Anda di halaman 1dari 4

QUO VADIS KEADILAN GENDER DI INDONESIA?

Oleh: Muhammad Luthfi Aldi


NIM : E0011204

Dalam cita-cita pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan oleh Tuhan
YME. Bangsa indonesia sendiri mengarahkan diri pada kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah
untuk mufakat dan juga keberadaban. Dan oleh karena itu pula, sebagai negara
hukum, indonesia telah menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945
sebagai konstitusi negara. Konstitusi sendiri telah memuat ketentuan dasar
mengenai HAM pada BAB XA, Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J Ayat (2). Selain
rumusan tersebut, UUD 1945 juga memuat ketentuan HAM yang tertuang pula
dalam pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 I (2). Sehingga dapat dikatakan dengan tegas
bahwa negara menjamin perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan
kemerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Inilah
yang kemudian disebut dengan kesetaraan dan keadilan gender.
Konsep ini juga sejalan dengan hukum HAM internasional yang secara khusus
mengadopsi instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention
on the Elimination of all forms discrimination Against Women (CEDAW) yang
diratifikasi oleh indonesia dengan UU No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan
konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Konvensi ini mendasarkan pada tiga asas yakni: (a) persamaan substantive; (b) non
diskriminasi; dan (c) kewajiban negara. Ketiga asas tersebut pada intinya memiliki
ciri yang sama, yakni untuk menghasilkan cakrawala keadilan gender.
Upaya untuk menciptakan keadilan gender rupanya terbentur pada pemahaman
masyarakat, penegak hukum dan negara. Utamanya dikarenanakan oleh kesalahan
sederhana mengenai pemahaman konsep gender. Padahal pemahaman konsep
mengenai gender sebenarnya dapat dengan mudah dipahami dengan mudah.
Pembedaan tersebut dapat dilihat dari dua ciri utama: (a) gender yang berarti tugas
yang dapat dipertukarkan satu sama lain; dan (b) kodrati yang merupakan
anugerah bawaan sejak lahir dan tidak dapat dipertukarkan. Pembedaan ini sangat
penting, karena selama ini masyarakat sering sekali mencampur adukan ciri-ciri

manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan
peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang
pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia
perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis
dan tepat guna serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran
perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat
dimana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat
pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan
sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri
biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan
(konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Misalnya saja gender tidak mengenal status sosial pengurus
rumah tangga. Di masyarakat, stereotip yang berkembang masih mengkait-kaitkan
wanita dengan ibu rumah tangga. Padahal tugas mengurus rumah tangga bukan
hanya tugas dari wanita. Pria pun bisa menggantikan pekerjaan rumah tangga
sementara ibu rumah tangga mencari nafkah di luar. Sementara, jika berbicara
kodrat contoh paling mudah yang bisa disebutkan ialah wanita hamil sementara
pria tidak. Pria dapat impotensi sementara wanita tidak. Antara contoh gender dan
kodrat inilah yang pada empiriknya selalu dipertukarkan. Tidak terkecuali di negara
kita. Padahal jika saja pemahaman pembedaan ini benar-benar dipahami oleh
masyarakat kita, tujuan menciptakan keadilan gender sudah pasti akan dengan
mudah dapat tercapai.
Di indonesia, tantangan untuk menegakkan keadilan gender acapkali terkendala
masalah teknis. Misalnya saja isu ketidakadilan gender yang terjadi dibalik
penghargaan the worlds best cabin crew pada tahun 2015 ini dari skytrax kepada
maskapai garuda indonesia [1]. Pada tahun 2005, Dirut PT Garuda Indonesia
mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan pramugari Garuda Indonesia
harus pensiun di usia 46 tahun. Sedangkan pramugara tetap pensiun di usia 56
tahun. Atas dasar pemberlakuan surat keputusan tersebut dari tahun 2005 hingga

sekarang, 33 pramugari Garuda Indonesia kemudian menggugat Garuda Indonesia


atas diskriminasi gender ini ke pengadilan hubungan industrial di Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Pusat.
Berkaca dari masalah teknis diatas, nampak bahwa kebijakan oleh PT Garuda
Indonesia betul-betul telah mendistorsi pembedaan kaum hawa dan kaum adam
melalui pembatasan umur pensiun. Padahal, jika saja PT Garuda Indonesia bisa
mencermati ratifikasi CEDAW melalui UU No 7 tahun 1984 atas penghapusan segala
bentuk

diskriminasi,

dan

penegakan

persamaan

substantif

permasalahan

pembatasan umur pensiun dapat dicegah sejak dini.


Melalui permasalahan tersebut ini pula, bukti bahwa salah satu asas CEDAW yakni
kewajiban negara untuk turut serta melindungi dan menciptakan keadilan dan
kesetaraan gender masih jauh dari kata ideal. Permasalahan ini juga dapat
menyadarkan kita bahwa negara hingga saat ini belum memahami dengan jelas
konsep keadilan progresif yang harus diciptakan oleh negara kepada masyarakat
bahwa Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang
dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan progresif pun bukan tugas
rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh penegak
hukum pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya
keadilan progresif yakni keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat
harkat dan martabat manusia Indonesia [2].
Menurut satjipto rahardjo, penegakan hukum progresif yakni penegakan hukum
yang tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the
letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning)
dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan
hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen
terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain
daripada yang biasa dilakukan merupakan ciri utama dari penegakan hukum
progresif [3].
Jika dikaitkan dari konsep penegakan hukum yang tidak hanya sekedar kata-kata
oleh satjipto rahardjo, artinya keadilan gender mutlak untuk ditegakkan ditengah
larutnya pengarusutamaan gender pada masyarakat modern indonesia saat ini.

Sebab secara de facto dan de jure indonesia telah terikat pada konvensi
internasional CEDAW melalui ratifikasi UU no 7 tahun 2984 yang merupakan bukti
komitmen indonesia dalam penegakan keadilan di bumi pertiwi.
Sebab lain, sudah sepatutnya pula konstruksi logika kepatutan sosial dan logika
keadilan tidak serta-merta disandarkan pada logika peraturan saja. Punggawa
negeri ini semestinya dapat memahami bahwa disinilah pemikiran hukum progresif
terkait keadilan gender itu lahir. Junjungan tinggi kepada moralitas, logika
konstruksi asas gender, dan hati nurani sepatutnya ditempatkan oleh pemimpin
bangsa sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali paradigma keadilan
gender itu sendiri. Karena dengan begitu, panji paradigma hukum progresif yang
menyatakan hukum untuk manusia, bukan sebaliknya akan kembali tegak berdiri
demi menjunjung kesetaraan dan keadilan gender yang hakiki di bumi pertiwi.

Referensi
[1] Coconuts Indonesia, 33 Pramugari Gugat Garuda Indonesia Karena Diskriminasi
Gender;
http://indonesia.coconuts.co/2015/11/24/33-pramugari-gugat-garudaindonesia-karena-diskriminasi-gender diakses pada 15 desember 201 pukul 20.26
WIB
[2] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakrta, 2009;
[3] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii

Anda mungkin juga menyukai