Laporan Pendahuluan Gbs
Laporan Pendahuluan Gbs
Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di
mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya
yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita
mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda
tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 3 minggu. Ketika
tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa
hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 6 bulan dan
mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada
kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap
(Japardi, 2002).
Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu
setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis
(Parry dalam Japardi, 2002).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang
mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan
degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).
Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah
suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu
polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut.
Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan
segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian
bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik juga
(Sylvia A. Price, 2006).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat
diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi
diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah
kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke
atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan.
Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga
bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan
Fisioterapi Indonesia, 2007).
Angka kejadian Guillain Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara
1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih
belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan
dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata
23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada
usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang
juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS
menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3
bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi
penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei
di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi, 2002)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer dan nervus kranialis.
2. Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain Barre Syndrome (GBS)
adalah sebagai berikut :
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan
perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan
dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah
degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan
sedikir demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan
degenerasi
wallerian
like
tanpa
inflamasi
limfositik.
b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin
4. Manifestasi Klinis
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya
dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara
satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala
klinis yang timbul.
b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang
juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan,
anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan
saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya,
atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga
bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otototot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.
4) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi,
hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang
menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan
oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang
dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot
yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang.
5. Patofisiologi
6.
Etiologi
7.
8.
Proses autoimun (merangsang reaksi kekebalan sekunder
9.
pada saraf tepi / aktivasi limfosit T dan makrofag)
10.
11.
Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epinural
12. Makrofag mensekresi protease
13. Penimbunan komplek antigen, antibodi pada pembuluh darah saraf tepi
14.
15. Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson
16.
17. Proses demyelinasi akut syaraf perifer
18.
19. Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf
20.
21.
fungsi syaraf perifer dan kranial
22.
23.
Gangguan
Ansietas
24.
25.
26.
Gangguan fungsi
dan neuromuskular
27.
28.
29.
N III, IV, VI
perna-
Syaraf kranial :
N VII, IX, XI
30.
Menelan
38.
rangsang
Risiko jatuh /
cidera
Kerusakan
Intake nutrisi kurang
dari Kebutuhan
Tubuh
Ketidakefektifan
Pola Nafas
Bradikardi
Ketidakefektifan
39.
40.
estetika wajah
41.
Hipoksemia
42.
43.
44.
Asidosis
berkemih
Takikardi/
Retensi Urin
Kerusakan
rangsang defekasi
Sekresi mukus
masuk lebih ke
(Kontipasi/diare)
respiratorik
45.
46.
kan insufisiensi
Gg. Penglihatan
Hipotensi
37.
dapat berkembang ke
perubahan sensori
34.
/hipertensi
35.
36.
Koma
Gagal nafas
Pneumonia
Pada
pemeriksaan
neurologis
ditemukan
adanya
kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan
menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda
rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
49.
kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh
peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada
minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6
minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian
pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul
hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH
(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
50.
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis
GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat.
Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f
melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan
radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila
ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan
penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.
d. Pemeriksaan LCS
51.
protein ( 1 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan
cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan
hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI
akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.
Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
1)
2)
karena
gangguan
fungsi
otonom
dapat
60.
compression
hose/
anti
embolic
stockings/
anti-
b. Diagnosa Keperawatan
c.
d.
No
h.
i.
1.
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefe
ktifan
bersihan
e.
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Setelah
j.
dilakukan
tindakan
nafas
keperawatan
berhubungan
dengan
jalan
kelemahan/
paralisis
pernafasan
otot
selama
nafas
klien
hasil :
Tidak ada distress
pernafasan
RR klien
(16-24 x/menit)
GDA normal
k.
normal
f.
Intervensi
l.
Mandiri :
1. Pantau
frekuensi,
kedalaman,
g.
u.
dan 1. Peningkatan
Rasional
distress
pernapasan
pernapasan.
v.
2. Indikator yang baik terhadap gangguan
mukosa.
2. Catat adanya kelemahan pernapasan selama
berbicara
m.
3. Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler)
n.
4. Evaluasi refleks batuk, refleks gag/menelan
secara periodik
napas
o.
5. Kehilangan kekuatan dan fungsi otot
5. Lakukan penghisapan sekret, catat warna dan
mengakibatkan ketidakmampuan klien
jumlah sekret
untuk
mempertahankan
dan/atau
p.
membersihkan jalan nafas
q.
6. Menentukan keefektifan dari ventilasi
r.
Kolaborasi
masker
mekanik)
8. Siapkan untuk
oksigen,
atau
x.
mempertahankan
inkubasi
berarti
memerlukan
t.
y.
2.
z.
Hambatan
mobilitas
fisik
aa.
Setelah
dilakukan
tindakan
berhubungan
keperawatan
dengan
kerusakan
klien
neuromuskular
mempertahankan
mobilitas
selama
mampu
fisik
perkembangan/
kelelahan,
individu
tanpa 3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan
bantal/papan kaki
ac.
4. Lakukan latihan
positif.
af.
oto
gerak
dan
kekuatan
meningkatkan
dalam
ad.
dekubitus
Meningkatkan
intervensi
meningkatkan
waktu
remielinisasi
yang
diperlukan
karena
dapat
sakit
Mendemonstrasikan 6.
teknik/perilaku yang
7.
diinginkan
sesuai
kemampuannya
ai.
ag.
8. Konfirmasikan
am. an.
3.
Ansietas
ao.
Setelah
berhubungan
dilakukan
tindakan
dengan
keperawatan
perubahan dalam
selama
bagian
dekat
terapi
dengan
dan
keluarga
tentang
penyakit
berkurang
adanya
perubahan
citra
otot
ar.
ruang 1. Memberikan keyakinan bahwa bantuan
diperlukan
kecemasan klien dan 3. Diskusikan
informasi
dengan
fisik/fisioterapi
ap.
Mandiri
1. Tempatkan pasien
status kesehatan
kurang
yang halus
al.
8. Bermanffat dalam menciptakan kekuatan
menetap,
kehilangan
fungsi,
kematian
mendiskusikan rasa
takut
Mengungkapkan
terdekat.
aq.
kebutuhan
pengetahuan
akurat
yang
tentang
akan
melakukan
aktivitas.
mempertahankan
kontrol
yang
beberapa
akan
situasi.
Tampak rileks dan
melaporkan
ansietas berkurang
sampai
dapat diatasi.
as.
at.
au.
av.
tingkat
aw.Daftar Pustaka
ax.
1. Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3.
Jakarta: EGC.
2. Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain
Barre. Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.
3. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah Universitas Sumatera Utara.
4. Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre
Syndrome. Jakarta : Ikatan Fisioterapi Indonesia.
5. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy.
Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965overview. [diakses tanggal 3 Juni 2014]. Last update ; 2009.
6. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.
7. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
ay.
az.
ba.
bb.
bc.
bd.
be.
bf.
bg.
bh.
bi.
bj.
bk.
bl.
bm.
bn.
bo.
bp.
bq.
br.
bs.
LAPORAN PENDAHULUAN
bt.
bu.
bv.
bw.
bx.
by.
bz.
ca.
cb.
cc.
cd.
ce.
cf.
cg.
ch.Oleh :
cn.
co.
cp.