Anda di halaman 1dari 4

Urgensi Amanah dan Fokus Kerja dalam Dakwah

Oleh Arif Iskandaria Al-Bantani


Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan
yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuh
mu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu infaqkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan di dzalimi (dirugikan). Qs. Al-Anfal : 60
Amanah adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terlebih
lagi bila ia menjadi pemimpin, ulama atau orang kaya. Lawan amanah adalah khianat. Sebab
itu, tidak heran jika salah satu sifat yang wajib bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
adalah amanah. Sedangkan khianat merupakan salah satu sifat yang mustahil dimiliki oleh
beliau.
Amanah lazim dipahami sebagai sebuah karakter kejujuran dalam menjalankan tugas,
pekerjaan atau kedudukan yang diperoleh atau diberikan. Ada lagi yang memahami amanah
dengan memberikan atau menerima tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan keahlian.
Ada pula yang mengartikan amanah sebagai penerapan hukum secara adil terhadap semua
manusia, tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme.
Apapun bentuk definisi amanah yang dirumuskan, sulit menemukan sebuah definisi
yang mencakup semua aspek yang terkandung dalam kata "amanah", karena begitu besar
makna dan perannya dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan Dakwah Ilallah. Dakwah
Ilallah akan terasa hampa dan kering tanpa amanah. Dakwah Ilallah akan hancur, paling tidak
menyimpang dari jalan dakwah itu sendiri tanpa amanah, terlebih lagi jika yang tidak amanah
itu para pemimpinnya, ulamanya dan para orang kaya yang ada di dalamnya.
Amanah bukanlah sebuah rangkaian kata-kata indah yang selalu menghiasi bibir kita
sehingga menjadi indah didengar dan dikhayalkan. Akan tetapi, amanah, khususnya dalam
kehidupan jamaah dan dakwah Ilallah, hendaknya menjadi sebuah karakter permanen dalam
diri para pemimpin, tokoh, ulama dan para aktivis dakwah yang tercermin bukan hanya
dalam kata-kata, melaikan dapat pula diterjemahkan oleh pikiran, tulisan, perasaan, sikap dan
tingkah laku keseharian.
Tanpa amanah seperti yang disebutkan di atas, sulit bagi kita membangun jamaah
dakwah Ilallah yang kuat, dan terhormat yang kehidupan sehari-harinya diliputi oleh suasana
kasih sayang (mahabbah) dan kejujuran. Bila amanah sudah sirna, virus-virus kebencian,
KKN, like and dislike, kecurangan, tidak transparan, licik, oportunis, persaingan tidak sehat,
saling menjatuhkan dan bahkan memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga (dunia)
yang sedikit serta berbagai virus mematikan lain yang semakin merajalela. Akhirnya
kehancuran yang akan menimpa (la samahallah).
Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah mengingatkan kita:
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Bersabda Rasul Shallallahu 'alaihi
wasallam: Bila amanah sudah diabaikan, maka tunggulah kehancuran. Dia berkata:
Bagaimana mengabaikan amanah itu wahai baginda Rasulillah? Beliau menjawah: Bila
diberikan suatu urusan/tugas/pekerjaan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancuran".

Imam syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan:


Aku mampu membayangkan akh al-Mujahid itu sebagai seorang laki-laki yang
senantiasa melakukan persiapan dan menyiapkan perlengkapannya, mampu menguasai
pikiran yang memenuhi setiap sudut jiwanya dan seluruh bagian hatinya. Dia senantiasa
berpikir memusatkan perhatian sepenuhnya terhadap persiapan yang terus menerus. Apabila
dipanggil ia menyahut, apabila diajak ia menanggapi, datang dan perginya, perkataan dan
bicaranya, kebenaran dan kelakarnya, tidak melampaui batas.
Dia tidak melaksanakan tugas selain dari yang telah diletakkan oleh keadaan dan
tuntunan atasnya, dan dia berjihad di jalannya. Anda dapat membaca pada raut muka dan
kilauan matanya, dan mendengar dari gerakan lidahnya semua apa yang bergelora di dalam
hatinya, kesengsaraan yang tersimpan di dalam hati, semua tujuannya benar dan
bersungguh-sungguh pelaksanaannya, cita-citanya tinggi dan sasarannya jauh untuk
memenuhi jiwanya.
Itulah perkataan Hasan Al-Banna ketika menggambarkan profil seorang mujahid.
Bahwasanya persiapan itu perlu, termasuk dalam dakwah yang notabene merupakan proyek
besar ummat Islam. Dakwah bukan hanya proses singkat yang langsung bisa diketahui
hasilnya. Tapi ini merupakan proses perjalanan panjang yang tidak langsung segera kita
ketahui hasil proses ini. Bahkan sesungguhnya, hanya ALLAH saja yang tahu hasil dari
dakwah ini.
Kita boleh saja membatasi patokan bahwa ketika orang-orang semakin banyak yang
rajin ke masjid, wanita-wanita sudah banyak yang berjilbab, maka itu berarti dakwah kita
mulai menampakkan hasil. Tapi ingatlah, masalah hati hanya ALLAH saja yang tahu.
Keikhlasan dan kedekatan orang-orang terhadap Islam adalah hak ALLAH
Tugas kita sebagai dai hanyalah menyeru. Hasilnya kita serahkan kepada ALLAH.
Tapi bukan berarti kita boleh asal-asalan dalam melaksanakan proyek dakwah. Kita tetap
harus profesional dalam dakwah. Kita harus senantiasa ikhsan dalam pekerjaan ini. Untuk
itulah, perlu dipersiapkan pula kader dakwah yang akan mengisi jabatan sesuai bidangnya.
Salah satunya dengan melalui tarbiyah.
Tarbiyah adalah kerja besar. Proyek raksasa. Sistem yang integral. Dahsyat.
Mengubah yang sederhana menjadi luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah
hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang yang memiliki naluri kepahlawanan. Demikian
kata Anis Matta.
Tarbiyah adalah sebuah pilihan. Mengambil pilihan ini tentu mengandung resiko di
luar zona nyaman kita.
Tarbiyah adalah perubahan. Berani tarbiyah artinya harus siap berubah, mengubah diri
sendiri maupun mengubah orang lain. Karena perubahan adalah keniscayaan, maka yang
terpenting adalah bagaimana menyiapkan perubahan itu menjadi lebih menyenangkan.
Di sinilah pentingnya peran seorang murobbi. Memang, dalam tarbiyah harus ada
murobbi dan mutarobbi. Keduanya penting. Akan tetapi, hubungan seorang murobbi dan
mutarobbinya bukan hanya sebatas hubungan guru dan murid, namun lebih dari itu.
Khususnya murobbi, ia adalah walid (orang tua). Murobbi adalah syaikh. Murobbi
adalah guru. Murobbi juga adalah qaid (panglima yang berwibawa).

Sebagai walid, ayah atau ibu, murobbi berperan dalam ikatan emosional. Ia berperan
menguatkan mutarobbinya bila mereka sedang dalam keadaan futur (lemah). Menanyakan
kabarnya, mengayominya, menenangkannya, menjadi pembimbingnya.
Sebagai syaikh, murobbi adalah pengarah jiwa yang selalu memberi oase ilmu dan
memberikan sentuhan jiwa dalam spiritual dan ruhiyah. Selalu baru. Selalu maju. Selalu
bersemangat dan selalu bermanfaat untuk ummat.
Sebagai guru (ustadz), murobbi mesti tidak berhenti belajar dan menimba ilmu. Sebab
ia bertugas mengajarkan Al-Quran dan Kitab, memberi suplai ilmu, memberikan wawasan
baru sehingga murid-murid merasa tenteram bersamanya.
Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS Al Mujadilah: 11)
Murobbi adalah qaid, panglima yang berwibawa, pemimpin yang berkharisma,
inovatif dalam amalnya, kreatif mencari alur bagi para pengikutnya, pelopor dalam kebaikan,
teladan dalam kebajikan, motivator di tengah kelesuan, motor dalam perubahan.
Tentunya sebagai qaid, murobbi tidak hanya duduk-duduk saja. Tapi ia selalu
terdepan dalam berprestasi dan inovasi tak pernah henti, agar bagaimanapun murobbi tetap
lebih unggul.
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, dan di antara
mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS
Fathir: 32)
Itulah beberapa peran seorang murobbi dalam tarbiyah. Rasulullah adalah imamnya
yang utama. Al Quran dan Sunnah adalah pilar utama. Allah tujuannya. Syahid cita-citanya.
Adapun kader adalah pahlawan. Karena ia rela mengambil peran di tengah kesulitan,
menapaki resiko di saat orang menghindar, meraih momentum saat manusia masih terkagumkagum, dan menyusun kerja besar saat orang lain belum tersadar.
Untuk bisa membentuk kader seperti itu, diperlukan energi yang besar dan kerja yang
keras. Energi dalam tubuh ada yang namanya energi inti (quantum). Energi ini selalu
bergerak mengitari pusat orbitnya. Begitu pun tarbiyah, diperlukan quantum di dalamnya.
Menjadi kader inti (quantum tarbiyah) berarti selalu begerak sesuai pusat orbitnya, fokus,
taat, istiqomah, dan tak kenal lelah. Berputarlah bersama Islam sebagaimana ia berputar.
Karena gerakan itulah, ia memiliki energi dahsyat yang takkan pernah habis kecuali Allah
menghendaki.
Tidak mudah untuk menjadi kader inti. Tapi juga tidak terlalu sulit jika kita mau
mencobanya. Ada beberapa karakter khas kader inti dalam dakwah, sebagai berikut:
1. Bersedia membina diri (Tarbiyah Dzatiyah)
Dalam dakwah, kader inti adalah mereka yang bersedia membina diri dan
menyerahkan segala komitmennya buat perjuangan dakwah. Komitmennya tulus, tujuannya
lurus, amal-amalnya bukan untuk mencari fulus, kerjanya serius, pikirannya diasah terus, dan
langkah-langkahnya maju terus.

Allah SWT berfirman:


Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar
dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar. (QS Ali Imran: 146)
2. Bertransaksi di jalan Illahi dengan penuh kesadaran
Yang dimaksudkan adalah kesadaran untuk menukar harta, jiwa, nyawa, dan dirinya
dengan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan.
Allah Taala berfirman:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka
membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil,
dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka
bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar. (QS At Taubah: 111)
3. Sabar: Tidak pindah ke lain hati
Karena komitmennya inilah, kader inti tidak mau berpindah ke lain hati. Sebab ia
yakin bahwa Allah tak mungkin ingkar janji. Karena itulah, tetaplah di sini sahabat, di jalan
dakwah ilallah.
Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan
perantaraan Rasul-Rasul-Mu. Dan jangan Engkau hinakan kami di hari kiamat.
Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. (QS Ali Imran: 194)
Kader inti adalah bukti mana emas mana loyang, mana yang asli dan mana yang
palsu, dan sebagainya. Karena itu, kader inti yang sejati tidak akan mengkhianati Allah. Tetap
setia pada komitmen awal, bahwa Islam adalah agam yang fitrah. Karena itu, ia setia
mengikuti Rasululah tanpa banyak membantah
4. Tegar: Siap mengambil Resiko Terberat
Karena komitmen inilah, para sahabat Nabi memerankan diri sebagai pembela Nabi,
menukar kecintaan diri untuk sepenuh hati pada Nabi. Dalam kafilah inilah banyak kaderkader pilihan dengan berbagai keistimewaan. Ada Saad bin Abi Waqqash pemanah jitu
pertama atas lisensi Rasulullah. Ada Abu Dujanah dengan pedang terhunusnya menjadi
benteng Nabi. Ada Khubaib bin Adi yang tak rela Nabi disakiti walau hanya tertusuk duri
sekalipun. Ada pula Ummu Sulaim dengan belati kecilnya yang selalu mendampingi Nabi
dalam Pernag Uhud. Itu semua perlu komitmen dan beresiko sebagai konsekuensi pilihan.
Jalan dakwah jalan mulia, bukanlah jalan yang bertabur bunga. Jalan suci tetapi sepi,
tanpa puji. Jalan para nabi yang banyak dikhianati. Jalan para ulama yang tegar. Jalan orangorang besar yang penuh resiko. Tapi ingatlah, yang penting bukan label melainkan peran.
Sebab, Menjadi penting itu baik, tapi menjadi baik itu jauh lebih penting.

Anda mungkin juga menyukai