Operasi Transeksual Dalam Pandangan Islam (Dr. Sofwan)
Operasi Transeksual Dalam Pandangan Islam (Dr. Sofwan)
OF
DISORDER OF SEXUAL DEVELOPMENT MANAGEMENT
Sofwan Dahlan*
________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Menentukan jenis kelamin berdasarkan tanda-tanda kelamin sekunder
atas bayi yang dilahirkan normal tidaklah sulit sehingga orang awampun dapat
melakukannya dengan tepat. Namun untuk bayi tertentu, penentuan jenis
kelamin tidaklah mudah dan sederhana. Masalahnya adalah karena ada
beberapa bentuk ambigu (rancu) yang menggambarkan adanya kombinasi
karakteristik laki-laki dan perempuan dengan berbagai tingkat variasinya. Maka
jika seandainya bentuk laki-laki yang sempurna ditempatkan pada satu kutub
dan bentuk perempuan sempurna pada kutub lain dan kemudian ditarik garis
kontinum yang menghubungkan kedua kutub tadi, akan ada bentuk-bentuk
antara yang sering disebut intersex, kelamin ganda, kerancuan genital (sexual
ambiguity) atau lebih tepatnya Disorders of Sexual Development.
Para ahli mengelompokkan intersex tersebut menjadi 3 bentuk; yaitu
merms (male pseudohermaphrodite), herms (true hermaphrodite) dan ferms
(female pseudohermaphrodite). Maka pertanyaan krusial yang sering dilontarkan
oleh para aktifis ialah, apakah ketiga bentuk intersex tersebut diatas tidak boleh
diakui sebagai jenis kelamin tersendiri berdasarkan konsep manusia sebagai
spesies dengan 5 jenis kelamin (pentamorphic species)? Apakah kita akan tetap
mengakui manusia sebagai dimorphic species sehingga ketiga jenis kelamin
tersebut
diatas
merupakan
problem
kesehatan
(Disorders
of
Sexual
5. Aspek psikologik.
Laki-laki yang normal ditandai oleh adanya kromosom XY, testis (yang
memproduksi spermatozoa dan hormon laki-laki), organ penis, dominasi
testosteron dan sifat kelaki-lakian. Sedangkan perempuan yang normal ditandai
oleh adanya kromosom XX, ovarium (yang akan memproduksi ovum dan hormon
perempuan), alat kelamin perempuan (vulva, clitoris, labium mayus, labium
minus dan vagina), dominasi progesteron serta sifat kejiwaan sebagai layaknya
seorang perempuan. Pada kenyataannya keempat aspek tersebut tidak
selamanya berjalan sinkron sehingga kemudian muncul problem kesehatan
berupa intersex, transsexual dan lain-lain.
Terminologi intersex sebenarnya muncul akibat adanya konsep manusia
sebagai makhluk dimorphic species, yaitu hanya terdiri dari laki-laki dan
perempuan saja. Sementara bentuk-bentuk lain yang merupakan bentuk antara
dianggap sebagai problem kesehatan yang memerlukan penanganan khusus.
Dikatakan sebagai problem kesehatan karena:
1. Pada merms (sebutan untuk male pseudohermaphrodite) ditemukan
organ testis disertai beberapa aspek dari genetalia wanita.
2. Pada herms (sebutan untuk true hermaphrodite) ditemukan organ
testis disertai ovarium.
3. Pada
ferms
(sebutan
female
pseudohermaphrodite)
ditemukan
perlu dikemukakan
(meski
banyak
ditentang) adalah
teori
yang
ASPEK ETIKA
Dalam pembahasan masalah etika kaitannya dengan sexual ambiguity,
saya akan lebih memfokuskan pada aspek penanganan kliniknya mengingat
banyaknya operasi korektif dini atas bayi dengan sexual ambiguity yang
dikemudian
hari
justru
bertentangan
dengan
keinginan
pasien
yang
arahan yang benar dalam melihat eksistensi dirinya sendiri sebagai subjek
sehingga mampu menempatkannya pada posisi yang tepat di tengah situasi
yang serba tidak menentu akibat perkembangan ilmu dan teknologi di bidang
kedokteran, dan dengan orientasi dan arahan itu pulalah diharapkan para dokter
mampu memperlakukan manusia di luar dirinya secara benar berdasarkan
moralitas yang dapat diterima.
Kita harus menyadari bahwa hakekat etika adalah falsafah moral
sehingga dalam pengkajian berbagai masalahnya tidak dapat dilepaskan sama
sekali dari disiplin ini. Pesan William Barrett dalam bukunya The Illusion of
Technique (sebagaimana dikutip oleh Titus, Smith dan Nolan dalam buku Living
Issues in Phylosophy) adalah bahwa pada masa-masa sekarang ini seharusnya
lebih dari masa-masa lampau, yaitu perlu menempatkan kembali seluruh
gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam jalinan baru
dengan kehidupan umat manusia. Untuk itu beliau mengingatkan agar filsafat
modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan ilmu dan teknologi,
atau kalau tidak maka umat manusia akan kehilangan tujuan, arahan dan
kebebasan secara permanen.
Kita perlu menyinggung sedikit mengenai filsafah karena pemikiran dan
kritisinya dapat memberikan pencerahan dalam menentukan baik buruknya
suatu perbuatan dari sisi moral, sementara moral memberikan landasan bagi
penentuan keetisan dalam menyelesaikan dilemma etik.
Berkaitan dengan masalah moral tersebut maka Beauchamp dan
Childress (1983), menghendaki agar para dokter mengindahkan prinsipprinsipnya (moral principles), yakni:
3. Autonomy;
preferences.
Topik
patients
memperhatikan
preferences
keinginan
menuntut
pasien.
Untuk
dokter
itu
agar
para
tindakannya
dokter
harus
mewakili
menggunakan
kepentingannya
standar
yang
serta
benar
apakah
dalam
mereka
telah
menentukan
keputususannya?
5. Apakah pasien sebelumnya telah menyatakan keinginannya (misalnya
advance directives)?
6. Apakah pasien tidak bersedia atau tidak mampu bersifat kooperatif
dengan tindakan medis dan jika ya lalu mengapa sebabnya?
Topik quality of life menuntut dokter agar memperhatikan kualitas hidup
pasien dengan mempertimbangakan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sedangkan
topik
contextual
features
menuntut
dokter
untuk
isu-isu
provider
(dokter
dan
perawat)
yang
dapat
sesuatu perbuatan harus dikaitkan pula dengan motif, cara dan akibat dari
perbuatan itu.
Dalam kasus bayi dengan sexual ambiguity, peluang terjadinya dilema
etik menjadi lebih besar mengingat mereka sebagai pasien belum berkompetan
dan belum mampu menyampaikan preferensinya. Inti permasalahan sebenarnya
ialah, siapakah sesungguhnya yang berhak mewakili kepentingan bayi-bayi
tersebut; orang tua, dokter ataukah masyarakat?
Dalam pandangan saya pribadi mengenai masalah sulit dan sensitif ini,
posisi dokter bukan saja penting tetapi juga sangat menentukan sebab hanya
merekalah
yang
mampu
menganalisis
potensi
risiko
dan
keuntungan.
dapat
mempengaruhi
mereka
dalam
membuat
keputusan.
Masyarakat luas juga menempati posisi yang tak kalah penting sehingga oleh
karenanya diperlukan komunikasi dan pembangunan opini publik.
ASPEK HUKUM
Pada hakekatnya hukum dan etika beranjak dari landasan yang sama,
yaitu moral, sehingga apa yang umumnya dirasakan baik dan buruk atau benar
dan salah oleh etika juga dirasakan demikian oleh hukum. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan Dworkin, bahwa Moral principle is the foundation of Law
(Laws Empire, 1986). Hanya saja bidang hukum tidak mencakup hal-hal sepele
yang kurang relevan untuk dicampuri. Pelanggaran terhadap norma etik yang
sifatnya kecil dan ringan dianggap belum mengganggu ketertiban umum
sehingga belum perlu diatur dan diberi sanksi oleh hukum. Masyarakat dinilai
masih mampu mengendalikannya tanpa menimbulkan gejolak. Tetapi untuk halhal yang besar, apalagi yang dapat mengancam hak asasi manusia, intervensi
hukum memang diperlukan.
10
Meski di satu sisi profesi medis perlu tetap dipertahankan sebagai profesi
yang harus mengatur dirinya sendiri (otonom) dan harus pula bebas
memutuskan tindakannya yang diyakini benar, tetapi di sisi lain dipertanyakan
mengapa harus profesi itu sendiri yang mengatur segalanya, sebab membiarkan
profesi ini menentukan nasib dan masa depan pasien, akan dapat menimbulkan
ancaman terhadap hak azasi manusia. Sejalan dengan pandangan ini maka
hukum, walaupun tidak selamanya benar, keberadaannya paling tidak akan
dapat dijadikan sarana untuk mengontrol profesi medis. Pandangan inilah yang
kemudian melahirkan aliran legalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa
hukum tanpa landasan moral tidak akan pernah adil sementara moral tanpa
hukum tidak akan pernah nyata. Oleh karenanya aliran ini menghendaki agar
prilaku etik diikuti oleh peraturan hukum sehingga konsekuensinya, hak dan
kewajiban perlu ditentukan.
Agaknya tak semua ahli dapat menerima pandangan ini mengingat
legalisasi moral dan moralisasi hukum akan membaurkan fungsi hukum dan
fungsi moral. Meski secara umum hukum dan etika punya tujuan sama, yaitu
ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, tetapi secara khusus berbeda
dilihat dari sifat dan tujuan khususnya, tolok ukur, akibat, sanksi dan ruang
lingkupnya. Intinya adalah bahwa moral dan etika menghendaki agar orang
menggunakan hati nuraninya untuk melakukan yang baik dan yang benar serta
menghindari perbuatan buruk dan salah, sedangkan hukum mengatur etika
secara garis besar yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat dan
bertujuan menciptakan kedamaian serta ketertiban. Atas dasar perbedaan inilah
maka Lord Chief Justice Coleridge menyatakan: It would not be correct to say
that every moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded
on a moral obligation. Masalahnya adalah, bagaimana menentukan suatu
batasan dimana kebijakan medis perlu diamati dan dikontrol oleh hukum?
Untuk pertanyaan diatas saya sendiri tak punya jawabannya, namun
dalam hal-hal yang ada kaitannya dengan hak asasi manusia, konvensi PBB
menekankan kepada setiap negara agar membuat peraturan perundangundangan untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk hak-hak anak (the
11
rights of the child). Atas dasar konvensi tersebut maka lembaga legislatif
bersama-sama pemerintah menertbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak.
Tujuan dari undang-undang itu ialah untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Asas yang digunakan dalam Undang-Undang Prlindungan Anak adalah
sebagai berikut:
a. Non diskriminasi.
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-undang tersebut juga mengatur hak anak untuk mendapatkan
nama sebagai identitas diri dan memperoleh pelayanan kesehatan serta jaminan
sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
Menyangkut anak dengan sexual ambiguity memang tidak diatur secara
eksplisit, namun Undang-Undang Perlindungan Anak mengindikasikan agar
semua pihak (termasuk para dokter dan orang tuanya), menghormati hak anak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara moral. Sedangkan mengenai hak mendapatkan nama sebagai identitas
diri (yang tentunya meliputi pula jenis kelamin) perlu ada penjelasan lebih lanjut
mengingat perkembangan jenis kelamin anak seringkali memerlukan waktu lebih
lama (yaitu 3 sampai 7 tahun) sehingga penentuan jenis kelamin anak mungkin
saja belum dapat dilakukan segera setelah dilahirkan.
ISU-ISU SEPUTAR SEXUAL AMBIGUITY
1. Istilah sexual ambiguity.
12
Istilah Intersex lebih dirokemendasikan dari pada sexual ambiguity dan ini
sudah diterapkan secara luas dalam berbagai publikasi baru. Intersex merefer
pada berbagai macam kondisi dari jenis percampuran anatomi sex. Kadangkadang seorang dengan intersex menunjukkan ambigous genitalia, tetapi
ambiguity tsb tidak selalu dijumpai (secara jelas) dengan pemeriksaan luar.
Atas dasar adanya polymorphism dalam biology, konsep identitas sexual
manusia sebagai dimorphic species memperoleh tantangan. Saat ini, konsep
identitas sexual sebagai suatu continuum (spectrum) lebih memperoleh
dukungan katimbang konsep dimorphic. Namun ada perbedaan antara identitas
sexual (biologis) dengan identitas gender. Yang terahhir ini adalah suatu konsep
psiko-sosial (social construct)
13
praktek
dari
penanganan
kasus-kasus
kemajuan
intersexualitas
dengan
psychology, ethics, dst. Kasus tsb menunjukkan pula notion lama bahwa
identitas sexual sesorang ditentukan melalui pendidikan, lingkungan sosial,
lifestyle, dst, adalah tidak benar.
Identitas sexual disepakati merupakan kondisi yang "built in", yang
terbentuk melalui 5 aspek biologis diatas. Kondisi intersex adalah kondisi dimana
proses diferensiasi sex mengalami variasi biologis yang paling kompleks yang
tidak bisa dengan mudah ditentukan pada waktu lahir. Dalam kasus intersex
proses diferensiasi dari identitas sexual boleh jadi masih berlangsung sampai
anak tsb mencapai kedewasaan. Oleh karena itu merupakan suatu resiko untuk
menyerahkan semata kepada medical profesional dalam menentukan identitas
sexual dari kasus intersex, terlebih bila disertai tindakan intervensi medis
(operasi) untuk disesuaikan dengan keputusan tsb. Kasus John/Joan dan kasuskasus etika intersex lainnya menunjukkan bahwa intervensi medis sering tidak
membantu ybs melainkan hanya menambah "insult", beban dan penderitaan
terhadap ybs.
14
15
medis
seperti
operasi
dapat
dibenarkan
untuk
tujuan
16
Mason, J, K., Smith, R, A.: Law and Medical Ethics, Butterworths & Co, London,
1983.
6. Monagle, J, F., Thomasma, D, C.: Health Care Ethics, Critical Issues for the 21 st ,
Aspen Publisher Inc, Gaithersburg, Maryland, 1998.
7. Jonsen, A, R., Siegler, M., Winslade, W, J. : Clinical Ethics, Practical Approach to
Ethical Decision in Clinical Medicine, 6th ed, Mc Graw-Hill Inc, 2006.
8. Arras, J., Hunt, R. : Ethical Issues in Modern Medicine, 2 nd Ed, Mayfield Publishing
Comp, Mountain View, 1983.
9. Catalano, J, T. : Ethical and Legal Aspect of Nursing, 2nd Ed, Mc Grawhill Inc, 1991.
10. Titus, H, H., Smith, M, S., Nolan, R, T. : Living Issues in Philosophy, 7th Ed, D. Van
Nostrand
Comp,
London, Melbourne,
1979.
11. Dahlan, S.: Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, edisi 2, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
12. Johnstone, M, J.: Bio Ethics, a Nursing Persective, W B Saunders Bailliere
Tindall, Sydney, Philadelphia, London, Toronto, 1989.
13. Beauchamp, T, L. Childress, J, F. : Principles of Biomedical Ethics, 3 rd Ed, Oxford
University Press, Oxford, New York, 1989.
14. Lim, S, M. Chew, S, C, Ratnam, S,. C.: Transexualism, I Surgical Treatment in
Singapore, A publication of The Medico Legal Society of Singapdre 1981: 8594.
15. http:// www.zenithfoundation ca, Definition of Medical Terms and Diagnostic Criteria
for Gender Identity Disorder.
ooooooooooo
17