Anda di halaman 1dari 8

Estimasi Dampak Ekonomi Bencana Tsunami

Dr. Bustanul Arifin1

1. Pendahuluan
Pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 pagi, gempa yang disusul gelombang
tsunami dahsyat telah memporak porandakan wilayah pantai di sembilan negara Asia, bahkan
di sebagian pantai Timur Afrika.
Menurut data resmi yang dapat dipantau sampai Februari 2005, korban jiwa
diperkirakan mencapai lebih dari 157 ribu orang. Indonesia tercatat sebagai negara yang
menderita paling parah, terutama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dengan lebih
dari 110 ribu orang meninggal, 12 ribu hilang dan 703 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Simpati dan dan bantuan kemanusiaan mengalir dalam berbagai bentuknya. Beberapa waktu
setelah bencana, komitmen bantuan dari sekitar 40 negara dan badan-badan internasional
mencapai sekitar US$ 12 miliar. Jepang dan Jerman tercatat sebagai negara pemberi bantuan
terbesar.
Secara ekonomi, dampak bencana tsunami tersebut memang maha dahsyat. Belum
lagi kerugian akibat hilangnya kesempatan berusaha dari aset produktif dan sumberdaya
potensial bangsa dalam masa penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Besarnya dampak fisik dan korban jiwa juga menimbulkan trauma psikologis dan merusak
tatanan sosial ekonomi bahkan budaya masyarakat setempat dalam waktu lama, setelah
masa rekonstruksi sekalipun.
Artikel ini mencoba mengkompilasi beberapa estimasi dampak ekonomi bencana
tsunami tersebut. Tentu saja, kerugian nyawa, harta bendan dan trauma psikologis tidak
akan dapat dikuantifikasi secara mudah.

Estimasi dalam artikel ini hanya dimaksudkan

sebagai referensi saja, bagi siapa pun yang berminat menindaklanjuti penanganan pasca
bencana tsunami. Manfaat lain artikel ini adalah sebagai informasi bagi dunia usaha dan
masyarakat yang peduli pada upaya rekonstruksi Aceh dan bahan pertimbangan lain bagi
Pemerintah Indonesia yang telah siap dengan sekian macam skenario pembangunan kembali
aktivitas ekonomi Aceh, Sumatera dan tentunya Indonesia secara makro.

Versi awal dari artikel ini adalah hasil analisis kolektif Tim INDEF Prospek Ekonomi dan Bisnis 2005: Ilusi
Stabilitas Ekonomi Makro. Jakarta: Pustaka Indef.
1

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

2. Kerugian dan Dampak Ekonomi Tsunami


Beberapa instansi domestik dan organisasi internasional telah melakukan estimasi
terhadap total kerugian dan ekonomi bencana tsunami tersebut. Pada tahap ini, rasanya
tidak terlalu urgent untuk mempertanyakan terlalu detail tentang akurasi dan validitas dari
estimasi tersebut.

Hal yang lebih penting adalah sejauh mana lembaga lain yang peduli

terhadap upaya pembangunan kembali Aceh, Sumatra Utara dan bahkan di tempat lain di
Asia dapat memanfaatkan angka estimasi tersebut untuk menentukan langkah selanjutnya
yang amat diperlukan.

Misalnya, seperti tersaji dalam Tabel 1 berikut ini, estimasi total

dampak kerusakan dan kerugian akibat bencana ini diperkirakan mencapai sekitar US$4,45
Miliar (Rp 40,4 Triliun; 1 US$ = Rp 9100). Sebagian besar (78 %) dari bencana tsunami
tersebut diderita oleh individu, masyarakat dan sektor swasta, sedangkan sisanya (22%)
merupakan kerusakan yang diderita oleh sektor publik.

Tabel 1. Ikhtisar Kerusakan dan Kerugian Akibat Tsunami (US$ Juta)


Total dari Dampak
Sektor Sosial
Perumahan
Pendidikan
Kesehatan
Agama & Kebudayaan
Infrastruktur
Transportasi
Komunikasi
Energi
Air & Sanitasi
Sarana Perairan, Irigasi dan
Perlindungan Laut
Sektor-Sektor Produktif
Pertanian & Peternakan
Perikanan
Badan-Badan Usaha
Lintas Sektoral
Lingkungan
Sektor Pemerintahan
Keuangan dan Perbankan
Total

Kerusakan

Kerugian

1,674.9
1,398.3
110.8
82.5
83.4
636.0
390.5
18.9
67.8
26.6

65.8
38.8
17.6
9.4

132.1
351.9
83.9
101.5
166.6
257.6
154.5
89.1

240.8
145.4
2.9
0.1
3.2
89.1
830.2
140.9
409.4
280.0
394.4

14.0
2,920.4

1,531.2

Properti
Total

Swasta

1,740.7
1,437.1
128.4
91.9
83.4
876.8
535.9
21.8
67.9
29.8

1,440.6
1,408.4
9.0
23.2

221.2
1,182.1
224.8
510.9
446.6
652.0
154.5
89.1

132.1
1,132.0
194.7
508.5
428.9
562.9
548.9

14.0

14.0

4,451.6

3,461.4

325.9
165.8
8.6
1.1
18.3

Publik
300.1
28.7
119.4
68.6
83.4
550.8
370.1
13.2
66.9
11.4
89.1
50.1
29.9
2.5
17.7
89.1
89.1
990.1

Sumber : Bank Dunia, 2005

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

Secara lebih mendalam, dampak ekonomi bencana tsunami dapat dikaitkan dengan
struktur ekonomi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), berikut pangsa atau persentase
sektoralnya terhadap struktur ekonomi nasional. Beberapa catatan penting menyangkut
dampak ekonomi atas bencana tersebut khususnya di Propinsi NAD dapat diikhtisarkan
sebagai berikut :
Produk Domestik Bruto (PDB) Propinsi NAD tahun 2003 mencapai Rp 38,6 Triliun
sehingga pangsa PDB Propinsi NAD terhadap PDB Nasional adalah 2,3 persen (atas dasar
harga konstan tahun 1993)
Produksi minyak dan gas bumi menyumbangkan 43,0 persen dari PDB Propinsi NAD
sementara sektor Non Migas menyumbangkan 57,0 persen.

Dari sektor Non Migas

tersebut, sektor pertanian menyumbangkan 31,8 persen, pertambangan 28,6 persen,


industri yang berkenaan dengan minyak dan gas 15,5 persen, sedangkan sisanya adalah
industri lain serta sektor-sektor ekonomi lainnya.

Tabel 2. Struktur Ekonomi Propinsi NAD Tahun 2003


% Indonesia
GDP (%)

Uraian
GDP
- Minyak dan gas
- Non minyak dan gas
Pertanian
Pertambangan
Pabrikan
- Minyak dan gas
- Non minyak dan gas
Kegunaan
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi dan Komunikasi
Keuangan
Jasa-jasa

Total
Rp T

% NAD
GDP (%)

NAD-Total
Rp T

Pangsa
NAD (%)

100.0
10.7
89.3
16.6
10.7
24.7
3.8
20.8
2.2
6.0
16.3
6.3
6.9

1786.7
191.7
1594.9
296.2
191.2
440.5
68.1
372.3
39.7
107.1
291.6
111.7
123.0

100.0
43.0
57.0
31.8
28.6
20.9
15.5
5.5
0.5
2.7
6.4
5.0
1.4

38.6
16.6
22.0
7.0
6.3
4.6
3.4
1.2
0.1
0.6
1.4
1.1
0.3

2.2
8.7
1.4
2.4
3.3
1.0
5.0
0.3
0.3
0.6
0.5
1.0
0.2

10.4

185.7

2.7

0.6

0.3

Sumber : BPS, 2004.


Catatan : pangsa untuk pertanian, pertambangan, dan lain sebagainya dihitung dari jumlah
sektor Non Migas

Berhubung sektor migas, industri, pertambangan dan sebagian sektor pertanian Propinsi
NAD terletak di Pantai Timur sementara kerusakan terberat akibat bencana terdapat di
sekitar Pantai Barat yakni Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

Barat (dengan Ibukotanya Meulaboh), maka sektor ekonomi yang sangat terpengaruh
adalah pertanian dan perikanan, perdagangan dan jasa-jasa (Lihat Tabel 2 dan Tabel 3)

Tabel 3. Ringkasan Kondisi Perekonomian Propinsi Tahun 2003


Uraian
PDB (dasar 1993, Rp Triliun, nominal)
PDB per Kapita (Rp. Juta)
Rata-rata pertumbuhan PDB Riil (dasar 1993)
Rata-rata pertumbuhan IHK

Indonesia
1,709
7.8
4.1%
6.6%

NAD
39
8.7
3.4%
6.0%

%
2.3

Sumber : BPS, 2004

Perkiraan dampak bencana Tsunami berupa pengurangan terhadap pertumbuhan


ekonomi Indonesia tahun 2005 adalah sekitar 0,1 sampai 0,3 persen. Walaupun angka di
atas terkesan kecil, namun dampaknya terhadap ekonomi di Aceh sendiri sangat besar,
terutama jika dilihat, total kerugian yang terjadi dari bencana sudah melebihi PDB Aceh
tahun 2003. Perkiraan resmi pemerintah dalam hal ini adalah total kerugian mencapai
97% dari PDB Aceh, suatu angka dan magnitude yang tidak dapat dianggap kecil.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kerugian terbesar bencana tsunami justru
menimpa individu masyarakat dan sektor swasta (78%). Fakta tersebut hendaknya memberi
masukan bagi proses rekonstruksi ekonomi di Aceh bahwa yang penting dalam waktu dekat
adalah bukan semata persoalan fasilitas fisik bagi publik dan pemerintah setempat. Akan
tetapi, bagaimana menjaga keberlangsungan usaha (income generating) bagi sebagian besar
warga di daerah yang terkena bencana baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat
umum dan seluruh sendi-sendi perekonomian di Aceh pasti sangat terpukul apabila potensi
perdagangan ekspor-impor yang menjadi salah satu andalan ekonomi Aceh justru ikut poraporanda karena bencana tsunami.

Tabel 7. Impor dan Ekspor Non Migas NAD Tahun 2003


Wilayah

Impor
USD Juta

NAD
Nasional

Ekspor
Porsi

USD Juta

Porsi

50,9

0,20%

67,0

0,14%

24.939,8

100,00%

47.406,8

100,00%

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2004

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

Ikhtisar dampak tsunami terhadap sektor-sektor yang mampu menghasilkan


pendapatan dan keberlangsungan usaha masyarakat atau income generating sectors dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 berikut ini
Gambar 1. Perkiraan Kerusakan dan Kerugian Infrastruktur di NAD

Air dan Sanitasi


Energi
Komunikasi
Bendungan, Irigasi, Dam
Transportasi

Sumber : Bank Dunia, 2005

Gambar 2. Kerugian Pada Sektor Produktif


6000

(Miliar Rp)

5000
4000
3000
2000
1000
Administrasi
Pemerintahan

Sektor Sosial

Perumahan

Infrastruktur

Industri,
Perdagangan,
Keuangan

Pertanian dan
Perikanan

Sumber : Bank Dunia, 2005

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

3. Estimasi Dampak Tsunami pada Sektor Perbankan


Sampai Oktober 2004, Provinsi NAD menyerap kredit sebesar Rp 3,880 triliun atau
0,74% dari total kredit nasional sebesar Rp 525,648 triliun. Pada periode yang sama, dana
pihak ketiga (DPK) di wilayah ini tercatat sebesar Rp 6,711 triliun atau 0,75% dari total DPK
perbankan sebesar Rp 889,453 triliun. Berdasarkan sedikit gambaran di atas, boleh saja
diambil spekulasi kesimpulan bahwa dampak tsunami dinilai tidak signifikan terhadap
perbankan nasional.

Akan tetapi, skala dan dampat tidak langsung tsunami yang

menyebabkan kerugian individual yang diderita setiap bank yang beroperasi di wilayah
bencana, tentu tidak dapat dianggap kecil. Kerugian di tingkat mikro usaha perbankan, mulai
dari kehilangan sumber daya manusia, kelambatan sistem manajemen dan jaringan
operasional lainnya tentu saja tidak dapat dianggap ringan, dan tentu perlu ditanggulangi
secara saksama, minimal agar segera kembali pulih seperti semula.

Tabel 5. Posisi Kredit dan Dana Perbankan di NAD per Oktober 2004
Kredit

Wilayah

Rp Triliun
NAD
Nasional

Dana
Porsi

Rp Triliun

Porsi

3,880

0.74%

6,711

0.75%

525,648

100.00%

889,453

100.00%

Sumber: Bank Indonesia, Desember 2004

Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) mengkalkulasi, kerugian bank-bank


BUMN akibat bencana gempa dan tsunami di NAD dan Sumut mencapai Rp60 miliar, berupa
hancurnya kantor-kantor cabang dan infrastruktur perbankan. Namun demikian, keadaan ini
tidak menutup kegiatan pelayanan kepada nasabah, utamanya penarikan kas/simpanan.
Bank-bank dapat menjalankan prosedur kedaruratan, meski dengan sarana terbatas. Di sisi
lain, bank-bank dihadapkan pada risiko kerugian berupa kredit tak tertagih atau yang perlu
direstrukturisasi.
Bank yang akan memperoleh dampak yang terbesar dari bencana di Aceh adalah BPD
Aceh dan Bank BRI sebab jaringan kedua bank tersebut menyebar di seluruh kota dan
kabupaten yang ada dan memiliki outstanding sekitar 73% dari seluruh bank yang ada di
Aceh. Di tiga daerah yang paling parah tertimpa bencana, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten
Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Barat (dengan ibukotanya Meulaboh), terdapat sekitar 50%

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

dari total outstanding kredit yang ada di seluruh Propinsi. Menurut perkiraan sementara
kerugian di sektor perbankan diperkirakan sekitar Rp1,0 triliun yang terdiri atas potensi
kredit macet senilai Rp900 miliar, kerusakan infrastruktur serta rekonstruksi senilai Rp100
miliar.

6. Rekomendasi Kebijakan Ekonomi Untuk Aceh


Dalam tulisan ini, beberapa estimasi dampak ekonomi dalam hal jumlah, skala dan

magnitude bencana tsunami telah disampaikan, tanpa bermaksud menafikan kerugian jiwa
dan trauma psikologi sosial karena bencana tersebut. Untuk itu, rekomendasi kebijakan yang
dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang peduli terhadap pembangunan ekonomi dan
rekonstruksi Propinsi NAD dan Sumatra Utara, dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD seyogyanya tidak bersumber dari utang,
baik utang baru maupun penundaan cicilan utang, karena hal tersebut hanya akan
menambah beban ekonomi bagi generasi mendatang. Negosiasi untuk memperoleh
pembayaran atas komitmen utang dari Bank Dunia dan ADB yang belum ditarik senilai
US$3 miliar untuk mendanai Aceh untuk sementara tidak perlu ditindaklanjuti, karena hal
tersebut berarti menambah beban utang luar negeri.
Demikian pula, pemerintah perlu lebih jeli dalam melihat klausul (fine print) dari skema
moratorium utang sebelum mengambil keputusan final. Tawaran moratorium dari Paris
Club sebesar US$2,6 milliar dapat saja diterima asalkan Indonesia tidak harus kembali
terjebak dalam program-program Dana Moneter Internasional (IMF) yang terlalu
mengikat tersebut. Pada intinya, skema moratorium yang hanya menunda pembayaran
cicilan, namun dengan tambahan bunga atas cicilan yang ditangguhkan itu tentu tidak
akan membantu kesehatan neraca keuangan Indonesia secara umum, karena tindakan
tersebut hanya menggeser beban kepada generasi mendatang.
Pemerintah perlu menindaklanjuti komitmen bantuan tanpa syarat untuk NAD, terutama
Bank Pembangunan Asia (ADB) yang telah melakukan komitmen hibah sebesar US$300
juta untuk rekonstruksi Aceh. Demikian halnya, komitmen atau pledge yang telah
dilakukan negara-negara lain secara individu, perlu segera ditindak lanjuti dengan lebih
aktif melakukan pendekatan dan diplomasi luar negeri yang sangat diperlukan. Sementara
itu, di tingkat domestik, pemerintah wajib melakukan rencana penggunaan dana bantuan
harus diawali dengan penyusunan organisasi, sistem prosedur, sarana dan penetapan
prioritas serta langkah strategis menurut prinsip good governance. Bantuan bagi income

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

generating activities khususnya di daerah bencana di sektor pertanian dan perikanan


perlu diprioritaskan.
Dalam jangka pendek, perbaikan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, listrik dan air
bersih menjadi keniscayaan bagi aktivitas perekonomian yang memadai.

Aliran

kebutuhan pokok, seperti beras dan gula harus terjaga. Kebijakan yang berkaitan dengan
kependudukan pun menjadi bagian penting, seperti
memperhatikan aspirasi setempat.
menyelesaikan

konsolidasi

kredit

relokasi pemukiman agar tetap

Sementara sektor perbankan harus


debitor

dan

menggali

kembali

segera

sumberdaya

perekonomian yang dapat dibiayai.


Untuk mendukung aktivitas ekonomi masyarakat, perlu pula dicarikan suatu skema
bantuan (hibah) ataupun subsidi yang bersifat massal, asalkan direncanakan, dilaksanakan
dan dikawal secara baik mengikuti prinsip-prinsip komersial.

Sejalan dengan

perkembangan akhir-akhir ini, serta untuk memanfaatkan momentum Tahun Keuangan


Mikro (Microfinance Year) 2005 sekarang ini, peran lembaga keuangan mikro secara
komersial di seluruh pelosok desa di Aceh perlu ditingkatkan dan diberdayakan. Tidak
terlalu salah apabila mulai memikirkan dan melaksanakan hibah bagi Pemerintah Propinsi
NAD untuk mendirikan bank perkreditan rakyat (BPR) dalam jumlah besar atau unit-unit
keuangan mikro dari sektor perbankan lainnya. Ekspektasinya adalah bahwa dalam satu
atau dua tahun mendatang lembaga keuangan mikro tersebut telah mampu beroperasi
untuk mengambil alih program bantuan tersebut. Analogi langkah bantuan seperti ini
mirip dengan pengalihan program Bimbingan Massal (Bimas) pada dekade 1980an dari
pemerintah kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa secara komersial.

Economic Review Journal No. 199 Mar 2005

Anda mungkin juga menyukai