Tambahan Skenario 3
Tambahan Skenario 3
Migren
Definisi Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala dengan serangan
nyeri yang berlansung 4 72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas
nyerinya sedang samapai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual
muntah, fotofobia dan fonofobia.
Etiologi dan Faktor Resiko Migren
Etiologi migren adalah sebagai berikut : (1) perubahan hormon (65,1%), penurunan
konsentrasi esterogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi, (2) makanan
(26,9%), vasodilator (histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor
(tiramin seperti pada keju, coklat, kafein), zat tambahan pada makanan (MSG), (3) stress
(79,7%), (4) rangsangan sensorik seperti sinar yang terang menyilaukan(38,1%) dan bau yang
menyengat baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, (5) faktor fisik seperti aktifitas
fisik yang berlebihan (aktifitas seksual) dan perubahan pola tidur, (6) perubahan lingkungan
(53,2%), (7) alkohol (37,8%), (7) merokok (35,7%). Faktor resiko migren adalah adanya
riwayat migren dalam keluarga, wanita, dan usia muda.
Epidemiologi Migren
Migren terjadi hampir pada 30 juta penduduk Amerika Serikat dan 75 % diantaranya adalah
wanita. Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya muncul pada usia 10 40 tahun
dan angka kejadiannya menurun setelah usia 50 tahun. Migren tanpa aura lebih sering
diabndingkan migren yang disertai aura dengan persentasi 9 : 1.
Klasifikasi Migren
Migren dapat diklasifikasikan menjadi migren dengan aura, tanpa aura, dan migren kronik
(transformed). Migren dengan aura adalah migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang
mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, paling tidak
ada satu aura yang terbentuk berangsur angsur lebih dari 4 menit, aura tidak bertahan lebih
dari 60 menit, dan sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60
menit. Migren tanpa aura adalah migren tanpa disertai aura klasik, biasanya bilateral dan
terkena pada periorbital. Migren kronik adalah migren episodik yang tampilan klinisnya
dapat berubah berbulan- bulan sampai bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom
nyeri kepala kronik dengan nyeri setiap hari.
Patofisiologi Migren
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya migren. Teori vaskular, adanya
gangguan vasospasme menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi
hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran
frontal berlanjuta dan menyebabkan fase nyeri kepala dimulai. Teori cortical spread
depression, dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga mudah terjadi
eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave depolarization oleh pottasium-liberating
depression (penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya periode depresi
neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi yang akan menekan
aktivitas neuron ketika melewati korteks serebri.
Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan
produksi NO akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga
melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel
Komplikasi Migren adalah rebound headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
Pencegahan Migren
Pencegahan migren adalah dengan mencegah kelelahan fisik, tidur cukup, mengatasi
hipertensi, menggunakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya matahari, mengurangi
makanan (seperti keju, coklat, alkohol, dll.), makan teratur, dan menghindari stress.
B. Tension Type Headache
Definisi Tension Type Headache (TTH)
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot kepala
dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter, M.sternokleidomastoid,
M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja
dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang
berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti
dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.
Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)
TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache episodik terjadi 63 % dan
Tension Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension Type Headache episodik lebih banyak
mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71% sedangkan pada pria sebanyak 56 %. Biasanya
mengenai umur 20 40 tahun.
Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type Headache
kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari
setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit
7 hari. Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari
setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.
Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)
Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil penelitian
disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH sebagai berikut : (1)
disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer dimana
disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan disfungsi sistem saraf
pusat mengarah kepada CTTH, (2) disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang
involunter dan permanen tanpa disertai iskemia otot, (3) transmisi nyeri TTH melalui nukleus
trigeminoservikalis pars kaudalis yang akan mensensitasi second order neuron pada nukleus
trigeminal dan kornu dorsalis ( aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif
pada jaringan perikranial dan miofasial lalu akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang
akan meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal ini akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter pada jaringan miofasial, (4) hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada
nukleus trigeminal, talamus, dan korteks serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal
(limbik) terhadap nosiseptif. Nilai ambang deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal) akan
menurun di sefalik dan ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal
decending pain inhibit activity, (5) kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga
menyebabkan kesalahan interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri, (6) terdapat
hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus dengan
terjadinya TTH. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal
serotonin platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot
temporal dan maseter, (7) faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological
motor stress pada TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan
aktivasi struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral. Depresi dan ansietas
akan meningkatkan frekuensi TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral pada jalur
transmisi nyeri, (8) aktifasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis.
Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang
menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan
pernafasan hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan mengganggu
keseimbangan asam basa dalam darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang
selanjutnya akan mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam sel dan menimbulkan kontraksi
otot yang berlebihan sehingga terjadilah nyeri kepala. (2) stress mengaktifasi saraf simpatis
sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu
aktifasi aferen gamma trigeminus yang akan menghasilkan neuropeptida (substansi P).
Neuropeptida ini akan merangsang ganglion trigeminus (pons). (3) stress dapat dibagi
menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction, stage of resistance, dan stage of exhausted. Alarm
reaction dimana stress menyebabkan vasokontriksi perifer yang akan mengakibatkan
kekurangan asupan oksigen lalu terjadilah metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob akan
mengakibatkan penumpukan asam laktat sehingga merangsang pengeluaran bradikinin dan
enzim proteolitik yang selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana
sumber energi yang digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan
aldosteron, dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted
dimana sumber energi yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun
sehingga terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi saraf.
Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang kurangnya dua dari berikut
ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan sedang, (3) lokasi bilateral, (4)
tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari
fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang berat, tumpul seperti ditekan atau diikat,
tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital, dan
belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas,
gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian leher, rahang serta
temporomandibular.
Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH): Tidak ada uji spesifik untuk
mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa neurologik tidak ditemukan kelainan
apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan kepala
maupun MRI.
Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Diferensial Diagnosa dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis deformans, sakit
kepala pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal, migren klasik, migren
komplikata, cluster headache, sakit kepala pada arteritis temporalis, sakit kepala pada
desakan intrakranial, sakit kepala pada penyakit kardiovasikular, dan sakit kepala pada
anemia.
Terapi Tension Type Headache (TTH)
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk mengetahui arti
dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan/ atau latihan biofeedback.
Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan/atau mucles relaxants. Ibuprofen dan
naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan
simpel analgesia (asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital
dan kafein ( dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas
pengobatan.
Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)
TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak
membahayakan.Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan menyelesaikan
masalah yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH berupa pengaruh psikis. Nyeri
kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesia. TTh biasanya mudah diobati
sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan dengan penatalaksanaan yang baik maka > 90 %
pasien dapat disembuhkan.
Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
Pencegahan Tension Type Headache (TTH)
Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan olahraga teratur, istirahat
yang cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching), meditasi, dan biofeedback. Jika
penyebabnya adalah kecemasan atau depresi maka dapat dilakukan behavioral therapy.
Selain itu, TTH dapat dicegah dengan mengganti bantal atau mengubah posisi tidur dan
mengkonsumsi makanan yang sehat.
C. Cluster Headache
Definisi Cluster Headache
Cluster headache adalah suatu sindrom idiopatik yang terdiri dari serangan yang jelas dan
berulang dari suatu nyeri periorbital unilateral yang mendadak dan parah.
Patofisiologi Cluster Headache
Patofisiologi dari cluster headache belum sepenuhnya dimengerti. Periodisitasnya dikaitkan
dengan pengaruh hormon pada hipotalamus (terutama nukleus suprachiasmatik). Baru-baru
ini neuroimaging fungsional dengan positron emision tomografi (PET) dan pencitraan
anatomis dengan morfometri voxel-base telah mengidentifikasikan bagian posterior dari
substansia grisea dari hipotalamus sebagai area kunci dasar kerusakan pada cluster headache.
Nyeri pada cluster headache diperkirakan dihasilkan pada tingkat kompleks perikarotid atau
sinus kavernosus. Daerah ini menerima impuls simpatis dan parasimpatis dari batang otak,
mungkin memperantarai terjadinya fenomena otonom pada saat serangan. Peranan pasti dari
faktor-faktor imunologis dan vasoregulator, sebagaimana pengaruh hipoksemia dan
hipokapnia pada cluster headache masih kontroversial.
Penyebab Cluster Headache
Penyebab cluster headache masih belum diketahui. Cluster headache sepertinya tidak
berkaitan dengan penyakit lainnya pada otak.
Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi, international headache society
telah mengklasifikasikan cluster headache menjadi dua tipe :
1.
Episodik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu
sampai satu tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa tahun sebelum berkembangnya periode cluster selanjutnya.
2.
Kronik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari satu
tahun dengan tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri berlangsung kurang dari
dua minggu.
Sekitar 10 sampai 20 % orang dengan cluster headache mempunyai tipe kronik. Cluster
headache kronik dapat berkembang setelah suatu periode serangan episodik atau dapat
berkembang secara spontan tanpa di dahului oleh riwayat sakit kepala sebelumnya. Beberapa
orang mengalami fase episodik dan kronik secara bergantian.
Para peneliti memusatkan pada mekanisme yang berbeda untuk menjelaskan karakter utama
dari cluster headache. Mungkin terdapat riwayat keluarga dengan cluster headache pada
penderita, yang berarti ada kemungkinan faktor genetik yang terlibat. Beberapa faktor dapat
bekerja sama menyebabkan cluster headache.
Pemicu Cluster Headache : Tidak seperti migraine dan sakit kepala tipe tension, cluster
headache umumnya tidak berkaitan dengan pemicu seperti makanan, perubahan hormonal
atau stress. Namun pada beberapa orang dengan cluster headache adalah merupakan
peminum berat dan perokok berat. Setelah periode cluster dimulai, konsumsi alkohol dapat
memicu sakit kepala yang sangat parah dalam beberapa menit. Untuk alasan ini banyak orang
dengan cluster headache menjauhkan diri dari alkohol selama periode cluster. Pemicu lainnya
adalah penggunaan obat-obatan seperti nitrogliserin, yang digunakan pada pasien dengan
penyakit jantung.
Permulaan periode cluster seringkali setelah terganggunya pola tidur yang normal, seperti
pada saat liburan atau ketika memulai pekerjaan baru atau jam kerja yang baru. Beberapa
orang dengan cluster headache juga mengalami apnea pada saat tidur, suatu kondisi dimana
terjadinya kolaps sementara pada dinding tenggorokan sehingga menyumbat jalan nafas
berulang kali pada saat tidur.
Peningkatan Sensitivitas dari Jalur Saraf
Nyeri yang sangat pada cluster headache berpusat di belakang atau di sekitar mata, di suatu
daerah yang dipersarafi oleh nervus trigeminus, suatu jalur nyeri utama. Rangsangan pada
saraf ini menghasilkan reaksi abnormal dari arteri yang menyuplai darah ke kepala.
Pembuluh darah itu akan berdilatasi dan menyebabkan nyeri.
Beberapa gejala dari cluster headache seperti mata berair, hidung tersumbat dan atau berair,
serta kelopak mata yang sulit diangkat melibatkan sistem saraf otonom. Saraf yang
merupakan bagian dari sistem ini membentuk suatu jalur pada dasar otak. Ketika saraf
trigeminus di aktivasi, menyebabkan nyeri pada mata, sistem saraf otonom juga diaktivasi
dengan apa yang disebut refleks trigeminal otonom. Para peneliti percaya bahwa masih ada
proses yang belum diketahui yang melibatkan peradangan atau aktivitas pembuluh darah
abnormal pada daerah ini yang mungkin terlibat menyebabkan sakit kepala.
Serangan cluster biasanya terjadi dengan pengaturan seperti jam 24 jam sehari. Siklus periode
cluster seringkali mengikuti pola musim dalam satu tahun. Pola ini menunjukkan bahwa jam
biologis tubuh ikut terlibat. Pada manusia jam biologis terletak pada hipotalamus yang berada
jauh di dalam otak. Dari banyak fungsi hipotalamus, bagian ini mengontrol siklus tidur
bangun dan irama internal lainnya. Kelainan hipotalamus mungkin dapat menjelaskan adanya
pengaturan waktu dan siklus pada cluster headache. Penelitian telah menemukan peningkatan
aktivitas di dalam hipotalamus selama terjadinya cluster headache. Peningkatan aktivitas ini
tidak ditemukan pada orang-orang dengan sakit kepala lainnya seperti migraine.
Penelitian juga menemukan bahwa orang-orang yang mempunyai tingkat hormon tertentu
yang abnormal, termasuk melatonin dan testoteron, kadar hormon tersebut meningkat pada
periode cluster. Perubahan hormon-hormon tersebut dipercayai karena ada masalah pada
hipotalamus. Peneliti lainnya menemukan bahwa orang-orang dengan cluster headache
mempunyai hipotalamus yang lebih besar daripada mereka yang tidak memiliki cluster
headache. Namun masih belum diketahui mengapa bisa terjadi kelainan-kelainan semacam
itu.
Tanda dan Gejala Cluster Headache
Cluster headache menyerang dengan cepat, biasanya tanpa peringatan. Dalam hitungan menit
nyeri yang sangat menyiksa berkembang. Rasa nyeri tersebut biasanya berkembang pada sisi
kepala yang sama pada periode cluster, dan terkadang sakit kepala menetap pada sisi tersebut
seumur hidup pasien. Jarang sekali rasa nyeri berpindah ke sisi lain kepala pada periode
cluster selanjutnya. Jauh lebih jarang lagi rasa nyeri berpindah-pindah setiap kali terjadi
serangan.
Rasa nyeri pada cluster headache seringkali digambarkan sebagai suatu nyeri yang tajam,
menusuk, atau seperti terbakar. Orang-orang dengan kondisi ini mengatakan bahwa rasa
sakitnya seperti suatu alat pengorek yang panas ditusukkan pada mata atau seperti mata di
dorong keluar dari tempatnya.
Tanda dan gejala lainnya yang mungkin bersamaan dengan cluster headache antara lain :
a. Lubang hidung tersumbat atau berair pada sisi kepala yang terserang.
b. Kemerahan pada muka.
c. Bengkak di sekitar mata pada sisi wajah yang terkena.
d. Ukuran pupil mengecil.
e. Kelopak mata sulit untuk dibuka.
Tanda dan gejala tersebut hanya terjadi selama masa serangan. Namun demikina pada
beberapa orang kelopak mata yang sulit ditutup dan mengecilnya ukuran pupil tetap ada lama
setelah periode serangan. Beberapa gejala-gejala seperti migraine termasuk mual, fotofobia
dan fonofobia, serta aura dapat terjadi pada cluster headache.
Karakteristik Periode Cluster
Suatu periode cluster umumnya berlangsung antara 2 sampai 12 minggu. Periode cluster
kronik dapat berlanjut lebih dari satu tahun. Tanggal permulaan dan jangka waktu dari tiaptiap periode cluster seringkali dengan sangat mengagumkan konsisten dari waktu ke waktu.
Untuk kebanyakan orang, periode cluster dapat terjadi musiman, sperti tiap kali musim semi
atau tiap kali musim gugur. Adalah biasa untuk cluster bermula segera setelah salah satu titik
balik matahari. Seiring dengan waktu periode cluster dapat menjadi lebih sering, lebih sulit
untuk diramalkan, dan lebih lama.
Selama periode cluster, sakit kepala biasanya terjadi tiap hari, terkadang beberapa kali sehari.
Suatu serangan tunggal rata-rata berlangsung 45 sampai 90 menit. Serangan terjadi pada
waktu yang sama dalam tiap 24 jam. Serangan pada malam hari lebih sering daripada siang
hari, seringkali berlangsung 90 menit sampai 3 jam setelah tertidur. Waktu tersering
terjadinya serangan adalah antara jam satu sampai jam dua pagi, antara jam satu sampai jam
tiga siang dan sekitar jam sembilan malam.
Cluster headache dapat menakutkan penderita serta orang-orang di sekitarnya. Serangan yang
sangat membuat lemah sepertinya tak tertahankan. Namun nyerinya seringkali hilang
mendadak sebagaimana ia di mulai, dengan intensitas yang menurun secara cepat. Setelah
serangan, kebanyakan orang bebas sepenuhnya dari rasa sakit namun mengalami kelelahan.
Kesembuhan sementara selama periode cluster dapat berlangsung beberapa jam sampai sehari
penuh sebelum serangan selanjutnya.
Diagnosis Cluster Headache
Cluster headache mempunyai ciri khas tipe nyeri dan pola serangan. Suatu diagnosis
tergantung kepada gambaran dari serangan, termasuk nyeri, lokasi dan keparahan sakit
kepala, dan gejala-gejala lainnya yang terkait. Frekuensi dan lama waktu terjadinya sakit
kepala juga merupakan faktor yang penting.
Keterlibatan fenomena otonom yang jelas adalah sangat penting pada cluster headache.
Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah rinorea dan hidung tersumbat ipsilateral, lakrimasi,
hiperemi pada konjungtiva, diaforesis pada wajah, edema pada palpebra dan sindrom Horner
parsial atau komplit, takikardia juga sering ditemukan.
Pemeriksaan neurologis dapat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda dari cluster
headache. Terkadang pupil terlihat lebih kecil atau palpebra terjatuh bahkan diantara
serangan.
Cluster headache adalah suatu diagnosis klinis, pada kasus-kasus yang jarang lesi struktural
dapat menyerupai gejala-gejala dari cluster headache, menegaskan perlunya pemeriksaan
neuroimaging. Uji yang dilakukan adalah CT- Scan dan MRI.
Diagnosis Banding Cluster Headache
Anisocoria
Atypical Facial Pain
Basilar Artery Thrombosis
Brainstem Gliomas
Cavernous Sinus Syndromes
Chronic Paroxysmal Hemicrania
Craniopharyngioma
Headache: Pediatric Perspective
Intracranial Hemorrhage
Migraine Headache
Migraine Variants
Pituitary Tumors
Postherpetic Neuralgia
Subarachnoid Hemorrhage
Temporomandibular Joint Syndrome
Tolosa-Hunt Syndrome
Trigeminal Neuralgia
Terapi Cluster Headache
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan cluster headache. Tujuan dari pengobatan adalah
menolong menurunkan keparahan nyeri dan memperpendek jangka waktu serangan. Obatobat yang digunakan untuk cluster headache dapat dibagi menjadi obat-obat simtomatik dan
profilaktik. Obta-obat simtomatik bertujuan untuk menghentikan atau mengurangi rasa nyeri
setelah terjadi serangan cluster headache, sedangkan obat-obat profilaktik digunakan untuk
mengurangi frekuensi dan intensitas eksaserbasi sakit kepala.
Karena sakit kepala tipe ini meningkat dengan cepat pengobatan simtomatik harus
mempunyai sifat bekerja dengan cepat dan dapat diberikan segera, biasanya menggunakan
injeksi atau inhaler daripada tablet per oral.
Pengobatan simtomatik termasuk :
1. Oksigen. Menghirup oksigen 100 % melalui sungkup wajah dengan kapasitas 7
liter/menit memberikan kesembuhan yang baik pada 50 sampai 90 % orang-orang yang
menggunakannya. Terkadang jumlah yang lebih besar dapat lebih efektif. Efek dari
penggunaannya relatif aman, tidak mahal, dan efeknya dapat dirasakan setelah sekitar 15
menit. Kerugian utama dari penggunaan oksdigen ini adalah pasien harus membawabawa tabung oksigen dan pengaturnya, membuat pengobatan dengan cara ini menjadi
tidak nyaman dan tidak dapat di akses setiap waktu. Terkadang oksigen mungkin hanya
menunda daripada menghentikan serangan dan rasa sakit tersebut akan kembali.
2. Sumatriptan. Obat injeksi sumatriptan yang biasa digunakan untuk mengobati migraine,
juga efektif digunakan pada cluster headache. Beberapa orang diuntungkan dengan
penggunaan sumatriptan dalam bentuk nasal spray namun penelitian lebih lanjut masih
perlu dilakukan untuk menentukan keefektifannya.
3. Ergotamin. Alkaloid ergot ini menyebabkan vasokontriksi pada otot-otot polos di
pembuluh darah otak. Tersedia dalam bentuk injeksi dan inhaler, penggunaan intra vena
bekerja lebih cepat daripada inhaler dosis harus dibatasi untuk mencegah terjadinya efek
samping terutama mual, serta hati-hati pada penderita dengan riwayat hipertensi.
4. Obat-obat anestesi lokal. Anestesi lokal menstabilkan membran saraf sehingga sel saraf
menjadi kurang permeabel terhadap ion-ion. Hal ini mencegah pembentukan dan
penghantaran impuls saraf, sehingga menyebabkan efek anestesi lokal. Lidokain intra
nasal dapat digunakan secara efektif pada serangan cluster headache. Namun harus
berhati-hati jika digunakan pada pasien-pasien dengan hipoksia, depresi pernafasan, atau
bradikardi.
Obat-obat profilaksis :
1.
Anti konvulsan. Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis pada cluster headache
telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang terbatas. Mekanisme kerja obat-obat ini
untuk mencegah cluster headache masih belum jelas, mungkin bekerja dengan mengatur
sensitisasi di pusat nyeri.
2.
Kortikosteroid. Obat-obat kortikosteroid sangat efektif menghilangkan siklus cluster
headache dan mencegah rekurensi segera. Prednison dosis tinggi diberikan selam
beberapa hari selanjutnya diturunkan perlahan. Mekanisme kerja kortikosteroid pada
cluster headache masih belum diketahui.
Pembedahan
Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster headache kronik yang tidak
merespon dengan baik dengan pengobatan atau pada orang-orang yang memiliki
kontraindikasi pada obat-obatan yang digunakan. Seseorang yang akan mengalami
pembedahan hanyalah yang mengalami serangan pada satu sisi kepal saja karena operasi ini
hanya bisa dilakukan satu kali. Orang-orang yang mengalami serangan berpindah-pindah dari
satu sisi ke sisi yang lain mempunyai resiko kegagalan operasi.
Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster headache.
Prosedur yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang bertanggungjawab terhadap nyeri.
Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif (contohnya radio frekuensi
pericutaneus, gangliorhizolisis trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil mengobati
cluster headache. Namun demikian terjadi efek samping berupa diastesia pada wajah,
kehilangan sensoris pada kornea dan anestesia dolorosa.
Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang lebih sering digunakan karena
kurang invasif. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman elektroda perangsang
dengan menggunakan penunjuk jalan stereostatik di bagian inferior hipotalamus. Penelitian
menunjukkan bahwa perangsangan hipotalamus pada pasien dengan cluster headache yang
parah memberikan kesembuhan yang komplit dan tidak ada efek samping yang signifikan.
Pencegahan Cluster Headache
Karena penyebab dari cluster headache masih belum diketahui dengan pasti kita belum bisa
mencegah terjadinya serangan pertama. Namun kita dapat mencegah sakit kepala ulangan
yang lebih berat. Penggunaan obat-obat preventif jangka panjang lebih menguntungkan dari
yang jangka pendek. Obat-obat preventif jangka panjang antara lain adalah penghambat kanal
kalsium dan kanal karbonat. Sedangakan yang jangka pendek termasuk diantaranya adalah
kortikosteroid, ergotamin dan obat-obat anestesi lokal.
Menghindari alkohol dan nikotin dan faktor resiko lainnya dapat membantu mengurangi
terjadinya serangan.
Prognosis Cluster Headache
80 % pasien dengan cluster headache berulang cenderung untuk mengalami serangan
berulang.
Cluster headache tipe episodik dapat berubah menjadi tipe kronik pada 4 sampai13 %
penderita.
Remisi spontan dan bertahan lama terjadi pada 12 % penderita, terutama pada cluster
headache tipe episodik.
Umumnya cluster headache adalah masalah seumur hidup.
Onset lanjut dari gangguan ini teruama pada pria dengan riwayat cluster headache tipe
episodik mempunyai prognosa lebih buruk.
1.1 Patofisiologi
10
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral.
Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneus allodynia didapat pada
penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan
sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminal sentral.
lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari ganglion
trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid dimana jumlah
dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide),
kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2) bradikinin,
serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi
nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi
pelepasan VIP (vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala nasal
congestion dan rhinorrhea. Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri
adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel(Nav 1.8), purinergic
reseptors(P2X3), isolectin B4 (IB4) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor (GFR3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-3). Sistem
ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi nyeri
terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam
pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi
sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter,
locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri,
emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari
korteks
11
somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya.
Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgi.
Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey(PAG)
matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine
like headache). Pada penelitian MRI(Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan
batang otak pada penderita migren, CDH(Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang
non sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan
CDH dibandingkan dengan kontrol.
Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas. Pada CDH justru yang paling berperan
adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat),
produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang
bertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan
kadar cGMP(cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP maupun
NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH.
Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid analgetik yang
cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari
sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overused maka terjadi
desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CDH.
Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi
dari perbagai sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF (Tumor
Necrotizing Factor ) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell melepas/mengasingkan
metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan
melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi
beberapa reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2)dan peptides(CGRP, SP).
12
Ciri Khas
Pemeriksaan Diagnostik
Ketegangan otot
Pemeriksaan
untuk
menyingkirkan penyakit
fisik serta penilaian factor
psikis dan kepribadian.
Migraine
Hipertensi
13
Kelainan mata (iritis, Nyeri dirasakan di kepala bagian depan atau Pemeriksaan mata
glaucoma)
di dalam dan di seluruh mata, bersifat sedang
sampai berat dan seringkali memburuk jika
mata dalam keadaan lelah.
Kelainan sinus
Tumor otak
Infeksi otak
Meningitis
Hematoma subdural
Perdarahan
subarachnoid
Nyeri baru dirasakan, menyebar, hebat dan MRI atau CT Scan, jika
menetap, kadang dirasakan di dalam dan di hasilnya
(-)
maka
sekitar mata, kelopak mata turun.
dilakukan pungsi lumbal.
Sifilis,
tuberculosis, Nyeri bersifat tumpul sampai berat dan
criptococcus, kanker,
dirasakan diseluruh kepala atau di puncak
kepala, menderita demam meski tidak terlalu
tinggi dan terdapat riwayat sifilis,
Pungsi lumbal
tuberculosis, kriptokosis, sarkoidosis atau
kanker pada pasien.
14
PEMERIKSAAN FISIK
Dalam praktek pemeriksaan fisik dimulai pada saat penderita m a s u k k e d a l a m r u a n g
periksa atau pada saat dokter melakukan pendekatan di sisi tempat tidur
p e n d e r i t a . O b s e r v a s i y a n g t e l i t i merupakan kunci untuk mengetahui apakah
penderita mengalamigangguan fisik atau psikiatrik atau apakah penderita tampak cemas
depresif dan apakah riwayat penderita dapat dipercaya sepenuhnya. S e t i a p k a l i a d a k e l u h a n
n y e r i k e p a l a m a k a p e m e r i k s a a n neurologi secara lengkap harus dilakukan secara cermat.
Pemeriksaan tersebut secara garis besar meliputi status mental, gaya berjalan, nervi, kraniales, sistem motorik
dan sistem sensorik. Kepala dan leher harus diperiksa secara seksama. Inspeksi dan palpasi
dilakukan secara bersama-sama untuk mengetahui kelainan- kelainan yang mungkin ada.
vertebra servikal perlu diperiksa apakah ada kaku kuduk, gangguan mobilitas leher, nyeri
otot-otot leher dan gangguan lainnya. Tanda-tanda vital dimulai dengan perubahan tekanan
darah dapat menimbulkan nyeri kepala. Adanya perubahan denyut nadi hendaknya
dicari kemungkinan adanya kaitan dengan nyeri kepala walaupun tidak langsung. Suhu
tubuh diperiksa secara obyektif bila ada d e m a m . P e m e r i k s a a n u m u m l a i n n y a p e r l u
d i l a k u k a n , m i s a l n y a pemeriksaan jantung dan paru-paru, palpasi abdomen dan pemeriksaan kulit.
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
A. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
1.Foto polos kepala
Pada foto polos dapat dilihat adanya pelebaran sela tursika, lesi pada kalvarium,
kelainan pertumbuhan kongenital, kelainan pada sinus dan prosesus mastoideus.
2.Foto vertebra servikal
Nyeri kepala yang lebih dirasakan di daerah tengkuk disebabkan oleh perubahan degeneratif di
diskus intervertbralis dan permukaan sendi servikal bagian atas. Arthritis rheumatoid dapat menimbulkan
nyeri kepala bagian belakang
.3 . C T s c a n d a n M R I
CT Scan dapat memberi gambaran yang sangat jelas tentang proses d e s a k r u a n g i n t r a k r a n i a l
m i s a l n y a t u m o r o t a k , h e m a t o m a intraserebral, infark otak, abses otak,
hidrosefalus, hematoma epidural, dan hematoma subdural.
CT Scan juga dapat memberi gambaran tentang perdarah subaraknoidal. Pada penderita
clusterheadache, tension headache, dan nyeri kepala fungsional akan memberi
gambaran normal. Demikian juga halnya pada migren. N a m u n d e m i k i n
pada
migren
yang
berat
k a d a n g - k a d a n g memperlihatkan area
pembengkakan. Sementara itu CT Scan jugabermanfaat untuk memeriksa daerah orbita, sinus
tulang-tulang wajah, vertebra serviks, dan jaringan lunak di leher. MRI
dapatdigunakan untuk memeriksa lesi posterior dan foramen magnum.
4.Aniografi serebral
Pemeriksaan ini bersifat invasive, dan jarang sekali dipergunakandalam upaya menegakkan
penyebab nyeri kepala tertentu. Sebagai contoh oklusi pembuluh darah serebral dapat menimbulkan
nyeri kepala dan demikian juga halnya kasus aneurisma dan malformasi arterio-venosa.
B. PEMERIKSAAN CSS
Apabila dicurigai adanya infeksi intrakranial, perdarahan intrakranial atau keganasan
meningeal sementara pemeriksaan dengan CT Scan tidak menunjukkan adanya
kelainan, maka seyogyanya dilakukan fungsi lumbal untuk kemudian dilakukan analisis
CSS.
C. ELEKTRO-ENSEFALOGRAFI
15
16
plus
3. Dihydroergotamine
(DHE)
Triptans
1. Sumatriptan
2. Naratriptan
3. Rizatriptan
4. Zolmitriptan
(Gunawan, 2007)
C. Langkah Menghilangkan Rasa Nyeri
Terapi abortif mungkin belum mengatasi nyeri secara komplit, dibutuhkan analgesik
NSAIDs. Obat OTCs yang direkomendasikan FDA ialah kombinasi aspirin 250 mg,
acetaminophen 250 mg dan caffein 65 mg. Ketoralac tromethamin non narcotic, non
habituating dapat dipakai, efek sampingnya minim, dosis 60 mg i.m.
17
Dosis
Efek Samping
Kontraindikasi
-blokers
Atenolol
Metaprolol
Nadolol
Propanolol
50-150mg/hr
100-200 mg/hr
20-160 mg/hr
40-240 mg/hr
Fatigue,
bronchospasm,
bradikardi,
hipotensi,
depresi, congestive heart
failure, impotensi,
gangguan tidur.
Calcium channel
blockers
Flunarizine
Verapamil
5-10 mg/hr
240-320 mg/hr
Fatigue,
depresi,
bradikardi,
hipotensi,
konstipasi, nausea, edema.
ibu
hamil,
hipertensi, aritmia.
2
mg
(max8mg/hr)
Retroperitoneal,cardiac
and
pulmonary fibrosis
hipertensi,
kehamilan,
tromboflebitis.
Serotonin
receptor
antagonists
Methysergide
Pizotyline
(pizotifen)
18
Tricyclic
analgesics
Amitriptiline
Nortriptiline
10-150 mg
10-150 mg
Anti-epileptik
Divalproex
Sodium
valproate
Valproic acid
500-1500 mg/d
500-1500 mg/d
500-1500 mg/d
900-1800 mg/hr
(max 2400)
Gabapentin
kelainan
liver,
ginjal, paru, jantung,
glaukoma,
hipertensi.
(Kenneth, 2004)
Tatalaksana Nyeri Kepala Tension
Terapi Non-farmakologi
*Melakukan latihan peregangan leher atau otot bahu sedikitnya 20 sampai 30 menit.
*Perubahan posisi tidur.
*Pernafasan dengan diafragma atau metode relaksasi otot yang lain.
*Penyesuaian lingkungan kerja maupun rumah.
*Pencahayaan yang tepat untuk membaca, bekerja, menggunakan komputer, atau saat
menonton televisi.
*Hindari eksposur terus-menerus pada suara keras dan bising.
*Hindari suhu rendah pada saat tidur pada malam hari.
(Price, 2006)
Terapi farmakologi
*Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat nyeri. Seperti obat-obat
OTC: aspirin, acetaminophen, ibuprofen atau naproxen sodium. Produk kombinasi
dengan kafein dapat meningkatkan efek analgesik.
*Untuk sakit kepala kronis, perlu assesment yang lebih teliti mengenai penyebabnya,
misalnya karena anxietas atau depresi.
*Pilihan obatnya adalah antidepresan, seperti amitriptilin atau antidepresan lainnya.
Hindari penggunaan analgesik secara kronis memicu rebound headache.
(Kowalak, 2011)
Tatalaksana Cluster headache
Sasaran terapi : menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah serangan (profilaksis).
Strategi terapi : menggunakan obat NSAID, vasokonstriktor cerebral.
*Obat terapi abortif: oksigen, ergotamin, sumatriptan (dosis sama dengan dosis migren).
*Obat terapi profilaksis: verapamil, litium, ergotamin, metisergid, kortikosteroid, topiramat.
19
sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara
berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada
orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari
somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan,
dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap
sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan
somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa
mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa
tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika
fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian
yang diterima.
Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa
conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan
peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang
peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat
berhubungan sebab-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.
Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan,
diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan
psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah
satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat
melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka
menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.
Teori Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale,
Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana
individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka,
individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan
mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan
motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah
seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering
muncul ? Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya.
Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion.
Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula
dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan
(2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan
kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus
memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki
masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua,
permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan
ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk
20
memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak
sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.
Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder
ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir.
Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya
terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad
19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku
seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini.
Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan
semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran
terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada
sebelumnya. Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion
disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada
tingkat sosioekonomi yang rendah. Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya
pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai
hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara
yang belum berkembang, seperti Libya.
Faktor Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan
conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa
penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan
dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan
penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak.
Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan
dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa
tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus
bagian kiri otak.
1.3 Klasifikasi
Lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:
A. Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem
organ.
B. Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
C. Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien
bahwa ia menderita penyakit tertentu.
D. Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebihlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
E. Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor
psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform:
A. Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan
salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
21
B. Not otherwise specified (NOS), gangguan somatoform yang tidak ditentukan adalah
kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan somatoform
yang sebelumnya disebutkan.
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Golongan
Mekanisme Kerja
Contoh
Anti depresan
trisiklik
Menghambat reuptake
Amitriptilin, imipramin,
desipramin, nortriptilin,
klomipramin
SSRIs (selective
serotonin
Menghambat secara
Fluoksetin, paroksetin,
sertralin, fluvoksamin
Menghambat reuptake
Trazodon, nefazodon,
mirtazapin, bupropion,
Inhibitor
MAO inhibitors
Menghambat aktivitas
reuptake inhibitors)
Mixed DA/NE
reuptake
enzim MAO
maprotilin, venlafaksin
Phenelzine,
tranylcypromine
Dosis
*Depresi ringan sampai dengan sedang 25 mg 1-3 x sehari atau 25-75 mg 1 x sehari
tergantung dari beratnya gejala.
*Depresi berat 25 mg 3 x sehari atau 75 mg 1 x sehari. Maksimal: 150 mg/hari dalam dosis
tunggal atau terbagi.
*Lansia Awal 10 mg 3 x sehari atau 25 mg 1 x sehari. Bila perlu tingkatkan bertahap sampai
25 mg 3 x sehari atau 75 mg 1 x sehari.
Efek Samping
Reaksi SSP, antikolinergik ringan, sinus takikardi, hipotensi pustural, reaksi alergi pada
kulit, kejang, aritmia, gangguan hantaran jantung, alveolitis alergi, hepatitis.
Kontraindikasi
*epilepsi atau ambang rangsang lebih rendah, intoksikasi akut oleh alkohol, gangguan
hantaran jantung, glaukoma sudut sempit, retensi urin, hepatitis berat, gangguan ginjal.
*pengguanaan bersama obat analgesik, hipnotik, atau psikotropik.
22
Antipsikosis
Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, adalah obat-obat yang
dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum,
seperti berpikir dan kelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dan
dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan pikiran
khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena itu,
antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit
pada pasien, misalnya penyakit schizofrenia ("gila") dan psikosis mania-depresif.
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Kegunaannya pada psikoneurosis dan penyakit psikosomatik belum jelas. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :
Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikosis. Efek ini tidak berhubungan langsung dengan efek
sedatif;
Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia;
Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; dan
Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik.
Golongan obat antipsikosis
A. Antipsikosis tipikal: klorpromazin dan derivat fenotiazin
FARMAKODINAMIK. Efek farmakologiknya meliputi efek pada:
Susunan Saraf Pusat : menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dari lingkungan. CPZ menimbulkan efek menenangkan pada hewan
buas. Semua derivat fenotoazin mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek ekstra piramidal).
Neurologik : G gejala sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. 4 di antaranya
biasa terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan
sindrom neuroleptic malignant; yang terakhir jarang terjadi. 2 sindrom yang lain terjadi
setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral
(jarang) dan diskenia tardif).
Otot rangka
FARMAKOKINETIK
B. Antipsikosis tipikal lainnya
Haloperidol
Merupakan golongan butirofenon.
23
24
Pemilihan Sediaan
25
Efek samping
26
27
Analgetik non-opioid
pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Analgetik Opioid
Secara kimia analgetik opioid berhubungan dengan morfin. Morfin merupakan bahan alami
yang disarikan dari opium, walaupun ada yang berasal dari tumbuhan lain dan sebagian
lainnya dibuat di laboratorium.
Analgetik opioid sangat efektif dalam mengurangi rasa nyeri namun mempunyai
beberapa efek samping.
Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Selain itu
sebelum pemakaian jangka panjang dihentikan, dosisnya harus dikurangi secara bertahap,
untuk mengurangi gejala-gejala putus obat. Berbagai kelebihan dan kekurangan dari
analgetik opiod:
Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk suntikan, per-oral
(ditelan) dan per-oral lepas lambat. Sediaan lepas lambat memungkinkan penderita terbebas
dari rasa nyeri selama 8-12 jam dan banyak digunakan untuk mengobati nyeri menahun.
Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia lanjut. Pencahar
28
Masa efektif
Keterangan
Morfin
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-3
jam Per-oral:3-4 jam
Sediaan lepas lambat:812jam
Kodein
Per-oral:3-4 jam
Meperidi
n
Suntikan
intravena/intramuskuler:seki
tar 3 jam Per-oral:tidak
terlalu efektif
Metadon
Proksifen
Per-oral:3-4 jam
Levorfan
ol
29
oral:sekitar 4 jam
Hidromor
fon
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-4
jam, Per-oral:2-4 jam
Suppositoria per-rektum: 4
jam
Oksimorf
on
Suntikan
intravena/intramuskuler:3-4
jam Suppositoria perrektum:4 jam
Oksikodo
n
Per-oral:3-4 jam
Pentazosi
n
Per-oral:sampai 4 jam
Fentanyl
Pethidine
Alfentani
l
5-10 menit
Sufentani
l
30
Remifent
anil
Tramadol
Analgetik Non-opioi
Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti peradangan nonsteroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drug). Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara:
1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggungjawab terhadap
timbulnya rasa nyeri.
2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang sering kali terjadi di sekitar luka
dan memperburuk rasa nyeri.
Aspirin merupakan prototipe dari NSAID, yang telah digunakan selama lebih dari 100
tahun. Pertama kali disarikan dari kulit kayu pohon Willow. Tersedia dalam bentuk peroral (ditelan) dengan masa efektif selama 4-6 jam. Efek sampingnya adalah iritasi
lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena mempengaruhi
kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin juga menyebabkan kecenderungan
terjadinya perdarahan di seluruh tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi, aspirin bisa
menyebabkan gangguan pernafasan. Salah satu pertanda dari overdosis aspirin adalah
teling berdenging (tinitus). Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbedabeda, dan respon setiap orang terhadadap NSAID juga berbeda-beda. Semua NSAID bisa
mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak seberat aspirin.
Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan antasid bisa membantu mencegah
iritasi lambung. Obat misoprostol bisa membantu mencegah iritasi lambung dan ulkus
peptikum; tetapi obat ini bisa menyebabkan diare.
Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID. Obat ini bekerja pada sistem
prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Asetaminofen tidak mempengaruhi
kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan ulkus peptikum maupun
perdarahan. Tersedia dalam bentuk per-oral atau supositoria, dengan masa efektif selama
4-6 jam. Dosis yang sangat tinggi bisa menyebabkan efek samping yang sangat serius,
seperti kerusakan hati.
NSAID lainnya adalah Ibuprofen , Naproxen , Fenoprofen , Ketoprofen , Dexketoprofen ,
Indomethacin , Ketorolac , Diclofenac , Piroxicam , Meloxicam , Mefenamic acid ,
Etoricoxib ,Celecoxib
Analgetik Ajuvan Analgetik ajuvan adalah obat-obatan yang biasanya diberikan bukan
karena nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri. Contohnya, beberapa
anti-depresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk mengobati
berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah, sakit kepala dan
nyeri neuropatik.
Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin) dan obat bius lokal per-oral (misalnya
meksiletin) digunakan untuk mengobai nyeri neuropatik.
Anestesi Lokal & Topikal Anestesi (obat bius) lokal bisa digunakan langung pada atau
di sekitar daerah yang luka untuk membantu mengurangi nyeri. Jika nyeri menahun
disebabkan oleh adanya cedera pada satu saraf, maka bisa disuntikkan bahan kimia secara
31
langsung ke dalam saraf untuk menghilangkan nyeri sementara. Anestesi topikal (misalnya
lotion atau salep yang mengandung lidokain) bisa digunakan untuk mengendalikan nyeri
pada keadaan tertentu. Krim yang mengandung kapsaisin (bahan yang terkandung dalam
merica) kadang bisa membantu mengurangi nyeri karena herpes zoster, osteoartritis dan
keadaan lainnya
PATOFISIOLOGI
GANGGUAN NYERI SOMATOFORM
Nyeri mempunyai komponen sensorik neurofisiologi, yang memberi sinyal bahwa jaringan
sedang cedera dan persepsi psikologis, yang memberikan tanggapan subjektif terhadap rasa
nyeri.
Stress psikologis dapat menyebabkan efek fisik yang nyata :
Stress mempengaruhi respons imun melalui axis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan
system sarap simpatis. Neuropeptide dan neurotransmitter dilepas, memicu berbagai
respons GI seperti dismotilitas usus. Pada nyeri abdomen berulang, perubahan
nonspesifik inflamasi dapat ditemukan, dan menunjukkan bahwa imunomodulasi
berperan dalam pathogenesis gejala
Masalah emosional dapat menyebabkan nyeri otot dan kepala karena meningkatnya
tegangan otot
Psikologikal mengindusi perubahan perilaku, seperti aktivitas kompulsif atau tidur
menjadi lama.
32