Anda di halaman 1dari 6

RESUME

Sejak sidang umum PBB telah mengadopsi konvensi untuk penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Terhitung sejak 1 agustus 2009,
186 negara telah meratifikasi CEDAW, yang mencerminkan konsensus global dari
negara-negara untuk mengetahui langkah konkret demi tercapainya kesetaraan
gender dan menghapus diskriminasi dalam segala bentuk.
CEDAW memberi kerangka menyeluruh untuk peningkatan, perlingdungan, dan
pemenuhan hal-hak perempuan. Khususnya, prakarsa yang melibatkan negara
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di semua bidang, tanpa
penundaan,

dan

dengan

semua

cara

yang

sesuai,

termasuk

peraturan

perundangan. Namun, meski ada kewajiban yang dituntut oleh CEDAW, diskriminasi
terus ada di semua bidang, termasuk bidang hukum yang rentan akan diskriminatif.
Untuk itulah, resume ini ingin meringkas tema dari tugas kelompok yang telah di
paparkan pada beberapa pertemuan terakhir secara padat.
Tujuan Penerapan Hukum berbasis CEDAW
Dalam sebagian besar kasus yang telah di paparkan oleh kelompok 1-8, ada
kerangka acuan normatif yang menjadi pijakan maupun rujukan atas tema yang
dikaji secara mendalam. Kerangka tersebut tertuang dalam tujuan penerapan
gender dalam hukum sebagai awal menuju reformasi hukum. Kerangka ini
menggunakan perspektif gender sebagaimana tertuang dalam kerangka CEDAW.
Tujuan penerapan hukum berbasis CEDAW ini sendiri dilaksanakan untuk:
a. Menyoroti dimensi-dimensi gender dalam bidang hukum tertentu;
b. Mendokumentasikan kemajuan ke arah kesetaraan gender dalam bidang-bidang
hukum tertentu;
c. Menyeleraskan inkonsistensi dalam berbagai peraturan perundangan dengan
penegakan kasus di lapangan;
d. Mengidentifikasi apakah UU, peraturan administratif serta praktik-praktik sosial
budaya

telah

mengurangi

kekuatan

jaminan

atas

kesetaraan

dan

non-

diskriminasi;
e. Mengidentifikasi butir-butir rekomendasi pertanggungjawaban negara untuk
memastikan kesetaraan benar-benar terjamin dalam kerangka hukum negeri;

f.

Membandingkan kemajuan antar negara dan di antara negara-negara lain yang


telah menggunakan indikator gender kedalam penegakan hukum dan aturan
hukumnya; dan

g. Menilai komitmen negara untuk menyesuaikan peraturan perundangan, dan


penegakan

hukum

dilapangan

dengan

komitmen

internasional,

termasuk

CEDAW.
Kesetaraan Substantif
Standar kesetaraan oleh CEDAW adalah kesetaraan substantif. Ini yang
acapkali dijelaskan oleh ke-8 kelompok yang telah mempresentasikan hasil
diskusinya. Sebagaimana ditafsirkan oleh kelompol 3 yang membahas mengenai
gender dalam perspektif indusrial, pencapaian kesetaraan substatif mensyaratkan
bahwa perempuan diberi kesempatan yang sama, akses yang sama dan juga
terhadap kesempatan yang sama demi mendapatkan lingkungan yang memberi
kemungkinan pada pencapaian hasil yang setara.
Untuk mencapai kesetaraan substantif yang lebih jauh dari jaminan hukum.
Diperlukan perlakuan yang setara dari masyarakat itu sendiri dan dari substansi
serta struktur hukumnya. Sebagai contoh, sebagaimana telah dipaparkan oleh
kelompok 1 mengenai jugun lanfu atau comfort women, kasus setengah abad lalu
yang telah sangat merugikan kelompok wanita indonesia benar-benar telah
merobek sendi ber-masyarakat dalam perspektif korban. Efek domino atas kasus
tersebut masih menghantui keluarga korban yang salah satu anggota keluarganya
dipaksa menjadi objek nafsu para tentara jepang setengah abad lalu. Tentu kasus
ini tidak bisa dibiarkan.
Kelompok 1 telah menjabarkan bagaimana solusi konkret baik dari segi
hukum maupun dari segi non-hukum. Dari segi hukum kelompok 1 menjelaskan
bahwa pengadilan ad hoc merupakan solusi atas kasus yang menimpa sebagian
besar wanita indonesia yang merupakan jugun lanfu pada eranya. Dan dari segi
non-hukum, kelompok 1 menjelaskan bahwa permintaan maaf dan pemberian ganti
rugi oleh jepang merupakan cara tercepat agar permasalahan jugun lanfu segera
usai.
Dari apa yang telah dipaparkan diatas, nampak jelas bahwa kasus-kasus
seperti

jugun

lanfu

merupakan

tantangan

kepada

kita

untuk

mewujudkan

kesetaraan substantif. Tentu dengan menggunakan penafsiran kesetaraan dalam

pespektif rule of law friedman (substansi, struktur, masyarakat) dan pendekatan


CEDAW.
Penafsiran pendekatan CEDAW untuk menghasilkan kesetaraan substantif
sebagaimana telah dipaparkan oleh 8 kelompok telah terangkum pada 2 tujuan
kesetaraan substantif. Yakni (UN WOMEN, 2010 : 20):
a. Pendekatan

proteksionis/melindungi.

Pendekatan

proteksionis

terhadap

kesetaraan berasumsi bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki dan oleh
sebab itu memerlukan perlindungan. Pilihan-pilihan perempuan dibatasi dan
hak-hak mereka diabaikan untuk membuat mereka aman. Contoh-contoh
pendekatan proteksionis mencakup larangan tentang perempuan bekerja
malam hari (misalnya, Pasal 130 UU Perburuhan Filipina), atau larangan
perempuan bekerja untuk pekerjaan berbahaya (misalnya, Pasal 113 UU
Perburuhan Vietnam dan ketetapan hukum tambahan). Dalam semua kasus
ini, perempuan dilihat sebagai masalah dan bukan lingkungan yang tidak
aman, yang tetap tidak mendapat penanganan. Perempuan dipersalahkan
lebih karena seharusnya mereka tidak mampu untuk melindungi diri sendiri
ketimbang karena kegagalan aturan publik dan langkah-langkah keamanan
atau kurangnya langkah kesehatan dan keamanan terkait pekerjaan yang
tepat.

Namun

demikian,

laki-laki

dilihat

sebagai

tidak

menuntut

perlindungan dari bahaya atau pekerjaan berbahaya. Dalam kebanyakan


kasus, lingkungan itu berbahaya baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Pendekatan yang proteksionis menghukum perempuan untuk kelemahan
mereka

yang

sudah

dibayangkan

sebelumnya.

Alih-alih

menangani

lingkungan berbahaya dan memudahkan


b. Kesetaraan formal. Kesetaraan kerap dipahami sebagai memberi perlakuan
yang sama kepada setiap orang. Ini adalah kesetaraan formal. Dalam
pendekatan ini, laki-laki dan perempuan dilihat sebagai serupa dan karena itu
mereka akan diberi perlakuan yang sama. Akibatnya, perbedaan-perbedaan
berdasarkan biologi, seperti kehamilan atau menjadi ibu, tidak diperhatikan.
Perbedaan-perbedaan

sosial

dan

budaya

persepsi

sosial

tentang

perempuan yang lemah, bergantung secara ekonomi, dan terikat di rumah


dan dampak mereka terhadap perempuan juga tidak diabaikan. Dengan
mengabaikan

perbedaanperbedaan

perempuan tidak ditangani.

ini,

kebutuhan-kebutuhan

khusus

Non Diskriminasi
Merupakan prinsip kunci dari CEDAW, hal ini secara khusus ditekankan dalam
pasal

CEDAW

dan

selalu

didengungkan

oleh

kelompok

yang

telah

mempresentasikan hasil diskuisnya. Secara normatif, CEDAW melarang bentuk


diskriminasi-diskriminasi sebagai berikut:
a. Diskriminasi langsung. Hal ini mengacu pada aksi atau penghapusan yang
memiliki tujuan mendiskriminasi perempuan.
b. Diskriminasi tidak langsung. Hal ini mengacu pada aksi atau penghilangan
yang memiliki pengaruh pada diskriminasi terhadap perempuan, bahkan
jika tidak ada maksud untuk melakukannya. Perempuan dapat menghadapi
banyak hambatan sebagai sanki praktik budaya dan agama, serikat dagang,
lembaga

agama,

dan

pengadilan.

Karena

semua

ini,

tindakan

tau

penghapusan dapat tampak netral atau bahkan menguntungkan bagi


perempuan, tetapi efek atau dampaknya bersifat diskriminatif.
c. Diksriminasi berganda. Diskriminasi gender dapat terjadi dengan alasan
diskriminasi lainnya, seperti karena ras, status ekonomi atau sosial, agama,
kecacatan, atau usia. Intervensi sebaiknya mempertimbangkan semua
bentuk kerugian agar dapat menanganinya dengan tepat. Komite CEDAW
menekankan bahwa kelompok perempuan ter tentu, selain menderita
karena diskriminasi yang diarahkan kepada mereka sebagai perempuan,
mungkin pula menderita dari banyak diskriminasi berdasarkan alasan-alasan
lain seperti ras, identitas etnis atau agama, kecacatan, usia, kelas sosial,
kasta, atau faktor-faktor lain. Diskriminasi sebanyak itu terutama dapat
mempengaruhi kelompok-kelompok perempuan ini, atau dengan derajat
berbeda atau cara-cara berbeda dibandingkan laki-laki.
Dengan definisi dari diskriminasi dan bentuk pelarangan oleh CEDAW sebagaimana
telah dijelaskan diatas, nampak bahwa pemantauan dampak dan pengaruh di
lapangan sangat penting untuk menghasilkan kesetaraan substantif dalam tatanan
hidup bernegara.
Hukum Berbasis Cedaw
Sebagai syarat untuk memfasilitasi reformasi hukum, CEDAW dipergunakan oleh ke
8 kelompok yang mempresentasikan hasilnya oleh karena memiliki banyak
penggunaan lain, termasuk:

Sebagai platform bersama untuk advokasi


Perusahaan yang memecat karyawan secara sepihak termasuk diantaranya
wanita hamil sebagaimana telah dijelaskan oleh salah satu kelompok merupakan
salah satu contoh bagaimana prinsip CEDAW dapat digunakan sebagai platform
advokasi. Kelompok diskusi yang membahas tema ini sepakat untuk membawa
urusan hubungan industrial ini ke pengadilan industrial, ini merupakan salah
satu permisalan betapa kesetaraan gender dapat menjadi platfotm advokasi
untuk membangun kenegaraan yang melindungi terhadap prinsip-prinsip gender.

Sebagai cara mengukur kemajuan


Jugun lanfu atau comfort women merupakan salah satu contoh betapa CEDAW
dapat menjadi cara pengukuran atas suatu kemajuan peradaban modern yang
menjunjung tinggi hak-hak manusia. Ini tercermin di dalam hasil bahasan diskusi
salah satu kelompok yang menelurkan pendapat bahwa jika saja jepang dan
indonesia bisa melalui jalur mediasi dan persoalan usai. Maka langkah tersebut
tentu merupakan contoh kemajuan peradaban modern yang menjunjung tinggi
hak-hak kemanusiaan di dua negara tersebut.

Sebagai bantuan untuk pembuatan hukum


Tayangan televisi maupun periklanan yang banyak menonjolkan sensualitas
wanita sebagaimana telah dipaparkan oleh salah satu kelompok merupakan
salah satu alasan mengapa pembuatan hukum berdasarkan CEDAW mutlak
dilaksanakan. Analoginya menjadi menarik ketika pembuatan hukum utamanya
terkait penyiaran indonesia benar-benar termarginalkan dan rawan celah hukum.
Oleh karenanya, tidak mengherankan mengapa tontonan indonesia tidak dapat
mencermnkan tuntunan agar sumber daya manusia berfikir kedepan memajukan
bangsa. Tontonan pertelevisian justru banyak menampilkan sensualitas semata
demi mengejar rating sesaat. Atas dasar demikian, pembuatan hukum yang
bersendikan CEDAW merupakan salah satu langkah konkret untuk mengatasi
penyakit tontonan bangsa ini.

Sebagai bantuan untuk menyusun strategi, rencana, program aksi, dan laporan
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT bukan hanya permasalahan internal
keluarga, namun juga merupakan potret kegagalan bangsa dalam melindungi
hak-hak wanita (dan juga anak) selaku pihak yang paling banyak dirugikan atas
KDRT yang banyak terjadi di beberapa wilayah di indonesia. permasalahan KDRT
ini

dipaparkan

secara

padat

oleh

salah

satu

kelompok

yang

sudah

mempresentasikan. Salah satu solusi agar permasalahan KDRT ini ialah


menyusun strategi agar pencegahan KDRT bisa dilakukan, rencana jangka

panjang dan pendek, program aksi khususnya di sektor pengundangan, dan


laporan fakta di lapangan. Setidaknya, penyusunan ini dapat menanggulangi
laten KDRT yang presentase per tahunnya semakin meningkat dan meningkat.
5

Sebagai alat untuk menyoroti prioritas


Imigran merupakan salah satu tema yang banyak di beritakan di televisi
belakangan ini. Tentu ini menjadi perhatian bersama karena ini menyangkut
kemanusiaan. Sebagaimana telah dipaparkan oleh salah satu kelompok yang
membahas tema ini, imigran dapat menjadi alat untuk menyoroti prioritas dunia
agar

penanggulangan

dampak

peperangan

bisa

menjadi

permasalahan

bersama. Setidaknya hal tersebut dapat dimulai dari kesadaran negara-negara


adidaya agar tidak secara terus menerus melakukan peperangan tanpa
memperdulikan dampak sosial ekonomi psikologis warga sipil yang terkena
dampak peperangan. Oleh karena itulah, CEDAW dapat dijadikan pijakan hukum
agar persoalan mengenai imigran ini dapat menjadi prioritas bersama.

DAFTAR PUSTAKA
UN WOMEN United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of
Women, 2010. do our laws promote gender equality?, A Handbook for CEDAWBased Legal Reviews, Bangkok: UN WOMEN

Anda mungkin juga menyukai