Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KEARIFAN LOKAL

DALIHAN NA TOLU

OLEH :
ANDIKA D. HUTABARAT
14/368401/TK/42556

JURUSAN TEKNIK MESIN DAN INDUSTRI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
A.

PEMBAHASAN

SUKU BATAK

Suku Batak adalah salah satu suku yang bermukim di mayoritas


wilayah Sumatera Utara. Suku Batak memiliki jumlah populasi yang cukup
besar di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah populasi
suku Batak adalah sekitar 6,1 juta, yang merupakan terbanyak ke-6 di
Indonesia.(Sumber: BPS)
Dalam anggapan masyarakat Indonesia suku Batak adalah suku
yang sangat keras dalam berbicara, namun anggapan masyarakat
tersebut lebih merujuk kepada salah satu sub etnis dalam suku Batak
yaitu Batak Toba. Pada kenyataannya terdapat beberapa sub-etnis dari
suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak PakPak, Batak Mandailing/Angkola. Berikut penjelasan sub etnis Batak.
1. Batak Toba
Suku Batak Toba, adalah satu etnik dari sekian banyak rumpun Batak
yang terdapat di Sumatra. Wilayah pemukiman suku Batak Toba meliputi
kabupaten Toba Samosir yang terdiri dari Balige, Laguboti, Parsoburan dan
sekitarnya.
Pada masa dahulu wilayah suku Batak Toba berada di Tapanuli Utara dan
Tapanuli Tengah, yang disebut sebagai satu kesatuan etnis saja, yaitu
suku Batak Toba. Tetapi karena terdapat perbedaan letak geografis dan
pembagian distrik, maka saat ini suku Batak Toba dibagi menjadi
beberapa puak Batak, yang disebut sebagai Rumpun Tapanuli yang saling
berkerabat dekat secara kultural, yaitu suku Batak Toba, Batak Samosir,
Batak Humbang dan Batak Silindung.
Selain beberapa puak tersebut tadi, suku Batak Toba juga masih
berkerabat dengan suku Batak Angkola dan Batak Mandailing. Salah satu
kedekatan antara beberapa puak di atas adalah dapat dilihat dari
mayoritas penduduk asli suku Batak Toba adalah marga-marga Hutabarat,
Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Ke 6
marga tersebut adalah keturunan dari Guru Mangaloksa, salah satu anak
Raja Hasibuan dari wilayah Toba.
Demikian juga dengan marga Nasution yang banyak tinggal di wilayah
Padang Sidempuan adalah saudara kandung marga Siahaan dari Balige,
kedua marga ini berasal dari keturunan leluhur yang sama.
Masyarakat suku Batak Toba, pada dasarnya hidup sebagai petani dan
sebagai nelayan bagi yang bermukim di pesisir danau Toba. Tetapi saat ini
berbagai bidang profesi telah mereka jalani, seperti pedagang, bekerja di
sektor swasta maupun di sektor negeri. Tidak sedikit orang Batak Toba
yang sukses di perantauan, menjadi pejabat penting di pemerintahan,
pengacara maupun sebagai pengusaha sukses.

2. Batak Simalungun
Suku Batak Simalungun, adalah salah satu etnik Batak yang
terkonsentrasi di kabupaten Simalungun provinsi Sumatra Utara. Wilayah
kediaman suku Batak Simalungun berada di antara 2 etnik batak lainnya,
yaitu suku Karo yang berada di kabupaten Tanah Karo dan suku Toba.
Bahasa Simalungun sendiri memiliki kemiripan dengan bahasa Karo
maupun bahasa Toba.
Sehingga bahasa Simalungun disebut sebagai bahasa batak tengah.
Sebagian orang Simalungun saat ini percaya bahwa asal usul orang
Simalungun, dikatakan berasal dari India, tepatnya dari daerah Assam,
India Selatan, dari suatu tempat yang bernama Asom. Dilihat dari adat
istiadat dan tradisi budaya orang Simalungun banyak memiliki kemiripan
dengan adat istiadat dan tradisi budaya Batak Karo maupun Batak Toba.
Hal ini mengindikasikan kemungkinan besar suku Simalungun beserta
suku Batak Karo dan Batak Toba berasal dari suatu tempat yang sama.
Orang Simalungun berbicara dalam bahasa Simalungun sebagai bahasa
sehari-hari. Pada umumnya orang Batak Simalungun bisa memahami
bahasa Batak Toba, yang menjadi bahasa pengantar pada masa lalu di
wilayah sekitar Danau Toba.
Dalam mitos orang Simalungun, dikatakan bahwa manusia awalnya
dikirim oleh oleh Naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang bisa
berdiam dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya,
sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun
menyebut roh orang mati sebagai Simagot.
Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan
sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua
sesembahan tersebut. Masyarakat Simalungun adalah patrilineal. Marga
diturunkan kepada generasi berikutnya melalui pihak laki-laki. Orang yang
memiliki marga yang sama adalah berarti sebagai saudara seketurunan
sehingga dipantangkan (tidak diperbolehkan) untuk saling menikah.
Marga-marga pada suku Simalungun terdiri atas 4 marga asli, yaitu:
Damanik Purba Saragih Sinaga Keempat marga di atas berasal dari
marga para Raja-Raja di Simalungun. Selain itu ada juga marga-marga
yang berasal dari luar Simalungun yang sejak dahulu ikut menetap di
wilayah adat Simalungun, kemudian menjadi sub-bagian dari 4 marga di
atas.
3. Batak Karo
Karo adalah salah Suku Bangsa yang mendiami Dataran Tinggi Karo,
Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar
dalam Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama

Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo)
yaitu Tanah Karo.
Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap
Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam
dan penuh dengan perhiasan emas. Karo dianggap sebagai bagian dari
suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak
Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo.
Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka
bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku
yang berdiri sendiri. Suku Karo juga sering disebut suku Batak Karo. Hal ini
dikarenakan banyaknya marga, kekerabatan, kepercayaan, dan geografis
domisilinya yang dikelilingi etnis-etnis yang dikatakan Batak.
Orang Karo menyebut dirinya kalak Karo, orang diluar Karo dan tidak
mengenal Karo-lah yang kemudian memanggil mereka Batak Karo. Benar
tidaknya Karo ini dikatakan Batak, tergantung pada persepsi Batak yang
ditawarkan.
Sebab, jika konsep Batak yang ditawarkan adalah Batak yang didasarkan
pada hubungan vertikan(geneologi/keturunan darah) seperti yang berlaku
di Toba-Batak, bahwa Si Raja Batak adalah nenek moyang bangsa Batak,
maka Karo bukanlah Batak! Hal ini dikarenakan eksistensi Karo yang
teridentifikasi lebih awal dibandingkan kemunculan Si Raja Batak ini( Karo
jauh sudah ada sebelum kemunculan Si Raja Batak diabad ke-13 Masehi)
yang didasarkan pada fakta sejarah, logika, dan tradisi di Karo dan sukusuku lainnya yang dikatakan Batak.
Namun, jika batak yang didasarkan pada kekerabatan horizontal
(solidaritas, teritorial, dan geografis) maka Karo adalah bagian dari Batak.
4. Batak Pak Pak
Suku Batak Pakpak, adalah suatu kelompok masyarakat yang terdapat di
beberapa kabupaten di provinsi Sumatra Utara dan di sebagian wilayah
provinsi Nanggroe Aceh. Orang Batak Pakpak, berbicara dalam bahasa
sendiri, yaitu bahasa Pakpak. Sedangkan di Kelasen bahasa Pakpak
disebut sebagai bahasa Dairi.
Bahasa Pakpak ini merupakan cabang dari rumpun bahasa Austronesia,
yang termasuk dari salah satu cabang dari rumpun bahasa Batak. Bahasa
Batak Pakpak memiliki kekerabatan dengan bahasa Batak Karo, tapi
bahasa Pakpak juga banyak mirip dengan bahasa Batak Toba. Pemakai
bahasa Pakpak sendiri mengalami penurunan diakibatkan banyaknya arus
pendatang di luar suku Pakpak yang memasuki wilayah mereka.

Para generasi muda semakin enggan menggunakan bahasa Pakpak dalam


pergaulan sehari-hari. Perkimpoian dengan suku di luar suku Pakpak, serta
pengaruh bahasa-bahasa dari para pendatang turut mempengaruhi
kelestarian bahasa Pakpak. Sepertinya hal ini perlu mengalami perubahan
yang berarti agar bahasa Pakpak tidak hilang di daerahnya sendiri.
Dalam bahasa Batak Pakpak ada suatu ucapan khas, yaitu "Njuah-Njuah",
yang berarti "semoga sehat selalu". Marga-marga Pakpak, secara
keseluruhan: Anak Ampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu,
Berasa, Berutu, Bintang, Boang Manalu, Capah Cehun, Cibro, Cibero
Penarik, Gajah, Gajah Manik, Goci, Kaloko, Kabeaken, Kesogihen, Kombih,
Kudadiri, Kulelo, Lembeng, Lingga, Maha, Maharaja, Manik, Manik
Sikettaang, Manjerang, Matanari, Meka, Mucut, Mungkur, Munte, Padang,
Padang Batanghari, Pasi, Pinayungen, Simbacang, Simbello, Simeratah,
Sinamo, Sirimo Keling, Solin, Sitakar, Sagala, Sambo, Saraan, Sidabang,
Sikettang, Simaibang, Tendang, Tinambunan, Tinendung, Tinjoan,
Tumangger, Turuten, Ujung.
5. Batak Mandailing/angkola
Suku Batak Mandailing/angkola adalah salah satu suku dari sekian banyak
Rumpun Batak yang telah lama hidup dalam suatu komunitas di
kabupaten Mandailing-Natal, penyebaran juga terdapat di kabupaten
Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara, dan sebagian kabupaten
Tapanuli Selatan yang berada di provinsi Sumatera Utara.
Orang Mandailing/angkola juga menyebar hingga ke wilayah provinsi
Sumatra Barat, seperti di kabupaten Pasaman dan kabupaten Pasaman
Barat. Suku Mandailing/angkola memiliki adat, budaya dan bahasa sendiri.
Mereka berbicara dalam bahasa Mandailing/angkola. Bahasa
Mandailing/angkola sendiri sangat berkerabat dengan bahasa Batak Toba.
Dilihat dari tradisi budaya, adat dan bahasa terdapat keterkaitan erat di
masa lalu antara suku Batak Mandailing/Angkola dengan suku Batak Toba
dan Padang Lawas. Selain itu mereka juga diperkirakan masih terkait
hubungan di masa lalu dengan suku Batak Rokan dan suku Rao. Suku
Mandailing/Angkola ini berada di antara beberapa kebudayaan besar,
yaitu budaya Batak Toba dan budaya Minangkabau.
Pada suatu sisi suku Mandailing/Angkola sebagai bagian dari rumpun
Batak, tapi keberadaan mereka sempat diklaim berasal dari Minangkabau.
Apabila dilihat dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta
bahasa pada masyarakat suku Mandailing/Angkola, bahwa suku
Mandailing/Angkola ini lebih berkerabat dengan suku Batak Toba,
dibanding dengan suku Minangkabau. Selain itu marga-marga yang ada
pada suku Mandailing/Angkola juga banyak yang sama dengan margamarga pada suku Batak Toba.

Sedangkan dengan suku Minangkabau, sangat berbeda dari struktur fisik,


budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku
Mandailing/Angkola sangatlah berbeda. Hanya karena pada suku
Minangkabau terdapat salah satu suku/marga Mandaihiliang, oleh karena
itu suku Minangkabau mengklaim bahwa Mandailing/Angkola berasal dari
salah satu marga/suku dari suku Minangkabau tersebut.
Suku Mandailing/Angkola sendiri menganut paham kekerabatan
patrilineal, tapi akhir-akhir ini ada yang menerapkan sistem matrilineal. Di
Mandailing terdapat marga-marga, seperti: Lubis, Nasution, Harahap,
Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe,
Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut dan lain-lain.
Marga-marga yang terdapat di Tanah Mandailing Godang, banyak memiliki
pertalian dengan marga-marga dari Batak Utara (Batak Toba). Tapi karena
telah terpisah sejak berabad-abad, dan banyak terjadi missing link, maka
marga-marga Mandailing/Angkola saat ini telah berkembang menjadi
beberapa aliran marga tersendiri.
II

KEKERABATAN

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat suku Batak


dikelompokkan menjadi 2 yaitu: secara keturunan (marga) dan sosiologi.
Hubungan secara marga sering dinamakan Tarombo dalam
masyarakat Batak. Tarombo dimulai dari yang teratas yaitu Si Raja Batak
yang menurunkan marga-marga yang ada dalam suku Batak.
Yang kedua adalah secara sosiologi. Walaupun sangat
memperhatikan hubungan marga, namun suku Batak tidak lupa
memperhatikan hubungan dengan orang terdekat di lingkungan.
III

Dalihan Na Tolu

Inilah salah satu kearifan lokal yang akan di bahas pada makalah ini.
Dalihan Na Tolu merupakan falsafah hidup yang dijunjung oleh
masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu memiliki istilah yang berbeda-beda
dalam setiap sub etnis Batak. Dalihan Na Tolu merupakan sebutan dalam
bahasa Batak Toba. Walaupun memiliki istilah berbeda namun isi dan
konsep yang diatur kurang lebih sama. Perbedaan istilah lebih
disebabkan oleh perbedaan struktur bahasa.
Kedudukan yang diatur dalam Dalihan Na Tolu adalah sebagai
berikut.
1.

Hula-hula (Keluarga pihak perempuan)

2.

Dongan Tubu (Teman Semarga)

3.

Boru (Anak perempuan/Keluarga anak perempuan)

Dalihan Na Tolu ini muncul di tengah banyaknya marga di tengah


masyarakat Batak. Bahkan dalam sistem marga terdapat istilah hula-hula,
dongan tubu dan boru. Misalnya marga Nainggolan merupakan dongan
tubu marga Sinaga.
Walaupun mengatur tingkat kedudukan setiap orang dalam
masyarakat, namun Dalihan Na Tolu bukan merupakan sistem kasta,
karena setiap orang dapat mengalami ketiga kedudukan tersebut di
tengah masarakat. Dalihan Na Tolu juga tidak memandang posisi atau
jabatan seseorang. Misalnya dalam suatu acara adat seorang Walikota
menjadi pihak Boru, maka mereka harus rela untuk menjadi pelayan
dalam acara tersebut.
Konsep Dalihan Na Tolu adalah sebagai berikut :
1.

Somba Marhula-hula.

2.

Manat Mardongan Tubu.

3.

Elek Marboru

1.

Somba Marhula-hula

Arti dari kata Somba Marhula-hula adalah memberi hormat kepada


pihak Hula-Hula. Hula-Hula seperti yang telah dijelaskan di atas
merupakan keluarga dari pihak wanita. Dalam masyarakat Batak, wanita
sangatlah dihargai. Dalam pesta adat Batak, hula-hula biasanya
mendapat perlakuan yang spesial. Bahkan dalam setiap acara adat, acara
tidak akan berjalan jika tidak dihadiri oleh pihak hula-hula. Namun, bukan
hanya dalam acara adat, dalam kehidupan sehari-haripun harus demikian.
Misalnya, si A (laki-laki) menikah dengan si B(perempuan) yang memiliki
saudara laki-laki C. Dalam kehidupan sehari-hari si A akan memanggil si C
tunggane. Apabila si C datang ke kediaman si A dan B, maka si C harus
disambut seperti raja. Hubungan hula-hula bukan hanya untuk yang
sedarah dengan pihak wanita. Bahkan orang lain yang semarga dengan
pihak wanitapun harus diperlakukan sebagai hula-hula.
2.

Manat Mardongan Tubu.

Manat Mardongan Tubu artinya baik-baik dengan teman semarga.


Teman semarga dalam masyarakat Batak memang penting. Oleh karena
itu, ada beberapa ikatan marga yang terbentuk. Setiap orang Batak wajib
menjaga hubungan dengan teman semarganya. Karena dalam kehidupan
biasanya teman semarga yang dapat sering membantu kita. Dalam acara

adat pun biasanya pihak dongan tubu adalah yang pertama


mempersiapkan acara dengan baik. Dongan tubu bukan hanya yang
semarga dengan kita. Yang berbeda margapun dapat menjadi dongan
tubu kita berdasarkan hubungan tali marga.
3.

Elek Marboru

Elek= bujuk. Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang


mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati
posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam
pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat.
Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa
diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil
hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Adat Batak menentukan sikap terhadap ketiga kelompok tsb, yaitu Somba,
Manat, dan Elek. Kita bisa menjadi bagian dari masing-masing pihak
dalam perjalanan hidup kita menghadapi orang Batak lainnya. Dengan
demikian, semua orang Batak dapat menduduki salah satu posisi tsb,
tidak selalu dalam posisi Boru atau posisi Dongan Tubu. Semua posisi itu
sama kuatnya dan sama pentingnya serta saling melengkapi satu sama
lainnya seperti ketiga batu yang membentuk tungku itu di masa lalu.
Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalihan Na tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak
memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula, ada
saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi BORU.

B.

FUNGSI DAN MANFAAT

Fungsi Dalihan Na Tolu


Dalihan na tolu mempunyai fungsi dalam menentukan hubungan
masyarakat yang berinteraksi dalam artian apakah dia sebagai dongan
sabutuha, boru, ataupun hula-hula. Hal ini juga penting dalam mengatur
tata komunikasi atau tutur sapa.
Dalihan na tolu juga berfungsi menentukan kedudukan, hak dan kewajiban
masyarakat. Fungsi dari ketiga unsur diuraikan seperti dibawah ini;
Pertama, hula-hula berfungsi untuk memberikan petuah, nasihat, bahkan
diyakini sebagai pemberi berkat. Hula-hula ini berkedudukan lebih
terhormat dari unsur yang lain
Kedua, dongan tubu atau dongan sabutuha berfungsi sebagai tuan rumah
yang menyediakan bukan melayani keperluan kegiatan atau acara.
Ketiga, boru berperan sebagai pelayan (parhobas) dalam acara adat
maupun acara lainnya (misalnya, gotong-royong).

Fungsi Dalihan Na Tolu juga mengatur dan mengendalikan tingkah laku


seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak (Toba). Pengaturan
atau pengendalian itu didasarkan pada pola perilaku terhadap tiga unsur
dalihan na tolu, yakni somba marhula-hula hormat kepada pihak pemberi
istri, elek marboru membujuk kepada pihak penerima istri, dan manat
mardongan tubu hati-hati kepada teman semarga. Hal inilah yang
mengendalikan pola bertingkah laku masyarakat Batak (Toba) sehingga
setiap orang Batak bertemu, dia akan mempraktekkan pola bertingkah
laku itu.

C.

KESIMPULAN

Dalihan Natolu adalah kearifan lokal yang sekaligus menjadi falsafah


hidup masyarakat Batak. Dengan adanya Dalihan Na Tolu ini seperti
tercipta suatu aturan adat bagi masyarakat Batak yang menjadi nilai
moral tersendiri bagi yang menjalankannya. Seperti aturan adat lainnya,
jika melanggar Dalihan Na Tolu ini, maka akan dikucilkan dari masyarakat
bahkan dapat dikeluarkan dari lingkaran masyarakat Batak. Oleh karena
itu, setiap orang Batak wajib melakukan dan menaati Dalihan Natolu ini
bukan hanya di daerah asalnya bahkan di daerah perantauanpun orang
Batak wajib melakukannya jika bertemu sesamanya.

Anda mungkin juga menyukai