Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Guillain
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Guillain
PEMBAHASAN
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM SARAF PERIFER
Otak dan sumsum tulang belakang berkomunikasi dengan seluruh bagian tubuh
melalui cranial nerves (saraf-saraf kepala) dan spinal nerves (saraf-saraf tulang belakang).
Saraf-saraf tersebut adalah bagian dari sistem saraf perifer yang membawa informasi
sensoris ke sistem saraf pusat dan membawa pesan-pesan dari sistem saraf pusat ke otot-otot
dan kelenjar-kelenjar di seluruh tubuh atau disebut juga dengan sistem saraf somatik
(somatic nervous system).. Selain dari kedua macam saraf perifer yang termasuk sistem saraf
somatic di atas,PNS juga terdiri dari sistem saraf autonomik (autonomic nervous system).
Ketiganya akan kita bicarakan lebih lanjut di bawah ini.
1. NEURON (SEL SARAF)
Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional
system saraf. Neuron menjalankan fungsi sel saraf seperti mengingat, berfikir, dan
mengontrol semua aktifitas tubuh. Neuron terdiri dari tiga bagian yaitu badan sel
dendrit dan akson.
Gambar 1. Sel Neuron
Sumber: www.google.com/m/immage
Soma adalah inti sel (nucleus) dari sel saraf, didalamnya terdapat organel sel.
Nucleus yang mengandung informasi genetik neuron, mengarahkan produksi protein,
enzim, dan neurotransmitter yang diperlukan oleh saraf untuk fungsi tepatnya. Badan
sel mengantarkan zat tersebut ke bagian neuron lainnya sesuai kebutuhan.
Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan bercabangcabang, yang merupakan perluasan dari badan sel. Dendrite adalah penerima stimulasi
dari saraf lain.
Sedangkan axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot
dan kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat lewatnya sinyal
listrik yang dimulai dari dendrite dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke
neuron lain atau ke otot atau ke kelenjar. Akson juga disebut serabut saraf, banyak
serabut saraf yang melintas bersama disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson akan
ditutup lapisan lemak yang terisolasi, yang disebut myelin. Myelin diproduksi ketika sel
lemak membungkus membrane plasmanya di sekitar akson. Pada sistem saraf perifer,
myelin dibentuk oleh sel Schwann sedangkan pada sistem saraf pusat dibentuk oleh sel
oligodenrosit. Tiap sel Schwann membentuk satu segmen myelin. Tiap oligodenrosit
membentuk segmen multipel dari myelin yang membungkus beberapa akson. Karena
itu, myelin pada saraf perifer lebih tipis dan beregenerasi lebih efisien. Nodus Ranvier
adalah daerah yang terputus antara selubung myelin. Akson yang tidak bermielin
diselubungi sitoplasma sel Schwann. Struktur myelin pada SSP dan SST umumnya
sama, yaitu terbentuk oleh 70% lemak dan 30% protein. Namun ada perbedaan pada
protein yang membentuk struktur myelin tersebut. Perbedaan ini menjelaskan mengapa
reaksi alergi pada myelin SSP tidak menyebabkan demielinasi sentral dan sebaliknya.
Selubung myelin berfungsi sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara
akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana
akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier memperkuat potensial
aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori
(meloncat).
Jenis neuron, berdasarkan struktur dibagi atas
a. Multipolar: terdiri atas beberapa dendrit dan satu akson
b. Bipolar: terdiri atas 1 dendrit dan 1 akson
c. Unipolar: dendrite dan akson menyatu
Sedangkan berdasarkan fungsi sebagai berikut
a. Sensoris neuron (aferen), membawa impuls dari reseptor misalnya di kulit, otot, dan
bagian lain ke SSP
b. Motorik neuron (eferen), membawa impuls dari SSP ke efektor seperti otot dan
kelenjar
4
pusat (kecuali untuk sistem visual). Informasi somatosensoris juga dari indera perasa
di lidah diterima melalui saraf-saraf kepala oleh neuron-neuron unipolar. Informasi
pendengaran, vestibular, dan visual diterima melalui neuron-neuron bipolar.
Informasi indera penghidu (penciuman lewat hidung) diterima melalui olafctury
bulbs. Olfactory bulbs adalah salah satu bagian otak yang kompleks karena terdiri
dari jaringan-jaringan saraf yang rumit.
3. SISTEM SARAF AUTONOM (AUTONOMIC NERVOUS SYSTEM)
Autonomic Nervous System (sistem saraf autonom) mengatur fungsi otot-otot
halus, otot jantung, dan kelenjar-kelenjar tubuh (autonom berarti mengatur diri sendiri).
Otot-otot halus terdapat di bagian kulit (berkaitan dengan folikel-folikel rambut di tubuh,
di pembuluh pembuluh darah, di mata (mengaturukuran pupil dan akomodasi lensa mata),
di dinding serta jonjot usus, di kantung empedu dan di kandung kemih. Jadi dapat
disimpulkan bahwa organ-organ yang dikontrol oleh sistem saraf autonom memiliki
fungsi untuk melangsungkan proses vegetatif' (proses mandiri dan paling dasar) di dalam
tubuh.
Sistem saraf autonom terdiri dari dua sistem yang berbeda secara anatomis, yaitu
bagian sympatetik dan bagian parasympatetik. Organ dalam tubuh dikontrol oleh kedua
bagian tersebut meskipun tiap bagian memberikan efek yang berlawanan. Contohnya,
bagian sympatetik meningkatkan detak jantung, sedangkan bagian parasympatetik
menurunkan detak jantung.
Saraf-saraf Kepala dan Fungsinya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
keseimbangan S
9. Glossopharyngeal: Otot-otot Tenggorokan, Kelenjar Air Liur, dan rasa (lidah)
SMP
10. Vagus: Kontrol Parasimpatetik dari organ-organ internal, Sensasi dari organorgan Internal, dan rasa (lidah) SMP
6
(terutama saraf vagus) dan substansia grisea di sumsum tulang belakang bagian
sacral. Gangliaparasimpatetik terletak didekat organ tujuan; axon postganglion
cenderung lebih pendek. Terminal button dari axon postganglion parasimpatetik
mensekresikan acetylcholine.
B. PENGERTIAN
Guillain-barre
sindrome
adalah
sebuah
kelainan
pada
sistem
imun
yang
Acute
Inflammatory
Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis adalah kelemahan motorik yang
progresif dan arefleksi. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas
batang otak. Timbulnya didahului oleh infeksi virus (Saharso,2006).
Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat
akut dan yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah
dan meluas keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa
yaitu berupa kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat
merambat ke proximal.
Nama lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi
akut atau PIA. Insiden tahunan di Amerika Serikat adalah 1 sampai 2 per 100.000. Penyakit
ini tidak dipengaruhi terhadap musim dan tidak endemik dapat menyerang semua golongan
umur terutama pada usia 50-70 tahun, presentasi jumlah antara pria dan wanita sama.
Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar
saraf tepi. Sampai saat ini penyebab pasti penyakit ini masih dalam perdebatan.
Guillain-Barre Syndrome adalah gangguan di mana sistem kekebalan tubuh
menyerang bagian dari sistem saraf perifer.
Gambar 2. Kerusakan myelin pada GBS
Sumber: www.google.com/m/immage
C. ETIOLOGI
Corwin dalam bukunya Buku Saku Patofisiologi, menyebutkan bahwa walaupun
penyebab sindrom guillain barre tidak diketahui, penyakit ini biasanya terjadi 1-4 minggu
setelah infeksi virus atau imunisasi.
Sedangkan menurut Copstead & Banasik tahun 2005, penyebab dari sindrom guillain
barre belum diketahui, tetapi penyaki ini biasanya terjadi setelah adanya infeksi, suntikan,
atau prosedur medis 1-8 minggu sebelum timbulnya tanda dan gejala. Radang usus akibat
Camphylobacter jejuni juga berhubungan dengan sindrom ini. Pada dasarnya sindrom
guillain barre adalah masalah kesusakan imunologik, tapi mekanisme terperincinya belum
diketahui. Ini merupakan demyelinisasi segmental, dan banyak fakta menunjukkan bahwa
terjadi kerusakan pada sel T dan sel B. Peningkatan limfosit ditemukan pada bagian yang
mengalami demyelinisasi. Proses ini memperlambat atau menghentikan proses penghantaran
(konduksi) nervus. Terutama mempengaruhi neuron motorik, tetapi neuron sensorik juga
dapat terlibat.
Sindrom Guillain Barre juga telah berhubungan dengan diabetes, penyalahgunaan
alkohol, paparan logam berat atau industri racun, estetika epidural, dan obat (agen
thrombolitik, heroin) penyakit sistemik seperti lupus erythematosus, sarkoidosis, penyakit
Hodgkin, neoplasma dan lainnya telah dikenal untuk menyebabkan sejumlah kecil kasus
GBS (Khan, 2004).
GBS atau Guillain Barre Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun oleh karena
adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan
etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena :
a. Infeksi, misal radang tenggorokan atau radang lainnya
b. Infeksi virus measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster,
Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
9
10
Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
E. PATOFISIOLOGI
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus
saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada saat
serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel
terjadi selama serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang
berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps
pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom
(Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya
terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua
saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan
sistem penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok
konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses
remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses keradangan terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang pada
beberapa segmen. hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi saltatori yang
mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan konduksi.
11
Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel Schwann dapat berdegenerasi dan
membentuk myelin baru. Namun pada banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya
akson dan deficit permanen (Djamil, 2010).
Faktor presipitasi:
infeksi
hygiene yg buruk
stress
diet
gaya hidup
Faktor predisposisi:
Usia
Jenis kelamin
Pengaktifan sel B
dan antibody
Perubahan sensori
Perubahan otonom
Rasa kebas
(paresthesias) atau
mati rasa di kaki
/tangan
Kelemahan
(paralisis)
MK: gg.
mobilitas
fisik
nyeri tumpul di
tulang belakang,
punggung, dan
ekstremitas
bagian proksimal
Pengaruh
terhadap saraf
cranial
Kesulitan bicara
Tachycardia
Bradikardi
Muka kemerahan
Hipertensi
paroksismal
Hipotensi
ortostatik
MK:
gangguan
rasa
nyaman:
MK: kerusakan
komunikasi
verbal
Kesulitan
mengunyah,
menelan
MK: gangguan
pemenuhan
nutrisi
Perubahan
motorik
Pengaruh terhadap
pernafasan
Kelemahan
(paralisis)
13
dispnea
Kelemahan pernafasan
Secara umum, sindrom guillain-barre ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
1. Stadium Akut
Pada stadium ini penderita menunjukan kelemahan otot yang komplit atau sedang
berjalan.
2. Stadium Subakut
Pada fase ini ada pebaikan, umumnya setelah 1 sampai 2 bulan
3. Stadium Kronis
Jika penderita tidak menunjukan perbaikan motorik setelah lebih dari 6 bulan
berarti terdapat kerusakan akson yang luas sampai menunggu kesembuhan selanjutnya,
program pencegahan imobilisasi lama harus dilakukan sebaik-baiknya.
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ektremitas atas, batang tubuh atau otot
wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf
kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah
dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran bicara, mengunyah, dan menelan.
Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau
kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, dengan manifestasi gangguan
frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah, dan gangguan vasomotor lainnya.
Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah
kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama
seperti keterbatasan atau tidak adanya reflex tendon (Smeltzer & Bare, 2004).
Menurut Corwin (2009), gambaran klinis sindrom guillain barre berupa kelemahan
dan paralisis otot yang bersifat asenden.
Kebanyakan pasien mencapai puncak kecacatan dalam 10-14 hari. Nervus sensori juga
dapat dipengaruhi tapi lebih sedikit daripada nervus motorik (Copstead & Banasik, 2005).
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi
14
15
sensorik
c. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial diamati pada 45-75% pasien dengan GBS. keluhan
berkepanjangan.
Kebanyakan pasien mengeluh sakit punggung dan kaki, seringkali
digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Mekanisme nyeri dianggap akibat
akar saraf meradang. Gejala dysesthetic diamati pada sekitar 50% pasien
selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai
sensasi terbakar atau kesemutan dan seringkali lebih umum di ekstremitas
bawah daripada ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas di 510% pasien. sindrom nyeri lainnya di GBS meliputi:
Keluhan Myalgic, dengan kram dan tenderness otot lokal
Nyeri visceral
16
Rasa sakit yang terkait dengan kondisi tidak bergerak (misalnya, palsies
gagal pernafasan.
perubahan otonom jarang bertahan pada pasien dengan GBS.
f. Efek pada respiratori
40% pasien memiliki kelemahan pernapasan atau orofaringeal.
keluhan khas meliputi:
Dyspnea
Sesak napas
Kesulitan menelan
Cadel pidato
kegagalan ventilasi dengan dukungan pernafasan yang dibutuhkan terjadi pada
hingga sepertiga pasien dalam beberapa waktu selama perjalanan penyakit
mereka.
Gambar 3. Manifestasi klinis GBS
17
Sumber: www.google.com/m/immage
G. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital: aritmia jantung, termasuk tachycardi dan bradycardi, dapat diamati
sebagai hasil dari keterlibatan sistem saraf otonom.
b. Takipnea mungkin merupakan tanda dyspnea berkelanjutan dan kegagalan pernafasan
yang progresif.
c. Keseimbangan tekanan darah adalah ciri lain yang sama dengan perubahan antara
hipertensi dan hipotensi.
d. Saraf kranial
kelemahan Facial (VII saraf kranial) yang diamati paling sering, diikuti oleh
gejala yang berhubungan dengan saraf cranial VI, III, XII, V, IX, dan X.
Keterlibatan hasil otot wajah, orofaringeal, dan mata di wajah terkulai, disfagia,
sebagian variabel.
f. Pemeriksaan Sensorik
18
minimal.
g. Perubahan Refleks
Refleks tidak ada atau hyporeflexic di awal perjalanan penyakit dan merupakan
temuan klinis utama pada pemeriksaan pasien dengan GBS.
Refleks patologis, seperti tanda Babinski
Hypotonia dapat diamati dengan kelemahan signifikan.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Cairan Serebro Spinal (CSS): hasil analisa CSS normal dalam 48 jam pertama,
kemudian diikuti kenaikan kadar protein CSS pada minggu II tanpa atau disertai
sedikit kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation).
b. Pemeriksaan elektrofisiologi
EMG dan Nerve Conduction Velocity (NCV):
a. Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%), prolong distal
latencies (75%), blok pada konduksi (58%) dan penurunan kecepatan konduksi
(50%).
b. Minggu II: terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies
(92%) dan penurunan kecepatan konduksi (84%).
c. Pemeriksaan radiologi
MRI: Sebaiknya MRI dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala
SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras gadolinium memberikan
gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral terutama di kauda
equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB adalah 83% (Saharso,2006).
d. Tes fungsi paru
Tekanan inspirasi maksimal dan kapasitas vital pernapasan pengukuran fungsi
neuromuskuler dan memprediksi kekuatan diafragma. Tekanan maksimal expiratory
juga mencerminkan kekuatan otot perut. Sering evaluasi parameter ini harus
dilakukan di samping tempat tidur untuk memonitor status pernafasan dan perlunya
bantuan ventilasi.
Pernafasan bantuan harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital ekspirasi
menurun hingga <18 mL / kg atau ada penurunan saturasi oksigen (PO 2 arteri <70
mm Hg).
e. Temuan histologis
19
c. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi, digunakan pada SGB
tipe CIDP.
2. Penatalaksanaan Nonmedis
a. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk
melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
b. Rehabilitasi medis
1) Pada stadium akut, sasaran rehabilitasi medisnya adalah:
Gait training
Latihan berdiri hanya boleh dilakukan jika kekuatan otot betis mencapai
lebih dari 3.
Latihan jalan hanya dapat dimulai jiak otot gluteus, hamstring dan
quadriceps kekuatannya
sudah lebih dari 3.
Jika kekuatan otot masih 2, latihan jalan dapat dilakukan dalam air
(hidroterapi)
Latihan ADL (Activity of Daily Living)
Penderita hanya boleh makan sendiri jika kekuatan otot anggota gerak atas
lebih dari 3, kadang diperlukan splint untuk pergelangan tangan dan kaki.
21
pernafasan. Pasien dengan GBS berada pada resiko tinggi aspirasi dan bersihan
jalan nafas tidak efektif akibat kelemahan. Fisioterapi dada dan peninggian kepala
tempat tidut memudahkan pernafasan dan meningkatkan batuk efektif.
b. Mengurangi efek immobilisasi
Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan
rentang gerak secara pasif sedikitnya dua kali sehari. Perawat melakukan kolaborasi
dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontraktur dengan
menggunakan perubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak.
c. Memberikan nutrisi yang adekuat
Untuk pencegahan kelemahan otot karena kurang nutrisi. Jika pasien tak mampu
menelan, makanan diberikan melalui selang lambung. Bila pasien dapat menelan,
makanan diberikan melalui rute oral dengan sangat hati-hati.
d. Meningkatkan komunikasi
Karena paralisis, trakeostomi dan intubasi, maka pasien tidak mampu berbicara,
tertawa atau menangis dan juga tidak dapat mengekspresikan emosinya. Masalahmasalah ini dipersulit dengan adanya kebosanan, ketergantungan, isolasi, dan
frustasi. Untuk mengembangkan beberapa bentuk komunikasi, berupa memahami
kata-kata orang lain dengan gerakan bibir dan menggunakan kartu-kartu gambar,
yang dikombinasi dengan sistem mengedipkan mata untuk mengidentifikasi ya atau
tidak, dapat dicoba pada pasien ini.
e. Mengurangi rasa takut dan ansietas.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan
pengalihan misalnya membaca akan menurunkan perasaan terisolasi. Intervensi
keperawatan yang dapat membantu meningkatkan control sensasi pasien dan dalam
menurunkan ketakutan dengan cara memberikan informasi tentang keadaan pasien,
menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping pertahanan diri,
yang positif, membentu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan
memberikan respon balik yang positif.
f. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah.
Banyak pasien GBS mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa minggu
atau bulan. Pasien-pasien yang pernah mengalami paralisis total atau lama mungkin
membutuhkan beberapa tipe rehabilitasi yang dilakukan terus setalah keluar dari
rumah sakit. Program yang luas akan bergantung pada pengkajian yang dibutuhkan
dibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif program yang komprehensif bagi
23
pasien jika dikurangi adalah penting dan dukungan sosial dibatasi untuk program
dirumah terhadap terapi fisik dan okupasi. Fase pemulihan mungkin lama dan akan
membutuhkan kesabaran serta keterlibatan pihak pasien dan keluarga untuk
mengembalikan kemampuan sebelumnya
4. STUDI KASUS
a. Kasus
Tuan L 40 tahun datang ke poliklinik RS. Arifin Ahmad Pekanbaru dengan keluhan
merasa baal yang diulai dari telapak kakinya kemudian lama-lama menjadi susah
digerakkan. Setelah itu keluhan seperti merambat naik ke paha kemudian perut.
Keluhan tersebut dirasakan simetris dikedua kakinya. Dari hasil pemeriksaan tandatanda vital: TD: 160/90 mmHg. N: 90x/mnt, RR: 40x/menit, suhu 37,8 oC. Pasien
dilakukan pemeriksaan lumbal fungsi dan didapatkan kadar proteinnya meningkat.
b. Analisa Data
DO
DS
Masalah Keperawatan
merasa
baal
paha
Keluhan
kemudian
tersebut
perut.
dirasakan
Gangguan
hipertermia
termoregulasi:
c. WOC
Faktor predisposisi dan presipitasi
24
P suhu tubuh
MK: gangguan
termoregulasi:
hipertermi
Rasa kebas
(paresthesias) atau mati
rasa di kaki /tangan
Pengaruh pada pernafasan
Kelemahan akut progresif yang
bersifat asenden
Kelemahan otot-otot
pernafasan
25
Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif
B.D paralisis otot
pernafasan
Tujuan:
setelah 1x24 jam
dilakukan tindakan fugsi
pernafasan adekuat sesuai
dengan kebutuhan
individu.
Kriteria hasil:
Pasien menunjukkan
ventilasi adekuat dengan
tidak ada distress
pernafasan, bunyi nafas
bersih GDA dalam batas
normal.
Intervensi
Rasional
1. Pantau frekuensi,
1. Peningkatan distress
kedalaman dan
pernafasan menandakan
kesimetrisan pernafasan.
adanya kelelahan pada otot
Catat peningkatan kerja
pernafasan atau paralisis
nafas dan observasi warna
yang mungkin memerlukan
kulit dan membran
sokongan dari ventilasi
mukosa.
mekanik.
2. Kaji adanya perubahan
2. Penurunan sensasi
sensasi terutama adanya
seringkali (walaupun tidak
penurunan respon pada
selalu) mengarah pada
daerah lengan atas/ bahu.
kelemahan motorik yang
mempengaruhi otot
intercostal. Oleh karena itu
tangan/ lengan yang
terkena seringkali
mengarah pada masalah
gaagal nafas.
3. Catat adanya kelelahan
3. Merupakan indikator yang
pernafasan selama
baik terhadap gangguan
berbicara (kalau pasien
fungsi pernafasan atau
masih dapat berbicara).
menurunnya kapasitas vital
paru.
4. Tinggikan kepala tempat
4. Meningkatkan ekspansi
tidur atau letakkan pasien
paru dan usaha batuk,
pada posisi duduk
menurunkan kerja
bersandar.
pernafasan dan membatasi
terjadinya risiko aspirasi
sekret.
5. Berikan obat/ bantu
5. Memperbaiki ventilasi dan
dengan tindakan
menurunksn atelektasis
pembersihan pernafasan,
dengan memobilisasi
seperti latihan pernafasan,
sekret dan meningkatkan
perfusi dada, vibrasi, dan
ekspansi alveoli paru.
drainase postural.
1. Kaji kekuatan
1. Menentukan
motorik/kemampuan
perkembangan atau
secara fungsional dengan
munculnya kembali tanda
skala 0-5. lakukan
yang menghambat
pengkajian secara teratur
tercapainya tujuan atau
dan bandingkan dengan
harapan pasien.
nilai dasarnya.
2. Berikan posisi pasien yang 2. Menurunkan kelelahan,
menimbulkan rasa
meningkatkan relaksas,
nyaman. Lakukan
menurunkan risiko
26
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Kriteria Hasil:
perubahan posisi dengan
Pasien akan mempertahankan
jadwal yang teratur sesuai
posisi fungsi dengan tidak
kebutuhan secara
ada komplikasi (kontraktur,
individual.
dekubitus). Meningkatkan
3. Lakukan latihan rentang
kekuatan dan fungsi bagian
gerak pasif. Hindari
yang sakit
latihan aktif selama fase
akut.
4. Konfirmasi dengan atau
rujuk ke bagian terapi
fisik atau terapi okupasi.
Rasional
terjadimya iskemi atau
kerusakan pada kulit.
3. Menstimulasi sirkulasi,
meningkatkan tonus otot
dan meningkatkan
mobilisasi sendi.
4. Bermanfaat dalam
menciptakan kekuatan otot
secara individual atau
latihan terkondisi dan
program latihan berjalan
dan mengidentifikasikan
alat bantu atau brace untuk
mempertahankan
mobilisasi dan
kemandirian dalam
melakukan aktifitas seharihari.
3. Gangguan termoregulasi:
hipertermi B.D proses
penyakit.
Tujuan:
Pemeliharaan suhu tubuh
yang normal
2. Memperbaiki asupan
cairan akibat pebris dan
meningkatkan kenyamanan
pasien
3. Meminimalkan resiko
peningkatan infeksi, suhu
tubuh serta laju metabolik
6. Membantu menurunkan
panas dengan obat-obat an.
Kriteria Hasil:
Suhu tubuh berada pada suhu
normal (36,5-37,2)
27
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Rasional
28