Proram Kerja Pengendalian Phms
Proram Kerja Pengendalian Phms
ABSTRAK
Program kecukupan daging sapi 2010 yang telah dicanangkan oleh pemerintah perlu didukung oleh
peningkatan produktivitas ternak yang optimal. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas
ternak adalah kesehatan hewan dan pengendalian penyakit ternak. Sasaran kesehatan hewan untuk tahun
2007-2010 yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan dalam mendukung kecukupan daging sapi
2010, adalah: menekan angka kematian sapi potong < 2,39%, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas
dengan angka kelahiran > 17,85%, meningkatkan jumlah unit pelayanan keswan yang terakreditasi dan
kemampuan deteksi dini penyakit hewan menular (PHM), serta meningkatkan jumlah wilayah bebas PHM
strategis tertentu khususnya di kantong ternak sapi potong. Pada prinsipnya pengendalian dan pemberantasan
PHM menjadi tugas pemerintah pusat dan saat ini diprioritaskan pada 13 (tigabelas) jenis PHM strategis
dimana situasi penyakit-penyakit tersebut wajib dilaporkan ke pusat tiap bulan. Dari 13 jenis penyakit
tersebut terdapat 5 (lima) jenis penyakit pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus,
yaitu: penyakit brucellosis, anthrax, Jembrana, SE dan IBR. Penyakit-penyakit tersebut jika mewabah dapat
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dan berdampak pada kesehatan masyarakat. Kebijakan
pemerintah dalam upaya pengendalian ke-5 jenis penyakit PHM strategis tersebut berikut masalah yang telah
diidentifikasi dan upaya penyelesaiannya diuraikan dalam tulisan ini.
Kata Kunci: Penyakit hewan menular strategis, kebijakan, pengendalian, pemberantasan.
PENDAHULUAN
Sub sektor peternakan merupakan bagian
penting dari sektor pertanian, dan berperan
sangat besar dalam ketahanan pangan terutama
penyediaan bahan pangan asal ternak untuk
memenuhi
konsumsi
protein
hewani
masyarakat Indonesia yang masih tergolong
rendah. Program Kecukupan Daging oleh
Pemerintah Republik Indonesia melalui
Departemen Pertanian telah ditargetkan akan
dicapai pada tahun 2010. Untuk mendukung
program
Kecukupan
Daging
tersebut
produktivitas ternak perlu dioptimalkan. Salah
satu faktor yang dapat meningkatkan
produktivitas ternak adalah masalah kesehatan
hewan dan pengendalian penyakit ternak. Oleh
karena itu status dan kondisi kesehatan hewan
harusnya dapat dikendalikan.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan telah menetapkan visi dan
misinya dalam pembangunan kesehatan hewan
untuk periode tahun 2005-2009 (ANONIMUS,
12
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
13
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
14
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
4. Peraturan-peraturan pelaksanaan
Mentan, dan lain-lain).
(Kep
Penanggulangan wabah
U.U. No. 22 Th 1999
yo. No. 32 Th 2004
tentang Pemerintahan Daerah
P.P. No.25 Th 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom
BAB II
Pasal 2 ayat (4)
Penanggulangan wabah dan bencana
yang berskala nasional
Kewenangan Propinsi
15
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Penyakit Brucellosis
Penyakit Brucellosis disebabkan oleh
bakteri dari genus Brucella yang dapat
menyebabkan keluron (keguguran) pada ternak
ruminansia dan bersifat zoonosis. Pada sapi
disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella
abortus; dan diketahui ada 7 biotipe B. Abortus
yaitu biottipe 1-6 dan biotipe 9 (ALTON, et al.
1988). Di Indonesia Brucellosis pada sapi
terutama disebabkan oleh infeksi B. Abortus
biotipe 1, kemudian biotipe 2 dan biotipe 3
(SUDIBYO, 1994).
Di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi,
secara ekonomi dan sosial menimbulkan
kerugian besar. Jika pengendalian tidak
dilakukan kerugian ekonomi akibat penyakit
ini dapat mencapai 385 milyar per tahun.
Sampai saat ini wilayah yang bebas dari
penyakit Brucellosis adalah Propinsi Bali,
sedangkan Pulau lombok telah berhasil
dibebaskan pada tahun 2002 dan P. Sumbawa
bebas pada awal tahun 2006. Meskipun
demikian, kemungkinan timbulnya wabah
Brucellosis harus tetap diwaspadai karena
pemberantasan penyakit yang tidak optimal
dan seksama akan memperluas penyebaran
penyakit.
Di DKI Jakarta, sedikitnya 201 ekor sapi di
38 peternakan terserang brucellosis (SUDIBYO,
1995a.), selain itu Brucellosis pada sapi perah
telah menyebabkan tingginya kasus keguguran
(62,5%), kematian dini (9,8%) dan lahir lemah
(15,2%). Brucellosis pada sapi perah di DKI
Jakarta mengakibatkan tingginya kontaminasi
susu oleh B. Abortus; sehingga susu dan cairan
uterus
merupakan
sumber
penularan
brucellosis yang potensial (SUDIBYO, 1996a).
Prevalensi di P. Jawa < 2% dengan
menerapkan program test and sloughter, dan
diharapkan dapat bebas pada th 2012. Sampai
saat ini P. Sumatera kecuali Propinsi NAD dan
Propinsi Lampung dengan kebijakan test and
sloughter yang diterapkan tidak ditemui kasus
Brucellosis dalam 5 tahun terakhir, demikian
pula dengan Propinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan laporan surveilans BPPV Reg.V,
prevalensi Brucellosis di Propinsi Kalimantan
Timur (1998-2005) kurang dari 0,07% dan
rencana bebas tahun 2008. Daerah-daerah yang
saat ini menerapkan program vaksinasi adalah
Propinsi NAD, Sulawesi Selatan dan Tenggara,
16
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
8.
17
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
1.
Pelaksanaan
pengamatan
untuk
meningkatkan kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan munculnya kasus pada
ternak khususnya di daerah endemis yang
setiap tahun ada kecenderungan muncul,
serta terus memantau secara intensif
daerah dan lokasi endemis yang ada.
2. Pelaksanaan vaksinasi massal untuk
mengoptimalkan cakupan vak sinasi
setiap tahun pada ternak sapi, kerbau,
kambing dan domba di lokasi-lokasi
endemis anthrax.
3. Penelitian untuk dapat menghasilkan
vaksin yang lebih baik yaitu mempunyai
potensi atau tingkat kekebalan yang
cukup lama, aman terhadap semua jenis
ternak dan murah.
4. Memproduksi vaksin dalam jumlah
cukup untuk kesiap-siagaan apabila
terjadi wabah minimal sebesar 600 juta
dosis dan untuk memberikan subsidi bagi
daerah yang masih kekurangan vaksin.
5. Pelaksanaan pengawasan lalu lintas
ternak yang keluar dan masuk lokasi
endemis bekerjasama dengan aparat
karantina hewan dan instansi terkait lain.
6. Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum
maupun
setelah
ternak
dipotong
(ante/post mortum) di Rumah Potong
Hewan.
7. Sosialisasi
untuk
meningkatkan
pemahaman kepada masyarakat tentang
bahaya
anthrax
serta
upaya
penanggulangannya dengan bekerjasama
seluruh instansi dan pihak terkait lain
termasuk pemuka masyarakat/agama,
LSM, kader desa melalui berbagai cara
seperti pencetakan brosur, leaflet,
spanduk, sosialisasi melalui berbagai
media (elektronik dan cetak) serta
pertemuan-pertemuan informal.
8. Pertemuan
koordinasi
untuk
meningkatkan koordinasi dengan seluruh
instansi terkait khususnya dengan
Departemen Kesehatan beserta jajarannya
sampai ke tingkat kecamatan/Puskesmas
khususnya apabila dicurigai adanya kasus
penularan pada manusia.
Tingkat endemisitas penyakit Antrax sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Praktek-praktek sosial dalam masyarakat
peternakan, termasuk pertukaran ternak
sapi
18
2.
3.
4.
Di
Indonesia
Penyakit
Jembrana
merupakan masalah penyakit yang unik sebab
hanya patogen pada sapi Bali, disebabkan oleh
Jembrana disease virus (JDV) yang
diidentifikasi
sebagai
lentivirus
(HARTANINGSIH, et al., 1993; BARBONI, et al.,
2001). Penyakit Jembrana dikenal sejak tahun
1964 di Kabupaten Jembrana, Bali. Tahun
1978 terjadi di Banyuwangi dan Jawa Timur.
Wabah awal yang terjadi di Bali diperkirakan
telah menimbulkan kematian sekitar 70.000
ekor sapi Bali, dengan tingkat kematian 98,9%
(RAMACHANDRAN, 1997). Di Lampung kasus
Jembrana muncul pertama tahun 1976, di
Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 2001
dan 2002 di Kabupaten Lampung Tengah dan
Lampung Selatan dilakukan vaksinasi masingmasing sebanyak 2.000 dosis dan 3000 dosis.
Di Pulau Kalimantan survei serologi penyakit
Jembrana dilakukan dengan metoda uji ELISA,
hasil prevalensi sero positif antibodi Jembrana
cukup tinggi (43,3%).
Sumber sapi Bali yaitu di NTB dan NTT
masih bebas penyakit Jembrana. Sehubungan
dengan outbreak tahun 1964, Direktorat
Kesehatan Hewan telah melarang sapi export
dari Bali ke pulau-pulau lain di Indonesia
kecuali ke Jakarta sebagai ternak potong
(RAMACHANDRAN, 1997). Namun, penyebaran
penyakit Jembrana saat ini sudah meliputi P.
Bali, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pada
tahun 2003 di Sulawesi Selatan telah
dilaporkan serologi positif. Sebaran kasus
Jembrana periode 1989-2003 disajikan pada
Tabel 1.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
1989-1992
1993-1997
1998-1999
2000-2003
2.849
558
87
168
Sumatera Barat
92
61
Kalimantan Selatan
32
75
Kalimantan Tengah
28
Riau
321
Sumatera Selatan
19
95
Bali
Lampung
Bengkulu
39
Jawa Barat
Jambi
32
Sulawesi Selatan
2.976
1.043
132
319
Jumlah
Sumber: Data situasi Penyakit hewan menular di Indonesia 1989-2003, Ditkeswan, Jakarta.
b.
19
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
vaksin
massal
hendaknya
dilaksanakan oleh Pusvetma.
dapat
2.
3.
4.
5.
6.
7.
PENYAKIT SE
Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorragic
Septicaemia (HS) yang juga disebut penyakit
ngorok adalah penyakit yang menyerang ternak
sapi dan kerbau, bersifat akut dan mempunyai
tingkat kematian yang tinggi. Gejala yang
menyolok adalah demam yang disertai
gangguan pernafasan dan kebengkaan leher
yang meluas sampai daerah dada. Kerbau lebih
peka terhadap SE. Hal ini terbukti pada
pengamatan patogenesis SE bahwa kematian
pada kerbau lebih cepat daripada sapi,
demikian pula perubahan patologi (post
mortem) menunjukkan bahwa lesi pada kerbau
lebih parah dibandingkan dengan pada sapi
(PRIADI dan NATALIA, 2000).
Program pengendalian dan pemberantasan
penyakit SE bertujuan untuk menghilangkan
atau menekan kasus di daerah tertular ke
tingkat seminimal mungkin dan mencegah
20
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
3.
5.
3.
4.
4.
6.
7.
Pergeseran
prioritas
masing-masing
daerah
mengakibatkan
kompetensi
kesehatan hewan semakin marjinal
bahkan institusi keswan di daerah banyak
yang tidak ada.
Peran Depdagri yang sangat dominan di
era otonomi daerah belum dapat
dioptimalkan
untuk
mengkoordinir
pelaksanaan pengendalian penyakit di
daerah.
Pengujian sampel untuk peneguhan
diagnosa belum dapat dilakukan secara
tertib.
Pengawasan lalu lintas hewan peka sangat
kompleks yang menyulitkan petugas
untuk memonitor pergerakannya.
Komitmen semua pihak masih perlu
ditingkatkan,
terutama
dengan
beragamnya struktur dinas daerah yang
melaksanakan fungsi keswan.
21
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
DAFTAR PUSTAKA
ALTON, G.G. 1978. Recent development in
vacination against bovine brucellosis. Aust.
Vet. J. 54: 551-556.
ALTON, G.G., L.M. JONES, R.D. ANGUS, and J.M.
VERGER. 1988. Techniques for the Brucellosis
Laboratory. Institute National de la Recherche
Agronomique. Paris.
ANONNIM, 2000. Anthrax Vaccine. U.S. Departemen
of Health and Human Services, Centres for
Diseases Control and Prevention National
Immunization Program.
ANONNIM. 2005. Draft Final Rencana Strategis
Pembangunan Kesehatan Hewan. Direktorat
kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan. Departemen Pertanian.
BAHRI, S. 1998. Tantangan Institusi (Laboratorium)
Veteriner di Indonesia dalam menghadapi era
pasar bebas. Pros. Seminar Hasil-hasil
Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Februari
1998: 19-33.
BARBONI, P., I. THOMPSON, J. BROWNLIE, N.
HARTANINGSIH dan M.E. COLLINS. 2000.
Evidence for the presence of two bovine
lentiviruses in the cattle population of Bali.
Veterinary Microbiology. 80, 313-327.
DEPARTEMEN KESEHATAN RI, 2004. Pedoman dan
Protap Penatalaksanaan Kasus Anthrax di
Indonesia. Sub.Dit Zoonosis, Direktorat P2B2,
Dit Jen PPM dan PLP, Jakarta.
DITKESWAN, 1990. Pedoman Umum Pembinaan
Kesehatan Hewan.Rapat Konsultasi Teknis
Nasional. Direktorat Jenderal Peternakan,
Jakarta, 5-6 Februari 1990.
GIBBS, E.P.J. dan M.M. RWEYEMAMU, 1977. Bovine
Herpesviruses. Part I. Bovine Herpesvirus-1.
Vet.Bull. 47: 317-343.
HARDJOUTOMO, S. 1990. Anthrax in Indonesia: A
continuing problem for developing country.
Salisbury
Medical
Bulletin.
Special
Supplement. Salisbury, Wiltshire. 68: 14-115.
HARDJOUTOMO, S., M.B. POERWADIKARTA, dan E.
MARTINDAH. 1996. Anthrax pada hewan dan
manusia di Indonesia. Pros. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8
November 1995. pp: 305-318.
22
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
23