Anda di halaman 1dari 17

LEGAL AND ETHICAL ASPECT

OF
DISORDER OF SEXUAL DEVELOPMENT MANAGEMENT
Sofwan Dahlan*

________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Menentukan jenis kelamin berdasarkan tanda-tanda kelamin sekunder
atas bayi yang dilahirkan normal tidaklah sulit sehingga orang awampun dapat
melakukannya dengan tepat. Namun untuk bayi tertentu, penentuan jenis
kelamin tidaklah mudah dan sederhana. Masalahnya adalah karena ada
beberapa bentuk ambigu (rancu) yang menggambarkan adanya kombinasi
karakteristik laki-laki dan perempuan dengan berbagai tingkat variasinya. Maka
jika seandainya bentuk laki-laki yang sempurna ditempatkan pada satu kutub
dan bentuk perempuan sempurna pada kutub lain dan kemudian ditarik garis
kontinum yang menghubungkan kedua kutub tadi, akan ada bentuk-bentuk
antara yang sering disebut intersex, kelamin ganda, kerancuan genital (sexual
ambiguity) atau lebih tepatnya Disorders of Sexual Development.
Para ahli mengelompokkan intersex tersebut menjadi 3 bentuk; yaitu
merms (male pseudohermaphrodite), herms (true hermaphrodite) dan ferms
(female pseudohermaphrodite). Maka pertanyaan krusial yang sering dilontarkan
oleh para aktifis ialah, apakah ketiga bentuk intersex tersebut diatas tidak boleh
diakui sebagai jenis kelamin tersendiri berdasarkan konsep manusia sebagai
spesies dengan 5 jenis kelamin (pentamorphic species)? Apakah kita akan tetap
mengakui manusia sebagai dimorphic species sehingga ketiga jenis kelamin
tersebut

diatas

merupakan

problem

kesehatan

(Disorders

of

Sexual

Development) sehingga memerlukan penanganan khusus?


Jika kalangan medis setuju sebagai jenis kelamin tersendiri sebagaimana
dituntut para aktifis maka konsekuensinya, masyarakat harus bersedia mengakui
adanya 3 bentuk normal lain disamping jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Tetapi jika kalangan medis mengakuinya sebagai problem kesehatan yang
memerlukan penanganan, tentunya semua pihak juga harus memberikan respon

yang memadai sebab persoalan sexual ambiguity (kerancuan genital) sangat


komplek dan bukan hanya menjadi tanggungjawab kalangan kedokteran saja,
melainkan seluruh masyarakat (termasuk psikolog, psikiater, ahli hukum, tokoh
agama, pendidik, pekerja sosial, LSM dan utamanya orang tua pasien).
Semua pihak harus dapat memahami bahwa perkembangan jenis kelamin
seseorang memerlukan waktu lama sehingga kadangkala untuk memastikannya
dengan pasti harus menunggu 3 hingga 7 tahun, sementara untuk menentukan
jenis kelamin itu sendiri sekurang-kurangnya ada 5 aspek yang perlu
dipertimbangkan; yakni kromosom, alat kelamin primer (kelenjar gonad), alat
kelamin sekunder, aktifitas hormonal dan psikologik.
Kaitannya dengan operasi korektif (corrective surgery) kalangan medis
perlu berhati-hati dan tidak terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan
yang akan menentukan masa depan bayi, sebab dalam banyak kasus, kebijakan
medis yang bersifat irreversible dan terlalu tergesa-gesa (immediate corrective
surgery), ternyata di belakang hari banyak ditolak oleh pasien yang
bersangkutan ketika mereka mulai beranjak dewasa seperti kasus John/Joan
dan Cheryl Chase. Para dokter harus mampu memahami secara konprehensif
seluruh aspek yang berkaitan dengan sexual ambiguity sehingga kebijakan
medisnya dapat dipertanggungjawabkan; baik dari segi moral, etik dan hukum.
Kasus John/Joan, Cheryl Chase dan mungkin juga kasus-kasus lain yang serupa
patut dijadikan pelajaran berharga.
PENENTUAN JENIS KELAMIN
Dalam penentuan jenis kelamin seseorang, sekurang-kurangnya ada 5
aspek penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Aspek kromosom.
2. Aspek alat kelamin primer (organ kelamin dalam yaitu testis dan
ovarium).
3. Aspek alat kelamin sekunder (organ kelamin luar yaitu penis serta
vulva dan vagina).
4. Aspek hormonal.

5. Aspek psikologik.
Laki-laki yang normal ditandai oleh adanya kromosom XY, testis (yang
memproduksi spermatozoa dan hormon laki-laki), organ penis, dominasi
testosteron dan sifat kelaki-lakian. Sedangkan perempuan yang normal ditandai
oleh adanya kromosom XX, ovarium (yang akan memproduksi ovum dan hormon
perempuan), alat kelamin perempuan (vulva, clitoris, labium mayus, labium
minus dan vagina), dominasi progesteron serta sifat kejiwaan sebagai layaknya
seorang perempuan. Pada kenyataannya keempat aspek tersebut tidak
selamanya berjalan sinkron sehingga kemudian muncul problem kesehatan
berupa intersex, transsexual dan lain-lain.
Terminologi intersex sebenarnya muncul akibat adanya konsep manusia
sebagai makhluk dimorphic species, yaitu hanya terdiri dari laki-laki dan
perempuan saja. Sementara bentuk-bentuk lain yang merupakan bentuk antara
dianggap sebagai problem kesehatan yang memerlukan penanganan khusus.
Dikatakan sebagai problem kesehatan karena:
1. Pada merms (sebutan untuk male pseudohermaphrodite) ditemukan
organ testis disertai beberapa aspek dari genetalia wanita.
2. Pada herms (sebutan untuk true hermaphrodite) ditemukan organ
testis disertai ovarium.
3. Pada

ferms

(sebutan

female

pseudohermaphrodite)

ditemukan

ovarium disertai beberapa aspek dari genetalia laki-laki.


Sedangkan transexual merupakan problem kesehatan lain akibat adanya
aspek psikolologik yang tidak sejalan dengan aspek-aspek lainnya. Terminologi
transsexual itu sendiri mulai diperkenalkan oleh Magnus Hirshfeld tahun 1921
dan kemudian Cauldwell pada tahun 1949 menyebutnya sebagai psychopathia
transexualism. Fenomena tersebut sebetulnya bukan merupakan fenomena baru
sebab dari sebuah legenda kuno yang berasal dari India diperoleh petunjuk
bahwa gejala transeksual sudah lama dikenal orang. Legenda tersebut
mengkisahkan seorang raja yang berubah menjadi seorang wanita ketika mandi
di sebuah sungai yang amat keramat dan kemudian menolak untuk kembali ke
jenis kelaminnya semula karena merasa bercinta sebagai seorang wanita jauh

lebih menyenangkan meski konsekuensinya ia harus melahirkan tidak kurang


dari 100 orang anak.
Masalah transeksual baru memperoleh perhatian secara luas dan inten
dari berbagai disiplin ilmu sesudah seorang remaja Amerika, George Jorgensen,
pergi ke Denmark tahun 1952 untuk menjalani operasi penggantian kelamin dan
kemudian pulang kembali ke kampung halamannya tahun 1953 dengan nama
Christine Jorgensen.
Banyak teori yang kemudian dikembangkan oleh para ahli, diantaranya
yang

perlu dikemukakan

(meski

banyak

ditentang) adalah

teori

yang

menganggap transeksual sebagai gejala delusi dari penyakit schizophrenia. Teori


yang banyak diterima adalah yang mengkaitkannya dengan perkembangan
psikologik, dengan asumsi bahwa semua orang pada dasarnya dilahirkan
dengan jenis kelamin netral. Bahwa kemudian secara psikologik menjadi laki-laki
atau perempuan adalah karena berbagal variabel; di antaranya dengan siapa
seseorang lebih dekat bergaul serta bagaimana kultur yang ada di sekitarnya.
Sejauh menyangkut variable kultur mungkin ada benarnya sebab kalau di
negara-negara barat umumnya terdapat seorang penderita transeksual untuk
setiap 100.000 sampai 130.000 penduduk, namun di suatu kota pantai di Oman
terdapat seorang penderita untuk setiap 50 orang penduduknya. Oleh sebab
itulah Wikan (1977), mentengarai adanya keterkaitan erat antara kultur dan
sosial budaya dengan terjadinya gejala transeksual.

ASPEK ETIKA
Dalam pembahasan masalah etika kaitannya dengan sexual ambiguity,
saya akan lebih memfokuskan pada aspek penanganan kliniknya mengingat
banyaknya operasi korektif dini atas bayi dengan sexual ambiguity yang
dikemudian

hari

justru

bertentangan

dengan

keinginan

pasien

yang

bersangkutan ketika mereka beranjak dewasa; seperti yang dialami oleh


John/Joan, Cheryl Chase dan beberapa kasus lainnya.

Sebagaimana dilaporkan bahwa John dilahirkan dengan sexual ambiguity


yang kemudian, sesuai rekomendasi dokter, dilakukan operasi korektif kearah
perempuan serta diganti namanya menjadi Joan. Dalam perkembangan
selanjutnya selepas operasi, Joan sempat menyukai pakaian dan model rambut
perempuan sehingga dokter yang menanganinya dengan bangga mengklaim
tindakannya sebagai sebuah sukses besar. Namun sesudah dewasa ternyata
Joan menolak jatidirinya sebagai perempuan dan memilih hidup sebagai laki-laki
dengan nama David Reimer. Meski tanpa penis dan testis karena sudah dibuang
ketika menjalani operasi korektif, David Reimer menikahi seorang perempuan
serta mengadopsi seorang anak.
Sedangkan Cheryl Chase, yang sekarang menjadi aktifis dalam masalah
intersex juga mengalami nasib serupa, dioperasi secara tergesa-gesa menjadi
seorang laki-laki, sehingga ia sekarang harus hidup tanpa clitoris sebagai
konsekuensi dari operasi tersebut.
Pertanyaan yang perlu diketengahkan disini ialah, apakah tindakan medis
oleh dokter sebagaimana yang dilakukan terhadap John/Joan, Cheryl Chase dan
mungkin juga kasus-kasus intersex lainnya dapat dibenarkan dari sudut moral
dan etika? Bolehkah orangtua mewakili kepentingan anak-anaknya yang belum
memiliki kompetensi untuk menyatakan keinginannya? Jika boleh, lalu standar
yang mana yang seharusnya dijadikan acuan? Meski jawaban yang memuaskan
mungkin tidak akan pernah didapat, namun saya berharap bahwa tulisan ini
dapat menuntun menemukan jawabannya.
Sudah tentu kita harus melakukan analisis filsafati lebih dahulu dengan
mengkaji ulang mengenai tujuan hakiki dari profesi medis itu sendiri; yaitu to aim
at human happiness, to aim at the prolongation of life, atau the maintenance or
restoration of (some semblance of health). Selain itu juga mengkaji hakekat dan
essensi manusia (human nature) lengkap dengan kebutuhan-kebutuhannya
(physical demands, psychological and social demands dan intellectual and
spiritual demands). Melalui pendekatan ini diharapkan para dokter, entah
sebagai

ilmuwan ataukah profesional, akan memperoleh orientasi kritis dan

arahan yang benar dalam melihat eksistensi dirinya sendiri sebagai subjek
sehingga mampu menempatkannya pada posisi yang tepat di tengah situasi
yang serba tidak menentu akibat perkembangan ilmu dan teknologi di bidang
kedokteran, dan dengan orientasi dan arahan itu pulalah diharapkan para dokter
mampu memperlakukan manusia di luar dirinya secara benar berdasarkan
moralitas yang dapat diterima.
Kita harus menyadari bahwa hakekat etika adalah falsafah moral
sehingga dalam pengkajian berbagai masalahnya tidak dapat dilepaskan sama
sekali dari disiplin ini. Pesan William Barrett dalam bukunya The Illusion of
Technique (sebagaimana dikutip oleh Titus, Smith dan Nolan dalam buku Living
Issues in Phylosophy) adalah bahwa pada masa-masa sekarang ini seharusnya
lebih dari masa-masa lampau, yaitu perlu menempatkan kembali seluruh
gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam jalinan baru
dengan kehidupan umat manusia. Untuk itu beliau mengingatkan agar filsafat
modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan ilmu dan teknologi,
atau kalau tidak maka umat manusia akan kehilangan tujuan, arahan dan
kebebasan secara permanen.
Kita perlu menyinggung sedikit mengenai filsafah karena pemikiran dan
kritisinya dapat memberikan pencerahan dalam menentukan baik buruknya
suatu perbuatan dari sisi moral, sementara moral memberikan landasan bagi
penentuan keetisan dalam menyelesaikan dilemma etik.
Berkaitan dengan masalah moral tersebut maka Beauchamp dan
Childress (1983), menghendaki agar para dokter mengindahkan prinsipprinsipnya (moral principles), yakni:

1. Beneficence; that is the clinicians duty to do good to the patient.


2. Nonmalficence; that is the clinicians duty to do no harm to the patient.

3. Autonomy;

that is the cilinicians duty to respect the patients

preferences.

4. Justice; that is the clinicians duty to be fair (as a fairness or as a


distributive justice).
Agar mudah diaplikasikan maka Jonsen, Siegler dan Winslade (2006)
mengemas keempat prinsip moral tersebut menjadi etika klinik (clinical ethics);
yaitu suatu disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur guna
membantu para dokter dalam mengambil keputusan dengan mengidentifikasi,
menganalisis dan memecahkan isu-isu etika dalam kedokteran klinis. Keempat
prinsip tersebut diatas kemudian diterjemahkan menjadi sebuah pedoman praktis
yang terdiri atas:
1. Medical indications.
2. Patient preferences.
3. Quality of life.
4. Contextual features.
Topik medical indications menuntut dokter agar dalam melakukan
tindakan medis mendasarkan pada indikasi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara moral dengan mempertimbangkan, bagaimana patien dapat memperoleh
keuntungan dari tindakannya (medical and nursing care) dan bagaimana pula
patien dapat dihindarkan dari hal-hal yang menyakitkan. Untuk itu perlu
dipertimbangkan:
1. Apa sesungguhnya problem kesehatan pasien; meliputi riwayat,
diagnosis, prognosisnya?
2. Apakah problem tersebut akut, kronis, urgen ataukah reversiblel?
3. Apa tujuan dari tindakan medis?
4. Bagaimana probabilitas kesuksesannya?
5. Apa rancangan selanjutnya jika seandainya tindakan medis mengalami
kegagalan?

Topik

patients

memperhatikan

preferences

keinginan

menuntut

pasien.

Untuk

dokter
itu

agar

para

tindakannya

dokter

harus

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:


1. Apakah pasien dalam kondisi mentally incapable dan legally
competent serta apa buktinya jika pasien dalam kondisi incapacity?
2. Jika pasien kompeten, apakah ia menyatakan sendiri keinginannya
untuk diobati?
3. Apakah pasien telah diberi informasi tentang keuntungan dan risikonya
serta telah memahami dan memberikan persetujuan?
4. Jika pasien dalam kondisi incapacity maka siapakah sebenarnya yang
berhak

mewakili

menggunakan

kepentingannya
standar

yang

serta
benar

apakah
dalam

mereka

telah

menentukan

keputususannya?
5. Apakah pasien sebelumnya telah menyatakan keinginannya (misalnya
advance directives)?
6. Apakah pasien tidak bersedia atau tidak mampu bersifat kooperatif
dengan tindakan medis dan jika ya lalu mengapa sebabnya?
Topik quality of life menuntut dokter agar memperhatikan kualitas hidup
pasien dengan mempertimbangakan:
1.

Apa prospeknya, baik dengan atau tanpa tindakan medis, untuk


kembali menuju kehidupan normal?

2.

Apa kekurangan yang masih akan dialami pasien jika


seandainya tindakan pengobatan mengalami keberhasilan?

3.

Apakah ada bias penilaian dokter menyangkut kualitas hidup


pasien?

4.

Apakah kondisi sekarang atau akan datang diinginkan oleh


pasien untuk meneruskan hidupnya?

5.

Adakah rancangan atau masuk akalkah untuk menolak


pengobatan?

6.

Apakah rancangan untuk membebaskannya dari penderitaan


serta perawatan paliatif?

Sedangkan

topik

contextual

features

menuntut

dokter

untuk

memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:


1. Adakah isu-isu keluarga yang dapat mempengaruhi keputusan medis?
2. Adakah

isu-isu

provider

(dokter

dan

perawat)

yang

dapat

mempengaruhi keputusan medis?


3. Adakah faktor-faktor finansial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi
keputusan medis?
3. Adakah faktor-faktor agama dan kultur yang dapat mempengaruhi
keputusan medis?
4. Adakah keterbatasan-keterbatasan menyangkut konfidensialitas?
5. Adakah problem-problem menyangkut sumber daya?
6. Bagaimana hukum mempengaruhi keputusan medis?
7. Adakah keterkaitan dengan program riset atau pendidikan?
8. Adakah konflik kepentingan dari sebagian provider (dokter dan
perawat) dan institusi?
Kesimpulannya, teori etika mencoba memberikan suatu sistem yang
mengandung prinsip-prinsip dasar (moral principles), standar-standar serta
aturan-aturan (rules) dalam menyelesaikan dilemma etik, yaitu suatu situasi yang
memerlukan keputusan dari berbagai alternatif yang mungkin sama-sama tidak
menyenangkan atau saling berselisihan. Oleh sebab itu teori etika memuat
keyakinan-keyakinan dasar tentang benar tidaknya perbuatan secara moral serta
memberikan alasan-alasan guna mendukung keyakinan tersebut.
Kalau dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdiri
atas kebutuhan fisik (physical demands), kebutuhan psikologi dan sosial
(psychological and social demands) serta kebutuhan intelektual dan spiritual
(intellectual and spiritual demands); maka sesungguhnya orang akan selalu
dihadapkan pada pilihan-pilihan moral (moral alternatives). Sudah tentu tidak
mudah dan sederhana untuk membuat keputusan yang benar dari berbagai
macam alternatif yang tersedia. Jika konflik interes muncul maka solusinya
membutuhkan intelegensia dan kemauan baik (good will). Kadangkala orang
merasa ragu apakah tindakannya sudah benar. Maka dalam mempertimbangkan

sesuatu perbuatan harus dikaitkan pula dengan motif, cara dan akibat dari
perbuatan itu.
Dalam kasus bayi dengan sexual ambiguity, peluang terjadinya dilema
etik menjadi lebih besar mengingat mereka sebagai pasien belum berkompetan
dan belum mampu menyampaikan preferensinya. Inti permasalahan sebenarnya
ialah, siapakah sesungguhnya yang berhak mewakili kepentingan bayi-bayi
tersebut; orang tua, dokter ataukah masyarakat?
Dalam pandangan saya pribadi mengenai masalah sulit dan sensitif ini,
posisi dokter bukan saja penting tetapi juga sangat menentukan sebab hanya
merekalah

yang

mampu

menganalisis

potensi

risiko

dan

keuntungan.

Konsekuensinya, mereka juga dituntut kewajiban untuk melakukan analisis yang


fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir seyogyanya tidak
sepenuhnya diserahkan kepada para dokter sebab monopoli ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak berarti monopoli terhadap etika dan kearifan. Juga tidak
boleh diserahkan hanya kepada pasien (atau orangtuanya) sebab bias
kepentingan

dapat

mempengaruhi

mereka

dalam

membuat

keputusan.

Masyarakat luas juga menempati posisi yang tak kalah penting sehingga oleh
karenanya diperlukan komunikasi dan pembangunan opini publik.
ASPEK HUKUM
Pada hakekatnya hukum dan etika beranjak dari landasan yang sama,
yaitu moral, sehingga apa yang umumnya dirasakan baik dan buruk atau benar
dan salah oleh etika juga dirasakan demikian oleh hukum. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan Dworkin, bahwa Moral principle is the foundation of Law
(Laws Empire, 1986). Hanya saja bidang hukum tidak mencakup hal-hal sepele
yang kurang relevan untuk dicampuri. Pelanggaran terhadap norma etik yang
sifatnya kecil dan ringan dianggap belum mengganggu ketertiban umum
sehingga belum perlu diatur dan diberi sanksi oleh hukum. Masyarakat dinilai
masih mampu mengendalikannya tanpa menimbulkan gejolak. Tetapi untuk halhal yang besar, apalagi yang dapat mengancam hak asasi manusia, intervensi
hukum memang diperlukan.

10

Meski di satu sisi profesi medis perlu tetap dipertahankan sebagai profesi
yang harus mengatur dirinya sendiri (otonom) dan harus pula bebas
memutuskan tindakannya yang diyakini benar, tetapi di sisi lain dipertanyakan
mengapa harus profesi itu sendiri yang mengatur segalanya, sebab membiarkan
profesi ini menentukan nasib dan masa depan pasien, akan dapat menimbulkan
ancaman terhadap hak azasi manusia. Sejalan dengan pandangan ini maka
hukum, walaupun tidak selamanya benar, keberadaannya paling tidak akan
dapat dijadikan sarana untuk mengontrol profesi medis. Pandangan inilah yang
kemudian melahirkan aliran legalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa
hukum tanpa landasan moral tidak akan pernah adil sementara moral tanpa
hukum tidak akan pernah nyata. Oleh karenanya aliran ini menghendaki agar
prilaku etik diikuti oleh peraturan hukum sehingga konsekuensinya, hak dan
kewajiban perlu ditentukan.
Agaknya tak semua ahli dapat menerima pandangan ini mengingat
legalisasi moral dan moralisasi hukum akan membaurkan fungsi hukum dan
fungsi moral. Meski secara umum hukum dan etika punya tujuan sama, yaitu
ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, tetapi secara khusus berbeda
dilihat dari sifat dan tujuan khususnya, tolok ukur, akibat, sanksi dan ruang
lingkupnya. Intinya adalah bahwa moral dan etika menghendaki agar orang
menggunakan hati nuraninya untuk melakukan yang baik dan yang benar serta
menghindari perbuatan buruk dan salah, sedangkan hukum mengatur etika
secara garis besar yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat dan
bertujuan menciptakan kedamaian serta ketertiban. Atas dasar perbedaan inilah
maka Lord Chief Justice Coleridge menyatakan: It would not be correct to say
that every moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded
on a moral obligation. Masalahnya adalah, bagaimana menentukan suatu
batasan dimana kebijakan medis perlu diamati dan dikontrol oleh hukum?
Untuk pertanyaan diatas saya sendiri tak punya jawabannya, namun
dalam hal-hal yang ada kaitannya dengan hak asasi manusia, konvensi PBB
menekankan kepada setiap negara agar membuat peraturan perundangundangan untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk hak-hak anak (the

11

rights of the child). Atas dasar konvensi tersebut maka lembaga legislatif
bersama-sama pemerintah menertbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak.
Tujuan dari undang-undang itu ialah untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Asas yang digunakan dalam Undang-Undang Prlindungan Anak adalah
sebagai berikut:
a. Non diskriminasi.
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-undang tersebut juga mengatur hak anak untuk mendapatkan
nama sebagai identitas diri dan memperoleh pelayanan kesehatan serta jaminan
sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
Menyangkut anak dengan sexual ambiguity memang tidak diatur secara
eksplisit, namun Undang-Undang Perlindungan Anak mengindikasikan agar
semua pihak (termasuk para dokter dan orang tuanya), menghormati hak anak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara moral. Sedangkan mengenai hak mendapatkan nama sebagai identitas
diri (yang tentunya meliputi pula jenis kelamin) perlu ada penjelasan lebih lanjut
mengingat perkembangan jenis kelamin anak seringkali memerlukan waktu lebih
lama (yaitu 3 sampai 7 tahun) sehingga penentuan jenis kelamin anak mungkin
saja belum dapat dilakukan segera setelah dilahirkan.
ISU-ISU SEPUTAR SEXUAL AMBIGUITY
1. Istilah sexual ambiguity.

12

Istilah Intersex lebih dirokemendasikan dari pada sexual ambiguity dan ini
sudah diterapkan secara luas dalam berbagai publikasi baru. Intersex merefer
pada berbagai macam kondisi dari jenis percampuran anatomi sex. Kadangkadang seorang dengan intersex menunjukkan ambigous genitalia, tetapi
ambiguity tsb tidak selalu dijumpai (secara jelas) dengan pemeriksaan luar.
Atas dasar adanya polymorphism dalam biology, konsep identitas sexual
manusia sebagai dimorphic species memperoleh tantangan. Saat ini, konsep
identitas sexual sebagai suatu continuum (spectrum) lebih memperoleh
dukungan katimbang konsep dimorphic. Namun ada perbedaan antara identitas
sexual (biologis) dengan identitas gender. Yang terahhir ini adalah suatu konsep
psiko-sosial (social construct)

dimana lebih berkaitan dengan faktor-faktor

sosial, adat budaya dan kepercayaan setempat.


Konsep gender yang berlaku sekarang bisa diterima ISNA (Intersex
Society of North America) merekomendasikan agar anak yang baru lahir tidak
dipaksakan dalam klasifikasi identitas sexual biologis tertentu, namun tidak
menentang untuk pemberian identitas gender; dengan catatan identitas gender
tsb sifatnya provisional, artinya merupakan suatu persiapan atau pelatihan
sampai kelak yang bersangkutan sudah mempunyai pemahaman sendiri
mengenai identitas sexualnya dan memutuskan identitas gendernya secara
permanent.
2. Perkembangan Biologi.
Dengan semakin berkembangnya ilmu Biologi semakin terungkap bahwa
sexual differentiation merupakan proses yang sangat kompleks. Ada 5 aspek
yang turut berperan dalam pembentukan identitas sexual, yakni 1) genetic (or
genotypic) sex, 2) gonadal sex, 3) hormonal sex, 4) phenotypic sex and 5)
psychological sex. Anggapan bahwa genotypic sex yang menentukan jenis
kelamin seseorang tidak lagi bisa dibenarkan. Seseorang dengan karyotyping
XX bisa merupakan laki-laki bila ternyata terjadi translokasi dari bagian tertentu
chromosom Y ke chormosom X. Sebaliknya orang bisa punya karyotiping XY dan
berdiferensiasi menjadi seorang wanita bila ternyata terjadi deletion pada bagian

13

tertentu dari kromosom Y. Disamping itu, bisa pula terjadi bermacam-macam


kombinasi karyotyping kromosom seks yang kompleks, seperti 45X/47XYY
dimana menunjukkan genotypic yang mosaic. Tidak menutup kemungkinan
bahwa diferensiasi seks juga dikontrol oleh gen-gen pada kromosom autosomal.
Dalam situasi normal penentuan identitas sexual bukanlah hal yang sulit.
Orang awampun bisa menentukan identitas sexual anak yang baru lahir tanpa
kesulitan. Namun dalam kasus intersex terdapat bukti-bukti bahwa medical
profesional tidak selalu berkompeten dalam menentukan identitas sexual yang
bersangkutan.
3. Kasus John/Joan.
Hal yang dapat dijadikan pelajaran pada kasus John/Joan adalah adanya
keterbatasan dari medical professional dalam menentukan identitas sexual
seseorang. Adalah penting untuk senantiasa meninjau kembali dan memperbarui
standard

praktek

dari

penanganan

mengikutkan pula perspektif dan

kasus-kasus
kemajuan

intersexualitas

dengan

ilmu pengetahuan, biologi,

psychology, ethics, dst. Kasus tsb menunjukkan pula notion lama bahwa
identitas sexual sesorang ditentukan melalui pendidikan, lingkungan sosial,
lifestyle, dst, adalah tidak benar.
Identitas sexual disepakati merupakan kondisi yang "built in", yang
terbentuk melalui 5 aspek biologis diatas. Kondisi intersex adalah kondisi dimana
proses diferensiasi sex mengalami variasi biologis yang paling kompleks yang
tidak bisa dengan mudah ditentukan pada waktu lahir. Dalam kasus intersex
proses diferensiasi dari identitas sexual boleh jadi masih berlangsung sampai
anak tsb mencapai kedewasaan. Oleh karena itu merupakan suatu resiko untuk
menyerahkan semata kepada medical profesional dalam menentukan identitas
sexual dari kasus intersex, terlebih bila disertai tindakan intervensi medis
(operasi) untuk disesuaikan dengan keputusan tsb. Kasus John/Joan dan kasuskasus etika intersex lainnya menunjukkan bahwa intervensi medis sering tidak
membantu ybs melainkan hanya menambah "insult", beban dan penderitaan
terhadap ybs.

14

4. Riwayat Penanganan kasus Intersex.


Berbeda dengan orang-orang yang mengalami koreksi bedah karena
kasus cleft palates, pasien dengan intersex kebanyakan mengutuk intervensi
medis atas kondisi tsb dan merahasiakannya dari mereka. Ini didukung oleh
berbagai laporan kasus koreksi bedah terhadap pasien intersex eg kasus
John/Joan, dan laporan dari penelitian Renier. Wanita-wanita yang mengalami
koreksi bedah terhadap pembesaran klitoris dilaporkan sebagian tetap punya
kemampuan orgasme namun sebagian lain punya keluhan kesakitan dan
insensitivity.
Study yang dilakukan terhadap pasien intersex yang tidak mengalami
koreksi menunjukkan mereka bisa hidup seperti manusia biasa, tidak merasa
sebagai manusia yang cacat yang harus hidup terisolir. Dari 20 kasus orang
dewasa dengan micropenis semuanya bisa mengalami ereksi dan orgasme.
Sembilan orang bisa melakukan persetubuhan dengan partner dengan
memuaskan; tujuh orang menikah dan satu orang menjadi ayah. Tidak pernah
pula dilaporkan bahwa wanita dengan pembesaran klitoris mengalami resiko
kesehatan atau kerugian psikososial. Kebanyakan orang tidak menyadari ada
pembesaran clitoris sampai dokter mendiagnosanya dan menyarankan untuk
operasi koreksi.
5. Assesment dan Penanganan kasus Intersex.
Pada dasarnya ISNA tidak merekomendasikan adanya tindakan koreksi
bedah apapun terhadap pasien intersex kecuali bila ada indikasi membahayakan
kesehatan. ISNA menekankan adanya informasi yang terbuka mengenai kondisi
pasien intersex kepada orang tua dan pasien ybs bila beranjak dewasa. Identitas
sexual anak tidak perlu ditentukan (dipaksakan) dengan cepat sampai semua
kondisi biologis dipahami dan anak mencapai dewasa dan sanggup memahami
keadaanya dan mengambil keputusan sendiri mengenai identitas sexual yang
sesuai.

15

Pemberian identitas gender terhadap pasien intersex secara dini tidaklah


ditentang. Terutama dalam masyarakat Timur yang masih menjunjung adat dan
budaya tradisional, penentuan identitas gender dari anak yang baru lahir
merupakan hal yang sangat penting. Penentuan gender mesti melalui investigasi
dari kondisi bayi dalam bulan-bulan pertama dalam hidupnya. Pasien dengan
kondisi CAH (Congenital Adrogen Hyperplasia) yang merupakan kondisi yang
tersering dapat ditentukan dengan relatif mudah yakni dengan memeriksa kadar
17 alpha-ketosteroid dan karyotype wanita. Namun kondisi-kondisi intersex lain
mungkin perrlu pemeriksaan lain yang lebih komplit seperti ultrasonography,
laparocospy, genitoscopy, biopsi dan lain-lain. Penentuan identitas gender dari
pasien berdasar pada prognosa dari kondisi biologisnya.
Intervensi

medis

seperti

operasi

dapat

dibenarkan

untuk

tujuan

menghindarkan kematian atau meningkatkan kualitas kesehatan. Beberapa


kondisi seperti bladder exstrophy, dan jenis tertentu dari CAH perlu intervensi
medis untuk menghidarkan resiko kesakitan atau kematian. Hal lain yang perlu
menjadi pertimbangan adalah fungsi sexual, yakni kemampuan ybs dalam
melakukan sexual intercourse. Apakah ada fungsional penis atau vagina?
Dimensi lain adalah adanya erotic potensial. Merupakan hal yang umum bahwa
praktek koreksi bedah sering mengorbankan erotic sensitivity yang berakibat
terganggunya kemampuan untuk melakukan hubungan intim.
ooooooooo
* Staf Pengajar FK Undip
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------DAFTAR PUSTAKA
1. Stephen F. Kemp. The Role of Genes and Hormones in Sexual Differentiation.Ethics
and Intersex. 2006.
2. Mary B. Mahowald. Reproductive Genetics and Gender Justice. The American
Journal of Bioethics.
3. Kemmeth Kipnis and Milton Diamond. Pediatric Ethics and the Surgical Assignment
of Sex. The UK Intersex Association.

16

4. Jyotsna Kirtane. Ethics in Intersex Disorders. IJME.


5.

Mason, J, K., Smith, R, A.: Law and Medical Ethics, Butterworths & Co, London,
1983.

6. Monagle, J, F., Thomasma, D, C.: Health Care Ethics, Critical Issues for the 21 st ,
Aspen Publisher Inc, Gaithersburg, Maryland, 1998.
7. Jonsen, A, R., Siegler, M., Winslade, W, J. : Clinical Ethics, Practical Approach to
Ethical Decision in Clinical Medicine, 6th ed, Mc Graw-Hill Inc, 2006.
8. Arras, J., Hunt, R. : Ethical Issues in Modern Medicine, 2 nd Ed, Mayfield Publishing
Comp, Mountain View, 1983.
9. Catalano, J, T. : Ethical and Legal Aspect of Nursing, 2nd Ed, Mc Grawhill Inc, 1991.
10. Titus, H, H., Smith, M, S., Nolan, R, T. : Living Issues in Philosophy, 7th Ed, D. Van
Nostrand

Comp,

New York, Cincinati, Toronto,

London, Melbourne,

1979.
11. Dahlan, S.: Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, edisi 2, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
12. Johnstone, M, J.: Bio Ethics, a Nursing Persective, W B Saunders Bailliere
Tindall, Sydney, Philadelphia, London, Toronto, 1989.
13. Beauchamp, T, L. Childress, J, F. : Principles of Biomedical Ethics, 3 rd Ed, Oxford
University Press, Oxford, New York, 1989.
14. Lim, S, M. Chew, S, C, Ratnam, S,. C.: Transexualism, I Surgical Treatment in
Singapore, A publication of The Medico Legal Society of Singapdre 1981: 8594.
15. http:// www.zenithfoundation ca, Definition of Medical Terms and Diagnostic Criteria
for Gender Identity Disorder.

ooooooooooo

17

Anda mungkin juga menyukai