal dari
ternak betina donor serologis positif IBR
harus dimusnahkan dan tidak diizinkan
untuk disebarkan.

5.

3.

4.

MASALAH DAN UPAYA


PENYELESAIANNYA
Permasalahan
Beberapa masalah yang berkaitan dengan
penyakit hewan menular strategis pada
ruminansia besar telah diidentifikasi antara
lain:
1. Alokasi vaksin subsidi Pusat dari unit
produksi Pusvetma untuk beberapa PHM
strategis setiap tahun semakin mengecil
bahkan belum dikembangkan untuk
produksi vaksin IBR, BVD dan Jembrana
2. Belum tertampungnya seluruh biaya
kebutuhan pengadaan vaksin dan
operasional vaksinasi/uji di daerah sesuai
populasi
hewan
terancam
(dana
dekonsentrasi, APBD dan lain-lain)

4.

6.

7.

Pergeseran
prioritas
masing-masing
daerah
mengakibatkan
kompetensi
kesehatan hewan semakin marjinal
bahkan institusi keswan di daerah banyak
yang tidak ada.
Peran Depdagri yang sangat dominan di
era otonomi daerah belum dapat
dioptimalkan
untuk
mengkoordinir
pelaksanaan pengendalian penyakit di
daerah.
Pengujian sampel untuk peneguhan
diagnosa belum dapat dilakukan secara
tertib.
Pengawasan lalu lintas hewan peka sangat
kompleks yang menyulitkan petugas
untuk memonitor pergerakannya.
Komitmen semua pihak masih perlu
ditingkatkan,
terutama
dengan
beragamnya struktur dinas daerah yang
melaksanakan fungsi keswan.

Upaya Penuntasan Pemberantasan


1. Diperlukan komitmen bersama dan
berkelanjutan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
2. Diperlukan
dana
operasional
yang
berkesinambungan
untuk
penyediaan
vaksin, pengiriman dan pengujian sampel,
surveilans dan monitoring sampai suatu
PHM dapat dibebaskan sebagaimana
ditargetkan.
3. Diperlukan optimalisasi pengawasan lalu
lintas hewan sesuai peraturan perundangan
yang berlaku.
4. Diperlukan
optimalisasi
cakupan
vaksinasi/uji
diikuti
pengambilan,
pengiriman dan penngujian sampel.
Upaya Penyelesaian Masalah
Apabila pelaksanaan kegiatan di daerah
tidak
optimal,
perlu
dipertimbangkan
perubahan kebijakan terhadap beberapa PHM
Strategis termasuk yang bersifat zoonosis yaitu
dari program pemberantasan menjadi program
pengendalian.
Sangat
strategis
untuk
melibatkan peran dan keikutsertaan Depdagri
dalam pengendalian PHM Strategis termasuk
yang zoonosis.

21

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

DAFTAR PUSTAKA
ALTON, G.G. 1978. Recent development in
vacination against bovine brucellosis. Aust.
Vet. J. 54: 551-556.
ALTON, G.G., L.M. JONES, R.D. ANGUS, and J.M.
VERGER. 1988. Techniques for the Brucellosis
Laboratory. Institute National de la Recherche
Agronomique. Paris.
ANONNIM, 2000. Anthrax Vaccine. U.S. Departemen
of Health and Human Services, Centres for
Diseases Control and Prevention National
Immunization Program.
ANONNIM. 2005. Draft Final Rencana Strategis
Pembangunan Kesehatan Hewan. Direktorat
kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan. Departemen Pertanian.
BAHRI, S. 1998. Tantangan Institusi (Laboratorium)
Veteriner di Indonesia dalam menghadapi era
pasar bebas. Pros. Seminar Hasil-hasil
Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Februari
1998: 19-33.
BARBONI, P., I. THOMPSON, J. BROWNLIE, N.
HARTANINGSIH dan M.E. COLLINS. 2000.
Evidence for the presence of two bovine
lentiviruses in the cattle population of Bali.
Veterinary Microbiology. 80, 313-327.
DEPARTEMEN KESEHATAN RI, 2004. Pedoman dan
Protap Penatalaksanaan Kasus Anthrax di
Indonesia. Sub.Dit Zoonosis, Direktorat P2B2,
Dit Jen PPM dan PLP, Jakarta.
DITKESWAN, 1990. Pedoman Umum Pembinaan
Kesehatan Hewan.Rapat Konsultasi Teknis
Nasional. Direktorat Jenderal Peternakan,
Jakarta, 5-6 Februari 1990.
GIBBS, E.P.J. dan M.M. RWEYEMAMU, 1977. Bovine
Herpesviruses. Part I. Bovine Herpesvirus-1.
Vet.Bull. 47: 317-343.
HARDJOUTOMO, S. 1990. Anthrax in Indonesia: A
continuing problem for developing country.
Salisbury
Medical
Bulletin.
Special
Supplement. Salisbury, Wiltshire. 68: 14-115.
HARDJOUTOMO, S., M.B. POERWADIKARTA, dan E.
MARTINDAH. 1996. Anthrax pada hewan dan
manusia di Indonesia. Pros. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8
November 1995. pp: 305-318.

22

HARTANINGSIH, N., G.E. WILCOX, D.M.N. DHARMA


dan M. SOETRISNO. 1993. Distribution of
jembrana disease in cattle in Indonesia.
Veterinary Microbiology, 38: 23-29.
KURNIAWATI, Y., H. KUSNOPUTRANTO, dan G.M.
SIMANJUNTAK. 2005. Dinamika Penularan dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian penyakit anthrax pada manusia di
wilayah Kecamatan Babakan Madang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat tahun 2004.
Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
Bogor, 15 September 2005. pp: 193-206.
MARTINDAH, E., S. WAHYUWARDANI, dan A.
NURHADI. 1995. Epidemiologi anthrax di
daerah endemis (Jawa Barat). Kumpulan
Makalah. Konferensi Ilmiah Nasional ke VI,
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia.
Surabaya, 20-23 November 1994. PDHI
Cabang Jawa Barat II. pp: 28-35.
MARTINDAH, E. dan S. WAHYUWARDANI. 1998. Pola
kasus anthrax pada ternak di Propinsi Nusa
Tenggara Barat. JITV 3(1): 39-46.
NAIPOSPOS, T.S.P. 2005. Kebijakan penanggulangan
penyakit zoonosis berdasarkan prioritas
Departemen Pertanian. Pros. Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15
September 2005. pp: 23-27.
NATALIA, L. dan A. PRIADI. 1998. Penggunaan
kertas saring sebagai alat transpor sampel
darah untuk uji serologi Pastuerella multocida:
Analisis dan perbandingan komposisi protein
antara ekstrak kertas saring dan serum. JITV
3(3): 182-189.
NURHADI,
A.,
E.
MARTINDAH,
dan
S.
WAHYUWARDANI. 1996. Study anthrax pada
manusia dan ternak di Jawa Tengah. Pros.
Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner.
Bogor, 12-13 Maret 1996: 156-161.
PRIADI, A. dan L. NATALIA. 2000. Patogenesis
Septicaemia Epizootica (SE) pada sapi/kerbau:
Gejala Klinis, perubahan patologis, reisolasi,
deteksi Pasteurella multocida dengan media
kultur dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
JITV 5(1): 65-71.
POERWADIKARTA, M.B., S. HARDJOUTOMO, dan E.
MARTINDAH.
1995.
Studi
retrospektif
laboratorik anthrax di Indonesia: 1973-1992.
Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner
untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan
Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak,
Bogor, 22-24 Maret 1994. pp: 159-164.

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

RAMACHANDRAN, S. 1997. Early observation and


research on Jembrana Disease in Bali and
other islans. In: Jembrana disease and the
bovine lentiviruses. Edited by WILLCOX, G.E.,
S. SOEHARSONO, D.M.N. DHARMA dan J.W.
COPLAND. ACIAR Proc.No. 75. Australian
Centre for International Agricultural Research.
Canberra.
SUDARISMAN, 1996. Status infeksi Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) pada sapi perah di
Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner, Bogor, 7-8 Nopember 1995:
877-881.
SUDIBYO, A. 1994. Studi Brucellosis dan
karakterisasi protein antigenik Brucella
abortus isolat lapang pada sapi perah. Thesis
Magister sain. Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.

SUDIBYO, A. 1995b. Perbedaan respons serologis


antara sapi yang mendapat infeksi alami,
infeksi buatan dan yang divaksinasi dengan
vaksin Brucella abortus galur 19. JITV 1(2):
117-122.
SUDIBYO, A. 1996a. Isolasi dan Identifikasi Brucella
abortus yang menyerang sapi perah di daerah
khusus Ibukota Jakarta. Pros. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 78 Nopember 1995: 909-914.
SUDIBYO, A. 1996b. Studi perbandingan sifat-sifat
protein antigenik sel brucella abortus isolat
lapang dengan teknik elektroporosis dan
immunoblotting. JIT V 1(3): 185-189.
WHO, 1998. Guidelines for the Surveillance and
Control of Anthrax in Human and Animal. 3rd
Edition, Departement of Communicable
Disease Surveillance and Response.

SUDIBYO, A. 1995a. Studi epidemiologi brucellosis


dan dampaknya terhadap produksi sapi perah
di DKI Jakarta. JITV 1(1): 31-36.

23

Anda mungkin juga menyukai