Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT MINI
Oktober 2012

ANGIOEDEMA

DISUSUN OLEH:
Dewi Siswantini/ C11109138

PEMBIMBING:
dr. Maarifah Nadjar

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama

: Dewi Siswantini

Judul Referat

: Angioedema

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu
kesehatan kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2012


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Maarifah Nadjar

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

ETIOLOGI

PATOGENESIS

GEJALA KLINIK

DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSIS BANDING

PENATALAKSANAAN

PROGNOSIS

12

DAFTAR PUSTAKA

13

ANGIOEDEMA
PENDAHULUAN
3

Angioedema adalah pembengkakan akut jaringan lunak pada wajah, organ


genitalia, tangan, dan sekitar sendi. Dapat muncul bersamaan dengan urtikaria
atau muncul sendiri dengan gejala dari reaksi alergi tipe I dan reaksi pseudoalergi.
Edema yang muncul pada oral, faringeal, dan laringeal dapat menyebabkan
asfiksia sehingga menimbulkan kematian karena adanya gangguan pada saluran
pernapasan. (1,2)
Angioedema dapat terjadi pada segala usia. Diatas 20% dari jumlah
penduduk akan mengalami minimal satu kali episode. Angioedema sering terjadi
dengan urtikaria akut yang pada umumnya sering terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda. Urtikaria kronik yang merupakan urtikaria yang terjadi dalam
waktu lebih dari 6 minggu lebih sering terjadi pada wanita dengan usia
pertengahan. (3)
Ada beberapa tipe pada angioedema yaitu tipe yang diturunkan pada
autosomal secara dominan, reaksi hipersensitivitas cepat, defisiensi C1 inhibitor
yang didapat, dan bentuk idiopatik. Tipe defisiensi C1 inhibitor yang didapat bisa
idiopatik atau berkaitan dengan limfoma sel B atau lupus eritematosus. (2)
Penanganan diutamakan untuk anafilaksis pada urtikaria akut. Keadaan
anafilaksis merupakan kondisi emergensi yang membutuhkan terapi dengan
segera. Setelah itu, dapat diberikan terapi kausatif dan suportif. Dilaporkan bahwa
angioedema yang dipicu oleh ACE-inhibitor sering terjadi pada minggu pertama
pengobatan.(1,2)

ETIOLOGI
Hereditary angioedema

Angioedema herediter adalah kasus yang


jarang dan merupakan kondisi dominan autosomal
yang berpotensial fatal. Biasanya muncul pada
masa anak-anak dengan episode angioedema yang
kadang-kadang disertai udem laring (obstruksi
traktus

respiratorius)

dan

gangguan

gastrointestinal yang menyebabkan mual muntah


dan nyeri abdomen.

Suatu defisiensi dari C1

esterase inhibitor menyebabkan teraktivasinya

Angioedema herediter (3)

komplemen yang tak terkendali dengan akumulasi


dari mediator vasoaktif. Serangan akut diterapi dengan pemberian C1 esterase
inhibitor secara intravena. Pada waktu yang lama, anabolik steroid seperti danazol
(Danol) digunakan untuk meningkatkan sintesis hepatik terhadap C1 esterase
inhibitor. (4)
Acquired Angioedema
Acquired

Angioedema

disebabkan

oleh

defisiensi C1 esterase inhibitor. Terdapat 2 tipe dan


semuanya

disebabkan

oleh

autoimun.

Tipe

berkaitan dengan penyakit limfoproliferatif termasuk


monoklonal gammopati pada limfoma stadium berat
dan terjadi penghancuran protein C1 esterase
inhibitor oleh sel maligna. Tipe 2 diperkirakan
disebabkan oleh autoantibodi terhadap protein C1
esterase inhibitor. Acquired Angioedema biasanya

Angioedema pada wajah. (4)

muncul setelah usia 40 tahun keatas. (5)

Sindrom Angioedema:

Angioedema berulang yang idiopatik


Angioedema karena alergi (IgE-mediated)
Angioedema herediter:
Tipe 1: defisiensi protein C1 INH
5

Tipe 2: disfungsional dari protein C1 INH


Tipe 3: koagulasi Faktor gen mutasi XII
Acquired Angioedema:
Tipe 1: berkaitan dengan penyakit limfoproliferatif.
Tipe 2: autoimun (antibodi anti-C1 INH)
Obat-obatan (mis. ACE inhibitor)
Induksi fisik (dingin, panas, getaran, trauma, emosional, stres, sinar

ultraviolet)
Angioedema sindrom yang berkaitan dengan sitokin (Gleichs syndrome)
Angioedema yang berkaitan dengan Thyroid autoimmune. (5)

Faktor pemicu Angioedema oleh mediasi sel Mast:

Obat-obatan

: aspirin, NSAID, kontrasepsi oral, antihipersensitif,

Makanan
Lain-lain

narkotik
: kacang, telur, kerang, ikan, kedelai, gandum, susu
: venom, latex. (5)

PATOGENESIS
Urtikaria (angioedema) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dimana
CD4+ dan sel T teraktivasi. Sel-sel ini mensekresi IL-4 dan IL-5 yang diikuti oleh
produksi antibodi IgE, pelepasan histamin oleh sel mast, dan aktivasi eosinofil.
Reaksi dapat dipicu oleh obat-obatan, makanan, dan bahan tambahan pada
makanan. Obat-obatan dapat juga menyebabkan non-alergik urtikaria dengan
adanya pelepasan histamin secara langsung oleh sel mast (reaksi farmakologi). (6)
Ada beberapa mekanisme penyebab timbulnya urtikaria atu angioedema yaitu:

Hipersensitivitas tipe I oleh mediasi IgE dimana merupakan mekanisme


penyebab utama. Apabila terjadi penggabungan antigen dan IgE yang
menempel pada permukaan sel mast maka terjadi degranulasi dengan

melepaskan agen vasoaktif.


Aktivasi komplemen dapat memproduksi edema pada kulit seperti pada
angioedema herediter atau urtikaria yang berkaitan dengan sirkulasi imun
kompleks.

Pelepasan histamin secara langsung oleh sel mast pada kondisi non-imun

yang disebabkan oleh obat-obatan, contohnya opiat dan media kontras.


Blokade pengeluaran prostaglandin oleh asam arakhidonat karena obatobatan seperti aspirin dan NSAID yang menyebabkan urtikaria atau

Angioedema karena adanya akumulasi leukotriens vasoaktif.


Serum histamin-releasing factor yang terdapat pada urtikaria kronik
dengan autoantibodi IgG ditemukan pada 60% pasien, mekanismenya
belum diketahui secara pasti.

GEJALA KLINIK

(a) Angioedema pada


(b)tangan
Angioedema
kanan. pada
(2) bibir. Edema muncul setelah konsumsi ACE-inhibitor. (2)

Hampir semua bagian tubuh terkena tetapi yang paling umum terjadi pada
mata, bibir, genitalia, tangan, dan kaki. Pembengkakan pada area ini dapat
berlangsung selama 2 atau 3 hari yang membengkak dari ukuran normal selama
beberapa jam. Bengkak akan berkurang selama beberapa hari kemudian. Gejala
gatal-gatal biasanya minimal. Effloresensi berupa lesi berbatas tegas yang
meninggi, eritema, dan gatal. Area edema yang terjadi pada superfisial dermis
disebut urtikaria, sedangkan edema pada area profunda dermis atau subkutan dan
submukosa disebut angioedema. Urtikaria dan angioedema dapat muncul
bersamaan. Angioedema biasanya nyeri dibandingkan urtikaria dengan gejala
yang gatal.(2,7)
DIAGNOSIS

Pada prinsipnya diagnosisnya diperkirakan


sama dengan urtikaria kronik. Dimulai dengan
anamnesis

riwayat

pasien,

mencari

apa

penyebabnya, seperti alergen, obat-obatan, dan


trauma. Riwayat keluarga dapat membedakan
antara angioedema herediter dengan acquired
angioedema. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain terjadinya udem.
Bagaimanapun,

diagnosis

lengkap

jarang
(c) angioedema pada lidah. (2)

mengindikasikan kasus akut. (5)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes Laboratorium
Penentuan diagnosis dapat dibantu oleh riwayat keluarga dan riwayat
pasien. Pemeriksaan laboratorium dapat menetukan diagnosisnya apakah
angioedema herediter atau acquired angioedema.

(3)

Pemeriksaan yang dilakukan biasanya adalah tes serum yaitu kadar


autoantibodi terhadap anti-IgE. Pada pasien urtikaria/angioedema kadar
autoantibodi ini meningkat. (8)
Angioedema herediter memiliki level serum C4 yang rendah. Oleh karena
itu, untuk mengkonfirmasi diagnosis Angioedema Herediter perlu dilakukan tes
level serum C4. Jika level C4 abnormal maka perlu dilakukan tes lebih lanjut lagi
yaitu tes C1 esterase inhibitor dan C1 esterase inhibitor functional assay. Level C1
esterase inhibitor yang 30% dibawah normal merupakan Angioedema Herediter
tipe I. Tes C1 esterase inhibitor functional assay pada pasien dengan C4 yang
rendah, tetapi dengan kadar C1 esetrase inhibitor yang normal merupakan
diagnosis dari Angioedema herediter tipe II. Level C1q normal pada angioedema
herediter dan menurun pada acquired angioedema. Anggota keluarga pasien
dengan angioedema herediter juga dapat memiliki nilai komplemen yang
abnormal walaupun bersifat asimptomatik. (3)

DIAGNOSIS BANDING
-

Eritema multiformis : dapat timbul lesi urtikaria pada awal , tetapi ketika

lesi sudah muncul lebih dari 8 jam maka urtikaria dapat hilang.
Dermatitis herpetiformis : kadang-kadang disertai dengan erupsi urtikaria.

Terdapat sub-epidermal blister atau papulo-vesikel yang sangat gatal.


Erisipelas : kadang-kadang mirip dengan angioedema tetapi lesi memiliki
tepi yang lebih tajam atau berbatas sangat jelas dan keadaan pasien buruk
karena terdapat demam (4)

Eritema
multiformis (9)

Dermatitis
herpetiformis (9)

Erisipelas (9)

PENATALAKSANAAN
Terapi emergensi
Prioritas utama dalam menangani keadaan akut adalah mengatasi adanya
obstruksi saluran pernapasan. Adanya tanda-tanda awal gangguan saluran
pernapasan harus dilakukan intubasi segera. Edema laringeal merupakan jenis
yang progresif dan sekali hal itu terjadi maka akan sangat sulit untuk melakukan
intubasi endotrakeal sehingga membutuhkan tindakan trakeostomi. (5)
Untuk meningkatkan C1 esterase inhibitor, digunakan androgen yang
dilemahkan, khususnya danazol yang meningkatkan level C1 inhibitor dengan
baik dan sangat bermanfaat dalam terapi. Dosisnya yaitu 2030 mg/kg/hari

dengan dosis maksimum 800 mg/hari. Dapat juga diberikan pada anak-anak. C1
esterase inhibitor bisa juga digunakan untuk episode akut. (2)
Allergic Angioedema
Penatalaksanaan standar adalah dengan menghindari bahan-bahan yang
bersifat alergen. Bagaimanapun, pemberian antihistamin dan glukokortikoid dapat
memperberat gejala selama serangan akut. Edema laringeal dapat membaik
dengan pemberian epinefrin secara intramuskular atau pemberian melalui
endotrakeal tube. Pemberian antihistamin setiap hari dapat mengurangi beratnya
gejala tetapi sering tidak berfungsi dalam mencegah terjadinya serangan. (5)
Berikut ini jenis-jenis obat yang dapat diberikan :

Antihistamin
Histamin 1 receptor blocker (H1 blocker) dapat mengurangi gejala,
juga mengurangi gatal dan ukuran urtika apabila disertai dengan urtikaria.
Pemberian secara rutin dapat

memberikan pertolongan. Antagonis

reseptor H1 (AH1) menghambat efek histamin pada pembuluh darah,


bronkus, dan bermacam-macam otot polos. Selain itu, AH 1 bermanfaat
untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai
pelepasan histamin endogen berlebihan. Lama kerja AH 1 generasi I setelah
pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada
paru-paru, sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH 1 adalah hati, tetapi dapat
juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam.
(4,10)

Saat ini, penggunaan antihistamin non-sedatif lebih dipilih kecuali


jika pemberian sedatif dibutuhkan. Pemberian antihistamin memiliki efek
samping yang ringan. Contoh antihistamin non-sedatif adalah sebagai

berikut: (4)
o Fexofenadine (Telfast) 180 mg perhari
o Desloratadine (Neoclarityn) 5 mg perhari
o Cetirizine (Zirtek) 10 mg daily
o Acrivastine (Semprex) 8 mg 3x sehari
Kortikosteroid

10

Steroid sistemik kadang-kadang digunakan untuk mengontrol


urtikaria akut yang berat atau angioedema dan urtikaria vaskulitis tetapi
tidak diindikasikan untuk urtikria kronik. Prednisolon dapat diberikan 30
mg/hari selama 3 hari, kemudian dosis dikurangi 5 mg tiap hari selama 3
hari. Untuk prednison diberikan dengan dosis 60 mg/hari atau 1
mg/kg/hari untuk dewasa dan 1-2 mg/kg/hari untuk anak. Dosis harus
diturunkan bila telah terlihat adanya perubahan. (4,10)
Kortikosteroid dapat menurunkan jumlah limfosit secara cepat.
Efek ini berlangsung beberapa jam , diduga akibat redistribusi limfosit.
Setelah 24 jam jumlah limfosit dalam sirkulasi biasanya kembali ke nilai
sebelumnya.

Studi

terbaru

menunjukkan

bahwa

kortikosteroid

menghambat proliferasi sel limfosit T, imunitas seluler, dan ekspresi gen


yang menjadi berbagai sitokin (IL-1, IL-2, IL-6, INF-, dan TNF-).
Terdapat bukti bahwa gen sitokin memiliki glucocorticoid response
element yang bila berikatan dengan kortikosteroid akan menyebabkan
hambatan transkripsi gen IL-2. (10)

Adrenaline (epinefrin)
Obstruksi saluran napas kronik atau syok anafilaktik diterapi
dengan injeksi adrenalin intramuskular (0,5-1,0 mg: 0,5-1 ml dari 1/1000),
diulangi setiap 5 menit jika diperlukan. Antihistamin seperti klorfeniramin
diberikan secara perlahan melalui injeksi intravena merupakan kombinasi
yang sangat bermanfaat. Steroid intravena sering diberikan walaupun
hanya dapat mencegah terjadinya serangan dalam waktu beberapa jam. (4)
Pemberian epinefrin dapat menghilangkan bronkospasme, rasa
gatal, urtikaria, kongesti mukosa, angioedema dan kolaps kardiovaskular.
Efektivitas epinefrin akibat efek vasokonstriksinya melalui reseptor .
Disamping itu, epinefrin merangsang 2 pada sel mast dan menyebabkan
hambatan pelepasan mediator inflamasi histamin dan leukotrien. (10)

Diet
Salisilat yang terkandung pada makanan bisa memperberat urtikaria pada
lebih dari 3 kasus. Bahan makanan yang mengandung pengawet asam benzoat

11

dapat menyebabkan eksaserbasi pada 10% kasus. Harus diterapkan diet rendah
bahan-bahan yang mengandung komponen-komponen tersebut. (4)

PROGNOSIS
Urtikaria akut apabila terjadi selama kurang dari 6 minggu, jika lebih dari
6 minggu dikategorikan sebagai urtikaria kronik. Penyakit ini merupakan self
limiting disease atau penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. (8)
Prognosis angioedema juga dapat menjadi buruk jika terjadi edema pada
saluran pernafasan. Edema yang muncul pada oral, faringeal, dan laringeal dapat
menyebabkan asfiksia sehingga menimbulkan kematian karena adanya gangguan
dan sumbatan pada saluran pernapasan. (2)

DAFTAR PUSTAKA
1. Trozak DJ, Tennenhouse DJ, Russell JJ. Condition that can may simulate
common urticaria. In: Dermatology Skills for Primary Care. New Jersey:
Humana Press; 2006; p.142
2. White GM, Cox NH. Urticaria and pruritus. In: Disease of the Skin. UK:
WB Saunders; 2002; p.1-20
3. Habif TP. Urticaria and angioedema. In: Clinical Dermatology A Colour
Guide to Diagnosis and Therapy 4th Ed. USA: Mosby; 2004; p.130-134,
150-151

12

4. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. In: Dermatology an Illustrated


Colour Text 3rd Ed. UK: Churchill Livingstone; 2002; p.72-73
5. deShazo RD. The spectrum and treatment of angioedema. In: The
American Journal of Medicine. Elsevier Inc.;2001; p.121,282-286
6. E.Brehmer-Anderson.
Acute
allergic
urticaria/angioedema.

In:

Dermatopathology A Residents Guide. Germany: Springer; 2006; p.215216


7. Wolff Klaus, et al. Urticaria and angioedema. In: Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 7th Ed. US: McGraw-Hill; 2008; p.333
8. Williams H, et al. Acute urticaria. In: Evidence-based Dermatology. UK:
BMJ Books; 2003; p.263-264
9. Parish Lawrence C, et al. Atlas of Womans Dermatology From Infancy to
Maturity. UK: Taylor & Francis; 2006; p.82,140,206
10. Gunawan Sulistia G. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008; h. 80-82, 278,279, 510,511, 760

13

Anda mungkin juga menyukai