Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

TEORI BIROKRASI WEBER: KONSEPSI DAN TELAAH KRITIS


PRINSIP-PRINSIP PEMIKIRAN WEBER
Pandangan weber bahwa fenomena birokrasidapat dilihat dalam konteks
teori Social Action. Menurut weber, semua aktivitas manusia pada dasarnya
digerakkan oleh maksud-maksud tertentu (meanings). Weber menidentifikasikan
beberapa tipe aktivitas yang dibedakan oleh maksud yang ada di belakangnya,
yakni: afektif (affective), tradisional (tradisional), nilai rasional (value rational),
dan instrumental-rasional (instrumentally rational).
Affective atau emotional action adalah tindakan atau aktivitas yang merupakan
akibat dari luapan emosi individu dalam waktu-waktu tertentu. Lupakan
kemarahan dan kesedihan sebagai akibat dari penghinaan ataupun juga pelecehan
fisik adalah contoh dari Affective Action.
Traditional Action adalah tindakan yang berdasarkan pada kebiasaan yang telah
mapan. Manusia melakukan aktivitas dalam pola dan tata cara tertentu karena
kebiasaan yang telah mendarah daging, karena segala sesuatu telah terbiasa
dilakukan dalam tata cara itu. Dalam konteks ini, manusia sesungguhnya tidak
begitu sadar mengapa dia melakukan tindakan itu, karena hanya digerakkan oleh
kebiasaan belaka.
Value-rational action adalah aktivitas yang muncul dari adanya latar belakang
susunan tata nilai yang yang jelas, dengan orientasi dan tujuan yang diyakini
benar dan dapat dicapai. Mengerjakan perintah agama, loyalitas pada seseorang
agar mendapat sesuatu, usaha mempercantik diri supaya disenangi banyak orang,

belajar supaya pintar, dan berlatih supaya mahir adalah contoh-contoh dari jenis
value-rational action.
Instrumentally rational action merupakan tindakan yang dilatarbelakangi
kesadaran oleh keinginan untuk mencapai tujuan secara jelas, dengan alat, kriteria,
dan tata cara yang terukur secara pasti. Seseorang manajer yang ingin menaikkan
produktivitas, atau seorang kontraktor yang sedang membangun gedung
apartemen adalah contoh aktivitas ini.
Pada dasarnya Weber (1992) berpendapat bahwa birokrasi rasional adalah sebuah
konsepsi birokrasi yang muncul atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan
karena sebab lain, seperti otoritas tradisional maupun otoritas kharismatik. Perlu
diketahui, weber membedakan adanya tiga tipe otoritas, yakni: Tipe Otoritas
Tradisional, Otoritas Kharismatis, dan Otoritas Legal.
Tipe 1: Otoritas Tradisional
Otoritas tradisional adalah otoritas di mana legitimasi tokoh otoritas
didasarkan sekitar kustom. Legitimasi dan kekuatan untuk kontrol diturunkan dari
masa lalu dan kekuatan ini dapat dilaksanakan dengan cara yang cukup diktator.
Ini adalah jenis otoritas dalam mana hak-hak tradisional individu yang kuat dan
dominan atau kelompok diterima atau setidaknya tidak ditantang oleh individu
bawahan. Hal ini bisa agama suci atau spiritual bentuk mapan dan pelan-pelan
berubah budaya atau suku keluarga atau struktur marga jenis.
Tipe 2: Otoritas Kharismatis
Otoritas karismatik ada ketika kontrol orang lain didasarkan pada
karakteristik pribadi seseorang seperti keahlian etis heroik atau agama yang luar
biasa. Pemimpin karismatik dipatuhi karena orang merasa ikatan emosional yang

kuat kepada mereka. Hitler Gandhi Napoleon dan Julius Caesar semua pemimpin
karismatik. Apakah kekuatan tersebut sebenarnya ada tidak relevan fakta bahwa
pengikut percaya bahwa kekuatan seperti itu ada adalah apa yang penting.
Tipe 3: Otoritas Legal
Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan
yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut weber
dengan istilah otoritas legal-rasional. Tipe ini sangat erat kaitannya dengan
rasionalitas instrumental. Tipe ini berbeda dengan otoritas tradisional dan
karismatik dalam sifat impersonal pelaksanaannya. Singkatnya, orang yang
sedang melaksanakan ototritas legal-rasional adalah karena dia memiliki suatu
posisi sosial yang menurut peraturan yang sah didefinisikan sebagai memiliki
posisi otoritas.
OTORITAS LEGAL SEBAGAI DASAR BIROKRASI RASIONAL
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi
sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan
fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas
dan sanksi-sanksi;
3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hakhak kontrol dan pengaduan (complaint);

4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis


maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih
menjadi diperlukan;
5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai
individu pribadi;
6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat
pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf
administrasi birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional. Selanjutnya, Weber melanjutkan
ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf
di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut.
1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2. terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;

5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya


didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6. para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun.
Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat
selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat
juga dapat diberhentikan;
7. pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan
keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun
dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
KRITIK ATAS PANDANGAN WEBER MENGENAI BIROKRASI
Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula
pandangan Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik
para ahli akan pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin
Albrow (lihat referensi). Robert K. Merton. Dalam artikelnya Bureaucratic
Structure and Personality, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional
Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan
ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa?
Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi

tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas
kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk
melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku
mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa
yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam
pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak
diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Philip
Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi
Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi.
Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi
secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan
kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih
banyak sub-sub unit tujuan.
BAB V
KISI-KISI DALAM PERANAN DAN TUGAS BIROKRASI
DIMENSI-DIMENSI DALAM PERAN BIROKRASI
Dalam institusi swasta, kita mengetahui bahwa pegawai dan manajer
beekrja dengan cara memproduksi barang atau jasa yang dapat dijual kepada
konsumen untuk kemudian mendapatkan keuntungan dari selisih antara modal
dan harga jual. Kita juga tahu bahwa pegawai swasta bekerja dengan misi utama
untuk

mengumpulkan

keuntungan

sebanyak-banyaknya

bagi

perusahaan.

Sedangkan perangkat untuk menilai seseorang berhasil atau tidak dalam


menjalankan tugas juga sangat jelas, yakni; rugi dan laba. Bila pegawai atau

suatu organisasi swasta mampu mendatangkan semakin banyak keuntungan, maka


dia akan semakin dinilai berhasil; sebaliknya pegawai atau organisasi yang
mendatangkan kerugian, maka dia akan dinilai gagal dalam menjalankan tugas.

ANALISIS UNTUK MENGUKUR PUBLIC VALUE


Policy analysis pada intinya memandang bahwa produk yang dihasilkan oleh
lembaga birokrasi birokrasi harus memenuhi standar pembuatan kebijakan publik
yang baik. Menurut Bridgman dan Davis (2000, h. 46-65), produk birokrasi yang
baik harus memenuhi kroteria seperti appropriate (tepat), efficient (efisien),
effective (efektif), transparan (terbuka), equitable (adil), supported by
stakeholders (didukung oleh stakeholder), consistent (konsisten), flexible
(fleksibel), targeted (memiliki target), comprehensive (menyeluruh tidak parsial),
sustainable (merupakan program berkelanjutan), dear mesurment (memiliki tolak
ukur yang jelas), dan comperhensible (mudah dipahami). Dengan demikian,
sebelum sebuah program dilaksanakan, aparat dan institusi birokrasi wajib
mengukur program itu berdasarkan kriteria-kriteria kebijakan publik yang baik
sebagaimana dipaparkan diatas ini.
Program evaluation adalah alat yang dipakai untuk melihat apakah produk dari
institusi birokrasi telah memenuhi tujuan yang diterapkan dalam perencaan.
Program dapat dikatakan berhasil apabila tujuan dapat terpenuhi, dan cara
mencapai tujuan tidak terlalu jauh melencang dari konsep yang semula
direncanakan.

Performance measurement (pengukuran kinerja) adalah proses dimana organisasi


menetapkan parameter di mana program, investasi, dan akuisisi mencapai hasil
yang diinginkan. Alat ini biasanya dipakai untuk mengendalikan, mengarahkan,
dan mengukur kinerja organisasi dalam pencapaian target, saran, dan tujuan.
Dalam unit analisis ini, birokrasi perlu membuat perencanaan strategis,
menentukan apa jenis produk yang akan dibuat, mengapa produk harus
ditawarkan, untuk siapa produk diberikan, apa input yang diperlukan, apa
keluaran yang diharapkan, dan bagaimana produk itu berkontribusi dalam
pencapaian tujuan organisasi secara umum.
Cost-effectiveness analysis (CEA) adalah bentuk analisis ekonomi yang
membandingkan biaya relatif dan hasil (efek) dari suatu tindakan. Pada intinya,
CEA merupakan alat yang dipakai untuk menukur apakah program dan proses
produksi dari institusi birokrasi telah memenuhi rasionalitas anggaran, dalam arti
apakah uang yang dipakai oleh birokrasi dipakai secara optimal, apakah uang
yang disediakan telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya.
Cost-benefit analysis (CBA) adalah alat analisis untuk menentukan pilihan
terhadap berbagai macam alternatif rencana program yang akan dilakukan oleh
birokrasi. CBA adalah alat yang dipakai untuk menilai suatu kasus, program,
proyek atau usulan kebijakan sehingga dapat dipakai pula untuk menentukan skala
prioritas.

Anda mungkin juga menyukai